Home / Horor / PETI KE-13 / Tanda yang tak hilang

Share

Tanda yang tak hilang

Author: Suchwita
last update Last Updated: 2025-06-07 04:35:35

Pagi datang tanpa suara. Hujan sudah berhenti, namun langit masih menggantung kelabu. Reza terbangun dengan tubuh lengket keringat. Matanya sembab, lehernya kaku, dan mimpi semalam… terlalu nyata untuk disebut mimpi.

Ia duduk perlahan, menarik napas panjang. Suasana kamar sunyi, hanya terdengar suara ranting-ranting basah yang digerakkan angin di luar.

Tiba-tiba, rasa panas itu kembali muncul.

Reza menoleh ke dadanya. Luka merah melingkar itu… masih ada. Lebih jelas dari semalam. Kulitnya tampak seperti dibakar, tapi anehnya tidak terasa perih. Hanya hangat dan berdenyut pelan, seperti memiliki detaknya sendiri.

Ia menyentuhnya pelan, mencoba mengingat apakah mungkin ia tertidur di atas benda panas. Tapi tak ada penjelasan masuk akal. Ini bukan luka biasa. Luka itu seperti simbol. Bukan luka yang terjadi secara kebetulan.

Lalu ia melihat cermin.

Dan jantungnya berhenti sejenak.

Di lehernya, di bawah telinga kiri… ada tanda lain. Seperti jari-jari tangan. Lima garis samar membiru seperti bekas cekikan ringan.

Reza menatap bayangannya sendiri. Ia bahkan tak sadar kapan itu muncul. Yang ia ingat hanyalah tangan itu. Tangan perempuan di lorong yang menunjuk ke dadanya.

Seseorang atau sesuatu telah menyentuhnya. Dan meninggalkan bekas.

Tok. Tok.

Suara ketukan terdengar dari bawah. Reza tersentak.

Suara itu bukan dari pintu depan. Itu datang dari arah ruang bawah tanah.

Lagi.

Tok.

Tok.

Ia bangkit, perlahan. Kakinya berat. Rasa penasaran bercampur takut menggerogoti pikirannya. Tapi sebelum ia bisa melangkah, suara ketukan itu berhenti.

Digantikan oleh sesuatu yang lebih aneh.

Suara... musik.

Samar. Seperti suara kotak musik tua. Dentingan nada-nada melankolis itu mengalun naik dari lantai bawah. Melodi lambat, menyedihkan. Dan Reza tahu betul...

Ia pernah mendengar lagu itu.

Di mimpi semalam.

Sebuah lagu yang dimainkan tepat sebelum sosok perempuan itu muncul.

Reza menggenggam gagang pintu. Tangannya dingin dan berkeringat. Kali ini, ia tahu, apapun yang ada di dalam rumah ini, tidak akan membiarkannya pergi sebelum rahasia peti itu terungkap.

Dan tanda di tubuhnya hanyalah permulaan.

•••

Reza turun perlahan melewati anak tangga, mengikuti suara kotak musik yang kini menghilang begitu saja—seolah memang sengaja memancingnya.

Sesampainya di ruang tamu, rumah itu terasa berbeda. Lebih dingin dari biasanya, meskipun tidak ada jendela yang terbuka. Ia menyalakan lampu, tapi beberapa saklar tak berfungsi. Kabelnya tua, rumah ini sudah terlalu lama tidak dihuni.

Reza menghela napas panjang. Ia tahu ia tidak bisa tinggal di dalam rumah itu sendirian lebih lama tanpa kehilangan akal. Maka siang itu, ia memutuskan keluar. Udara desa sedikit lebih hangat, lebih hidup. Beberapa anak-anak bermain layangan di lapangan kecil. Tapi ketika Reza berjalan melewati mereka, anak-anak itu berhenti dan memandanginya lama.

Salah satu dari mereka berbisik, “Itu cucu Pak Surya ya… yang tinggal di rumah peti.”

Reza melirik, ingin bertanya, tapi anak-anak buru-buru menjauh.

Ia terus berjalan menuju warung di tikungan jalan. Seorang ibu tua yang sedang menata rak rokok menatapnya heran.

“Kamu Reza, ya? Cucu Pak Surya?”

Reza mengangguk. “Iya, Bu. Saya baru sampai dua hari lalu.”

Ibu itu mengerutkan dahi. “Kamu tinggal di sana? Di rumah tua itu?”

“Ya. Kenapa, Bu?”

Wanita itu tidak menjawab langsung. Ia mengambil segelas teh manis dari dalam, menyodorkannya pada Reza.

“Kamu kuat ya, Nak? Soalnya… orang sini sudah lama anggap rumah itu berhantu.”

Reza memejamkan mata sejenak. Ia tidak kaget. “Apa maksudnya dengan ‘berhantu’, Bu?”

Wanita itu duduk perlahan, seperti ragu-ragu ingin bercerita.

“Dulu, kakekmu menyimpan sesuatu yang tidak seharusnya disimpan. Waktu beliau masih sehat, sering terdengar suara-suara aneh dari ruang bawah tanah. Suara tangisan. Tertawa. Musik. Ada yang bilang, kakekmu menyegel sesuatu dalam peti besar. Peti ke-13, kata orang. Yang lain bilang, itu bukan peti tapi penjara.”

“Penjara?” Reza nyaris tersedak.

Ibu itu mengangguk pelan. “Sesuatu yang seharusnya tidak dibuka. Tapi kakekmu keras kepala. Ia tidak percaya pada larangan tua. Sampai akhirnya beliau mendadak jatuh sakit dan tak sadarkan diri sampai sekarang.”

“Jadi... semua ini karena peti itu?”

Wanita tua itu hanya diam. Tapi dari sorot matanya, Reza tahu ia percaya akan sesuatu yang jauh lebih tua dari sekadar peti kayu.

Saat Reza kembali ke rumah sore itu, angin berhembus lebih keras. Daun-daun kering beterbangan di teras. Dan ketika ia membuka pintu.

Kotak musik itu berbunyi lagi.

Sendiri.

Dan kali ini, pintu ruang bawah tanah terbuka sedikit.

Seolah menantinya.

••••

Malam telah menelan seluruh desa. Angin dari arah hutan menderu, membawa bau tanah dan sesuatu yang lain, amis dan anyir, seperti darah basi.

Reza tidak bisa tidur.

Kotak musik di kamarnya kembali berbunyi sendiri. Kali ini lagu yang berbeda, pelan, seperti suara anak kecil menyanyi dari dasar sumur.

Ia tahu, ini bukan kebetulan lagi.

Sejak peti itu ia buka siang tadi, udara di rumah ini berubah. Dinding-dinding seperti berbisik. Cermin mengembun padahal tak ada uap. Dan yang paling mengerikan, bayangan yang muncul bukan lagi miliknya.

Reza bangkit. Ia mendekati cermin. Menyeka embun di permukaannya dan terdiam.

Di belakangnya, terlihat sosok wanita berdiri. Rambutnya panjang, menutupi wajah. Gaunnya putih, sobek dan berlumur tanah. Reza berbalik cepat tapi tidak ada siapa-siapa. Dan cermin masih memantulkan bayangan itu, berdiri tak bergerak.

Cermin lalu retak, meledak sendiri, dan pecah ke lantai.

Reza mundur. Napasnya berat. Di luar kamar, terdengar suara anak kecil tertawa, berlari di lorong. Padahal rumah ini kosong.

Lalu—lampu padam. Gelap total.

Suara dari bawah tanah kembali terdengar. Kali ini seperti pintu dibanting berulang-ulang. Sesuatu ingin keluar lagi.

Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka pelan… sendiri.

Dari celah itu, asap hitam merayap masuk seperti lidah ular.

Dan di tengah asap itu. muncul satu tangan kurus, penuh luka bakar, merangkak ke lantai.

Reza membeku. Ia ingin berteriak, tapi suara tercekat. Tangannya gemetar saat meraih senter. Saat cahaya senter menyorot ke pintu, ia melihatnya...

Sosok dari dalam peti.

Kini berdiri di lorong. Wajahnya hancur, matanya membusuk, tapi mulutnya terus bergerak... berbisik sesuatu.

“Tiga belas malam... satu demi satu... mereka akan datang... semua akan datang...”

Tiba-tiba, seluruh jendela rumah terbuka bersamaan.

Angin menderu masuk, membawa suara jeritan dari arah hutan. Jeritan perempuan... dan tangis bayi. Suara yang tak mungkin berasal dari dunia ini.

Reza menjerit. Tapi ia tidak tahu apakah jeritannya terdengar oleh siapa pun di luar rumah itu.

Karena di luar... dunia juga ikut membeku.

Dan di lantai kamarnya, tergores sendiri oleh kuku tak kasat mata, muncul kalimat.

"Kau sudah membukanya. Kini kau harus menyelesaikannya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PETI KE-13   9

    Malam menyelimuti rumah itu tanpa suara.Para pelayat sudah pulang. Hanya tinggal Reza dan jenazah Rendra yang kini terbujur di ruang tamu. Lampu gantung masih menyala redup, seperti menahan nyalanya agar tak ikut menyaksikan peristiwa yang hendak terjadi.Reza duduk di ujung ruangan. Tatapannya tertuju ke arah dua peti itu: peti jenazah dan peti ke-13.Sejak siang tadi, hawa di rumah berubah. Suhu ruangan turun drastis. Jam dinding tak lagi berdetak. Telepon rumah berdering pelan selama lima detik, padahal kabelnya sudah dicabut sejak minggu lalu.Dan kini… peti ke-13 terbuka sepenuhnya.Reza berdiri perlahan, melangkah mendekatinya. Dari celah peti tua itu, hembusan kabut tipis menyebar ke lantai, merayap seperti jari-jari dingin yang mencari jalan. Reza tahu apa yang sedang terjadi.Peti itu lapar.Seseorang atau sesuatu di dalamnya bersiap menempati tubuh baru.Jenazah Rendra.Reza menggenggam liontin kecil peninggalan kakeknya. Di dalamnya ada serpihan logam dari kunci asli peti.

  • PETI KE-13   Pecah

    Cermin besar di ruang loteng rumah itu kini mulai retak perlahan. Dari dunia nyata, ‘Reza palsu’ terduduk di ruang tamu dalam posisi kaku. Tangannya mencengkeram lengan sofa, keringat membasahi wajahnya, dan napasnya berat seperti orang tenggelam di air gelap. Tapi bagi dunia luar, ia hanya tampak seperti seorang yang sedang tertidur dan bermimpi buruk. Di dalam mimpi itulah Reza asli melawan. Suara tangisan dan bisikan semakin keras. Rumah impian Reza palsu, yang sebelumnya tampak tenang dan sempurna, mulai hancur dari dalam. Dinding dapur terkelupas, rak piring jatuh satu per satu, dan dari dalam lemari es yang terbuka perlahan, keluar kabut hitam menggumpal seperti jelaga hidup. Reza berdiri di lorong depan, menatap tubuh palsunya dari kejauhan. “Aku tahu siapa kamu,” katanya pelan. “Kau bukan hantu. Kau bukan iblis. Kau hanya sesuatu yang terlalu lama dikurung dan kini mencoba menjadi manusia.” Sosok itu bangkit. Wajahnya berubah perlahan. Mata Reza palsu mulai berkedut, raha

  • PETI KE-13   Bayangan

    Ruangan di balik cermin bukan hanya loteng kosong seperti yang awalnya Reza lihat. Setelah beberapa waktu menyusuri dinding yang seolah tak berujung, ia menyadari bahwa tempat ini telah berubah.Langkah kakinya kini mengantarkannya ke sebuah lorong panjang, gelap, dengan cahaya kehijauan samar memancar dari retakan dinding. Suara gemerisik mengiringi tiap langkahnya, seperti bisikan yang mengendap-endap di belakang.Di ujung lorong, ada ruangan besar, seperti aula batu tua.Dan di sana mereka berdiri. Enam sosok.Tak seluruhnya manusia. Beberapa tampak masih memiliki bentuk tubuh yang utuh, meski penuh luka, luka yang aneh seolah terbentuk bukan dari kekerasan, tapi dari waktu yang berhenti. Ada yang tanpa wajah. Ada yang berbalut kain. Ada yang hanya bayangan tipis.Semuanya menatap Reza. tanpa terlihat marah, tanpa terlihat terkejut, hanya menampilkan rasa lelah. Sosok yang pertama bicara adalah lelaki paruh baya dengan kepala botak separuh dan mata seperti bekas terbakar.“Kau...

  • PETI KE-13   Bukan aku

    Pagi sudah menjelang siang ketika Reza memutuskan untuk keluar dari rumah. Ia butuh udara segar. Ia butuh melihat manusia lain, mendengar suara kehidupan yang normal, apa pun selain suara-suara dari dalam kepalanya.Tapi saat membuka pintu depan, ia langsung tahu sesuatu telah berubah.Langit tampak aneh. Bukan kelam, bukan terang, tapi keabu-abuan yang mengambang. Awan menggumpal padat, namun tak bergerak. Udara di luar tak membawa suara burung, tak ada deru angin, hanya keheningan yang menekan.Reza melangkah ke halaman. Tanah di bawah kakinya lembek, seperti dipijak usai hujan, padahal tidak ada tanda hujan turun semalam. Sepatu ketsnya menancap dalam di tanah becek yang berbau tanah... dan darah.Ia mempercepat langkah, menuju jalan setapak yang biasanya terhubung ke desa.Namun jalan itu kini lebih panjang dari biasanya.Pohon-pohon di kanan kiri terlihat asing. Batangnya bengkok, daunnya lebih gelap, dan dari balik semak-semak terdengar suara retakan ranting tapi tak ada binatan

  • PETI KE-13   Gangguan

    Setelah beberapa menit dalam keheningan yang menggigit, Reza merangkak perlahan keluar dari dapur. Tangannya gemetar saat meraba-raba dinding untuk berdiri. Lentera yang tadi dibawanya terjatuh, kacanya pecah, menyebarkan minyak dan bara kecil yang segera padam.Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Tapi langkahnya terganggu saat melewati lorong sempit menuju tangga belakang lorong yang dulu selalu ditutup oleh sang kakek. Tapi sekarang pintunya terbuka. Sedikit.Di balik celah pintu itu, udara seperti berubah. Ruangan terasa lebih lembab. Bau tanah basah, logam berkarat, dan dupa terbakar menyeruak begitu kuat hingga membuat Reza hampir muntah.Namun sesuatu menariknya. Sebuah getaran aneh dari balik pintu itu. Seperti bisikan yang tidak keluar sebagai suara, tapi terasa langsung di dalam kepala."Kau belum melihat semuanya, Reza."Dengan langkah berat, ia menyentuh gagang pintu.Saat itu juga, suara gemeretak terdengar dari dalam seperti benda besar yang diseret di atas lantai ba

  • PETI KE-13   Giliranmu

    Pagi menjelang dengan langit kelabu, seakan malam masih enggan pergi dari rumah tua itu. Reza duduk diam di tepi ranjang, tubuhnya menggigil. Matanya merah, kantuk tak pernah datang sejak teror malam itu. Ia tidak berani memejamkan mata. Setiap kerlingan membuat bayangan perempuan bermata kosong kembali muncul.Udara dingin, meski jendela telah tertutup rapat. Tapi ia tahu, hawa dari bawah tanah belum pergi.Di meja kecil di sebelah ranjangnya, tergeletak sesuatu yang tak ia sadari sebelumnya, sebuah amplop tua bersegel merah, warnanya hampir pudar. Di bagian depan tertulis namanya dengan tulisan tangan yang familiar.Untuk Reza,Bila aku sudah tiada.Tangannya gemetar saat membuka amplop itu. Di dalamnya, selembar kertas tipis dengan tulisan tangan sang kakek:"Reza, cucuku...Bila kau membaca ini, berarti aku sudah gagal menjaga peti itu lebih lama.Aku tahu ini tidak adil. Tapi darah kita, garis kita… memang telah diikat pada peti ke-13 sejak dahulu.Jangan pernah membukanya, aku m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status