Home / Horor / PETI KE-13 / Peti mati di ruang bawa tanah

Share

Peti mati di ruang bawa tanah

Author: Suchwita
last update Last Updated: 2025-06-07 04:24:13

Reza tidak bisa tidur setelah kejadian tadi malam. Meskipun Pak Margo berusaha menjelaskan semuanya dengan nada datar, perasaan aneh tak kunjung hilang. Pintu yang tertutup sendiri. Suara dari dalam ruang bawah tanah. Dan pernyataan Pak Margo… bahwa tidak semua yang berjalan adalah manusia.

Pagi harinya, Reza mencoba bersikap biasa. Ia membantu membersihkan aula rumah duka yang penuh bunga layu dan aroma dupa sisa prosesi kemarin. Tapi pikirannya tak pernah lepas dari ruang bawah tanah.

Saat Pak Margo pergi sebentar untuk membeli perlengkapan, Reza berdiri lama di depan pintu kayu besar yang tadi malam sempat terbuka sendiri.

“Jangan buka peti itu, apa pun yang terjadi…”

Kata-kata itu terngiang di kepalanya. Tapi rasa ingin tahu menenggelamkan rasa takut.

Ia memutar kunci pintu yang tidak terkunci. Perlahan ia mendorong daun pintu. Bunyi engsel tua kembali menggerung rendah. Tangga kayu menurun tajam ke dalam kegelapan.

Reza menyalakan senter ponselnya dan turun perlahan. Udara di bawah sana dingin, lembap, dan berbau tanah tua. Ruangannya cukup luas. Di kiri dan kanan terdapat peti-peti mati yang tersusun rapi, masing-masing ditandai dengan ukiran angka Romawi.

I… II… III… hingga XII.

Tepat di ujung ruangan, terpisah dari yang lain, berdiri satu peti kayu besar berwarna hitam pekat, tanpa ukiran. Tapi di lantainya, tertulis jelas dengan kapur putih.

XIII.

Peti itu berbeda dari yang lain. Lebih lebar. Lebih baru. Tapi terkesan... hidup.

Reza mendekat. Ia mengangkat tutupnya pelan. Berderit…

Gelap di dalam. Tapi tak kosong.

Ada sesuatu dibungkus kain kafan, disilangkan dengan tali anyaman bambu. Ia nyaris menyalakan cahaya lebih terang saat tiba-tiba, tangan itu bergerak. Lembut. Nyaris tak terlihat.

Reza mundur cepat. Jantungnya berdetak liar.

"Mas Reza!"

Suara Pak Margo menggema dari atas.

Reza berlari ke atas, meninggalkan ruang bawah tanah. Saat ia menutup pintunya kembali, wajah Pak Margo menegang.

“Kamu... sudah membukanya?”

Reza tak menjawab. Tapi tatapan matanya cukup menjadi pengakuan.

Pak Margo menarik napas panjang. Suaranya berubah, berat dan serius.

“Kalau kamu sudah membukanya, berarti kita tak bisa menutupnya lagi. Apa yang ada di peti itu sekarang tahu kamu ada di sini.”

•••

Reza berdiri mematung, napasnya belum teratur. Pak Margo menutup pintu ruang bawah tanah rapat-rapat, lalu menguncinya dengan dua gembok besi tua yang tampak seperti sudah puluhan tahun tidak disentuh.

“Kenapa peti itu ada di sana?” tanya Reza pelan.

Pak Margo tidak segera menjawab. Ia berjalan ke dapur, menuang air putih ke dalam dua gelas, lalu memberikan salah satunya kepada Reza.

“Itu bukan peti biasa,” kata Pak Margo akhirnya. “Itu juga bukan mayat biasa.”

Reza mengerutkan kening. “Lalu apa?”

Pak Margo menatap kosong ke arah jendela. “Dulu, lebih dari empat puluh tahun yang lalu, rumah duka ini menerima jenazah tanpa nama. Dikirim oleh seseorang dari luar kota, tanpa informasi, tanpa permintaan khusus, hanya diminta untuk tidak dibuka. Petinya tertutup rapat dan dilapisi besi di bagian dalam. Tapi saat malam tiba, penjaga pertama kami mendengar suara dari dalamnya. Seperti bisikan. Kadang tangisan. Kadang ketukan halus. Sejak saat itu, tak ada satu pun karyawan mau menyentuhnya. Akhirnya kami menaruhnya di bawah. Jauh dari semua.”

Reza diam, menelan ludah dengan susah payah. “Kenapa tidak dikubur saja?”

Pak Margo tersenyum getir. “Sudah dicoba. Tiga kali. Tapi setiap kali tanah ditimbun, besoknya peti itu kembali muncul di depan pintu rumah duka.”

Reza merasa darahnya turun ke kaki. “Maksudnya... muncul sendiri?”

“Seolah-olah bumi menolaknya,” jawab Pak Margo tenang. “Lalu kami membuat keputusan bahwa peti itu tidak akan dikubur, tidak akan dibakar, tidak akan dibuka. Cukup disimpan. Dijaga. Tapi sekarang. sudah dibuka.”

Keheningan memenuhi ruang tamu. Di luar, angin bertiup kencang meski matahari masih tinggi. Reza memejamkan mata sejenak, mencoba memahami semuanya. Tapi ada satu hal yang membuat pikirannya tetap tidak tenang.

“Pak,” katanya perlahan. “Saat saya membuka peti itu saya melihat tangan yang bergerak.”

Pak Margo menoleh. Matanya mengeras. “Kau yakin itu tangan? Kau yakin itu bergerak?”

Reza mengangguk. “Saya bahkan sempat mundur saking takutnya.”

Pak Margo berdiri. Ia berjalan ke meja, membuka laci kecil dan mengambil sebuah buku lusuh bersampul kulit. Di sampulnya tertulis huruf-huruf latin tua yang nyaris terhapus waktu.

Perjanjian Terakhir.

Ia menatap Reza lekat-lekat. “Kalau tangan itu bergerak artinya waktunya sudah dekat.”

Reza menatapnya bingung. “Waktu apa?”

Pak Margo menutup buku itu kembali, lalu berkata lirih. “Waktu di mana isi peti akan menagih janjinya. Dan sayangnya, Mas Reza, sekarang kamu sudah jadi bagian dari janjinya.”

••••

Malam itu, hujan turun tanpa peringatan. Petir menyambar langit, membuat kaca jendela bergetar setiap kali kilat menyapu gelap. Reza terjaga di kamarnya, menatap langit-langit sembari mengulang-ulang kata-kata Pak Margo di pikirannya.

"Isi peti akan menagih janjinya..."

Ia tidak tahu apa maksud kalimat itu. Tapi rasa dingin yang tak biasa menjalari punggungnya. Bukan hanya karena cuaca.

Sekitar pukul dua dini hari, saat Reza mulai terkantuk, terdengar suara... ketukan.

Tok.

Tok.

Tok.

Reza membuka matanya. Sunyi. Hanya suara hujan dan gelegar petir di kejauhan. Ia pikir itu suara dari mimpinya.

Lalu suara itu terdengar lagi.

Tok.

Tok.

Kali ini lebih keras. Lebih dekat.

Reza duduk di ranjangnya. Ia menoleh ke arah pintu kamar, tapi tidak ada siapa pun. Ia bangkit, membuka pintu perlahan.

Lorong rumah gelap dan lengang. Lampu dinding berkelap-kelip, seperti akan padam. Reza menahan napas, berjalan pelan ke arah tangga yang mengarah ke bawah.

Dan suara itu kembali terdengar.

Tok... Tok...

Tapi bukan dari pintu. Bukan dari dinding. Suaranya… datang dari bawah lantai.

Dari ruang bawah tanah.

Tok.

Tok.

Tok.

Tiga ketukan. Jeda. Lalu tiga lagi. Seperti sebuah pola. Sebuah panggilan.

Reza berdiri di tengah lorong, tubuhnya membeku. Ia tidak tahu harus maju atau mundur. Tapi satu hal yang ia sadari…

Tangannya tiba-tiba terasa panas. Ia menoleh.

Ada bekas merah samar di pergelangan tangan kirinya. Seperti cap jari. Seperti seseorang atau sesuatu yang telah menggenggam pergelangannya sangat erat.

Dan saat ia berbalik ingin kembali ke kamar, ia melihatnya.

Bayangan.

Bayangan perempuan berdiri di ujung lorong.

Rambut panjang. Gaun putih lusuh. Wajahnya tidak terlihat. Tapi kepalanya sedikit menunduk.

Dan perlahan...

Kepala itu menoleh ke arah Reza.

Reza terpaku. Bayangan itu tak bergerak, tapi kehadirannya memenuhi lorong sempit itu dengan tekanan yang aneh. Udara mendadak lebih dingin seolah dinding rumah duka menghembuskan napas panjang dari masa lalu.

Sosok perempuan itu tidak bersuara. Ia hanya berdiri, dengan kepala sedikit miring ke kiri. Rambut panjangnya menjuntai hingga menutupi wajah. Tapi entah bagaimana, Reza bisa merasakan matanya sedang menatap.

Lalu, tanpa aba-aba, lampu lorong padam.

Gelap total.

Reza panik, mundur selangkah, nyaris jatuh saat kakinya tersandung karpet. Jantungnya berdetak kencang, terlalu keras hingga ia bisa mendengarnya bergema di telinga. Tangannya meraba tembok, mencari saklar. Tapi belum sempat ia menemukannya terdengar

Suara napas.

Tepat di belakangnya.

Lambat. Berat. Lembap.

Reza membalik badan dengan cepat, tapi tidak ada siapa-siapa.

Lalu tiba-tiba, dari arah depan

Sosok perempuan itu sekarang berdiri hanya beberapa langkah darinya.

Jaraknya terlalu dekat. Reza bisa melihat kain gaunnya yang robek dan basah. Bisa mencium aroma tanah dan besi yang kuat dari tubuhnya. Perlahan, perempuan itu mengangkat satu tangan, tangannya kurus dan pucat, jari-jarinya terlalu panjang untuk ukuran manusia.

Reza ingin berteriak, tapi suaranya tertelan ketakutan.

Tangan itu terulur ke arahnya.

Menunjuk.

Ke dada Reza.

Dan saat itu, lampu lorong menyala kembali.

Sosok itu menghilang.

Reza terduduk di lantai, gemetar. Napasnya terengah. Ia menatap sekeliling, mencari sesuatu yang bisa menjelaskan semua itu. Tapi lorong sudah kosong seperti biasa.

Lalu ia menyadari sesuatu...

Di dadanya, di balik kaus yang ia pakai, ada rasa panas. Ia menarik kerahnya dan melihat tanda merah melingkar. Seperti bekas luka lama yang baru muncul. Seperti… lambang yang dibakar perlahan.

Reza gemetar. Ia tak tahu apa arti semua ini. Tapi yang pasti, malam ini hanyalah permulaan.

Dan peti ke-13 telah membuka jalan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PETI KE-13   9

    Malam menyelimuti rumah itu tanpa suara.Para pelayat sudah pulang. Hanya tinggal Reza dan jenazah Rendra yang kini terbujur di ruang tamu. Lampu gantung masih menyala redup, seperti menahan nyalanya agar tak ikut menyaksikan peristiwa yang hendak terjadi.Reza duduk di ujung ruangan. Tatapannya tertuju ke arah dua peti itu: peti jenazah dan peti ke-13.Sejak siang tadi, hawa di rumah berubah. Suhu ruangan turun drastis. Jam dinding tak lagi berdetak. Telepon rumah berdering pelan selama lima detik, padahal kabelnya sudah dicabut sejak minggu lalu.Dan kini… peti ke-13 terbuka sepenuhnya.Reza berdiri perlahan, melangkah mendekatinya. Dari celah peti tua itu, hembusan kabut tipis menyebar ke lantai, merayap seperti jari-jari dingin yang mencari jalan. Reza tahu apa yang sedang terjadi.Peti itu lapar.Seseorang atau sesuatu di dalamnya bersiap menempati tubuh baru.Jenazah Rendra.Reza menggenggam liontin kecil peninggalan kakeknya. Di dalamnya ada serpihan logam dari kunci asli peti.

  • PETI KE-13   Pecah

    Cermin besar di ruang loteng rumah itu kini mulai retak perlahan. Dari dunia nyata, ‘Reza palsu’ terduduk di ruang tamu dalam posisi kaku. Tangannya mencengkeram lengan sofa, keringat membasahi wajahnya, dan napasnya berat seperti orang tenggelam di air gelap. Tapi bagi dunia luar, ia hanya tampak seperti seorang yang sedang tertidur dan bermimpi buruk. Di dalam mimpi itulah Reza asli melawan. Suara tangisan dan bisikan semakin keras. Rumah impian Reza palsu, yang sebelumnya tampak tenang dan sempurna, mulai hancur dari dalam. Dinding dapur terkelupas, rak piring jatuh satu per satu, dan dari dalam lemari es yang terbuka perlahan, keluar kabut hitam menggumpal seperti jelaga hidup. Reza berdiri di lorong depan, menatap tubuh palsunya dari kejauhan. “Aku tahu siapa kamu,” katanya pelan. “Kau bukan hantu. Kau bukan iblis. Kau hanya sesuatu yang terlalu lama dikurung dan kini mencoba menjadi manusia.” Sosok itu bangkit. Wajahnya berubah perlahan. Mata Reza palsu mulai berkedut, raha

  • PETI KE-13   Bayangan

    Ruangan di balik cermin bukan hanya loteng kosong seperti yang awalnya Reza lihat. Setelah beberapa waktu menyusuri dinding yang seolah tak berujung, ia menyadari bahwa tempat ini telah berubah.Langkah kakinya kini mengantarkannya ke sebuah lorong panjang, gelap, dengan cahaya kehijauan samar memancar dari retakan dinding. Suara gemerisik mengiringi tiap langkahnya, seperti bisikan yang mengendap-endap di belakang.Di ujung lorong, ada ruangan besar, seperti aula batu tua.Dan di sana mereka berdiri. Enam sosok.Tak seluruhnya manusia. Beberapa tampak masih memiliki bentuk tubuh yang utuh, meski penuh luka, luka yang aneh seolah terbentuk bukan dari kekerasan, tapi dari waktu yang berhenti. Ada yang tanpa wajah. Ada yang berbalut kain. Ada yang hanya bayangan tipis.Semuanya menatap Reza. tanpa terlihat marah, tanpa terlihat terkejut, hanya menampilkan rasa lelah. Sosok yang pertama bicara adalah lelaki paruh baya dengan kepala botak separuh dan mata seperti bekas terbakar.“Kau...

  • PETI KE-13   Bukan aku

    Pagi sudah menjelang siang ketika Reza memutuskan untuk keluar dari rumah. Ia butuh udara segar. Ia butuh melihat manusia lain, mendengar suara kehidupan yang normal, apa pun selain suara-suara dari dalam kepalanya.Tapi saat membuka pintu depan, ia langsung tahu sesuatu telah berubah.Langit tampak aneh. Bukan kelam, bukan terang, tapi keabu-abuan yang mengambang. Awan menggumpal padat, namun tak bergerak. Udara di luar tak membawa suara burung, tak ada deru angin, hanya keheningan yang menekan.Reza melangkah ke halaman. Tanah di bawah kakinya lembek, seperti dipijak usai hujan, padahal tidak ada tanda hujan turun semalam. Sepatu ketsnya menancap dalam di tanah becek yang berbau tanah... dan darah.Ia mempercepat langkah, menuju jalan setapak yang biasanya terhubung ke desa.Namun jalan itu kini lebih panjang dari biasanya.Pohon-pohon di kanan kiri terlihat asing. Batangnya bengkok, daunnya lebih gelap, dan dari balik semak-semak terdengar suara retakan ranting tapi tak ada binatan

  • PETI KE-13   Gangguan

    Setelah beberapa menit dalam keheningan yang menggigit, Reza merangkak perlahan keluar dari dapur. Tangannya gemetar saat meraba-raba dinding untuk berdiri. Lentera yang tadi dibawanya terjatuh, kacanya pecah, menyebarkan minyak dan bara kecil yang segera padam.Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Tapi langkahnya terganggu saat melewati lorong sempit menuju tangga belakang lorong yang dulu selalu ditutup oleh sang kakek. Tapi sekarang pintunya terbuka. Sedikit.Di balik celah pintu itu, udara seperti berubah. Ruangan terasa lebih lembab. Bau tanah basah, logam berkarat, dan dupa terbakar menyeruak begitu kuat hingga membuat Reza hampir muntah.Namun sesuatu menariknya. Sebuah getaran aneh dari balik pintu itu. Seperti bisikan yang tidak keluar sebagai suara, tapi terasa langsung di dalam kepala."Kau belum melihat semuanya, Reza."Dengan langkah berat, ia menyentuh gagang pintu.Saat itu juga, suara gemeretak terdengar dari dalam seperti benda besar yang diseret di atas lantai ba

  • PETI KE-13   Giliranmu

    Pagi menjelang dengan langit kelabu, seakan malam masih enggan pergi dari rumah tua itu. Reza duduk diam di tepi ranjang, tubuhnya menggigil. Matanya merah, kantuk tak pernah datang sejak teror malam itu. Ia tidak berani memejamkan mata. Setiap kerlingan membuat bayangan perempuan bermata kosong kembali muncul.Udara dingin, meski jendela telah tertutup rapat. Tapi ia tahu, hawa dari bawah tanah belum pergi.Di meja kecil di sebelah ranjangnya, tergeletak sesuatu yang tak ia sadari sebelumnya, sebuah amplop tua bersegel merah, warnanya hampir pudar. Di bagian depan tertulis namanya dengan tulisan tangan yang familiar.Untuk Reza,Bila aku sudah tiada.Tangannya gemetar saat membuka amplop itu. Di dalamnya, selembar kertas tipis dengan tulisan tangan sang kakek:"Reza, cucuku...Bila kau membaca ini, berarti aku sudah gagal menjaga peti itu lebih lama.Aku tahu ini tidak adil. Tapi darah kita, garis kita… memang telah diikat pada peti ke-13 sejak dahulu.Jangan pernah membukanya, aku m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status