Setelah beberapa menit dalam keheningan yang menggigit, Reza merangkak perlahan keluar dari dapur. Tangannya gemetar saat meraba-raba dinding untuk berdiri. Lentera yang tadi dibawanya terjatuh, kacanya pecah, menyebarkan minyak dan bara kecil yang segera padam.Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Tapi langkahnya terganggu saat melewati lorong sempit menuju tangga belakang lorong yang dulu selalu ditutup oleh sang kakek. Tapi sekarang pintunya terbuka. Sedikit.Di balik celah pintu itu, udara seperti berubah. Ruangan terasa lebih lembab. Bau tanah basah, logam berkarat, dan dupa terbakar menyeruak begitu kuat hingga membuat Reza hampir muntah.Namun sesuatu menariknya. Sebuah getaran aneh dari balik pintu itu. Seperti bisikan yang tidak keluar sebagai suara, tapi terasa langsung di dalam kepala."Kau belum melihat semuanya, Reza."Dengan langkah berat, ia menyentuh gagang pintu.Saat itu juga, suara gemeretak terdengar dari dalam seperti benda besar yang diseret di atas lantai ba
Pagi menjelang dengan langit kelabu, seakan malam masih enggan pergi dari rumah tua itu. Reza duduk diam di tepi ranjang, tubuhnya menggigil. Matanya merah, kantuk tak pernah datang sejak teror malam itu. Ia tidak berani memejamkan mata. Setiap kerlingan membuat bayangan perempuan bermata kosong kembali muncul.Udara dingin, meski jendela telah tertutup rapat. Tapi ia tahu, hawa dari bawah tanah belum pergi.Di meja kecil di sebelah ranjangnya, tergeletak sesuatu yang tak ia sadari sebelumnya, sebuah amplop tua bersegel merah, warnanya hampir pudar. Di bagian depan tertulis namanya dengan tulisan tangan yang familiar.Untuk Reza,Bila aku sudah tiada.Tangannya gemetar saat membuka amplop itu. Di dalamnya, selembar kertas tipis dengan tulisan tangan sang kakek:"Reza, cucuku...Bila kau membaca ini, berarti aku sudah gagal menjaga peti itu lebih lama.Aku tahu ini tidak adil. Tapi darah kita, garis kita… memang telah diikat pada peti ke-13 sejak dahulu.Jangan pernah membukanya, aku m
Pagi datang tanpa suara. Hujan sudah berhenti, namun langit masih menggantung kelabu. Reza terbangun dengan tubuh lengket keringat. Matanya sembab, lehernya kaku, dan mimpi semalam… terlalu nyata untuk disebut mimpi.Ia duduk perlahan, menarik napas panjang. Suasana kamar sunyi, hanya terdengar suara ranting-ranting basah yang digerakkan angin di luar.Tiba-tiba, rasa panas itu kembali muncul.Reza menoleh ke dadanya. Luka merah melingkar itu… masih ada. Lebih jelas dari semalam. Kulitnya tampak seperti dibakar, tapi anehnya tidak terasa perih. Hanya hangat dan berdenyut pelan, seperti memiliki detaknya sendiri.Ia menyentuhnya pelan, mencoba mengingat apakah mungkin ia tertidur di atas benda panas. Tapi tak ada penjelasan masuk akal. Ini bukan luka biasa. Luka itu seperti simbol. Bukan luka yang terjadi secara kebetulan.Lalu ia melihat cermin.Dan jantungnya berhenti sejenak.Di lehernya, di bawah telinga kiri… ada tanda lain. Seperti jari-jari tangan. Lima garis samar membiru seper
Reza tidak bisa tidur setelah kejadian tadi malam. Meskipun Pak Margo berusaha menjelaskan semuanya dengan nada datar, perasaan aneh tak kunjung hilang. Pintu yang tertutup sendiri. Suara dari dalam ruang bawah tanah. Dan pernyataan Pak Margo… bahwa tidak semua yang berjalan adalah manusia.Pagi harinya, Reza mencoba bersikap biasa. Ia membantu membersihkan aula rumah duka yang penuh bunga layu dan aroma dupa sisa prosesi kemarin. Tapi pikirannya tak pernah lepas dari ruang bawah tanah.Saat Pak Margo pergi sebentar untuk membeli perlengkapan, Reza berdiri lama di depan pintu kayu besar yang tadi malam sempat terbuka sendiri.“Jangan buka peti itu, apa pun yang terjadi…”Kata-kata itu terngiang di kepalanya. Tapi rasa ingin tahu menenggelamkan rasa takut.Ia memutar kunci pintu yang tidak terkunci. Perlahan ia mendorong daun pintu. Bunyi engsel tua kembali menggerung rendah. Tangga kayu menurun tajam ke dalam kegelapan.Reza menyalakan senter ponselnya dan turun perlahan. Udara di baw
Hari itu mendung menggantung di atas Jakarta, ketika Reza menerima telepon yang mengubah seluruh hidupnya."Mas Reza, maaf mengganggu. Saya dari Kantor Notaris Bu Ratri. Ini mengenai warisan dari almarhum kakek Anda, Pak Harjo."Reza mengerutkan kening. Ia menghentikan aktivitasnya di bengkel motor kecil miliknya. "Warisan? Kakek saya? Maksudnya, Pak Harjo meninggal, Bu?""Benar, Mas. Beliau wafat tiga hari yang lalu di Tamanrasa. Kami sudah berusaha menghubungi keluarga lainnya, tapi sesuai surat wasiat, hanya Anda yang ditunjuk sebagai ahli waris utama. Kami mohon Mas Reza datang ke Tamanrasa secepatnya."Telepon terputus, menyisakan Reza dalam diam. Tamanrasa. Nama kota kecil itu asing dan aneh di telinganya. Ia bahkan sudah lama tak mendengar kabar apapun dari kakeknya. Ibunya, anak satu-satunya Pak Harjo telah meninggal sepuluh tahun lalu, dan sejak itu hubungan mereka terputus begitu saja.Reza memandangi langit yang mulai gelap. Di benaknya, tidak ada rasa kehilangan. Ia bahkan