Home / Horor / PETI KE-13 / warisan yang tak diinginkan

Share

PETI KE-13
PETI KE-13
Author: Suchwita

warisan yang tak diinginkan

Author: Suchwita
last update Last Updated: 2025-06-07 04:07:36

Hari itu mendung menggantung di atas Jakarta, ketika Reza menerima telepon yang mengubah seluruh hidupnya.

"Mas Reza, maaf mengganggu. Saya dari Kantor Notaris Bu Ratri. Ini mengenai warisan dari almarhum kakek Anda, Pak Harjo."

Reza mengerutkan kening. Ia menghentikan aktivitasnya di bengkel motor kecil miliknya. "Warisan? Kakek saya? Maksudnya, Pak Harjo meninggal, Bu?"

"Benar, Mas. Beliau wafat tiga hari yang lalu di Tamanrasa. Kami sudah berusaha menghubungi keluarga lainnya, tapi sesuai surat wasiat, hanya Anda yang ditunjuk sebagai ahli waris utama. Kami mohon Mas Reza datang ke Tamanrasa secepatnya."

Telepon terputus, menyisakan Reza dalam diam. Tamanrasa. Nama kota kecil itu asing dan aneh di telinganya. Ia bahkan sudah lama tak mendengar kabar apapun dari kakeknya. Ibunya, anak satu-satunya Pak Harjo telah meninggal sepuluh tahun lalu, dan sejak itu hubungan mereka terputus begitu saja.

Reza memandangi langit yang mulai gelap. Di benaknya, tidak ada rasa kehilangan. Ia bahkan tak punya banyak kenangan tentang Pak Harjo, selain ingatan samar masa kecil saat berkunjung ke rumah tua yang dingin dan senyap.

Namun, surat wasiat adalah hal yang serius. Dan saat notaris menyebut kata "warisan", ada perasaan campur aduk yang mulai tumbuh. Apalagi, bisnis bengkelnya sedang sekarat. Belakangan ini pelanggan sepi, dan ia mulai terlilit utang.

Tiga hari kemudian, Reza tiba di kota Tamanrasa. Kota kecil itu seolah terlepas dari perkembangan zaman sepi, sunyi, dan masih dikelilingi kabut pagi yang pekat. Ia dijemput oleh sopir notaris dan langsung diantar ke rumah duka milik almarhum kakeknya.

Rumah duka Sukma Abadi berdiri kokoh di pinggiran kota. Bangunannya besar, bergaya kolonial dengan cat putih yang mulai mengelupas. Halamannya luas tapi terasa hampa, seakan menampung lebih banyak kenangan daripada kehidupan.

"Kami mohon Mas Reza bisa tinggal di sini sementara. Menurut surat wasiat, Mas adalah pewaris tunggal rumah duka ini. Termasuk isinya dan tanggung jawabnya," kata Bu Ratri, notaris yang menemuinya di sana.

"Tanggung jawab? Maksudnya saya harus menjalankan rumah duka ini?"

Bu Ratri hanya tersenyum tipis, tatapannya aneh seperti menahan sesuatu. "Ada hal-hal yang bisa dibicarakan nanti. Untuk malam ini, silakan beristirahat dulu. Rumah ini mungkin butuh waktu untuk dikenali."

Reza menatap bangunan besar itu. Angin sore berhembus dingin, membawa aroma kapur barus samar yang entah kenapa membuat lehernya merinding. Ia tak tahu, bahwa langkah pertamanya di rumah itu adalah juga langkahnya menuju rahasia tergelap yang pernah ditinggalkan seseorang.

••••

Reza menapaki teras rumah duka dengan langkah ragu. Pintu kayu besar di depannya terbuka perlahan, dan suara decitnya membuat bulu kuduknya berdiri. Aroma kayu tua, kapur barus, dan dupa yang tak lagi menyala menyambut hidungnya.

"Mas Reza, saya Pak Margo. Dulu saya asisten pribadi almarhum kakek Anda. Sekarang saya ditugaskan menjaga tempat ini, sesuai wasiat beliau. Silakan masuk."

Pria itu terlihat sepuh, rambutnya memutih semua dan punggungnya sedikit bungkuk. Namun tatapannya tajam, dan suaranya masih lantang. Ia mempersilakan Reza masuk ke ruang tamu besar yang dindingnya dipenuhi foto-foto hitam putih orang-orang asing.

"Itu klien-klien lama rumah duka ini. Kakek Anda menyimpan semua dokumentasi, termasuk kapan mereka dimakamkan dan bagaimana prosesinya. Beliau sangat teliti dan penuh dedikasi," kata Pak Margo sambil menuangkan teh hangat.

Reza memandangi sekeliling. Dinding-dinding rumah itu dihiasi kayu ukiran Jawa. Di sudut ruangan, ada meja dengan lilin-lilin kecil yang dibiarkan padam. Di baliknya, terdapat pintu kayu berat yang tampak lebih tua dari semua bagian rumah.

"Itu apa?" tanya Reza sambil menunjuk pintu di sudut ruangan.

Pak Margo menoleh cepat dan wajahnya berubah sedikit tegang. "Itu ruang bawah tanah. Tempat penyimpanan peti dan peralatan rumah duka. Sebaiknya jangan masuk ke sana dulu."

"Kenapa?"

"Bukan waktunya, Mas."

Jawaban itu justru membuat rasa penasaran Reza tumbuh. Tapi ia memilih diam dan menyesap teh pelan. Malam mulai turun, dan rumah itu terasa semakin dingin meski tak ada angin.

Pak Margo mengantar Reza ke kamar lantai atas. Kamarnya luas, dengan jendela menghadap halaman belakang yang dipenuhi pohon beringin besar. Di dinding kamar tergantung jam tua antik yang berdetak pelan tapi menghantui.

"Jika Mas Reza butuh apa-apa, saya ada di kamar depan. Rumah ini tidak pernah benar-benar tidur, jadi kalau mendengar suara-suara jangan panik."

Ucapan itu sempat membuat Reza tertawa kecil, tapi hanya sebentar. Karena saat ia mematikan lampu dan mencoba memejamkan mata, suara langkah pelan terdengar dari bawah. Langkah satu-satu. Teratur. Berat.

Ia membuka mata dan menegakkan tubuh. Jantungnya berdetak lebih cepat. Tidak mungkin itu Pak Margo. Langkah itu terlalu lambat. Terlalu berat. Dan terasa... terlalu dekat.

•••

Reza terbangun di tengah malam. Jam antik di kamarnya berdentang pelan, tiga kali.

Ia belum sepenuhnya tidur saat itu. Ada kegelisahan yang membuatnya sulit memejamkan mata. Suara langkah yang tadi terdengar seperti nyata. Bahkan sekarang, ia bisa mendengar suara lain seperti kayu yang berderak, atau bisikan samar di lorong luar kamarnya.

Reza bangkit perlahan dan melangkah menuju pintu. Ia membukanya sedikit. Lorong sepi dan gelap. Lampu gantung hanya menerangi sebagian. Tapi sesuatu terasa tidak wajar.

Langkahnya pelan menyusuri lorong. Ketika ia hampir mencapai tangga, ia melihat sekelebat bayangan turun cepat ke lantai bawah.

Reza mematung. Jantungnya berdetak kencang. “Mungkin itu Pak Margo…” gumamnya, walau ragu.

Ia memberanikan diri menuruni tangga. Ruang tamu gelap. Lampu tak menyala. Namun, dari arah pintu ruang bawa tanah, terdengar suara. seperti kunci, diikuti suara pelan pintu tua yang dibuka.

Reza menelan ludah. Ia berjalan mendekat, lalu berhenti di depan pintu yang tadi dilarang untuk dibuka.

Pintunya... terbuka sedikit.

“Pak Margo?” Reza memanggil. Tidak ada jawaban.

Ia membuka pintu itu perlahan. Bunyi engsel berdecit panjang seperti menyambut tamu tak diundang. Di dalamnya, ada anak tangga menurun ke ruang bawah tanah yang gelap dan dingin.

Tepat ketika ia hendak melangkah, suara berat terdengar dari balik kegelapan.

“Kamu belum siap melihat mereka semua”

Reza terkejut. Ia memundurkan diri. Napasnya tercekat. Lalu pintu itu tertutup sendiri dengan keras.

“BRAK!”

Reza jatuh terduduk. Beberapa detik kemudian, suara langkah mendekat dari arah dapur. Muncullah Pak Margo sambil membawa senter.

“Ada apa, Mas Reza?” tanyanya, heran.

Reza menunjuk ke arah pintu ruang bawah tanah. “Tadi… saya dengar suara. Pintu itu terbuka sendiri. Dan ada… suara laki-laki.”

Pak Margo menatap pintu itu lama. Lalu ia berkata pelan, “Mereka memang mulai gelisah kalau tidak diberi penghormatan seperti biasa.”

“Siapa yang gelisah?”

Pak Margo memandang Reza lekat-lekat. “Mas Reza... di rumah ini, tidak semua yang berjalan adalah manusia. Dan tugas menjaga mereka sekarang adalah warisan Anda.”

Reza merasa seluruh tubuhnya dingin. Untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa rumah ini menyimpan lebih dari sekedar kematian. Ada kehidupan lain yang diam-diam menunggu, dan mungkin, mengamatinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PETI KE-13   9

    Malam menyelimuti rumah itu tanpa suara.Para pelayat sudah pulang. Hanya tinggal Reza dan jenazah Rendra yang kini terbujur di ruang tamu. Lampu gantung masih menyala redup, seperti menahan nyalanya agar tak ikut menyaksikan peristiwa yang hendak terjadi.Reza duduk di ujung ruangan. Tatapannya tertuju ke arah dua peti itu: peti jenazah dan peti ke-13.Sejak siang tadi, hawa di rumah berubah. Suhu ruangan turun drastis. Jam dinding tak lagi berdetak. Telepon rumah berdering pelan selama lima detik, padahal kabelnya sudah dicabut sejak minggu lalu.Dan kini… peti ke-13 terbuka sepenuhnya.Reza berdiri perlahan, melangkah mendekatinya. Dari celah peti tua itu, hembusan kabut tipis menyebar ke lantai, merayap seperti jari-jari dingin yang mencari jalan. Reza tahu apa yang sedang terjadi.Peti itu lapar.Seseorang atau sesuatu di dalamnya bersiap menempati tubuh baru.Jenazah Rendra.Reza menggenggam liontin kecil peninggalan kakeknya. Di dalamnya ada serpihan logam dari kunci asli peti.

  • PETI KE-13   Pecah

    Cermin besar di ruang loteng rumah itu kini mulai retak perlahan. Dari dunia nyata, ‘Reza palsu’ terduduk di ruang tamu dalam posisi kaku. Tangannya mencengkeram lengan sofa, keringat membasahi wajahnya, dan napasnya berat seperti orang tenggelam di air gelap. Tapi bagi dunia luar, ia hanya tampak seperti seorang yang sedang tertidur dan bermimpi buruk. Di dalam mimpi itulah Reza asli melawan. Suara tangisan dan bisikan semakin keras. Rumah impian Reza palsu, yang sebelumnya tampak tenang dan sempurna, mulai hancur dari dalam. Dinding dapur terkelupas, rak piring jatuh satu per satu, dan dari dalam lemari es yang terbuka perlahan, keluar kabut hitam menggumpal seperti jelaga hidup. Reza berdiri di lorong depan, menatap tubuh palsunya dari kejauhan. “Aku tahu siapa kamu,” katanya pelan. “Kau bukan hantu. Kau bukan iblis. Kau hanya sesuatu yang terlalu lama dikurung dan kini mencoba menjadi manusia.” Sosok itu bangkit. Wajahnya berubah perlahan. Mata Reza palsu mulai berkedut, raha

  • PETI KE-13   Bayangan

    Ruangan di balik cermin bukan hanya loteng kosong seperti yang awalnya Reza lihat. Setelah beberapa waktu menyusuri dinding yang seolah tak berujung, ia menyadari bahwa tempat ini telah berubah.Langkah kakinya kini mengantarkannya ke sebuah lorong panjang, gelap, dengan cahaya kehijauan samar memancar dari retakan dinding. Suara gemerisik mengiringi tiap langkahnya, seperti bisikan yang mengendap-endap di belakang.Di ujung lorong, ada ruangan besar, seperti aula batu tua.Dan di sana mereka berdiri. Enam sosok.Tak seluruhnya manusia. Beberapa tampak masih memiliki bentuk tubuh yang utuh, meski penuh luka, luka yang aneh seolah terbentuk bukan dari kekerasan, tapi dari waktu yang berhenti. Ada yang tanpa wajah. Ada yang berbalut kain. Ada yang hanya bayangan tipis.Semuanya menatap Reza. tanpa terlihat marah, tanpa terlihat terkejut, hanya menampilkan rasa lelah. Sosok yang pertama bicara adalah lelaki paruh baya dengan kepala botak separuh dan mata seperti bekas terbakar.“Kau...

  • PETI KE-13   Bukan aku

    Pagi sudah menjelang siang ketika Reza memutuskan untuk keluar dari rumah. Ia butuh udara segar. Ia butuh melihat manusia lain, mendengar suara kehidupan yang normal, apa pun selain suara-suara dari dalam kepalanya.Tapi saat membuka pintu depan, ia langsung tahu sesuatu telah berubah.Langit tampak aneh. Bukan kelam, bukan terang, tapi keabu-abuan yang mengambang. Awan menggumpal padat, namun tak bergerak. Udara di luar tak membawa suara burung, tak ada deru angin, hanya keheningan yang menekan.Reza melangkah ke halaman. Tanah di bawah kakinya lembek, seperti dipijak usai hujan, padahal tidak ada tanda hujan turun semalam. Sepatu ketsnya menancap dalam di tanah becek yang berbau tanah... dan darah.Ia mempercepat langkah, menuju jalan setapak yang biasanya terhubung ke desa.Namun jalan itu kini lebih panjang dari biasanya.Pohon-pohon di kanan kiri terlihat asing. Batangnya bengkok, daunnya lebih gelap, dan dari balik semak-semak terdengar suara retakan ranting tapi tak ada binatan

  • PETI KE-13   Gangguan

    Setelah beberapa menit dalam keheningan yang menggigit, Reza merangkak perlahan keluar dari dapur. Tangannya gemetar saat meraba-raba dinding untuk berdiri. Lentera yang tadi dibawanya terjatuh, kacanya pecah, menyebarkan minyak dan bara kecil yang segera padam.Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Tapi langkahnya terganggu saat melewati lorong sempit menuju tangga belakang lorong yang dulu selalu ditutup oleh sang kakek. Tapi sekarang pintunya terbuka. Sedikit.Di balik celah pintu itu, udara seperti berubah. Ruangan terasa lebih lembab. Bau tanah basah, logam berkarat, dan dupa terbakar menyeruak begitu kuat hingga membuat Reza hampir muntah.Namun sesuatu menariknya. Sebuah getaran aneh dari balik pintu itu. Seperti bisikan yang tidak keluar sebagai suara, tapi terasa langsung di dalam kepala."Kau belum melihat semuanya, Reza."Dengan langkah berat, ia menyentuh gagang pintu.Saat itu juga, suara gemeretak terdengar dari dalam seperti benda besar yang diseret di atas lantai ba

  • PETI KE-13   Giliranmu

    Pagi menjelang dengan langit kelabu, seakan malam masih enggan pergi dari rumah tua itu. Reza duduk diam di tepi ranjang, tubuhnya menggigil. Matanya merah, kantuk tak pernah datang sejak teror malam itu. Ia tidak berani memejamkan mata. Setiap kerlingan membuat bayangan perempuan bermata kosong kembali muncul.Udara dingin, meski jendela telah tertutup rapat. Tapi ia tahu, hawa dari bawah tanah belum pergi.Di meja kecil di sebelah ranjangnya, tergeletak sesuatu yang tak ia sadari sebelumnya, sebuah amplop tua bersegel merah, warnanya hampir pudar. Di bagian depan tertulis namanya dengan tulisan tangan yang familiar.Untuk Reza,Bila aku sudah tiada.Tangannya gemetar saat membuka amplop itu. Di dalamnya, selembar kertas tipis dengan tulisan tangan sang kakek:"Reza, cucuku...Bila kau membaca ini, berarti aku sudah gagal menjaga peti itu lebih lama.Aku tahu ini tidak adil. Tapi darah kita, garis kita… memang telah diikat pada peti ke-13 sejak dahulu.Jangan pernah membukanya, aku m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status