Flashback .... (POV author)
Sore hari, Rindi berlari kala pintu rumah diketuk. Saat pintu terbuka, matanya melebar senang dengan senyum merekah sempurna."Kamu sudah datang, Da," sambutnya lembut.Huda mengangguk, lalu segera menutup pintu dan merengkuh wanita yang biasa dipanggil ibu di depan orang lain. Wanita yang dia sukai sejak remaja, kala ayah angkatnya membawanya masuk dalam rumah mereka.Huda yang kala itu memiliki nafsu menggebu harus menahannya setiap hari."Sudah hentikan." Rindi mendorong tubuh kekar yang sempat menempel dan memberinya ciuman."Kenapa?" Huda keheranan. Tak biasanya wanita itu menolak."Pil KB-ku hilang. Aku curiga Naira yang menemukannya." Wanita itu mengutarakan kekhwatiarannya."Kok bisa? Apa sudah dicari?" Huda tampak terkejut."Sudah. Aku sudah ngubek dapur. Sampai semua yang berantakan kubereskan. Jorok banget istrimu ya, dapur manusia begitu bentuknya." Rindi tersenyum kecut. Kesal."Hem. Mau bagaimana lagi. Dia kan kerja. Makanya aku perlu kamu ada di rumah ini. Biar rumahnya selalu bersih. Ah, untung gak da orang kampung yang curiga." Huda merayu dengan tangan yang mulai nakal memegang tangan Rindi."Ish! Nakal!" Rindi menepis. "Kita harus hati-hati dari sekarang. Tapi juga harus siap, menjawabnya. Kamu juga jangan bersikap mencurigakan.""Iya, iya. Ayuk ke kamar.""Nanti dulu, ah. Bentar aku mau pastiin sama Naira dulu. Kamu diem ya," ucap Rindi sambil berjalan ke nakas mengambil ponsel menelpon Naira."Assalamualaikum, Nai. Ibu kehilangan sesuatu.""Jangan lama-lama, Bu. Aku dah pengen." Huda tiba-tiba datang tanpa tahu-tahu memeluk tubuh Rindi dari belakang. Dia pikir panggilannya belum tersambung ke Naira.________________Lagian mana mungkin ibu mertuanya tidur dengan suaminya."Ah, kamu sudah gila, Nai!" makinya pada diri sendiri.Ingatan Naira melayang pada percakapannya dengan Huda di awal-awal pernikahan dulu. Wanita itu tengah menikmati sore di balkon hotel. Senja memberi mereka kehangatan dan keindahan lebih selain dimabuk cinta."Mas, ibu kamu masih muda banget. Selisih berapa tahun, sih?" tanya Naira yang menggelamkan kepala di dada kekar Huda."Hem. Yah. Ibu nikah waktu muda, sayang. Jadi ceritanya dia tuh dapat bapak yang duda. Karena juragan kaya, ibu iya-iya aja." Huda mengusap kepala sang istri. Sesekali dicium pucuk kepala yang dekat dengan mulutnya itu.Tanpa Naira tahu, hari itu Huda tengah berpikir sessuatu yang lain.Huda menyembunyikan apa yang dirasa hatinya. Dia sudah lama mencintai istri bapak angkatnya yang dipanggil ibu. Entah, berapa kali ia tergelak saat wanita itu duduk memakai daster di dekatnya.Namun, mana berani Huda menyatakan cinta? Walau bagaimana perempuan muda itu adalah istri dari bapak angkat yang sudah membesarkannya. Memberinya tempat tinggal dan membiayai hidup termasuk pendidikannya di Jakarta.Pernah sekali waktu, dia khilaf. Menarik Rindi yang tengah ke luar dari kamar mandi menuju kamar. Sore itu hujan turun sangat lebat, bapak angkatnya sedang ke luar kota."Maafkan aku." Huda memperlihatkan gurat sesal, kala menatap Rindi yang sempat terpaku mendapatkan sentuhan dari anak angkatnya.Tapi siapa sangka, mereka yang terus tinggal satu atap, membuatnya menyinpan rasa yang sama ada Huda. Setelah mencapai usia 20 tahun. Pria itu tampak dewasa dan menggairahkan dibanding suaminya.Rindi memberanikan diri membalas cinta memabukkan Huda. Dan untuk kali pertama mereka melakukan dalam suasana hujan yang membawa hawa dingin."Mas." Panggilan Naira membuat Huda tersentak."Ya, Sayang.""Kok malah ngelamun.""Ah, nggak maaf. Mas hanya gak nyangka bisa nikah dengan perempuan secantikd an sebaik kamu." Huda berkilah. 'Ya, padahal aku sebejat ini,' batinnya. 'Aku menikahimu karena terbiasa merasakan tubuh ibu, Nai. Maaf jika ini karena pelampiasan nafsuku saja.'"Oh, pantes ya, ibu masih muda.""Huum. Oya, apa kamu masih mencintai Anggara?" Huda mengalihkan perhatian."Duh, kok bahas dia. Kan aku sekarang dah jadi milik Mas."Naira mendesah lega.Bayangan awal pernikahan yang manis mampu menjadi obat, kala ia merasa kesal pada sang suami.Naira terus berjalan. Ia harus membuang prasangka buruk pada suami yang dicintai. Jangan sampai yang menimpa Sinta turut menimpanya. Perceraian.Bersambung.Jangan lupa follow akun Otor, tap lope, koment dan share. Biar author lebih semangat lanjutin😘"Bagaimana kalau terbukti bayi dalam kandungan Sherly adalah anakmu?"Anggara tercenung, hanya sesaat. Kemudian menatap Naira lekat-lekat."Kalau itu memang anakku, aku akan bertanggung jawab penuh atas hidup anak itu. Tapi, tidak akan ada siapa pun yang bisa memaksaku untuk menikahi Sherly. Dan...."Anggara tidak melanjutkkan kalimatnya, dia berdiri dan duduk satu sofa dengan Naira. Keseriusannya membuat jantung Naira berdebar-debar cepat. Jari-jemari Naira digenggam erat Anggara."Dan, kalau memang itu anakku, aku berharap kebesaran hatimu untuk mau tetap menerimaku sebagai suamimu, dan meminta kebaikan hatimu untuk anak yang tidka berdosa itu."Anggara menahan napas, menunggu apa reaksi dan jawaban Naira. Ditengah perasaan khawatirnya, Naira justru mengulurkan tangan dan membelai lembut pipi Anggara."Aku memang memiliki keraguanku padamu sampai tadi sebelum masuk ke ruanganmu ini. Tapi, kemudian aku tahu, bahwa suamiku berkata benar."Kernyitan di kening Anggara melekuk-lekuk dala
Huda menunggu dengan gelisah kedatangan Sherly. Perasaannya tidak enak. Suara kemarahan Sherly ditelepon, membuat pikiran Huda menjadi kalut. Dia merasa kalau situasinya berantakan."Brengsek kamu, Huda!"Sebuah hentakan di meja, menyadarkan Huda dari lamunannya. Sherly sudah datang, dengan setumpuk kekesallannya, hingga melempar tasnya ke atas meja, sebelum kemudian duduk. Dirogohnya isi tas dengan kalap, lalu mengeluarkan sebungkus rokok. Namun, saat melihat rokok itu, dia kemudian teringat bagaimana Anggara membentaknya kasar. Akhirya, Sherly meremas bungkus rokok beserta isi-isinya.Huda yang melihat itu, semakin penasaran sekaligus was-was. Dia merasa kalau yang akan dihadapinya bukan hanya tentang kekesalan si Sherly juga, tapi tentang rencana penghancuran pernikahan Anggara dan Naira."Gimana? Gimana tadi di sana? Si kunyuk Anggara itu, tidak bisa berkutik, 'kan? Dia mau menuruti maumu, 'kan?" Huda memajukan tubuhnya, menggeser kursinya, agar lebih dekat dengan Sherly.Sherly y
Pintu ruang kerja Anggara ditutup Sherly dari luar dengan bantingan yang amat sangat keras. Itu membuat sekretaris Anggara tersentak dan menatap Sherly dengan melongo. Dalam hati ada si sekretaris, ada kekaguman dengan kekuatan Sherly membanting pintu daun jati yang cukup tebal itu.Sherly tak langsung melangkah. Dia tetap berdiri di depan pintu yang tertutup, dengan napas naik turun yang tidak teratur. Satu dua kali, dia menyisir rambutnya dari depan ke belakang dengan kasar, hingga membuat si sekreatris khawatir rambut itu akan jebol dari akar kepala.Setelah dia bisa menguasai diri, Sherly melangkah menjauhi ruang kerja, menuju lift. Ekspresi wajahnya menyiratkan sesuatu yang buruk. Dia tidak menyapa apalagi menoleh ke meja sekreatris, melainkan menghubungi Huda.Di depan lift, barulah telepon Sherly diterima Huda."Brengsek kamu Huda! Ternyata deskripsimu tentang perempuan itu, salah! Sekarang, aku yang terjebak. Kalau ngomong itu yang bener!" cerocos Sherly tanpa menekan tombol a
"Tidak, Nai." Cepat-cepat Anggara menanggapi. Khawatir istrinya akan salah tanggap."Aku tidak menyimpan foto-foto itu. Dia yang menunjukkan kepadaku tadi, sebagai bukti," lanjut Anggara."Foto apa?" Kali ini Naira menoleh ke Sherly. "Aku bisa lihat?""Gak perlu dilihat, Nai," cegah Anggara dengan suara lembut."Aku tetap mau melihatnya, Mas.""Aku tidak izinkan.""Kenapa?""Itu hanya akan membuatmu semakin berprasangka buruk terhadapku, sedangkan aku sendiri, tidak meyakini kalau foto itu mewakili apa yang sudah kuperbuat kepadanya," jelas Anggara."Kalau begitu, biarkan aku melihatnya dan menilainya sendiri."Anggara menatap ke dalam mata Naira yang memiliki keteguhan. "Aku tidak mau kamu terluka lebih banyak lagi, Nai.""Aku sudah terluka, Mas. Banyak atau sedikit, aku tetap terluka."Naira kembali menatap serius Sherly. Tangannya terulur dan meminta bukti foto itu."Biar aku melihat foto itu juga."Sherly tersenyum senang. Dengan gerakan gemulai, Sherly menyerahkan ponselnya."Ak
Naira melotot tak terima. Bagaimana bisa ada perempuan tak tahu malu seperti itu. Tanpa ragu, wanita bergerak maju mendekati Sherly dan menjambak rambutnya hingga kepalanya tertarik ke belakang. "Au! Jalang! Lepaskan! Aku bisa melaporkanmu ke polisi!" ancam Sherly sambil berteriak kesakitan."Kamu pikir aku takut, hah?!" Naira melotot di depan wajah Sherly. Dulu mungkin dia tak bisa melawan fisik Rindi yang merebut Huda, tapi tidak sekarang. Anggara di sini untuknya, dia bukan tukang selingkuh seperti suami pertamanya.Anggara panik, ia tak mau kejadian ini heboh dan menarik perhatian yang lain. Rasanya kesabaran Anggara sudah sampai di batasnya. Ia tak mau diam saja. Naira bisa merasakan bagaimana tangan suaminya yang merangkul pinggangnya terasa mengetat, yang artinya Anggara sedang berada pada kemarahannya yang masih ditahan.Naira tentunya tidak ingin martabat suaminya buruk di mata banyak karyawannya. Itu tidak baik karena juga bisa mempengaruhi nama baik perusahaan. Naira harus
Di luar ruang kerja Anggara, Naira dan seorang sekretaris, duduk gelisah di tempatnya masing-masing. Si sekretaris, beberapa kali mencuri pandang ke arah Naira dan juga ke pintu ruang kerja bosnya. Ingin sekali dirinya mendekati Naira, lalu mencoba menenangkan.Namun, ia sadar kalau itu pasti tidak akan bisa mengubah perasaan kalut seorang istri yang mengetahui suaminya berdua-duaan dengan wanita lain.Naira sendiri, sebenarnya tidak keberatan dengan kesendiriannya di sofa. Itu membuatnya leluasa berpikir antara tetap di kantor atau pulang, dan antara masuk menerobos ke ruang kerja Anggara atau sabar menunggu sampai tamu wanita bernama Sherly itu keluar.Sebenarnya Naira sangat ingin masuk, dan melabrak wanita itu serta Anggara bersamaan. Rasa kesal, marah, akibat merasa pernikahan ini tidak adil, adalah yang membuat Naira ingin meluapkan pada keduanya sekaligus. Seandai kata Anggara jujur sejak awal, sebelum menikah, atau Sherly datang menemuinya sebelum menikah, pastinya hidup Naira