Share

2. SEBASTIAN

Author: AYAS
last update Last Updated: 2025-11-06 21:16:14

Rana Ferreira adalah namanya, wanita yang kini berdiri kikuk di sebelah Arabella. Tatapannya memantul ke mana-mana, selain menatapku. Ia menghindari menatapku.

Kecanggungan terlihat jelas dari bahasa tubuhnya yang awkward dan kaku. Seakan-akan ia ingin melarikan diri secepat mungkin dari hadapanku.

Betapa lucu.

Padahal semalam ialah yang menghampiriku. Dirinya dan kegilaannya bergelayut di leherku, menarik atensiku, dan memaksaku untuk menciumnya.

Dia adalah iblis penggoda yang membuatku hampir lepas kendali dan melakukan hal gila yang aku yakini, pasti akan kusesali.

"Kopi," tawarku pada Ara dan Rana. Kendati ingatan tentang kejadian semalam mengisi kepalaku, membuat darahku berdesir panas, aku menyikapi kehadiran adikku dan Rana dengan tenang—kasual seperti biasa.

"Tidak, terima kasih." Ara menjawabku dengan cengiran manis dan lugunya.

Nampaknya, Ara masih gembira atas perayaan ulang tahunnya kemarin yang berjalan spektakuler, ia tidak mencium kejanggalan dari kebisuan sahabatnya sama sekali.

Ara menggandeng Rana menuju meja makan dan meminta pelayan untuk menyiapkan sandwich untuk Rana.

Rana menolak tawarannya sejenak, tapi berakhir dikalahkan oleh sikap persisten Ara.

Well, tidak ada yang bisa mengalahkan keras kepala Ara.

Aku hendak berlalu meninggalkan area dapur itu dengan cangkir kopiku ketika Ara tiba-tiba memanggilku. "Sebastian, apa kau bisa mengantar Rana pulang nanti?" tanyanya. "Apartemen Rana searah dengan kantormu."

Rana terperanjat atas pertanyaan Ara, ia melupakan keseganannya padaku dan langsung menatapku tepat di mata. Ia mengibaskan tangannya, mengisyaratkan tidak usah.

"Aku bisa pulang sendiri," kata Rana, ia langsung menahan lengan Ara. Menahan Ara untuk mengatakan apa pun padaku.

Lagi-lagi, betapa lucu.

Aku mengendikkan bahu. "Aku akan turun dua puluh menit lagi."

***

Rana Ferreira adalah sahabat Arabella, sahabat dekat adikku ketika mereka berkenalan di Columbia University tiga tahun lalu.

Tepatnya, tiga tahun lalu, Rana menyelamatkan Ara dari Freddy—mantan kekasih Ara yang gila dan terobsesi ingin kembali dengan Ara setelah ketahuan selingkuh lima kali.

Rana menginterupsi Freddy yang menyeret Ara entah kemana, dan pertikaian terjadi. Semprotan merica Rana mendarat di mata Freddy, terjadi jambakan, teriakan, pukulan dan kemudian, mereka berujung di kantor polisi.

Setelah aku mendengar apa yang terjadi pada Ara, aku memberikan pria gila itu pelajaran yang tidak akan ia lupakan sampai mati, dan saat itu juga, Ara mendapatkan teman baru.

Rana Ferreira.

Sejak kejadian tiga tahun lalu, aku kerap menjumpai Rana mengorbit di sekitar Ara. Dia dan satu teman perempuan mereka yang bernama Dahlia.

Rana sering menginap di rumah kami, buah dari paksaan Ara, dan aku sudah menyelidiki latar belakangnya demi memastikan kalau Ara tidak akan terlibat dengan orang berbahaya lagi.

Hasil penyelidikanku mengenai Rana terbilang normal dan biasa. Rana hanya seorang wanita berdarah Portugis-India yang orangtuanya kini tinggal di Miami. Ayahnya adalah seorang biologist, dan ibunya mengelola restoran sederhana khas India bersama neneknya.

Rana pindah ke Newyork bersama sepupunya lima tahun lalu, untuk menempuh pendidikan di Columbia University.

Dia adalah jenis wanita yang menggunakan akal sehatnya dengan sangat baik, ia berujung tidak pernah melakukan kesalahan dan menjalani kehidupan yang stagnan dan membosankan.

Biasanya, ia menggunakan akal sehatnya dengan amat baik, sampai tadi malam.

Aku memasuki kamar dan menemukan seonggok kain tipis yang tergeletak di atas meja lampu. Kain yang diserahkan Rana padaku dengan cengiran lebar dan telernya.

"Aku tidak punya cincin untuk melamarmu, tapi kau boleh memiliki CD-ku." Adalah ucapan tidak masuk akalnya saat melamarku di depan kamar mandi pria. Aku bisa mencium aroma alkohol menguar tajam dari napasnya.

Aku melihatnya melepaskan celana dalamnya dan menyerahkan kain tipis itu kepadaku, menjejalkannya ke dalam telapak tanganku agar aku tidak menerimanya.

Aku tidak tahu apa yang Rana pikirkan, tapi ia terus menyudutkanku, memaksaku untuk menikahinya entah karena apa. Mungkinkah dia begitu putus asa dan menginginkan pernikahan? Berapa liter alkohol yang sudah dia minum?

"Kau sangat tampan. Tipe idealku sekali. Jika aku harus menikah..., Rana Ferreira harus menikah..., maka, aku mau suamiku tampan sepertimu. In fact, bagaimana kalau kau yang menikahiku? Nenekku akan menyukaimu karena kau tampan. Tapi uhh... kau bukan orang India. Aku harus mencari pria India..."

Rana mengerjapkan mata, seakan melupakan diriku yang kebingungan akan tindakannya, ia berbalik hendak meninggalkanku. Kemudian, saat seorang pria yang hendak menuju kamar mandi melewatinya, ia menangkap pergelangan tangan pria itu dan tersenyum riang.

"Ini dia calon suamiku!" ucapnya dengan suara sangat antusias.

Ketika ia hendak berjinjit mencium pria itu, tubuhku duluan bergerak menarik pinggangnya. Menahannya dari menyerang pria yang baru ia temui sebagaimana ia menyerangku tadi.

"Aku pikir kau sudah melamarku," kataku saat menyeretnya menjauhi pria yang memandang kami dengan heran.

Rana meronta-ronta, seperti tidak rela berpisah dari 'calon suaminya'.

"Kau memberikanku celana dalammu, ingat?"

"Ah..., ya..., apa kau akan menciumku, suamiku. Bagaimana kalau kita bercinta di sini, Lia bilang aku butuh melepas stresku. Dan kau, Pangeranku, adalah obat stres yang sempurna."

Aku tidak tahu kemana kakiku melangkah membawa Rana. Yang kupikirkan saat itu adalah menjauh, menjauh, dan menjauh.

Aku harus membawa Rana menjauh sebelum ia memaksa seluruh pria yang ia temui untuk menikah dengannya. Sebelum ia mencium semua pria di aula pesta seperti ia menciumku ketika ia menjumpaiku.

Aku mendorongnya di tembok yang dingin setelah suara pesta tak lagi menjangkau telingaku.

"Rana, apa kau kenal aku? Aku Sebastian."

"Hai, Sebastian. Aku Rana." Dia tersenyum lagi padaku. Tangannya dengan mudah bertengger di bahuku, membuatku mengepalkan kedua tanganku.

"Kiss me, Sebastian." Rana berbisik di depanku, jari membelai rahangku.

Otakku memintaku untuk berhenti, tapi panas yang merayap di kulitku, buah dari sentuhan jari-jari Rana yang bermain di tengkukku, membuatku tak bisa berpikir jernih. Aku tidak mau berpikir jernih. Tidak ketika godaan itu begitu manis, dan aku ingin rasa manis itu di lidahku.

"Kau yang meminta ini," bisikku padanya, dan ia tersenyum lebar ketika bibir kami bersua.

Aku mencium Rana. Melahapnya dengan dahaga. Lidahku tenggelam di mulutnya, menari dalam genangan saliva. Jariku memainkan titik sensitif di tubuhnya seperti instrumen yang menciptakan lenguhan indah lolos dari bibirnya. Lalu, ketika ia mencapai klimaks dari permainanku, ketika ia menjadi gadis baik yang mematuhi ucapanku, ia terlelap di dadaku.

Saat itu, aku menyadari kesalahan dari tindakanku. Aku seharusnya tidak melibatkan diriku dengan wanita itu. Dia adalah sahabat adikku, dan aku seharusnya tidak menciptakan situasi yang akan merusak hubungan mereka. Tindakan kami semalam sudah di luar batas normal.

***

Aku harus segera memperbaiki situasi kami sebelum ada kesalahpahaman lebih panjang mengikuti.

Aku harus menanamkan padanya kalau semuanya adalah kesalahan.

"Semuanya adalah kesalahan," Rana berucap mendahuluiku saat kami duduk di dalam mobil yang sama. Aku hendak pergi bekerja, dan Rana hendak menumpang pulang dengan mobilku.

Andre—supirku—bahkan belum menyetir keluar pekarangan rumah kami ketika Rana mengucapkan kata-kata itu padaku.

Suaranya menyiratkan penyesalan mendalam, dan frustasi, dan kecanggungan.

"Apa yang terjadi tadi malam adalah kesalahanku," ucapnya lagi, lalu takut-takut menatapku.

Aku bisa membaca kalau ia juga menyalahkanku, tapi ia tidak berani untuk menyuarakan tudingannya.

"Aku terlalu banyak minum, aku tidak berpikir sama sekali. Aku gila. Otakku seperti tidak berfungsi sama sekali. Aku bersumpah, kalau aku tidak minum, aku tidak akan—"

"Kesimpulannya, Miss. Ferreira?" Aku tidak mau mendengar betapa ia menyesali situasi kami semalam.

Meskipun itu kesalahan, aku melakukan kesalahan yang mampu membuatnya berjinjit kenikmatan. Ia tidak perlu membuat tindakanku seperti hal paling menjijikkan di dunia ketika ia mencapai klimaks dan membanjiriku dengan cairan gairahnya.

"Kesimpulannya adalah..., umm, aku harap kita bisa move on dari situasi ini dan kembali seperti biasa. Seperti tidak ada yang terjadi di antara kita."

"Aku tidak mengingat sesuatu sudah terjadi di antara kita," sahutku, memvalidasi permintaannya.

"Good. Tidak ada yang terjadi." Ia bernapas lega, dan kelegaannya membuatku sedikit tercubit.

Kembali lagi, meski situasi kami adalah kesalahan, ia tidak perlu bersikap seakan kejadian semalam adalah kejadian terburuk di hidupnya. Aku sudah memberikannya kenikmatan semalam, ia seharusnya berterima kasih sebelum meracau tentang betapa banyak ia menyesali kejadian itu.

Sh!t!

'Jangan buang waktumu memikirkan hal tidak penting, Sebastian.' Otakku menyugesti. 'Apa yang terjadi tadi malam adalah kesalahan, dan aku akan melupakan kejadian itu. Aku tidak perlu memikirkannya. Tidak ada yang terjadi.'

Rana Ferreira bukan siapa-siapa, dan aku tidak perlu memikirkannya, aku tidak perlu memikirkan betapa indah parasnya ketika ia mencapai puncak kenikmatannya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PLEASE, MR. WINTER   5. RANA

    Mengikuti perintah nenekku yang menginginkan aku menghadiri kencan buta Sabtu malam itu, aku terpaksa menutup The Garnets lebih awal. Aku sudah memberitahu Tasa mengenai izinku, tapi ia tidak merespon.Tidak adanya respon dari Tasa berarti dia tidak peduli, yang juga berarti, aku bebas pergi.Tasa pernah mengatakan padaku, kalau aku ingin pulang lebih awal, atau jika aku punya kesibukan macam apa pun, aku bebas menutup tokonya. Dia bahkan pernah memintaku menutup toko di hari valentine karena dia tidak mau aku kewalahan mengurus bunga-bunganya.Benar-benar bos yang aneh, tapi aku menyukainya. Aku menyukai upah dan fleksibilitas yang ia berikan padaku."Setidaknya, nenekmu mempunyai selera," merupakan pendapat Dahlia saat aku melakukan facetime dengannya dan Ara. Dahlia mengomentari foto Rayan Bhatt yang tertera di IG pria itu.Aku sedang mempersiapkan diri untuk kencanku, memakai make-up dan semacamnya. Aku bahkan meminjam dress Ara, karena aku tidak mau terlihat jelek di depan kencan

  • PLEASE, MR. WINTER   4. SEBASTIAN

    Tubuh wanita itu menegang ketika aku menegurnya. Di tengah malam, mengenakan piama satin merah yang kontras di kulit putihnya, aku melihatnya melenggang dari arah kamar Ara. Ia hendak menuju dapur ketika aku membuyarkan apa pun itu yang sedang ia pikirkan sampai ia tidak menyadari kehadiranku.Dia hanya berjalan melewatiku, seakan-akan aku hanyalah pajangan batu yang tidak menarik perhatiannya. "Sebastian," gumamnya dengan keterkejutan, ia menoleh ke arahku dengan mata membola. "Kau pulang?" "Kelihatannya?" sahutku.Aku melenggang santai menghampirinya, menikmati setiap gerak-gerik kecanggungan yang tercipta di tubuhnya. Bagaimana sepasang matanya berbinar waspada, jari-jarinya saling bertaut di bawah dada, dan bagaimana ia mundur seinci demi seinci dariku. "Se-selamat datang kalau begitu, selamat malam, maksudku. Aku dan Dahlia menginap malam ini. Permintaan Ara..." "Hmm." Aku menunggu lanjutan ucapan Rana dengan alis terangkat sebelah. Di bawah tatapanku, ia meneguk ludah kak

  • PLEASE, MR. WINTER   3. RANA

    Entah sudah berapa kali ketenanganku retak hari ini. Ketika aku berpikir aku telah menemukan ketenanganku—telah move on dari kejadian malam itu, memori dari momen panas itu datang menghampiriku. Membuat ketenanganku tergoyahkan dan aku memekik histeris sendirian.Lupakan, Rana, lupakan. Itu hanya permainan biasa. Aku pernah melakukan hal yang lebih dari itu dengan mantanku dulu. Dulu, beberapa tahun lalu.Tapi kejadian ini baru, masih sangat segar di kepalaku. Aku tidak bisa lupa. Bagaimana bisa aku melupakannya? Seumur hidupku, aku tidak pernah melakukan hal segila itu. Maksudku, aku tidak pernah menghampiri sembarang pria dan memintanya menjamahku hingga aku klimaks di tangannya.Aku selalu percaya di antara aku, Ara, dan Dahlia, akulah yang lebih dewasa secara pemikiran, lebih logis dan dapat diandalkan. Aku tidak pernah, maksudku jarang, melakukan kesalahan. Ketika aku melakukan kesalahan pun, kesalahanku itu terbilang kecil dan sepele.Sekali lagi, aku tidak—aku bukan tipe

  • PLEASE, MR. WINTER   2. SEBASTIAN

    Rana Ferreira adalah namanya, wanita yang kini berdiri kikuk di sebelah Arabella. Tatapannya memantul ke mana-mana, selain menatapku. Ia menghindari menatapku.Kecanggungan terlihat jelas dari bahasa tubuhnya yang awkward dan kaku. Seakan-akan ia ingin melarikan diri secepat mungkin dari hadapanku. Betapa lucu. Padahal semalam ialah yang menghampiriku. Dirinya dan kegilaannya bergelayut di leherku, menarik atensiku, dan memaksaku untuk menciumnya.Dia adalah iblis penggoda yang membuatku hampir lepas kendali dan melakukan hal gila yang aku yakini, pasti akan kusesali. "Kopi," tawarku pada Ara dan Rana. Kendati ingatan tentang kejadian semalam mengisi kepalaku, membuat darahku berdesir panas, aku menyikapi kehadiran adikku dan Rana dengan tenang—kasual seperti biasa. "Tidak, terima kasih." Ara menjawabku dengan cengiran manis dan lugunya.Nampaknya, Ara masih gembira atas perayaan ulang tahunnya kemarin yang berjalan spektakuler, ia tidak mencium kejanggalan dari kebisuan sahabatny

  • PLEASE, MR. WINTER   1. RANA

    Pada malam itu, beberapa gelas anggur merah telah mengalir melewati kerongkonganku. Kenikmatannya menyengat lidahku—terasa lembut dan kaya, seperti kemewahan yang tidak pernah kucecap sebelumnya.Pada hari-hari biasa, aku tidak akan pernah menenggak anggur merah dan berbagai minuman beralkohol lainnya. Namun, malam ini berbeda. Malam ini, sahabat dekatku yang bernama Arabella Winter merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga. Sebagai teman dekat yang bergembira, aku membebaskan diriku untuk mencicipi anggur merah itu di pesta Arabella. Mencicipi atau tepatnya menumpahkan cairan manis itu di mulutku.Saat itu, aku pikir tidak ada salahnya. Toh, kapan lagi aku bisa menikmati minuman itu secara gratis?Aku hanya akan menikmati beberapa teguk anggur, mengobrol santai bersama teman-temanku yang sebenarnya hanya terdiri dari Arabella dan Dahlia, berdansa di bawah lampu kristal yang menggantung indah di tengah ballroom hotel tempat pesta ulangtahun Arabella diselenggarakan, dan aku mun

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status