Share

3. RANA

Author: AYAS
last update Last Updated: 2025-11-06 21:19:06

Entah sudah berapa kali ketenanganku retak hari ini.

Ketika aku berpikir aku telah menemukan ketenanganku—telah move on dari kejadian malam itu, memori dari momen panas itu datang menghampiriku. Membuat ketenanganku tergoyahkan dan aku memekik histeris sendirian.

Lupakan, Rana, lupakan. Itu hanya permainan biasa. Aku pernah melakukan hal yang lebih dari itu dengan mantanku dulu. Dulu, beberapa tahun lalu.

Tapi kejadian ini baru, masih sangat segar di kepalaku.

Aku tidak bisa lupa.

Bagaimana bisa aku melupakannya?

Seumur hidupku, aku tidak pernah melakukan hal segila itu. Maksudku, aku tidak pernah menghampiri sembarang pria dan memintanya menjamahku hingga aku klimaks di tangannya.

Aku selalu percaya di antara aku, Ara, dan Dahlia, akulah yang lebih dewasa secara pemikiran, lebih logis dan dapat diandalkan. Aku tidak pernah, maksudku jarang, melakukan kesalahan. Ketika aku melakukan kesalahan pun, kesalahanku itu terbilang kecil dan sepele.

Sekali lagi, aku tidak—aku bukan tipe wanita yang akan membuat kesalahan dengan orgasme di tangan kakak laki-laki temanku!

Aku tidak—ugh!

"Selamat datang," sapaku kepada seorang pria yang memasuki toko. Pria yang kemudian memesan sebuket bunga untuk kekasih hatinya yang akan berulang tahun ke-32.

Sebagai penjaga dan satu-satunya karyawan di The Garnets, aku melayani permintaannya dan mempersiapkan pesanannya.

Untuk sesaat, berkat kehadiran pelanggan itu, aku melupakan Sebastian. Aku fokus kepada rangkaian bunga di hadapanku, sibuk menciptakan sebuket bunga yang menyesuaikan request tamuku.

"Sampaikan salamku pada Tasa," kata pria itu, setelah aku selesai merangkaikan bunga untuknya. Aksen yang kental dari bibirnya membuatku sedikit bertanya-tanya tentang asal-muasal pria itu.

Bicara soal Tasa, Tasa adalah atasanku—pemilik dari The Garnets, toko bunga tempatku bekerja selama aku menunggu panggilan dari lamaran pekerjaanku yang tak kunjung datang.

Aku bekerja di The Garnets sejak tujuh bulan lalu, dan sejak saat itu, aku sudah menangani segala pelayanan, perawatan dan operasional toko itu seakan-akan The Garnets adalah milikku.

Tasa bilang, selama aku tidak melakukan hal ilegal di sana, aku boleh melakukan apa saja pada toko bunganya. Aku awalnya tidak menyukai bagaimana Tasa apatis pada toko bunganya sendiri, tapi setelah memperoleh upah yang tinggi darinya, buah dari berhasil membuat toko bunganya populer, aku tidak lagi melayangkan komplain.

Ting!

Setelah pelanggan pria tadi pergi, aku melihat ponselku yang berdenting dan menampilkan pesan dari orang yang paling kuhindari belakangan ini.

Nenekku.

[Namanya Rayan Bhatt, 27 tahun. Ayahnya adalah anak dari teman dekatku. Dia berada di Amerika dan bekerja di Microtech. Aku sudah mengatur kencanmu dengannya. Jangan lupa untuk datang.]

Sebuah foto pria tersampir di pesan itu. Foto pria India yang kupercaya, akan menjadi teman kencanku minggu depan.

Sungguhan! Aku bisa gila!

Nenekku akan menjadi alasan kenapa aku menggila.

Aku mengetik balasan dan mengirimnya tak berselang lama kemudian.

[Baiklah.]

Baiklah adalah dusta. Aku tidak baik-baik saja dengan perjodohan yang nenekku sodorkan padaku. Aku tidak mau menikah, setidaknya belum. Aku masih 24 tahun. Aku belum bekerja sungguhan, seperti yang aku dambakan. Aku belum menemukan hal yang ingin kulakukan.

Aku pikir ketika aku menamatkan pendidikanku, aku akan menjalani kehidupan wanita karir yang seksi dan menawan. Wanita dominan yang mandiri, memakai pakaian dan sepatu branded, dan bepergian keluar negeri. Aku pikir aku akan menjadi sesuatu.

Namun tidak.

Aku masih tidak menemukan passion-ku. Aku menyukai menulis saat remaja, tapi kenikmatan itu sudah surut dari jiwaku entah sejak kapan. Aku pikir aku akan menjadi editor di perusahaan penerbitan, tapi sampai sekarang aku masih belum mendapat panggilan.

Aku terombang-ambing dalam kebingungan, dan nenekku malah memaksaku untuk menemukan belahan jiwaku secepatnya.

***

"Mungkin nenekmu akan berhenti menjodohkanmu kalau kau berpacaran," Arabella mengusungkan ide itu padaku—untuk kesekian kalinya sejak aku menjalani kencan buta pertama yang nenekku atur ketika aku masih berusia 22 tahun.

Sekarang aku sudah berusia 24 tahun, satu tahun lagi sebelum 25, yang berarti setahun lagi sebelum nenekku memaksakanku ke dalam perjodohan resmi yang tidak bisa kutolak sama sekali.

"Itu dia masalahnya, Ara. Rana tidak mau berpacaran. Padahal menurutku idemu sangat bagus." Dahlia menimpali ucapan Ara sebelum aku menyuarakan keberatanku.

"Bukannya aku tidak mau berpacaran, aku hanya tidak..., aku tidak tertarik."

Aku tidak menyukai drama yang datang dari berpacaran, tepatnya. Aku tidak suka berkirim pesan, teleponan tengah malam, aku tidak suka kebodohan, dan cinta membuat orang bodoh dan gila.

Terakhir kali aku berpacaran, aku hampir memotong kemaluan mantanku karena dia sudah berani berselingkuh di apartemenku. Aku takjub pada diriku sendiri yang hampir menjadi pembunuh karena seorang pria, itu membuatku enggan terlibat dalam dunia romansa.

Dunia percintaan hanya manis di novel, tidak di dunia nyata.

Dahlia mengoles masker stick di wajahnya, "Kau tidak perlu serius berpacaran berpacaran, Ranaa. Kau hanya perlu, kau tahu..., menjalin sebuah hubungan yang akan menjauhkan nenekmu darimu. Kau tidak perlu serius. Kau tidak perlu memikirkan prospek pernikahan saat berkencan. Hanya jalani, berkencan, dan bercinta gila-gilaan."

"Ugh." Nasihat Dahlia yang awalnya terkesan bijaksana berakhir jorok, dan itu membuatku mendengus.

Saat itu kami sedang menginap di rumah Ara. Ara mengajak kami tidur di rumahnya karena malam itu seluruh anggota keluarganya bepergian—meninggalkannya sendirian di mansion mewah milik keluarga Winter.

Well, tidak benar-benar sendirian. Dua bodyguard dan seorang pelayan tinggal bersamanya. Tapi Ara tidak memandang mereka sebagai teman. Ara tidak memandang mereka sebagai pelipur lara yang mampu mengisi kesepiannya.

"Pikirkan ini baik-baik, Rana. Kau tidak mau tiba-tiba pulang ke Miami sebagai pengantin, kan?"

"Tidak," gelengku.

Aku berharap aku memiliki cukup keberanian untuk membantah permintaan nenekku, tapi selama ini, aku sudah hidup di bawah naungannya ketika ayah dan ibuku sibuk bekerja.

Aku sudah tumbuh di dalam rumah dengan aturan kalau perintah Farida Tiwari adalah mutlak. Melepaskan diri dari peraturan itu tidak semudah mengganti baju.

"Sudah saatnya kau kembali berkencan, Rana. Nenekmu tidak akan memaksamu menikah dengan pria pilihannya kalau dia tahu kau sudah memiliki kekasih, bukan?"

"Tidak," sahutku. "Nani membebaskanku untuk memilih pasanganku sendiri sampai usiaku 25 tahun. Aku rasa dia tidak berani langsung menjodohkanku dengan pria pilihannya, mengingat ibuku pernah melarikan diri ke Portugal karena perjodohan paksa itu."

"Lalu ibumu bertemu ayahmu. Waaah, sangat romantis." Ara menimpaliku sambil bertopang dagu, matanya dipenuhi oleh imaji-imaji romansa merah muda.

"Lalu mereka bercinta dan membuat Rana," sahut Dahlia, dan wajahnya langsung dilempari bantal olehku dan Ara.

"Kau harus berhenti berpikiran jorok, Dahlia."

"Sheeesh. Aku hanya menyampaikan kebenaran." Dahlia berdiri meninggalkan ranjang, "Aku akan mencuci maskerku. Rana, bisa tolong ambilkan ice cream-ku di bawah. Aku menitipnya tadi pada Ennie. Kemungkinan ada di kulkas."

"Sekarang jam setengah dua belas malam, Lia." Sekarang bukan waktunya memakan ice cream.

"Aku tahu, tapi aku belum mengantuk. Come on, take it."

Meskipun aku merasa makan ice cream tengah malam bukanlah sebuah kewajaran, tapi Dahlia memang bukan seseorang yang bisa di deskripsikan sebagai manusia yang wajar dan normal.

Aku pergi mengambil ice cream Dahlia setelah menolak tawaran Ara yang ingin menemaniku kalau-kalau aku takut keluar sendirian.

Jeez.

Apa yang perlu kutakuti di rumahnya? Hantu? Aku takut hantu? Wheeew, mustahil sekali.

Aku lebih takut pada pesan nenekku daripada makhluk halus tak kasat mata tersebut. Aku lebih takut pada dunia nyata daripada—

"Apa yang kau lakukan berkeliaran tengah malam di sini?"

Aku lebih takut pada suara itu menyapaku di tengah kegelapan malam.

Suara Sebastian.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PLEASE, MR. WINTER   5. RANA

    Mengikuti perintah nenekku yang menginginkan aku menghadiri kencan buta Sabtu malam itu, aku terpaksa menutup The Garnets lebih awal. Aku sudah memberitahu Tasa mengenai izinku, tapi ia tidak merespon.Tidak adanya respon dari Tasa berarti dia tidak peduli, yang juga berarti, aku bebas pergi.Tasa pernah mengatakan padaku, kalau aku ingin pulang lebih awal, atau jika aku punya kesibukan macam apa pun, aku bebas menutup tokonya. Dia bahkan pernah memintaku menutup toko di hari valentine karena dia tidak mau aku kewalahan mengurus bunga-bunganya.Benar-benar bos yang aneh, tapi aku menyukainya. Aku menyukai upah dan fleksibilitas yang ia berikan padaku."Setidaknya, nenekmu mempunyai selera," merupakan pendapat Dahlia saat aku melakukan facetime dengannya dan Ara. Dahlia mengomentari foto Rayan Bhatt yang tertera di IG pria itu.Aku sedang mempersiapkan diri untuk kencanku, memakai make-up dan semacamnya. Aku bahkan meminjam dress Ara, karena aku tidak mau terlihat jelek di depan kencan

  • PLEASE, MR. WINTER   4. SEBASTIAN

    Tubuh wanita itu menegang ketika aku menegurnya. Di tengah malam, mengenakan piama satin merah yang kontras di kulit putihnya, aku melihatnya melenggang dari arah kamar Ara. Ia hendak menuju dapur ketika aku membuyarkan apa pun itu yang sedang ia pikirkan sampai ia tidak menyadari kehadiranku.Dia hanya berjalan melewatiku, seakan-akan aku hanyalah pajangan batu yang tidak menarik perhatiannya. "Sebastian," gumamnya dengan keterkejutan, ia menoleh ke arahku dengan mata membola. "Kau pulang?" "Kelihatannya?" sahutku.Aku melenggang santai menghampirinya, menikmati setiap gerak-gerik kecanggungan yang tercipta di tubuhnya. Bagaimana sepasang matanya berbinar waspada, jari-jarinya saling bertaut di bawah dada, dan bagaimana ia mundur seinci demi seinci dariku. "Se-selamat datang kalau begitu, selamat malam, maksudku. Aku dan Dahlia menginap malam ini. Permintaan Ara..." "Hmm." Aku menunggu lanjutan ucapan Rana dengan alis terangkat sebelah. Di bawah tatapanku, ia meneguk ludah kak

  • PLEASE, MR. WINTER   3. RANA

    Entah sudah berapa kali ketenanganku retak hari ini. Ketika aku berpikir aku telah menemukan ketenanganku—telah move on dari kejadian malam itu, memori dari momen panas itu datang menghampiriku. Membuat ketenanganku tergoyahkan dan aku memekik histeris sendirian.Lupakan, Rana, lupakan. Itu hanya permainan biasa. Aku pernah melakukan hal yang lebih dari itu dengan mantanku dulu. Dulu, beberapa tahun lalu.Tapi kejadian ini baru, masih sangat segar di kepalaku. Aku tidak bisa lupa. Bagaimana bisa aku melupakannya? Seumur hidupku, aku tidak pernah melakukan hal segila itu. Maksudku, aku tidak pernah menghampiri sembarang pria dan memintanya menjamahku hingga aku klimaks di tangannya.Aku selalu percaya di antara aku, Ara, dan Dahlia, akulah yang lebih dewasa secara pemikiran, lebih logis dan dapat diandalkan. Aku tidak pernah, maksudku jarang, melakukan kesalahan. Ketika aku melakukan kesalahan pun, kesalahanku itu terbilang kecil dan sepele.Sekali lagi, aku tidak—aku bukan tipe

  • PLEASE, MR. WINTER   2. SEBASTIAN

    Rana Ferreira adalah namanya, wanita yang kini berdiri kikuk di sebelah Arabella. Tatapannya memantul ke mana-mana, selain menatapku. Ia menghindari menatapku.Kecanggungan terlihat jelas dari bahasa tubuhnya yang awkward dan kaku. Seakan-akan ia ingin melarikan diri secepat mungkin dari hadapanku. Betapa lucu. Padahal semalam ialah yang menghampiriku. Dirinya dan kegilaannya bergelayut di leherku, menarik atensiku, dan memaksaku untuk menciumnya.Dia adalah iblis penggoda yang membuatku hampir lepas kendali dan melakukan hal gila yang aku yakini, pasti akan kusesali. "Kopi," tawarku pada Ara dan Rana. Kendati ingatan tentang kejadian semalam mengisi kepalaku, membuat darahku berdesir panas, aku menyikapi kehadiran adikku dan Rana dengan tenang—kasual seperti biasa. "Tidak, terima kasih." Ara menjawabku dengan cengiran manis dan lugunya.Nampaknya, Ara masih gembira atas perayaan ulang tahunnya kemarin yang berjalan spektakuler, ia tidak mencium kejanggalan dari kebisuan sahabatny

  • PLEASE, MR. WINTER   1. RANA

    Pada malam itu, beberapa gelas anggur merah telah mengalir melewati kerongkonganku. Kenikmatannya menyengat lidahku—terasa lembut dan kaya, seperti kemewahan yang tidak pernah kucecap sebelumnya.Pada hari-hari biasa, aku tidak akan pernah menenggak anggur merah dan berbagai minuman beralkohol lainnya. Namun, malam ini berbeda. Malam ini, sahabat dekatku yang bernama Arabella Winter merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga. Sebagai teman dekat yang bergembira, aku membebaskan diriku untuk mencicipi anggur merah itu di pesta Arabella. Mencicipi atau tepatnya menumpahkan cairan manis itu di mulutku.Saat itu, aku pikir tidak ada salahnya. Toh, kapan lagi aku bisa menikmati minuman itu secara gratis?Aku hanya akan menikmati beberapa teguk anggur, mengobrol santai bersama teman-temanku yang sebenarnya hanya terdiri dari Arabella dan Dahlia, berdansa di bawah lampu kristal yang menggantung indah di tengah ballroom hotel tempat pesta ulangtahun Arabella diselenggarakan, dan aku mun

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status