( PoV Andira )Pyaaarrr!Aku membanting piring berisi makanan yang sedari tadi aku bawa. Semua isinya berserakan di atas lantai. Begitupun pecahannya. Menghambur dan membaur bersama amarahku."Mau kamu apa? Mama sudah berusaha agar kamu segera sembuh Nak. Tapi kenapa kamu seakan ingin mati?" Aku putus asa. Di pojok kamar, aku terduduk. Meletakkan kedua tanganku di atas kepala. Ku remas rambut hitam panjangku yang memang sudah kusut sedari tadi. Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Memang sudah lama matahariku tak bersinar. Namun setidaknya, aku ingin melihat pelitaku terus menyala."Mama capek Nak." Aku menangis. Entah apa yang keluar dari mataku. Air mataku serasa sudah kering. Aku sudah terlalu puas untuk menangisi hidupku. Atau mungkin aku sudah lelah menangisi semua yang selama ini aku alami."Mama pengen kamu sembuh" Aku memohon berkali-kali. Setelah sekian lama akhirnya aku melihat mata indahnya terbuka. Namun tetap saja dia tak mau bersuara. Dia tetap bertahan dalam hidupnya yang
( PoV Andira )"Sayang ini kenapa?" Aksara seketika menghentikan aktivitasnya, memijat punggungku setelah dia melihat sesuatu di sana. Dengan raut wajah yang sepertinya jijik, dia menunjuk ke arah yang dia maksud."Apa sih?" Aku buru-buru bangkit. Melangkah cepat ke arah cermin, kemudian mencoba untuk melihat punggungku. Ada apa di sana."Kamu panuan ya Dir? Hahaha. Buruan beli obat sana. Ntar malah nularin aku lagi." Tanpa memikirkan apakah aku akan sakit hati dengan ucapannya atau tidak, Aksara melontarkan hinaannya kepadaku. Dia memang lelaki gila. Dan kurang ajar tentunya. Kehidupan yang telah merubahnya. Aksara yang dulu aku kenal, tak seperti ini. Aku yang dulu begitu mencintainya, kini sangat membencinya."Diam ya kamu!" Aku berjalan ke arahnya. Mengambil piyama hitam yang tergeletak di sampingnya, dan mengenakannya kembali."Makanya kalau mandi itu yang bersih. Biar nggak kena penyakit kulit. Jijik banget sih." Dia melanjutkan ocehannya yang membuatku geram. Ingin sekali aku m
( PoV Asmara )"Cut! Oke! Kita istirahat dulu ya!" Akhirnya setelah take berulang kali, Pak sutradara itu merasa puas. Memang tak mudah beradegan berkelahi, karena saat ini aku sedang bermain di dalam film action dimana aku berperan menjadi seorang polisi wanita yang sedang menjadi mata-mata di kalangan mafia narkoba."Capek ya? Ini minum dulu." Pak Aksara mendekatiku yang sedang duduk menatap cermin. Dia memasang senyum yang begitu manis kepadaku. Entah kenapa aku merasa ada yang aneh dengannya semenjak pertama kali melihatku waktu itu, setelah aku hilang ingatan. Dia seperti sedang kasmaran kepadaku. Dia tak pernah absen sedikitpun dan tak pernah tak mengikutiku kemanapun aku pergi untuk bekerja. Bahkan ketika harus pergi ke puncak gunungpun seperti saat ini, dia juga turut serta. Padahal aku tahu, pekerjaan di kantornya juga sedang banyak. Dia selalu bersikap manis dan mencoba untuk merayuku. Dan kedua istrinya itu, apakah Aksara tak merasa cukup dengan keduanya?"Makasih ya Pak."
( PoV Albert )"Sekarang kalau kamu pikir, masuk akal nggak kalau kamu pacaran sama dia? Masuk akal nggak kalau kamu suka sama dia? Dia itu playboy Ra. Dia emang selalu godain kamu, tapi kamu nggak pernah mau." Darahku mendidih. Bisa-bisanya Aksara memberitahukan bagaimana hubungannya dengan Asmara dulu. Belum puaskah dia dengan dua orang wanita dewasa dan cantik yang menemaninya saat ini? Apakah dia harus mengganggu Asmara yang bahkan tak ingat siapa dirinya? Apakah dia akan mengambil seseorang yang bahkan hanya di jadikan permainannya saja? Apakah dia ingin Asmara kembali setelah dia meninggalkannya demi Bu Andira dulu? Kurang ajar memang."Aku nggak yakin sih. Cuma ketika dia bilang ke aku buat tanya sama kamu, aku jadi penasaran. Apalagi dia juga bilang kalau semua kru yang kerja sama kita saat ini tahu semua soal aku sama dia dulu. Dan yang lebih gilanya, dia bilang kalau Bu Manda dan Bu Dira juga tahu." Asmara terlihat penasaran. Ekspresi wajahnya tampak kebingungan. Tampaknya di
( PoV Albert )"Al. Kok kita nggak pulang?" Asmara mengernyitkan dahinya menatapku. Mungkin merasa bingung mengapa aku tak mengantarkannya pulang. Akupun tak yakin mengapa aku membawa Asmara ke tempat ini. Tempat yang selalu aku kunjungi setiap kali aku merasa tak bahagia. Atap Rumah Sakit."Aku lagi nggak pengen pulang. Perasaanku nggak nyaman banget." Rasanya aku ingin sekali jujur kepadanya. Rasanya aku lelah bersembunyi. Bersembunyi di balik kebohongan ini. Namun, rasanya juga sulit sekali untukku. Sulit jika akhirnya aku melihat kebencian di matanya. Sulit jika akhirnya dia menjauh dan pergi meninggalkanku. Sulit jika akhirnya harus melihatnya menganggapku sebagai kakaknya lagi. Aku tak yakin jika aku akan sanggup menjalani hidupku setelah aku mengatakannya kepadanya. Namun semakin aku bersamanya, semakin aku tak memiliki hak untuk membuatnya menderita."Kamu masih belum percaya kalau aku cinta sama kamu?" Asmara dengan lembut memelukku dari belakang. Dekapannya yang begitu hangat
( PoV Asmara )Bagaikan di tikam ribuan pisau belati. Hatiku hancur berkeping-keping. Lelaki yang kini memeluk erat diriku, lelaki yang selama ini aku cintai, lelaki yang sangat aku percayai, dia sebenarnya yang menghancurkanku. Dia membohongiku.Ingin sekali aku mengambil sandal dan menamparnya berkali-kali. Namun apa daya? Aku hanya bisa terdiam dan tak bergeming di pelukannya. Seakan aku larut dalam cintanya, dan tak mempermasalahkan kebohongannya.Perlahan aku melepaskan tangannya dari tubuhku. Aku menatapnya tajam. Menatap mata yang kini di penuhi dengan air mata. Entah apa maknanya air mata itu. Mungkin dia menangis karena dia menyesal. Atau mungkin dia menangis karena takut aku tinggalkan. Bahkan mungkin, kedua alasan itulah yang menyebabkan kedua matanya basah."Kamu tahu rasanya hatiku saat ini Al?" Dengan suara parau karena menangis, aku menanyakan hal itu kepadanya. Sebenarnya meskipun aku tak menanyakannya, Albert sudah pasti paham apa yang aku rasakan. Dia pasti tahu jika
( PoV Asmara )"Aaaaaaa. Hahaha. Seru banget Al!" Aku berteriak ketika sepeda motor Albert 'terbang' di antara jalanan licin di hutan yang sore ini kami lewati. Hutan ini adalah tempat dimana para club sepeda motor melakukan kegiatan rutin mereka atau yang sering di sebut dengan istilah 'trabas'. Albert memang tak pernah mengikuti club motor apapun. Namun dia tahu tempat ini dari salah satu temannya yang menjadi anggota club motor di kota ini. Dan ya, tempat ini berada tak jauh dari villa keluarga Albert. Jadi Albert sudah lama mengetahuinya meskipun baru kali ini mengunjunginya."Kamu nggak takut?" Albert berteriak, bertanya kepadaku. Suara mesin motor yang keras memang membuat kami harus berteriak saat berbicara agar lawan bicara kami mampu mendengarnya. Tak apalah, ini kan di dalam hutan, jadi tak akan ada yang terganggu dengan teriakan kami."Nggak! Kan ada kamu Nggak ada yang aku takutin kalau aku sama kamu Al. Bahkan kalau kamu ngajak ke dasar neraka pun, aku ikut!" Aku memeluk A
( PoV Albert )"Makasih ya Ra, kamu udah mau maafin aku." Aku menatap langit malam pegunungan yang indah ini. Bintang bersinar lebih terang di tempat ini. Apalagi malam ini malam spesial buat aku dan Asmara. Aku resmi menjadi pacarnya tanpa adanya kebohongan. Dan Asmara, dia mencintaiku. Jangan tanya bagaimana rasanya. Kalian yang cintanya belum pernah bertepuk sebelah tangan, tak akan tahu rasanya. Cinta yang bertepuk sebelah tangan selama bertahun-tahun ini, kini akhirnya berbalas. Meskipun dengan awal yang di penuhi dengan kebohongan.Mungkin ini sudah takdir Tuhan. Tuhan telah membuatku menderita selama ini. Dan kini, Tuhan telah membayar semua penderitaan yang aku alami menjadi sebuah kebahagiaan yang tak bisa aku bayangkan sebelumnya. Menjadi pacar Asmara."Kalau aku nggak maafin kamu, aku juga akan sakit hati Al. Karena itu berarti, aku harus kehilangan kamu." Asmara tersenyum manis ke arahku. Aku menatap Asmara yang begitu cantik dengan senyum itu. Benar-benar seperti mimpi. Ak