LOGINDarian mengangkat tubuh Amara yang setengah telanjang dengan mudah, langkahnya mantap. Ia membawanya menuju sofa beludru di sudut ruangan, sofa yang menjadi tempat ia menunggunya dalam keheningan yang mencekam.
Amara menjerit tertahan saat tubuhnya dibaringkan di atas bantal-bantal sofa yang dingin. Rasa sakit dan kegagalan yang ia rasakan sepanjang hari kini diimbangi oleh rasa takut dan gairah yang membingungkan. "Pak Darian, t-tolong! Ini melanggar perjanjian kita!" Amara mencoba mendorong dada bidang Darian, tetapi tenaganya seperti kapas. Darian menahan kedua pergelangan tangan Amara, menjepitnya di atas kepala. Ia mencondongkan tubuhnya, menatap wajah Amara dari dekat, mata abu-abunya pekat karena nafsu. "Perjanjian itu sudah mati, Amara. Hasil tesnya negatif," Darian berbisik, suaranya sangat rendah, mengancam. "Kau melanggar protokol, dan kau gagal memenuhi kewajiban in vitro. Sekarang, kita beralih ke Aturan Kedua." DarDarian mengangkat tubuh Amara yang setengah telanjang dengan mudah, langkahnya mantap. Ia membawanya menuju sofa beludru di sudut ruangan, sofa yang menjadi tempat ia menunggunya dalam keheningan yang mencekam. Amara menjerit tertahan saat tubuhnya dibaringkan di atas bantal-bantal sofa yang dingin. Rasa sakit dan kegagalan yang ia rasakan sepanjang hari kini diimbangi oleh rasa takut dan gairah yang membingungkan. "Pak Darian, t-tolong! Ini melanggar perjanjian kita!" Amara mencoba mendorong dada bidang Darian, tetapi tenaganya seperti kapas. Darian menahan kedua pergelangan tangan Amara, menjepitnya di atas kepala. Ia mencondongkan tubuhnya, menatap wajah Amara dari dekat, mata abu-abunya pekat karena nafsu. "Perjanjian itu sudah mati, Amara. Hasil tesnya negatif," Darian berbisik, suaranya sangat rendah, mengancam. "Kau melanggar protokol, dan kau gagal memenuhi kewajiban in vitro. Sekarang, kita beralih ke Aturan Kedua." Dar
Mobil Marco tiba di depan gedung tinggi. Marco membuka pintu belakang dengan tergesa-gesa. Amara melangkah keluar, wajahnya pucat. Ia memasuki lift khusus dan naik ke gedung paling atas. Tak lama pintu utama ada didepan mata, setelah membuka kunci dengan kartu khusus, Amara masuk dan Bi Ana yang kebetulan sedang menata bunga di ruang tamu langsung berlari kecil ke arahnya. "Nona Amara! Ya Tuhan, Nona! Bibi cemas sekali!" Bi Ana meraih tangan Amara, matanya dipenuhi kekhawatiran. "Maafkan saya, Bi," Amara menunduk, merasa bersalah. "Saya tadi lupa mengganti mode ponsel saya. Saya benar-benar minta maaf sudah membuat Bibi panik." "Bukan hanya Bibi yang panik, Nona. Tuan Darian! Beliau menelpon berulang kali ke nomor Nona, tidak dijawab! Lalu menelpon Bibi, Bibi bilang Nona akan segera pulang." Bi Ana berbisik. "Tapi Tuan Darian sangat marah ke Tuan Marco karena telah mengizinkan Nona pergi. Beliau khawatir sekali, Nona! Sampai beliau memutuskan pulang ke Solterra." Amara
Amara berdiri membeku di depan kasir, kantong roti di tangannya digenggamnya erat. Ia menatap wajah wanita di depannya. Mata yang hangat dan senyum yang tulus itu tak mungkin salah. "M-Maya?" Amara berbisik, kerongkongannya tercekat oleh kejutan dan haru. "Maya... kamu? Sudah lama sekali kita tidak bertemu!" Wanita itu, Maya, sahabat Amara sejak mereka sama-sama remaja di desa, Maya langsung melompat memeluk Amara erat. Pelukan yang terasa asing sekaligus sangat akrab, memeluk Amara yang rapuh. "Ya ampun, Amara! Setelah Nenekmu meninggal, kamu pindah ke kota. Aku tidak pernah bisa menghubungimu!" Maya melepaskan pelukan itu, air matanya mulai menggenang. "Kamu ke mana saja? Aku mencarimu ke rumah lama di desa, tapi sudah dijual." Amara membalas tatapan Maya dengan senyum getir. "Aku... aku tinggal di Solterra sekarang. Kembali tinggal di apartemen mendiang orang tuaku." Amara sengaja tidak menyebut penthouse Darian. "Kamu sendiri? Kenapa kamu ada di sini, Maya? Bukanny
Pagi yang suram telah berganti siang yang mendung dan dingin di Solterra. Amara telah tiba di pemakaman umum. Ia melangkah menuju dua nisan batu yang berdampingan, tempat ayah dan ibunya beristirahat dengan tenang. Ia duduk bersandar, membiarkan tubuhnya ambruk dalam kelelahan emosional.Air mata yang ia tahan sejak vonis "negatif" di rumah sakit tadi pagi, kini tumpah tak tertahankan."Ayah... Ibu..." Amara terisak pelan, suaranya tercekat. "Aku gagal, Ayah. Aku gagal. Aku tidak bisa membawa harapanku pulang. Aku tidak bisa menepati janji untuk memiliki keluarga...""Aku harus bagaimana? Sekarang aku gagal menjadi seorang ibu..." air mata mengalir deras dipipi pucatnya.Amara memejamkan mata, membiarkan ingatan masa kecilnya yang paling menyakitkan kembali, masa ketika ia masih berusia dua belas tahun.[Kilas Balik - 15 Tahun Lalu]Amara sedang duduk di kelas enam. Tiba-tiba, ia dipanggil ke ruang guru. Suasana di sana terasa kaku dan aneh. Guru kelasnya, Bu Lili, duduk bersam
Pagi yang mendung menyelimuti Solterra, mencerminkan kecemasan Amara. Ia sudah siap, mengenakan gaun yang sopan, dan melilitkan syal merah marun miliknya sendiri di lehernya, sebuah sentuhan kehangatan pribadi yang ia butuhkan. Marco tiba tepat waktu, membukakan pintu mobil untuk Amara. Marco mengenakan setelan kasual, tetapi tetap memancarkan aura formalitas khas asisten CEO. "Selamat pagi, Nona Amara," sapa Marco melalui kaca spion. "Kita langsung ke rumah sakit, Dr. Anton sudah menunggu." "Selamat pagi, Pak Marco," jawab Amara. Ia duduk di kursi belakang. Mobil limousine hitam itu melaju, dan Amara memutuskan untuk memecah keheningan yang menyesakkan. "Pak Marco," Amara memulai, nadanya halus. "Saya dengar kabar dari Bi Ana, bagaimana keadaan Tuan Besar? Apakah beliau baik-baik saja?" Marco melihat Amara melalui kaca tengah. "Kondisi Tuan Besar sudah jauh lebih baik, Nona Amara. Dokter bilang beliau sudah bisa pulang besok," jawab Marco. Amara mengangguk, tetap
Pagi menjelang, kamar utama Darian terasa sunyi dan dingin. Amara terbangun, matanya mengerjap ke sekeliling. Tidak ada siapapun. Ranjang di sebelahnya rapi, hanya menyisakan bekas lekukan tubuhnya sendiri. Amara meraih ponselnya. Tidak ada pesan, tidak ada telepon dari Darian. Ia mencoba menelpon nomor Darian, tetapi hanya suara operator yang menyambutnya. 'Ke mana Pak Darian?' batin Amara, kegelisahan mulai menjalar. Ia turun dari ranjang, merapikannya dengan cepat, dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah dua puluh menit, Amara keluar dari kamar mandi, sudah rapi mengenakan gaunnya. Tak lama, suara ketukan berbunyi. Amara melangkah ke pintu utama, dan melihat Bi Ana serta Suster Dewi berdiri di sana. Rutinitas pahit itu kembali: suntikan jarum PIO yang menusuk. Setelah Suster Dewi pulang, Bi Ana masuk kembali membawa nampan sarapan. "Nona, ini sarapan sehat untuk Nona," ujar Bi Ana, menata piring. Menu sarapan Amara sangat terukur: Oatmeal dengan biji c







