Home / Romansa / Pak Ceo, Aku Ingin Anak / Bab 4: Prosedur Kehamilan.

Share

Bab 4: Prosedur Kehamilan.

Author: Za_dibah
last update Last Updated: 2025-09-12 22:23:41

Amara mengamati Darian mengambil map berisi kontrak itu. Pria itu menyimpannya di laci dengan gerakan cepat, seolah itu hanya selembar kertas tak berarti. ​"Sudah selesai," kata Darian, suaranya dingin dan lugas. "Kembali bekerja."

Amara tidak menoleh, ia hanya mengangguk pelan dan berjalan keluar dari ruangan itu. ​

Di luar ruangan, tatapan karyawan seolah mengikuti langkahnya. Beberapa berbisik.

“Dia lagi…”

“Bahkan setelah kecelakaan, dia masih bisa bekerja.”

"Apa dia dimarahi lagi?"

"Mungkin..."

Amara pura-pura tak mendengar. Ia sudah terbiasa. Di mejanya, tumpukan berkas menunggu. Ia menarik napas panjang, lalu duduk.

Lina, rekan satu divisi, mendekat.

“Kau baik-baik saja? Mukamu pucat.”

“Aku baik. Cuma kurang tidur,” jawab Amara pendek.

“Masih sempat analisis data tender yang kemarin?”

“Sudah aku kerjakan, tinggal validasi,” kata Amara.

Lina tersenyum kecil. “Kau memang mesin.”

Amara tidak menanggapi, matanya sudah fokus pada tabel angka dan grafik. Jarum jam terus bergerak. Ia membenahi laporan, mengecek ulang riset pasar yang diminta kepala divisi. Sesekali matanya terasa panas, tapi ia bertahan.

Menjelang siang, ia bangkit menuju pantry, mengambil cappuccino dan roti isi. Di koridor, ia bertabrakan dengan seseorang. Minumannya tumpah, menodai jas abu-abu mahal Darian yang baru keluar dari ruang meeting.

“Maaf, Pak!” Amara langsung menunduk.

Marco, asisten Darian, bereaksi lebih cepat. “Lihat jalanmu, Amara!” bentaknya.

Darian berhenti. Tatapannya dingin, tapi ia tidak bicara. Hanya mendengus, melepas jasnya, dan menyerahkannya ke Marco.

“Buang,” katanya singkat. Lalu berjalan pergi tanpa melihat lagi ke arah Amara.

Amara berdiri kaku, wajahnya tetap datar. “Dasar pria sombong…” gumamnya, Ia melihat Darian dan Marco sudah menghilang dibalik tembok.

Lina yang kebetulan lewat mendekat.

“Kau gila? Itu Pak Darian!"

“Aku sudah minta maaf.”

“Kau nggak takut dipecat?”

Amara hanya mengangkat bahu. “Aku masih punya laporan yang harus selesai.”

Ia kembali ke mejanya, melanjutkan pekerjaannya. Tak berapa lama ponselnya tiba-tiba berbunyi, pesan dari Darian.

> Lusa ke rumah sakit jam 8. Cek kesehatanmu. Jangan terlambat.

RS Premier, Jl. Wijaya Kusuma No. 18.

Amara mengetik balasan singkat: Baik, Pak.

Lina melirik penasaran. “Siapa?”

“Bukan urusanmu.” Amara menutup ponselnya. Ia kembali menatap layar penuh data. Sisa siang itu ia habiskan tenggelam dalam grafik, angka, dan analisis, seolah hanya pekerjaan yang membuatnya tetap berdiri.

Dua hari kemudian, Amara tiba di RS Premier. Ini bukan rumah sakit umum tempatnya dirawat, melainkan klinik khusus yang terlihat seperti hotel mewah. Ruangan serba putih, sunyi, dan berbau antiseptik lembut. Darian sudah menunggunya di sana, duduk di sofa dengan kaki menyilang, matanya dingin menusuk.

​"Tak tepat waktu," katanya tanpa basa-basi.

​Amara hanya mengangguk. "Maaf, Pak. Sedikit terlambat. Tadi macet."

​Darian mendengus. "Tiga menit tidak membuat perbedaan. Masuk."

​Ia menunjuk ke pintu di belakangnya. Di dalam, dr. Anton sudah menunggu. Amara tahu, pria ini adalah dokter yang ditunjuk Darian dalam pemeriksaannya.

​"Nona Amara, Bapak Darian sudah menjelaskan semuanya," kata dr. Anton dengan nada profesional. "Saya sudah membaca catatan medis Anda. Kita akan melakukan beberapa pemeriksaan awal."

​Amara duduk, sementara Darian berdiri di dekat jendela, seperti patung.

​"Seperti yang Anda tahu," dr. Anton memulai, "kondisi rahim Anda akibat kecelakaan itu cukup parah. Saya mendiagnosis Anda dengan Sindrom Asherman. Dinding rahim Anda mengalami perlengketan yang menyulitkan implantasi embrio."

​Amara menelan ludah. "Jadi, saya tidak bisa hamil secara normal?"

​"Peluangnya sangat, sangat kecil," jawab dr. Anton. "Karena itu, kita akan mencoba prosedur IVF (In Vitro Fertilization). Kita akan mengambil sel telur Anda, dan menyatukannya dengan sperma Bapak Lancaster di laboratorium. Setelah itu, embrio akan kita tanam di rahim Anda."

Amara menatapnya penuh tanya. “Apakah itu akan berhasil?”

“Kesempatannya ada,” kata dr. Anton hati-hati.

“Dan jika itu gagal?” tanya Amara.

​"Kita akan coba lagi," kata dr. Anton, "atau kita bisa mencoba inseminasi buatan. Prosedur yang lebih sederhana, tapi dengan peluang sukses yang sama."

​Darian tiba-tiba berbalik dari jendela. Ia menatap tajam ke arah dokter. "Apa ada cara lain? Prosedur medis yang lebih cepat dan efisien?"

​Dr. Anton mengangguk. Ia menatap Darian, lalu kembali menatap Amara. "Secara medis, jika kedua prosedur ini terus gagal karena perlekatan yang parah, ada satu jalan terakhir untuk memastikan keturunan berhasil."

"Apa itu...?" tanya Amara cepat.

"Sewa rahim."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 33: Kecurigaan Evan terbukti.

    ​Evan menaiki tangga spiral dengan langkah yang ringan dan penuh perhitungan. Senyum tipis, yang lebih menyerupai seringai, terukir di bibirnya. Tujuan utamanya bukan berkas kerja yang ia jadikan alasan kepada Bi Ana di bawah. Tujuannya adalah misteri 'Nona' yang membuat Darian, si patung es Arcus, kehilangan ketenangan. ​Evan sampai di Lantai Dua. Ia menelisik sekeliling, merasakan keheningan yang berbeda dari biasanya. 'Kakak pasti menyembunyikan seseorang. Lantai Dua ini terasa terlalu... terawat untuk hanya dihuni Bi Ana.' ​Fokusnya mengarah ke kamar tamu yang pernah ditidurinya beberapa kali saat berkunjung ke penthouse ini. Ia mencoba membuka pintu, tetapi pintu itu terkunci dengan kuat dari dalam. ​"Kenapa kamar ini dikunci?" gumam Evan pelan, dahinya berkerut karena penasaran. Ia mencoba gagang pintu itu lagi, memutarnya keras, tetapi kuncinya tidak bergeser sedikit pun. "Seorang pelayan tidak mungkin mengunci kamar tamu di siang hari kalau tidak ada yang disembunyikan. Ini

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 32: Ketertarikan Evan adalah racun untuk Darian.

    ​Darian memastikan pintu utama penthouse terkunci rapat, mengunci kembali setiap mekanisme keamanan canggih. Ia menghela napas panjang, bukan karena lega, melainkan karena kelelahan emosional. Kepalanya terasa pening setelah drama adu argumen dengan Evan. ​Ia segera menaiki tangga spiral, langkahnya lebih berat dari biasanya. 'Kenapa Evan harus datang sekarang? Dan kenapa dia sepenasaran itu pada Amara?' Darian menggerutu dalam hati. Ia sadar, ketertarikan Evan pada wanita yang ia sembunyikan, sekecil apa pun itu, adalah racun mematikan bagi kerahasiaan kontrak ini. ​Darian kemudian berjalan menuju kamar Amara, mengetuknya pelan, memanggil dengan suara yang sengaja dilembutkan. ​"Amara, buka pintunya. Ini aku," panggil Darian, suaranya sedikit serak dan rendah, sisa dari ketegangan yang baru saja ia alami. ​Amara segera berjalan mendekat, kunci diputar perlahan. Ia membuka pintu setengah, wajahnya yang cantik terlihat cemas. Darian berdiri di sana, auranya yang dingin tampak sedik

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 31: Kedatangan Evan.

    Darian baru saja keluar dari kamar Amara, hatinya masih menyimpan gejolak dari sentuhan singkat saat ia memasangkan liontin. Ia berjalan menuju ruang kerjanya yang berada di ujung lorong Lantai Dua. ​Tiba-tiba, suara bel pintu yang nyaring di Lantai Satu terdengar memecah keheningan penthouse. Darian, yang bersiap masuk ke ruang kerja, mengerutkan kening. Siapa yang berani mengganggu di hari Minggu malam? Tak lama, suara langkah kaki Bi Ana yang tergesa menaiki tangga spiral terdengar. Bi Ana langsung menuju kantor Darian dan mengetuk pintu yang sedikit terbuka. ​"Tuan Darian! Tuan Evan datang berkunjung!" lapor Bi Ana. ​Darian terkejut, ekspresinya langsung mengeras. Ia tahu ini adalah ancaman besar. "Evan?" gumamnya, suaranya mengandung bahaya. Ia mengangguk cepat, tangannya mengepal di samping tubuhnya. ​"Aku akan menemuinya, Bi," kata Darian, suaranya rendah dan tajam. Ia memberi peringatan kepada Bi Ana di dalam kantornya. "Ingat, Bi. Jangan bilang soal Amara. Aku tida

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 30: Liontin emas putih.

    ​Darian tiba di penthouse megah di Solterra sebelum matahari terbit. Udara subuh kota itu terasa dingin, tetapi Darian segera mandi dan berganti pakaian, menyingkirkan aroma lelah perjalanan. Meskipun jetlagnya menusuk, ia tidak bisa menunggu lama. Kebutuhan untuk melihat Amara dan menepati janjinya lebih mendesak. ​Tepat pukul 08.00, setelah Amara menyelesaikan ritual suntikan paginya, Darian mengetuk pintu. ​"Masuk," jawab Amara, yang sedang sarapan di sofa kecil di kamarnya. ​Amara segera meletakkan sendoknya, terkejut melihat Darian. Pria itu berdiri di ambang pintu, tampak rapi dengan kemeja oxford berwarna charcoal dan celana kain yang santai. Namun, kelelahan akibat perjalanan lintas benua terlihat jelas di bawah matanya. ​"Pagi, Amara. Aku kembali," sapa Darian. Suaranya rendah dan serak, tetapi kelembutan yang ia tunjukkan belakangan ini tetap terasa. "Bagaimana tidurmu setelah panggilan tadi malam?"

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 29: Tunggu aku pulang

    ​Pagi hari, Amara terbangun setelah tidur yang gelisah. Rasa lelahnya berbeda, bukan lagi lelah fisik akibat obat, melainkan lelah mental yang menumpuk. Di kota metropolitan Solterra yang selalu bergerak cepat, Amara terperangkap dalam keheningan penthouse mewah itu. ​Hari keenam Two Week Wait (TWW) adalah titik kritis. Secara teori, ini adalah masa puncak implantasi janin. Dan secara emosional, ini adalah masa puncak kecemasan. ​Amara merasakan mual yang lebih kuat hari ini. Sensasi itu datang seperti gelombang, membuatnya harus segera duduk tegak di tempat tidur. '​Mual ini...' Amara memejamkan mata. 'Apakah ini mual kehamilan? Atau hanya efek Progesteron yang mencekik tubuhku?' ​Ia tahu ia tidak boleh mencari gejala. Ia tahu obsesi ini hanya akan menyakitinya. Namun, otak biologisnya terus menerus mencatat setiap sensasi. "​Aku tidak boleh berharap. Jika aku terlalu berharap, dan ternyata aku gagal... Pak Darian akan kecewa. Dia sudah berkorban begitu banyak, mengatur segalany

  • Pak Ceo, Aku Ingin Anak   Bab 28: Melanggar batasan

    ​Pagi hari tiba, menandai hari kelima dalam masa Two Week Wait yang terasa tak berujung. Amara terbangun bukan karena alarm, melainkan karena rasa nyeri yang menjalar di punggung bawah. '​Punggungku sakit sekali. apakah ini kram lagi?' Amara segera meraih ponsel, siap memanggil Suster Dewi, tetapi rasa sakit itu mereda secepat kedatangannya. ​Ia menarik napas lega. 'Hanya ilusi. Hanya otot yang tegang karena terlalu banyak istirahat,' Amara mencoba menenangkan pikirannya. Progesteron memang sering menyebabkan nyeri punggung, tetapi rasa cemas selalu menyertai setiap sensasi baru. ​Pukul 08.00, Suster Dewi datang dengan senyum cerah. ​"Pagi, Bu Amara. Bagaimana hari ini? Ada keluhan baru?" tanya Suster Dewi sambil menyiapkan ampul PIO. ​"Punggung bawah saya terasa sakit sebentar tadi, Suster. Apakah itu normal?" tanya Amara, nada suaranya sedikit ragu. ​Suster Dewi memeriksa denyut nadinya dengan teliti. "Sangat normal, Bu. Progesteron membuat ligamen dan otot di sekitar pa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status