เข้าสู่ระบบKeputusan Ellena untuk mengundurkan diri sudah bulat. Gadis itu meluruskan punggung di balik meja kerja. Bola mata kecoklatan nya tertuju pada amplop putih di balik map. Sisa menunggu Reon datang dan dia akan menyerahkan surat resignnya.
Suara klik halus dari pintu masuk spontan membuat Ellena menutup map rapat-rapat di meja. "Ellena, dokumen kemarin udah diapproved sama Pak Reon?" tanya Laura. Perempuan berlipstik merah terang itu melangkah melewati kursi Ellena dan meletakkan tas jingganya di meja. Ellena mengerjapkan mata pelan. Dia tidak tahu nasib dokumen tersebut. Ellena pergi begitu saja karena kelakuan brengsek Reon malam tadi. "Sudah saya serahkan ke Pak Reon, Kak, tapi saya belum tahu udah diapproved atau enggak," jawab Ellena hati-hati. "Duhhh, kamu gimana sih, Ellena, harusnya kamu pastiin dulu sebelum pulang. Saya kan butuh dokumen itu juga." Laura menghembuskan napas kasar. "Kita pasti kena omelan Pak Reon lagi kalau kayak gini." "Maaf, Kak," sahut Ellena pelan. Tidak mungkin dia menceritakan hal yang sebenarnya terjadi. Lebih baik resign tanpa ada drama. Tak berselang lana, Reon muncul bersama asisten pribadinya. Ellena dan Laura beranjak dari kursi, menyambut mereka. Seperti biasa, Reon berlalu begitu saja masuk ke dalam ruangannya. Tanpa sapaan ataupun sekadar lirikan, hanya meninggalkan hawa dingin. Begitu laki-laki itu hilang dari balik pintu ganda, Ellena kembali duduk dengan helaan napas ringan. Jemari lentiknya membuka map untuk menatap amplop putih polos itu lagi. 'Kalau Vino keluar, aku langsung ajuin surat resignnya,' ujar Ellena dalam hati penuh tekad menunggu asisten pribadi Reon. Namun, tiba-tiba ponsel gadis itu berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari tetangga kontrakannya. "Halo, Bu, ada apa?" Ellena bingung kenapa tetangganya menelepon di jam kerja Ellena. Tidak biasa. "Nak Ellena…" suara wanita paruh baya itu terdengar lirih dan bergetar, "Nenek kamu…" Mata Ellena langsung memanas dan mengeluarkan air. "N-nenek kenapa, bu?" tanya gadis itu. Suaranya tercekat. Hal yang paling ditakutkan Ellena adalah kehilangan orang yang dia sayangi. Dia sudah pernah melewati rasa pedih ditinggal selamanya oleh kakeknya. Dia tidak bisa membayangkan kalau neneknya juga pergi. "Nenek kamu tidak sadarkan diri, Nak," katanya terisak. "Tadi, tukang sayur yang biasa lewat depan lorong liat nenek kamu jatuh, ibu juga langsung panik waktu dengerin teriakannya." Air di pelupuk mata Ellena mulai penuh. Tangannya gemetaran memegang ponsel. "Terus sekarang nenek di mana, Bu?" "Udah di rumah sakit, Nak Ellena, Cuma tadi ibu denger nenek kamu butuh dioperasi." "Bu Tari makasih, yah, saya segera ke sana, Bu." Ellena buru-buru merapikan tasnya sambil beranjak dari kursi. Bulir-bulir hangat mulai jatuh satu per satu ke pipinya. Begitu telepon berakhir, Ellena langsung menoleh pada meja Laura yang tidak jauh dari sebelah mejanya. "Kak Laura, saya mau keluar sebentar, nenek saya masuk rumah sakit." "Oh, oke, entar aku sampein ke Pak Reon." Laura mengangguk dengan senyum manis. "Makasih banyak, Kak." Elena bergegas pergi. Sewaktu bayi, Ellena ditemukan oleh kakek neneknya di tempat pembuangan sampah saat pasangan itu mencari barang-barang bekas untuk ditukar dengan uang. Entah orang tua mana yang tega membuang bayinya. Saat itu, Ellena dibawa pulang oleh pasangan tersebut dan diberi nama Ellena Satya. Meski hidup tidak berkecukupan, kakek neneknya begitu menyayangi Ellena dan sedapat mungkin memenuhi kebutuhan bayi yang sudah diangkat jadi cucunya itu. Saat Ellena tumbuh jadi remaja cantik, keduanya menyarankan Ellena untuk mencari tahu siapa orang tua kandungnya. Tapi, gadis itu menolak. Mengetahui dirinya ditemukan di tempat sampah artinya dia sudah dibuang oleh orang tuanya yang tidak bertanggung jawab. Jadi, Ellena tidak mau peduli soal orang tuanya yang entah masih hidup atau tidak. Namun, sisa neneknya yang Ellena punya di dunia ini dan penyakit neneknya itu semakin parah. Di rumah sakit, Ellena tidak berhenti tersedu-sedu di sudut ruangan tunggu yang sepi. Rasa khawatir, takut dan bingung bercampur jadi satu di dadanya. Kalau total biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan neneknya dari operasi dan perawatan lain butuh setidaknya 500 juta. Uang di rekeningnya saja tidak cukup untuk membayar 0,01 persen dari total biaya pengobatan tersebut. Astaga. Dari mana Ellena mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?"Dia melihat ke arah kita, Pak" bisiknya. "Sepertinya… Nona Graciella sudah mulai tertarik.""Bagus," Reon semakin menunduk. Menahan jarak wajah mereka lama. Lantas dia semakin kokoh melingkarkan lengannya pinggang sekretarisnya. Sementara itu, penciuman Ellena semakin penuh dengan aroma parfum maskulin Reon. Dia juga sesekali merasakan ibu jari bosnya menekan dengan elusan samar. Melihat bibir Reon menciptakan gejolak dalam dada Ellena yang sudah lama terpendam. Dia menggigit bibir dalamnya sambil menata napas, lalu menunduk. Oh, Ellena sadar. Reon sudah punya tambatan hati lain dan Ellena sedang menjalankan peran untuk menarik perhatian perempuan itu. Tatapannya kini tertuju pada cincin yang melingkar di jari manisnya. Ya, Ellena tidak boleh terbawa perasaan. Cincin itu hanya sekadar aksesoris untuk sandiwara mereka. Lalu, dari arah samping, Graciella muncul. Perempuan itu mendekat dengan langkah anggun yang pelan. "Saya tidak menyangka ternyata seorang Dareon Sankara Adinata
Reon telah menetapkan pilihan pada gaun satin berwarna dusty rose untuk Ellena kenakan. Dia menunggu sekretarisnya itu keluar dari balik tirai.Lelaki dengan setelan jas gelap itu duduk diam di sofa sambil menyilangkan kaki, punggungnya tegak, satu tangannya bertumpu santai di sandaran. Wajahnya tetap dingin—tatapan datar, rahang tegas dan aura mencekam yang membuat para staf di sekitar berdiri diam seperti patung.Begitu menyadari kemunculan Ellena di hadapannya, mata tajam Reon yang fokus pada layar ponsel teralihkan.Pandangannya naik.Untuk sepersekian detik, Reon lupa berkedip.Gaun yang dipakai Ellena jatuh sempurna di tubuh sekretarisnya itu. Kainnya membingkai siluet ramping yang sulit diabaikan.Iris Reon menyapu cepat, nyaris dingin seperti biasanya, tetapi sukar rasanya tidak berhenti pada lekuk bahu Ellena. Garis halus selangka itu dulu jadi salah satu persinggahan favorit bibir Reon saat memadu kasih dengan mantan kekasihnya.Dada Reon menegang sesaat, tapi tidak ada yang
"P–Pak Reon." Laura menunduk sekilas lalu mengangkat wajahnya, menatap pemilik bola mata hitam yang memantulkan sinar keemasan senja itu. Laura sudah jadi sekretaris Reon sekitar satu tahun, dulunya dia mengisi posisi sekretaris kedua seperti Ellena sekarang. Dan, sejak saat itu, dia langsung tertarik dengan Reon. Siapa yang tidak jatuh hati? Bukan hanya tampan, Reon punya kharisma yang membuat semua mata terpesona padanya. Selain itu, dia penerus Adinata Group yang memiliki kerajaan bisnis, baik di luar maupun luar negeri. Hanya saja, sampai sekarang tidak ada tanda-tanda Reon jatuh hati pada Laura. Namun, wanita itu tidak akan menyerah begitu saja. Reon melangkah penuh dominasi dan berhenti tepat di depan meja kerja Ellena. Hawa dingin seakan menguar di udara sekitar Ellena dan Laura. Laura menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga. "Em… itu Pak… maksudnya file tugas yang Pak Reon kasih."Di sisi lain, Ellena hanya berdiri diam dengan pose profesional. Sesekali d
Ellena mengerjapkan matanya pelan. "Tunangan pura-pura, Bapak?" Reon melipat tangan di dada sembari bersender tenang di kursinya. "Perlu saya ulangi omongan saya barusan?" Gadis itu menggeleng, "saya denger kok, Pak." "Good." Reon beranjak pelan dari kursinya. Bola mata Ellena mengikuti langkah bosnya itu sampai Reon berhadapan dengannya. Pria tinggi itu bersender di depan meja dengan kedua tangannya mencengkram tepi. "Saya mau mendekati putri menteri investasi dan penanaman modal, namanya Graciella. Dari informasi yang saya terima, dia tertarik dengan tunangan orang." "Jadi, kamu cukup jadi tunangan pura-pura saya, untuk menarik perhatian Graciella pada saya," sambung lelaki itu. Ellena terdiam sejenak. Entah kenapa seperti ada pisau yang menyayat hatinya mendengar Reon mengatakan semua itu. Tapi, apa yang Ellena harapkan? Dia yang mencampakkan Reon. Wajar mantan kekasihnya itu sudah punya tambatan hati yang baru. Sekarang, Ellena hanya perlu fokus pada pengobatan
Ellena kembali ke kantor saat hari menjelang sore. Dia merapikan penampilannya sebelum masuk ke dalam ruangan kerja. Matanya yang bengkak menangkap perhatian Vino–asisten Reon.Laki-laki itu menghampirinya saat kembali. "Kak dari mana?""Pak bos marah besar." Imbuhnya.Ellena menelan saliva. "Apa karena dokumen kemarin masih ada yang salah?""Pak bos marah karena dapat laporan kalau Kak Ellena keluyuran di jam kerja," bisik Vino. Ellena menautkan alis. Bukannya dia sudah memberitahu Laura kalau dia ke rumah sakit?Aduh, padahal dia mau meminta tolong pada mantan kekasihnya itu tapi Ellena malah bermasalah lagi.Ellena masuk ke ruangan Reon dengan hati-hati dan segera mengambil posisi berdiri di sebelah Laura.Di balik meja besar, tatapan Reon sangat menusuk. "Kamu dari mana aja?" tanyanya dingin. "Tadi ada meeting penting dan kamu malah keluyuran di jam kerja. Kamu niat kerja nggak sih!? Mau dipecat aja?"Ellena menggeleng. Dia sudah mengurungkan niat untuk resign. "Jangan pecat saya
Keputusan Ellena untuk mengundurkan diri sudah bulat. Gadis itu meluruskan punggung di balik meja kerja. Bola mata kecoklatan nya tertuju pada amplop putih di balik map. Sisa menunggu Reon datang dan dia akan menyerahkan surat resignnya.Suara klik halus dari pintu masuk spontan membuat Ellena menutup map rapat-rapat di meja. "Ellena, dokumen kemarin udah diapproved sama Pak Reon?" tanya Laura. Perempuan berlipstik merah terang itu melangkah melewati kursi Ellena dan meletakkan tas jingganya di meja.Ellena mengerjapkan mata pelan. Dia tidak tahu nasib dokumen tersebut. Ellena pergi begitu saja karena kelakuan brengsek Reon malam tadi."Sudah saya serahkan ke Pak Reon, Kak, tapi saya belum tahu udah diapproved atau enggak," jawab Ellena hati-hati."Duhhh, kamu gimana sih, Ellena, harusnya kamu pastiin dulu sebelum pulang. Saya kan butuh dokumen itu juga." Laura menghembuskan napas kasar. "Kita pasti kena omelan Pak Reon lagi kalau kayak gini.""Maaf, Kak," sahut Ellena pelan. Tidak m







