"Cepat cari dan temukan dia!" Perintah seorang pria yang merupakan komando dari para pria yang tengah berlarian mencari seseorang.
Amanda sendiri dengan kesusahan membawa pria yang dibantunya untuk mencari tempat yang bisa digunakan oleh pria itu. "Tubuhmu benar-benar berat. Apa begitu banyak dosa dalam dirimu sampai segitu beratnya?" Pria itu hanya diam, dia tidak banyak bicara sejak ditemukan Amanda. Baginya saat ini hanya segera diobati pada luka yang ada ditubuhnya apalagi diluka tusukan diperut. "Tunggu disini. Aku akan coba bicara dengan pemilik rumah kecil itu. Siapa tahu kamu bisa tinggal disana sampai sembuh." Pria itu hanya menganggukkan kepalanya. Dia memilih membaringkan tubub di atas gerobak kayu yang dibawa Amanda. Setelah sepuluh menit, Amanda kembali. "Kamu harus membayar uang ganti rugi setelah sembuh. Aku terpaksa mengeluarkan uang untuk menyewa rumah ini. Padahal uang itu mau aku gunakan untuk pergi kekota mencari pekerjaan yang lebih bagus." Amanda terus mengomel karena uangnya terkuras habis untuk membayar sewa rumah. Amanda membantu pria itu turun dari gerobak dan membawanya masuk ke dalam rumah. Didalam rumah itu sendiri hanya ada kasur yang penuh debu dan juga kursi kayu yang bagian sandarannya sudah terlepas. "Duduklah disini. Aku akan membersihkan kamar tidurmu. Jangan lihat bentuk rumahnya karena hanya ini yang bisa aku bantu." "Aku berterima kasih kepadamu Nona. Kamu sungguh sangat baik." "Jika kamu tidak terluka, aku tidak akan mau membantumu." Amanda membersihkan kamar yang akan ditempati pria itu. Bahkan Amanda menyapu lantai kamar serta memukul kasur agar debunya hilang. "Ayo berbaringlah didalam kamar. Setidaknya kamu bisa merebahkan diri." Dengan merangkul bahu Amanda, pria itu mulai berjalan dengan menopang tubuhnya pada Amanda. Amanda berusaha kuat agar tidak terjatuh karena tubuh pria itu sangat berat. "Aahhh! Tubuhmu benar-benar berat. Tidurlah sebentar disini, aku akan mencari pakaian dan beberapa obat untuk lukamu." Amanda membalikkan badannya untuk pergi tapi pria itu langsung memegang tangannya. Amanda kembali melihat ke arah belakang dan kaget ketika tangannya disentuh oleh pria yang tidak dikenal. "Terima kasih kamu sudah menyelamatkan aku. Tapi aku mohon jangan berita siapapun kalau aku ada disini." "Baiklah!" Jawab Amanda yang merasa terhipnotis dengan wajah serta suaranya yang sedikit berat. Pria itu melepaskan tangan Amanda. Amanda segera pergi dari rumah kayu itu dengan menutup pintu. Amanda kembali ke rumahnya untuk mengambil beberapa baju yang dikiranya pas dengan ukuran pria tadi. "Amanda!" panggil Ayahnya yang tahu Amanda sudah pulang. Amanda tampak cuek karena dia sedang tidak ingim berdebat dengan Ayahnya. Amanda memilih mengambil beberapa baju yang dikiranya muat tas. "Amanda! Apa kamu tidak mendengar Ayah memanggilmu? Ayah cuma mau mengingatkanmu kalau pernikahanmu dengan Tuan Pedro akan dilakukan tiga hari lagi. Jadi kamu bersiaplah, Tuan Pedro sudah memberikan sejumlah uang untukmu belanja pakaian." Amanda yang kesal membanting baju yang akan dimasukkannya ke dalam tas dan berjalan keluar kamar untuk mencari Ayahnya. "Ayah kembali mengambil uang yang diberikan ole si tua bangka itu? Apa belum cukup bagi Ayah menjual anak ayah ini? Sekali lagi aku ingatkan kepadamu, jika kamu terus memaksaku menikah dengan tua bangka itu maka aku tidak akan menganggapmu sebagai Ayahku lagi." Amanda masuk ke dalam kamar dan mengambil tas ransel yang sudan berisikan beberapa baju serta obat yang akan diberikannya kepada pria tadi. "Mau kemana kamu Amanda?" "Bukan urusan Ayah! Bukankah Ayaj hanya peduli dengan uang? Maka makanlah uang yang diberikan oleh pria itu hingga habis. Aku tidak akan menyentuh sepersenpun uang itu. Lebih baik aku bekerja siang dan malam untuk mendapatkan uang." Amanda langsung meninggalkan kembali rumahnya. Dia tidak mau hatinya kembali terluka jika terus berada didalam rumah. Tapi kenyataannya dia akan tetap kembali kerumah itu jika emosinya mereda. Amanda pergi menggunakam sepeda yang selalu digunakannya untuk pergi bekerja. Selama diperjalanan dia melihat banyak pria berpakaian rapi menggunakan jas. Amanda tidak tahu apa yang dilakukan oleh pria yang tampaknya seperti seorang bodyguard atau anak buah sebuah kelompok. Amanda terus berjalan dan tidak mempedulikan pemandangan yang ada didepannya. "Apakah kalian melihat seorang pria terapung dipantai?" "Tidak Tuan. Kami tidak melihatnya." Para pria dengan setelan hitam itu terus mencari dan bertanya kepada warga sekitar soal penemuan tubuh pria yang terapung di pantai. Tapi tidak ada satupun warga yang melihatnya sehingga mereka memilih pergi. Amanda sampai kembali dirumah kayu kecil tempat dia menyembunyikan pria yang ditemukannya. "Kamu sudah kembali?" tanya pria itu ketika dia melihat Amanda tiba. "Ya! Aku tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini. Sekarang bukah pakaianmu, Aku akan mengobati luka diperutmu itu." Pria itu membuka kancing kemejanya dan melepaskan kemeja yang penuh dengan darah. Amanda yang mengambil obat didalam tas tidak melihat bentuk tubuhnya. Tapi ketika Amanda membalikkan badannya, Amanda terkejut melihat bentuk tubuh pria yang terbaring diatas ranjang. "Hmm! Aku akan mengolesi obat ini, jadi kamu bisa menahan rasa sakitnya." "Lakukan saja!" Amanda duduk disamping pria itu dengan panjangan yang berusaha dijaganya. Dia melihat tubuh kekar pria itu dengan satu tato yang mencuri pandangan Amanda. Tato bergambar setangkai mawar yang ukurannya tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. "Nona! Disini lukanya." ucao pria itu ketika dia menyadari Amanda memperhatikan tato yang ada didadanya. "Iya aku tahu." Amanda mulai mengolesi obat pada lukanya. Pria itu merintih kesakitan karena terasa perih. "Tahanlah! Ini memang perih tapi bisa membuatmu sembuh dengan cepat." "Shit! Apa yang kamu berikan? Kenapa begitu perih saat mengenai lukaku?" "Apa? Kamu memakiku? Aku sudah memberikanmu obat secara cuma-cuma tapi kamu mengatakam sesuatu yang buruk." Pria itu kembali mengontrol emosinya. Dia tidak bisa bersikap seperti biasa yang penuh emosi dan amarah ketika dia merasa tidak nyaman. Pria itu menahan rasa sakitnya ketika Amanda kembali mengolesi obat dibagian luka tusukan dan baru menutupnya dengan perban. "Sudah! Lukanya sudah aku tutup dengan perban. Bukannya berterima kasih malah memakiku." "Maafkan aku! Aku tidak sengaja mengatakannya karena terlalu sakit. Tapu terima kasih kamu mau mengobati lukaku." "Ya sudah! Tapi siapa namamu?" Pria itu diam dan menatap lurus kedepan. "Kenapa kamu diam saja? Aku sedang bertanya kepadamu, siapa namamu?" "Aku tidak ingat! Aku tidak ingat siapa namaku!" Amanda meletakkan obat tadi disamping dan memilih duduk sambil menatap pria yang sedang bersandar pada tembok. "Kamu tidak ingat siapa namamu?" "Iya!" "Kamu juga tidak ingat sedang berada dimana dan apa yang terjadi denganmu?" Pria itu kembali menganggukkan kepalanya. Amanda mendekatkan wajahnya dan melihat ke area kepala pria itu untuk mencari luka yang membuatnya sampai lupa dengan semua kejadian bahkan namanya sendiri. "Tidak ada yang terluka?" Ucapnya kepada pria itu setelah memeriksanya. Saat Amanda mendekatinya tanpa Amanda ketahui posisi kepanya mendekati kulit leher Amanda sehingga dia bisa mencium aroma vanila pada tubuh Amanda. "Kamu yakin tidak bisa mengingat semuanya bahkan namamu?" Pria itu kembali menganggukkan kepalanya. "Aku benar-benar tidak mengingatnya kecuali saat aku membuka mata dan melihatmu ada didepanku." Amanda berdiri dan berjalan mengambil pakaian yang akan diberikannya kepada pria itu. "Hanya ada ini dirumahku, semoga saja muat untuk kamu pakai." "Terima kasih." ucapnya sambil mencium aroma vanila yang sama pada pakaian yang diberikan Amanda. "Vanila! Apa kamu menggunakan parfum aroma Vanila?" "Bagaimana kamu mengetahuinya? Apa kamu mencium aroma tubuhku?" tanya Amanda dengan kedua tangan dipinggang. "Disini!" kata pria itu sambil mencium baju yang diberikan oleh Amanda. "Pakailah! Aku akan pergi membeli makanan untukmu. Nanti malam aku tidak bisa kesini karena harus bekerja." "Kamu bekerja?" "Iya. Aku harus bekerja keras lagi. Uangku sudah terpakai untuk menyewa rumah ini dan sekarang akan membelikanmu makanan. Aku pergi, didalam tas ini ada beberapa pakaian untukmu." Amanda berbalik badan dan pergi meninggalkan kamar pria itu. Saat di pintu rumah, Amanda teringat sesuatu, dia kembali ke dalam dan berdiri didepan pintu kamar. "Jon! Aku memberi namamu Jon. Bagaimana?" "Terserah padamu saja." Amanda tersenyum karena dia melihat Jon memakai baju kaos milik Amanda dengan sangat ketat. "Apa tampak lucu? Apakah tidak ada yang lebih besar? Ini terlalu sempit untuk aku gunakan." "Pakai saja untuk malam ini. Jika aku mendapatkan tips yang banyak aku akan membelikanmu baju dengan ukuran lebih besar. Tapi kamu tampak seksi menggunakannya." Amanda menertawakan Jon sebelum dia pergi. Jon memperhatikan senyuman Amanda yang membuatnya kembali terpesona dengan Amanda. "Manis!" ucap JonMobil hitam dengan kaca gelap melaju kencang di jalanan kota, mengoyak hening malam. Di dalamnya, Gabriel mengepalkan tinjunya kuat-kuat, urat-urat di dahinya menonjol, menandakan betapa marahnya dia. Setiap kali pikirannya melayang pada serangan yang baru saja dia alami, jantungnya berdegup lebih keras. Sopirnya melirik sekilas melalui kaca spion, menangkap bayangan wajah Gabriel yang terlihat tegang. Di kursi belakang, dua orang anak buahnya duduk dengan waspada, sesekali memeriksa keluar jendela, memastikan tidak ada yang mencurigakan mengikuti mereka. "Amanda... pastikan dia aman," suara Gabriel terdengar parau, mencoba menenangkan diri tapi gagal. Dia mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya gemetar saat mengetik nomor Amanda. Tapi, layar ponsel menunjukkan bahwa ponsel Amanda tidak aktif. Hatinya semakin resah. "Boss, saya sudah perintahkan tim untuk mengawasi apartemen Miss Amanda. Mereka akan melaporkan segera jika ada yang tidak beres," kata salah satu anak buahnya, mencoba
Gabriel memarkir mobilnya di depan apartemen mewah yang menjadi tempat tinggal baru Amanda. Ia membantu Amanda membawa barang-barang hadiah yang diberikan tadi malam ke lobi gedung tersebut. Amanda, dengan senyum yang tak pernah pudar, berterima kasih kepada Gabriel atas semua kebaikan yang telah diberikan kepadanya, termasuk makan malam yang hangat dan penuh kejutan."Dengan senang hati, Amanda. Semoga kamu suka dengan semua ini," ujar Gabriel dengan senyum simpul, menyembunyikan rahasia besar di balik semua 'fasilitas kantor' yang sebenarnya hanya untuk Amanda.Mereka berdua melangkah masuk ke dalam lift, dan Amanda terus mengagumi detail apartemen baru yang akan menjadi rumahnya. Cahaya lampu yang hangat dan desain interior yang elegan membuatnya semakin takjub. Gabriel hanya tersenyum melihat reaksi Amanda, tahu bahwa semua ini adalah bagian dari rencananya untuk lebih dekat dengan wanita itu."Tidak sabar untuk melihat reaksi kamu saat memakai kalung yang sudah aku berikan tadi,"
Gabriel menatap Amanda dengan pandangan yang mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam. "Aku harus menyembunyikan identitasku, Amanda. Jika tidak, musuh-musuhku akan dengan mudah menemukanku di desa ini," ungkapnya dengan nada serius. Amanda mengerutkan keningnya, rasa tidak percaya terpancar dari matanya. "Aku tidak akan pernah memberitahu mereka, Gabriel! Aku tidak akan melakukannya meskipun kamu terus menyembunyikan hal ini dariku," protesnya, suara penuh emosi. Gabriel tersenyum lembut, matanya berkilauan penuh kelembutan. "Aku tahu, Amanda. Aku tahu kamu bukan tipe wanita yang akan mengkhianati kepercayaan seseorang," katanya, suaranya penuh keyakinan. "Itulah mengapa aku memilih untuk percaya dan meminta bantuanmu." Amanda tampak sedikit lebih tenang namun masih penasaran. "Lalu, siapa yang ingin menemukanmu? Siapa musuhmu itu?" tanyanya, rasa ingin tahu jelas terlihat di wajahnya. Gabriel menghela napas, matanya sejenak terlihat gelap sebelum dia menjawab. "Itu cerit
Gabriel membuka pintu penthouse mewahnya dengan senyum lebar di wajahnya. "Selamat datang kembali, Amanda," ucapnya, sambil memberikan isyarat agar Amanda masuk ke dalam. Ruangan itu tampak terang dengan dekorasi modern yang elegan, sama seperti yang pertama kali Amanda lihat saat Nathan memperkenalkannya beberapa waktu lalu.Amanda melangkah masuk, matahari sore menyinari ruang tamu melalui jendela besar yang menawarkan pemandangan kota yang memukau. Gabriel mempersilakan Amanda untuk duduk di sofa yang empuk. "Aku akan memasak sesuatu untukmu," kata Gabriel sambil berjalan ke dapur terbuka yang terletak tak jauh dari ruang tamu.Amanda, yang masih terkejut dengan keahlian memasak Gabriel, bertanya dengan nada penasaran, "Kamu bisa memasak, Tuan Gabriel?" Dia mengingat Gabriel sebagai pria yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, jarang memiliki waktu untuk hal-hal seperti memasak.Gabriel tersenyum sambil mengambil beberapa bahan dari kulkas. "Tenang saja, Amanda. Aku memang bukan kok
Pukul lima tepat, Gabriel keluar dari ruangannya dengan langkah pasti. Cahaya sore yang mulai redup menyorot wajahnya yang tampak serius. Amanda masih sibuk dengan tumpukan berkas di meja kerja sementara yang telah ia gunakan selama beberapa minggu terakhir. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Gabriel memanggil sekretarisnya dengan suara yang cukup keras sehingga membuat Amanda dan beberapa rekan kerja lainnya menoleh ke arahnya."Saya ingin mulai besok, meja kerja Amanda dan Nathan diletakkan di dalam ruang saya," ucap Gabriel dengan tegas. "Cukup satu meja besar saja untuk mereka berdua."Amanda dan Nathan saling pandang, keduanya tampak terkejut dan bingung dengan keputusan tiba-tiba dari Gabriel. Amanda merasa jantungnya berdegup kencang, bingung harus merespon seperti apa. Nathan, yang biasanya tenang, kali ini terlihat mengernyitkan dahi, jelas tidak senang dengan perubahan mendadak ini.Gabriel kemudian mendekati Amanda, matanya menatap langsung ke dalam mata Amanda yang masih terbuka le
"Samuelllll" teriak Gabriel yang melihat pelipis mata Amanda berdarah.Wajah Gabriel memerah, urat-uratnya menonjol seiring emosi yang memuncak. Dengan langkah yang mantap dan penuh amarah, ia mendekati Samuel yang berdiri dengan tampang tak berdosa. Tanpa peringatan, Gabriel melayangkan pukulan keras ke wajah Samuel. Pria itu tersentak, terlempar ke lantai dengan mulut berdarah.Amanda, dengan mata yang sudah berkaca-kaca, berlari mendekati Gabriel. Ia memegang lengan Gabriel yang masih gemetar karena marah, "Jon, jangan! Tolong, hentikan!" suaranya parau, memohon.Gabriel, dengan nafas yang masih tersengal, menatap wajah Amanda. Matanya yang tajam menelisik, mencari alasan di balik permohonan Amanda. "Mengapa kau memohon untuknya, Amanda? Apa yang membuatmu menaruh belas kasihan pada pria yang telah menyakitimu?" tanyanya, suara berat penuh kekecewaan.Amanda menggigit bibir, matanya semakin berkaca-kaca, "Aku hanya... aku tidak ingin kau menjadi pembunuh, Jon. Itu bukan dirimu," uc