Laura menatapnya tanpa ekspresi. Tentu saja, ia tidak akan menuruti mereka. Dia sudah cukup bodoh di kehidupan sebelumnya karena membiarkan mereka memanfaatkannya dan mengurasnya sampai kering.
"Apa kamu mengerti?! Kamu tidak boleh bercerai dengan Lucian!" George gelisah menatap mata biru Laura yang dingin dan tak terbaca. Laura tampak berbeda dari biasanya. Dulu dia selalu penurut dan takut pada mereka. Dengan kesal, ia meraih dagunya dan mengancam, "Jika kamu sampai bercerai dan mengungkap hubungan Lucian dan Viola, aku akan membunuhmu!" "Hei, apa yang kamu lakukan!" Seorang pria tiba-tiba masuk dan mendorong George menjauh dari Laura. "Siapa kalian? Beraninya kalian menyakiti Laura!" seru Andrew marah. "Ini bukan urusanmu. Kami adalah orang tuanya. Sebaliknya, kamu siapa?! Jangan ikut campur!" George kesal karena seorang dokter berkepala botak telah mendorongnya dan berteriak di depannya. "Orang tua? Kalian menyebut diri kalian orang tua dan mengancam seorang anak?!" tanya Andrew tak percaya. “Dengar ya, kamu hanya dokter, jangan ikut campur dalam urusan keluarga kami, atau kami akan membuatmu dipecat dari rumah sakit ini!” ancam George. Andrew mencibir. Ia belum pernah bertemu dengan orang tua dan sesombong pasangan di depannya. Dia, Andrew Adams, sangat dihormati di rumah sakit ini dan anggota keluarga Adams. Dia adalah pemilik rumah sakit ini. Mereka pikir mereka siapa berani memecatnya dari rumah sakitnya sendiri! “Tunggu sebentar, jangan-jangan kamu sangat dekat dengan Laura? Apa yang dia lakukan padamu? Merayumu untuk membayar kamar presidential suite ini?” Emma menatap Andrew curiga. Ia memandang Andrew dan Laura dengan jijik. Pria itu sudah tua dan botak. Laura membuka mulutnya untuk membalas, tetapi dipotong oleh Andrew. “Omong kosong! Tutup mulut kalian sebelum aku memanggil satpam untuk mengusir kalian!” bentak Andrew marah. Emma mengibaskan tangannya acuh tak acuh. “Tak apa-apa. Kalian berdua memang cocok. Putriku ini memang pelacur yang merayu pria tua untuk mendapatkan kekayaan. Sementara kamu...” ia melirik Andrew dari atas ke bawah dengan tatapan merendahkan. “Kamu harus menjadi pemilik rumah sakit ini, tentu kami akan mengizinkan kamu menikahi anak kami yang tak berguna ini. Tetapi sepertinya kamu hanya dokter UGD biasa. Kamu harus membayar 100 juta dolar untuk menikahi Laura!” Laura dan Andrew terdiam mendengar kata-kata Emma yang sangat menjijikkan. Bagi Andrew, uang segitu hanya uang saku untuk putranya, tetapi ia tidak terima keponakannya yang berharga dituduh merayu pria tua demi kekayaan. Orang tua angkat macam apa yang dimiliki Laura?! “Kamu pikir Laura itu siapa? Barang yang bisa kamu perdagangkan?!” seru Andrew. “Ya, dia memang barang yang akan kami jual kepada siapa pun yang membelinya dengan harga tinggi!” balas Emma mengejek. “Sudahlah, berhenti berdebat hal yang tidak berguna.” George menyela acuh tak acuh, lalu melirik jam tangannya dan menatap Laura. “Aku tidak peduli bagaimana kamu merayu seorang pria dan bercerai dari Lucian, tetapi jangan menyeret Viola dan keluarga Samson atas perselingkuhanmu. Lebih baik kamu meminta Tuan Billy memberimu tunjangan berupa warisan dan saham sebelum bercerai dari Lucian. Menyedihkan sekali menikahkanmu dengan susah payah tetapi tidak pernah mendapatkan apa pun.” Ia menatap Andrew dan mengerutkan keningnya. “Lebih baik kamu mencari seorang pria yang lebih kaya yang bisa membantu Samson Corporation daripada seorang dokter UGD.” Pasangan Samson itu berbicara tanpa memberi Laura dan Andrew kesempatan untuk membalas. “Hubungi kami setelah kamu mendapatkan warisan dan saham dari Tuan Billy. Jangan lupa untuk menyebutkan investasi pada Samson Corporation pada Tuan Billy.” Setelah mengatakan itu, George pergi dengan istrinya, meninggalkan Laura dan Andrew yang tercengang. “Seorang dokter UGD? Itu sebuah penghinaan! Aku pemilik rumah sakit ini! Lagi pula, apa yang salah dengan dokter UGD? Mereka tetap menyelamatkan orang dan lebih mulia daripada lintah pecinta uang seperti kalian!” gerutu Andrew marah setelah kepergian George dan Emma. “Dokter Adams, aku minta maaf atas kata-kata kasar orang tuaku,” kata Laura meminta maaf padanya dengan suara yang sangat tenang dan tulus. “Untuk apa kamu meminta maaf atas nama mereka? Mereka yang seharusnya minta maaf!” kata Andrew, menatapnya khawatir. “Kamu tidak apa-apa? Jangan dengarkan kata-kata mereka yang menyebalkan. Kamu bukan orang yang seperti itu.” “Aku tidak apa-apa. Orang tuaku memang selalu seperti itu. Aku sudah terbiasa.” Perasaan Andrew semakin buruk mendengar ucapan Laura tentang orang tua angkatnya. Ia meraih pundaknya lembut, “Jangan sedih, kamu memiliki orang tua kandung yang menyayangimu. Keluarga Adams seribu kali lebih baik daripada keluarga angkatmu.” Tepat setelah ia mengatakan itu, pintu kamar Laura terbuka dengan suara keras dan sekelompok orang masuk. “Laura! Gadis manisku!” seru seorang wanita. Mata Laura membelalak ketika seorang wanita setengah baya yang masih cantik berlari memeluknya.Pernikahan Tristan Adams akan diadakan seminggu setelah lamaran itu diterima. Tidak ada yang menyangka bahwa pernikahan antara Tristan Adams, putra sulung dari keluarga paling disegani di Capital dan Mia, seorang wanita biasa dengan dua anak kecil akan terjadi begitu cepat dan begitu megah.Gedung pernikahan yang disewa adalah aula tertua dan termewah di pusat kota, dihiasi ribuan bunga putih dan lilin-lilin kristal yang berkilauan. Tamu-tamu berdatangan dari berbagai penjuru negeri. Politikus, artis, konglomerat, dan bahkan duta besar asing turut hadir.Media massa berlomba memberitakan pernikahan itu sebagai “Cinderella Abad Ini".Namun di tengah keramaian dan sorotan lampu kamera, Mia merasa seolah sedang berjalan dalam mimpi yang tak dia pahami. Semua terasa asing. Gaun putih yang membalut tubuhnya terasa berat.Senyum yang dia paksa tunjukkan pada tamu-tamu seperti topeng yang menutupi kegelisahan dalam hatinya. Ketika pesta usai dan Mia mulai menyadari semua ini bukan khayalan, d
“Aku ingin kamu menjadi istriku, Mia.”Mia terkejut bukan main. “Apa?”“Menikahlah denganku.”"Permainan apa lagi ini?" tanya Mia seraya menarik tangannya dari genggaman Tristan.Tristan menggeleng pelan. "Maaf, Mia ... aku belum sempat membeli cincin untuk melamarmu. Tapi setidaknya, aku harus mengungkapkan keinginanku sekarang."Si kembar yang baru keluar dari kamar mereka tampak kegirangan melihat Tristan berlutut di hadapan ibunya.“Paman melamar Mama?” tanya Alana dengan suara polos.Tristan menoleh dan tersenyum tipis, lalu berkata pelan, “Mulai sekarang, jangan panggil aku ‘Paman’ lagi. Panggil aku Papa.”Alana dan Alister saling berpandangan sebentar sebelum dengan riang meneriakkan, “Papa!”Mia terpaku. Jantungnya berdegup keras di dada. Ada haru yang merayap di hatinya saat mendengar suara si kembar memanggil Tristan seperti itu. Namun rasa tidak percaya jauh lebih kuat. Dia merasa seperti sedang dipermainkan.“Tuan Tristan,” katanya pelan, menatap pria itu dengan pandangan
Mia keluar dari kamar si kembar dan mendapati Tristan duduk di sofa ruang tamu. Dia menghela napas pelan."Kenapa masih di sini?" tanyanya dingin."Aku mau mengantar anak-anak ke sekolah," jawab Tristan tenang."Tidak perlu. Aku bisa mengantar mereka sendiri."Tristan bangkit dari duduknya lalu berjalan mendekat ke arah Mia. Sorot matanya terlihat sendu. “Mia ... biarkan aku melakukan sesuatu untuk mereka."Mia hampir saja meloloskan tawa mendengar ucapan Tristan. "Jadi sekarang kamu ingin menjadi sosok ayah yang baik untuk mereka? Ke mana saja kamu selama ini?" sindirnya."Okay, kita bicarakan ini sekarang, ya?"Mia mengangkat tangannya pertanda dia tidak ingin mendengar apapun yang diucapkan oleh Tristan. Kekesalannya semakin menjadi-jadi. Kenapa baru sekarang saat dirinya sudah ingin melupakan semua yang terjadi antara dirinya dengan pria itu."Kamu pergi saja, Tuan Tristan ... kami tidak membutuhkanmu di sini," ucap Mia.Saat itu bel apartemen berbunyi. Mia segera menuju ke pintu
Mia membuka mata pagi itu saat sinar mentari muncul dari sela-sela gorden kamar dan menyentuh wajahnya. Dia menguap sebentar, lalu beranjak dari atas tempat tidur.Ingatan tentang Tristan yang tertidur di depan pintu apartemennya seketika menyelinap di kepalanya. Ah, mungkin saja Tristan sudah pergi, pikirnya.Saat memeriksa ke kamar si kembar, bibir Mia mengulas senyum tipis. Kedua buah hatinya itu masih tertidur pulas. Tentu saja, karena hari masih terlalu pagi. Mia memang selalu bangun lebih cepat karena harus mengurus keperluan si kembar untuk sekolah.Mia menyambar satu kantong sampah yang hendak dikeluarkan dari apartemen. Saat membuka pintu, pandangannya tertuju pada sosok pria tampan yang tertidur pulas di dekat pintu."Astaga," gumamnyaJadi Tristan semalaman tidur di sini?!Mia menggeleng pelan. Tentu saja dia tidak bisa ke mana-mana karena mabuk berat. Ada rasa iba menggelitik dalam hatinya saat melihat Tristan yang tertidur pulas.Bayangkan, seorang CEO perusahaan ternama
Mia baru saja menidurkan Alana dan Alister setelah membacakan buku cerita bergambar. Malam itu terasa lebih melelahkan dari biasanya. Bukan karena anak-anak rewel, tapi karena pikirannya dipenuhi oleh satu nama yang tak bisa ia hindari—Tristan. Ia duduk sejenak di sofa, menatap pintu apartemen yang tertutup. Matanya menerawang, mengingat kembali keputusan besar yang dia ambil pagi tadi: menyerahkan surat pengunduran diri. Keputusan itu bukan hal mudah. Dia sudah tahu Tristan akan marah. Tapi dia lelah terus berada dalam hubungan yang tak pasti. Dia lelah menjadi wanita yang hanya dianggap "penghangat ranjang" oleh pria yang sebenarnya dia cintai diam-diam. Tiba-tiba, ketukan pelan terdengar dari luar pintu. Mia menoleh. Dadanya berdebar. Sepertinya dia sudah bisa menebak siapa yang datang malam-malam begini. Ketukan pintu kembali terdengar. Pelan Mia menyeret kaki menuju ke arah pintu. Dia terdiam sejenak di sana, hingga suara yang begitu dia kenal terdengar. “Mia, ini aku.” Ben
"Tsk!"Tangan Tristan mengepal erat saat memeriksa surat pengunduran diri Mia. Beraninya dia seenaknya saja berbuat demikian, pikirnya. Rasanya ingin dia robek-robek kertas di hadapannya itu dan dia buang ke tempat sampah. Atau mungkin dia datangi saja Mia dan meminta penjelasan darinya. Terlebih meminta penjelasan kenapa Mia bisa dekat dengan Danis.Namun, Tristan sadar kalau hal itu akan menyentil egonya. Entahlah, saat ini pikirannya benar-benar kacau.Langit malam kota masih kelabu ketika Tristan melangkah masuk ke dalam bar kecil di sudut jalan. Dentingan gelas dan musik lembut menemani pikirannya yang berantakan. Dia melepas jasnya, duduk di kursi bar, dan menatap kosong ke arah rak minuman.Dia butuh jeda. Butuh hening dari segala hal yang menyesakkan.“Malam panjang, ya?” suara Lucian menyapa dari belakang. Adik iparnya itu duduk di sebelahnya, menyambar satu gelas yang langsung diisi bartender. Dia sengaja menelepon Lucian dan memintanya bertemu di bar.“Kenapa baru datang?”