"Kamu ... Fabian?!"
Rosalyn nyaris tidak percaya melihat sosok pria yang dulu begitu dekat dengannya, kini muncul di hadapannya setelah sekian lama tak berjumpa. Fabian tersenyum lebar. “Kebetulan sekali kita bertemu. Bagaimana kabarmu?” Wajah tampan pria itu tampak menyejukkan di bawah sinar matahari musim semi. “Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” Rosalyn tersenyum hangat, sejenak melupakan rasa lelahnya. Fabian menyahut dengan suara lembut, “Secara fisik aku sehat.” Sesaat kemudian Rosalyn merasakan Fabian memperhatikannya. Ia tahu pria itu sedang menunjukkan ketertarikan dan kekaguman yang tidak berubah sedari dulu. Tiba-tiba Fabian mengeluarkan kartu nama dan memberikannya kepada Rosalyn. Membuat wanita itu mengerutkan alis serta bertanya, “Ini untuk apa?” “Aku tahu kamu sangat berbakat. Kebetulan perusahaan kami sedang mencari seorang arsitek andal.” Sorot mata Fabian terlihat tulus ketika mengucapkannya. Pria itu menambahkan, “Datanglah besok, kami mengadakan wawacara secara langsung.” Setelah mengatakan itu, keduanya berpisah di depan pintu restoran, meninggalkan Rosalyn yang tersenyum haru mendapatkan sebuah kebetulan ini. Pukul tujuh malam Rosalyn tiba di vila. Di bawah cahaya lampu kristal yang cukup besar, tatapan Rosalyn dan Dewa yang baru saja keluar dari ruang kerjanya di lantai satu bersirobok. "Dari mana kamu?" Rosalyn tahu suasana hati Dewa sedang buruk. Jika sebelumnya ia langsung menghampiri pria itu dan bertutur kata dengan manja, kini kedua kaki jenjang Rosalyn membeku. Dewa kembali menegur, “Suamimu bertanya, Rosalyn!” Kekesalan nampak jelas dari nada bicaranya. Rosalyn menghela napas panjang. Ia menjawab, “Jalan-jalan sebentar.” Sesaat Rosalyn menatap wajah tampan suaminya dengan sorot mata datar. Setelah itu ia melenggang begitu saja melewati Dewa menuju kamar utama di lantai dua. Sepuluh menit berlalu, Rosalyn telah selesai dengan kegiatannya dan keluar menggunakan pakaian lengkap. Sejenak, Rosalyn kaget ketika melihat kehadiran sang suami yang sudah duduk dengan santai di ujung ranjang. Dahi pria itu terlihat mengernyit, heran melihat penampilan Rosalyn sekarang. Rosalyn bukan gadis polos. Ia begitu tahu cara memikat hasrat sang suami. Sering kali, wanita itu menggoda Dewa dengan memamerkan kemolekan tubuhnya, berpakaian di bawah tatapan sang suami. Namun sekarang, wanita itu keluar sudah dengan pakaian lengkapnya yang santai. “Air mandiku sudah siap?” Pertanyaan itu terdengar ketika Rosalyn melewati Dewa. Rosalyn menggeleng santai, lalu menjawab dengan tidak acuh, “Kamu bisa melakukannya sendiri.” Dewa tertegun lalu mengernyit. Wajah tampannya kemudian berubah kusut. "Kamu istriku. Sudah tugasmu melayaniku!” “Tugasku? Cari saja kekasihmu itu!” tolak Rosalyn tanpa memedulikan ekspresi suram sang suami. Rosalyn hendak membuka handle pintu. Akan tetapi Dewa mencekal pergelangan tangan wanita itu sambil berkata, “Apa kamu sedang belajar merajuk?” Rosalyn menolehkan kepala dan menatap jengah. Ia menyahut dengan nada tertekan, “Kalau iya, apa aku tidak boleh melakukannya?” Dewa maju satu langkah tanpa melepas cekalannya terhadap Rosalyn. Sebelah tangan pria itu membelai lembut pipi tirus sang istri. Ia menegaskan, “Tidak, karena itu kekanakan.” Seketika Rosalyn tercekat. Ia memandangi wajah Dewa yang terlihat menyeringai puas. “Kenapa diam?” kata Dewa dengan enteng. “Aku lelah, Dewa." Rosalyn mengangkat bahu. Ia tersenyum getir, lantas menambahkan, “Aku serius ingin bercerai. Kamu tidak perlu repot. Aku akan mengurus persyaratannya.” Wanita itu berusaha melepas cengkeraman tangan suaminya. Namun, sekeras apa pun Rosalyn berusaha ... cengkeraman Dewa pada tangannya tetap lebih kuat. "Katakan sekali lagi?!" pinta pria itu dengan mata abu-abunya yang menggelap. Tidak takut, Rosalyn dengan berani menatap sang suami. "Ceraikan aku–" Kemudian kata-kata Rosalyn hilang karena bibirnya lebih dulu disambar oleh Dewa secara kasar. Mengandalkan tenaga yang tersisa, Rosalyn memberontak. Ia tidak bersedia dijadikan pelampiasan amarah suaminya. Sayang, lagi-lagi, tubuh molek Rosalyn tidak berdaya di bawah kuasa sang suami. Alih-alih menikmati persatuan mereka, wanita itu justru lebih merasa jika ia sedang dinodai. Terlebih, ucapan kala Dewa mengakhiri penyatuan mereka yang membuat Rosalyn menangis sepanjang malam. “Setiap kata laknat itu terucap, kamu akan menerima hukuman seperti ini!” Pagi-pagi sekali, Rosalyn bangun seorang diri. Seperti biasa, Dewa telah menghilang dari ranjang mereka. Namun kali ini, Rosalyn sudah benar-benar tidak peduli. Ia memilih untuk fokus pada rencananya pagi ini. Untuk itulah, melupakan luka batinnya, pukul tujuh pagi Rosalyn telah rapi. Dengan pakaian formal dan riasan natural, penampilannya terlihat begitu segar. Rosalyn sudah memutuskan, ia akan menghadiri wawancara kerja yang Fabian tawarkan padanya kemarin. Senyuman Rosalyn terus terpatri mana kala ia dinyatakan lolos dan diterima untuk bekerja di sana. “Lihatlah, Dewa … satu per satu akan kuperlihatkan kemampuanku padamu.” Selesai wawancara, wanita yang mengenakan kemeja satin lengan panjang berwarna merah mawar serta rok hitam itu berjalan kaki menyusuri pematang jalan. Tepat di persimpangan ketika rambu lalu lintas berwarna merah, manik almond Rosalyn menangkap sosok sang suami yang sedang bersama dengan kekasihnya–Vinsensia. Sesaat, mata indah Rosalyn berkaca-kaca memperhatikan cara Dewa memperlakukan Vinsensia. Sangat lembut dan perhatian, termasuk tatapan hangat yang terpancar dari pria itu. Sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan dari sang suami. Rosalyn membatin, ‘Kamu memang bajingan, Dewa!’ Ketika Rosalyn hendak melangkah, rasa sesak di dadanya tiba-tiba semakin menghimpit. Makin lama ia berjalan, pandangannya berubah semakin tidak fokus sebelum kemudian kesadarannya hilang.“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka