Share

Bab 4

Kaisar menoleh begitu mendengar pintu terbuka. Melihat Adi masuk dengan perawat saat Dita masih menggenggam erat tangannya. Namun, dia juga tidak mungkin melepaskan tangan adik sahabatnya itu begitu saja. Dita pasti menahan rasa sakit. Karena berulang kali mengeratkan genggamannya.

“Syukurlah kamu datang, Di. Dita merintih terus, kayanya sakit banget,” ucap Kaisar dengan raut khawatir.

“Permisi, Mas. Saya ingin menyuntikkan pereda nyeri dulu,” kata perawat pada Kaisar.

“Iya, Sus.” Kaisar berdiri dan ingin melepas tangannya, tapi Dita tidak mau melepaskan. Mungkin gadis itu masih merasakan sakit, jadi ingin terus menggenggam tangan Kaisar. Akhirnya dia tetap berdiri di sisi ranjang, dan memberi ruang untuk perawat melakukan tindakan.

Adi hanya diam melihat pemandangan di depannya. Mencoba tetap berpikir positif, mungkin tadi Dita mencarinya dan mengira Kaisar adalah dia. Karena itu, sang adik terus menggenggam tangan sahabatnya. Adi yakin perwira polisi itu tidak akan mengambil kesempatan dalam kesempitan karena dia sangat mengenal Kaisar. Tidak mungkin sahabatnya itu melakukan hal yang di luar batas.

Sesudah perawat menyuntikkan obat pereda nyeri dan keluar dari ruangan itu, perlahan Dita mengendurkan genggaman tangannya. Kaisar langsung menarik tangannya begitu genggaman mereka terlepas. Dia merasa tidak enak dengan Adi. “Tadi itu—“

Adi tersenyum pada Kaisar. “Enggak apa-apa, Kai. Santai saja. Makasih sudah jaga Dita,” potong Adi sebelum sahabatnya menjelaskan kenapa dia menggenggam tangan Dita.

“Dita itu kalau sakit memang manja. Maunya ditemani terus,” lanjut Adi yang menjelaskan kebiasaan sang adik saat sedang sakit. “Dita sudah tidur, ayo kita duduk lagi,” ajaknya kemudian setelah melihat Dita kembali memejamkan mata dan terlihat tenang.

Kaisar mengangguk dan mengikuti Adi yang duduk di sofa. Dalam hati dia merasa lega karena Adi tidak curiga padanya. “Di, nanti azan Asar aku balik ya.”

“Mau langsung ngantor?” Adi menoleh pada Kaisar.

Kaisar menyengguk. “Iya, lumayan ‘kan jarak dari sini ke kantor. Kalau mampir ke rumah dulu nanti malah kelamaan. Ibu pasti marah-marah kalau aku cuma pulang sebentar. Jadi, mending enggak usah pulang sekalian,” ujarnya.

“Kamu mau balik sekarang juga enggak apa-apa kok, Kai. Nanti habis Asar pasti ayah sama bunda ke sini,” sahut Adi yang kembali memandang ke arah Dita yang terbaring tenang di ranjang.

“Nanti saja, aku masih ingin ngobrol sama kamu. Sudah lama ‘kan kita enggak ketemu.” Kaisar mengungkapkan alasannya, selain juga masih ingin menemani sang pujaan hati. Tidak ada salahnya ‘kan sambil menyelam minum air. Asal tidak tenggelam saja.

Seperti ucapannya tadi, begitu azan Asar berkumandang, Kaisar pamit pada Adi. Sebelum pergi dia menyempatkan memandangi wajah Dita saat beralasan ingin pamit pada gadis itu. Nyatanya Dita masih tertidur dan Kaisar tak tega membangunkannya. Diam-diam pria itu merekam wajah Dita dalam ingatan. Sembari mendoakan dalam hati, semoga pujaan hatinya itu segera sehat dan pulih seperti sedia kala.

“Nanti aku kabari kalau ada perkembangan terbaru soal penabraknya, Di. Tolong kabari aku juga perkembangan kondisi Dita. Minggu besok insyaAllah aku pulang. Aku akan mampir lagi,” lontar Kaisar.

“Siap. Makasih, Kai.” Mereka lalu melakukan salam khas sebelum sang perwira muda meninggalkan ruangan tersebut.

Kaisar meninggalkan rumah sakit dengan hati setengah bahagia, setengah sedih. Dia bahagia karena bisa melihat Dita dan ikut menenangkan, tapi sedih karena melihat kondisinya yang kesakitan seperti tadi. Dia melangkahkan kaki ke masjid sebelum menuju parkiran. Menunaikan kewajibannya sebagai hamba Allah sekaligus mendoakan gadis yang selalu bersemayam di hatinya itu.

Usai salat Asar dan berdoa, Kaisar pun menuju tempat parkir untuk mengambil motor. Setelah itu dia melajukan kuda besinya ke polsek tempatnya ditugaskan. Mengemban amanat sebagai abdi negara yang harus menjaga ketertiban dan keamanan di masyarakat.

***

“Ma, besok Minggu temanku mau main ke sini. Boleh ‘kan?” tanya Shasha saat sedang makan malam bersama keluarganya.

“Boleh saja, kenapa tidak? Apa perlu mama masakkan sesuatu?” tawar Bu Dewi yang sekarang sudah bisa meluangkan waktu setiap akhir pekan dengan keluarga setelah butiknya berjalan dengan stabil selama dua tahun.

“Asal Mama tidak sibuk, boleh saja kalau ingin masak sesuatu. Tapi kalau sibuk tidak usah, Ma. Aku tidak mau Mama capek,” sahut Shasha.

“Sekarang setiap Minggu ‘kan mama selalu di rumah, jadi mama bisa melakukan apa pun.” Bu Dewi tersenyum pada putri sulungnya itu. “Berapa orang yang mau datang, Sha?” tanyanya kemudian.

“Cuma satu kok, Ma,” jawab Shasha.

“Teman kuliah?” Bu Dewi kembali bertanya pada sang putri sulung.

Shasha mengangguk. “Iya, satu jurusan. Namanya Tirta.”

“Pacarnya Kak Shasha?” tukas Rendra yang membuat Shasha sampai tersedak hingga batuk-batuk.

“Minum dulu, Sha.” Bu Dewi memberi gelas berisi air putih pada Shasha.

Setelah minum dan tenggorokannya lega, Shasha menjawab Rendra. “Jangan asal bicara! Dia bukan pacar. Kakak wanita normal ya. Perlu kamu tahu kalau Tirta itu cewek bukan cowok, Ren,” jelasnya yang tidak terima dengan tuduhan sang adik.

“Oh, cewek. Aku kira cowok, soalnya namanya kaya cowok,” sahut Rendra tanpa rasa bersalah dan melanjutkan lagi menyantap makan malamnya.

“Makanya tanya dulu biar enggak salah dan asal tuduh. Memang dia sering dikira cowok karena namanya, tapi Tirta itu cewek tulen. Besok Minggu kamu kenalan sama dia kalau enggak percaya,” ujar Shasha.

“Aku besok mau latihan di Gelanggang,” kata Rendra.

“Ya, habis latihan kan bisa,” lontar Shasha.

“Habis latihan aku ke kafe, Kak. Sabtu dan Minggu kan jadwal wajibku ke kafe,” ujar Rendra yang setelah lulus SMA membuka kafe di samping butik mamanya.

“Terserah kamulah kalau tidak mau kenalan sama dia. Yang jelas Tirta itu cewek bukan cowok.” Shasha merasa kesal pada adiknya yang susah disuruh kenalan sama cewek. Padahal hanya kenalan biar tahu nama dan orangnya, bukan karena mau dijodohkan, tetap saja tidak mau.

Namun, kalau dia terdengar membicarakan soal cowok, Rendra pasti akan langsung angkat bicara. Sikap protektifnya melebihi almarhum papa mereka. Maklum saja, sejak papanya meninggal, Rendra mau tidak mau mengambil tanggung jawab untuk melindungi keluarganya karena hanya dia sosok pria di rumah itu.

“Sudah, tidak usah diributkan masalah seperti itu. Mama tidak pernah melarang kalian berteman dengan siapa saja selama tidak membawa dampak yang buruk untuk kalian. Berulang kali mama juga bilang, jangan pernah pilih-pilih kalau berteman. Preman pun boleh dijadikan teman selama dia baik dengan kita. Mama tidak akan mempermasalahkan hal itu. Asal kita tetap mampu menjaga diri dan tidak ikut melakukan hal yang negatif. Intinya selama orang baik sama kita, ya kita juga harus baik sama mereka.” Bu Dewi menasihati ketiga buah hatinya.

“Iya, Ma,” sahut Shasha, Rendra dan Nisa.

“Ma, besok kita bikin kue saja. Mama sudah lama ‘kan enggak bikin kue,” pinta si bungsu, Nisa. Dahulu Bu Dewi memang sering membuat kue untuk dinikmati oleh keluarga kecilnya. Namun, sejak sang suami meninggal dunia dan dia harus bekerja keras membangun butik demi bisa menafkahi ketiga buah hatinya, Bu Dewi tak pernah lagi membuat kue. Bahkan memasak pun jarang. Biasanya Shasha atau Rendra yang memasak untuk makan mereka. Tergantung siapa yang punya waktu luang.

“Kamu mau dibikinkan kue apa, Nis?” Bu Dewi menoleh pada putri bungsunya.

“Apa saja yang dibuat Mama, aku mau. Aku kangen makan kue buatan Mama,” sahut Nisa dengan penuh antusias.

“Coba nanti dilihat ada bahan apa di lemari. Kalau ternyata habis, nanti kita belanja bahan kue setelah makan,” ujar Bu Dewi.

“Asyik,” teriak Nisa dengan girang. Akhirnya dia bisa merasakan lagi kue buatan sang mama yang menurutnya paling enak dari bakeri mana pun.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
sebenarnya penasaran ini siapa yg nabrak dita itu koq sampai lepas tangan gitu, waduh kalian buat kue bersama aq gak di ajak kwkwkw
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status