Kaisar menoleh begitu mendengar pintu terbuka. Melihat Adi masuk dengan perawat saat Dita masih menggenggam erat tangannya. Namun, dia juga tidak mungkin melepaskan tangan adik sahabatnya itu begitu saja. Dita pasti menahan rasa sakit. Karena berulang kali mengeratkan genggamannya.
“Syukurlah kamu datang, Di. Dita merintih terus, kayanya sakit banget,” ucap Kaisar dengan raut khawatir.
“Permisi, Mas. Saya ingin menyuntikkan pereda nyeri dulu,” kata perawat pada Kaisar.
“Iya, Sus.” Kaisar berdiri dan ingin melepas tangannya, tapi Dita tidak mau melepaskan. Mungkin gadis itu masih merasakan sakit, jadi ingin terus menggenggam tangan Kaisar. Akhirnya dia tetap berdiri di sisi ranjang, dan memberi ruang untuk perawat melakukan tindakan.
Adi hanya diam melihat pemandangan di depannya. Mencoba tetap berpikir positif, mungkin tadi Dita mencarinya dan mengira Kaisar adalah dia. Karena itu, sang adik terus menggenggam tangan sahabatnya. Adi yakin perwira polisi itu tidak akan mengambil kesempatan dalam kesempitan karena dia sangat mengenal Kaisar. Tidak mungkin sahabatnya itu melakukan hal yang di luar batas.
Sesudah perawat menyuntikkan obat pereda nyeri dan keluar dari ruangan itu, perlahan Dita mengendurkan genggaman tangannya. Kaisar langsung menarik tangannya begitu genggaman mereka terlepas. Dia merasa tidak enak dengan Adi. “Tadi itu—“
Adi tersenyum pada Kaisar. “Enggak apa-apa, Kai. Santai saja. Makasih sudah jaga Dita,” potong Adi sebelum sahabatnya menjelaskan kenapa dia menggenggam tangan Dita.
“Dita itu kalau sakit memang manja. Maunya ditemani terus,” lanjut Adi yang menjelaskan kebiasaan sang adik saat sedang sakit. “Dita sudah tidur, ayo kita duduk lagi,” ajaknya kemudian setelah melihat Dita kembali memejamkan mata dan terlihat tenang.
Kaisar mengangguk dan mengikuti Adi yang duduk di sofa. Dalam hati dia merasa lega karena Adi tidak curiga padanya. “Di, nanti azan Asar aku balik ya.”
“Mau langsung ngantor?” Adi menoleh pada Kaisar.
Kaisar menyengguk. “Iya, lumayan ‘kan jarak dari sini ke kantor. Kalau mampir ke rumah dulu nanti malah kelamaan. Ibu pasti marah-marah kalau aku cuma pulang sebentar. Jadi, mending enggak usah pulang sekalian,” ujarnya.
“Kamu mau balik sekarang juga enggak apa-apa kok, Kai. Nanti habis Asar pasti ayah sama bunda ke sini,” sahut Adi yang kembali memandang ke arah Dita yang terbaring tenang di ranjang.
“Nanti saja, aku masih ingin ngobrol sama kamu. Sudah lama ‘kan kita enggak ketemu.” Kaisar mengungkapkan alasannya, selain juga masih ingin menemani sang pujaan hati. Tidak ada salahnya ‘kan sambil menyelam minum air. Asal tidak tenggelam saja.
Seperti ucapannya tadi, begitu azan Asar berkumandang, Kaisar pamit pada Adi. Sebelum pergi dia menyempatkan memandangi wajah Dita saat beralasan ingin pamit pada gadis itu. Nyatanya Dita masih tertidur dan Kaisar tak tega membangunkannya. Diam-diam pria itu merekam wajah Dita dalam ingatan. Sembari mendoakan dalam hati, semoga pujaan hatinya itu segera sehat dan pulih seperti sedia kala.
“Nanti aku kabari kalau ada perkembangan terbaru soal penabraknya, Di. Tolong kabari aku juga perkembangan kondisi Dita. Minggu besok insyaAllah aku pulang. Aku akan mampir lagi,” lontar Kaisar.
“Siap. Makasih, Kai.” Mereka lalu melakukan salam khas sebelum sang perwira muda meninggalkan ruangan tersebut.
Kaisar meninggalkan rumah sakit dengan hati setengah bahagia, setengah sedih. Dia bahagia karena bisa melihat Dita dan ikut menenangkan, tapi sedih karena melihat kondisinya yang kesakitan seperti tadi. Dia melangkahkan kaki ke masjid sebelum menuju parkiran. Menunaikan kewajibannya sebagai hamba Allah sekaligus mendoakan gadis yang selalu bersemayam di hatinya itu.
Usai salat Asar dan berdoa, Kaisar pun menuju tempat parkir untuk mengambil motor. Setelah itu dia melajukan kuda besinya ke polsek tempatnya ditugaskan. Mengemban amanat sebagai abdi negara yang harus menjaga ketertiban dan keamanan di masyarakat.
***
“Ma, besok Minggu temanku mau main ke sini. Boleh ‘kan?” tanya Shasha saat sedang makan malam bersama keluarganya.
“Boleh saja, kenapa tidak? Apa perlu mama masakkan sesuatu?” tawar Bu Dewi yang sekarang sudah bisa meluangkan waktu setiap akhir pekan dengan keluarga setelah butiknya berjalan dengan stabil selama dua tahun.
“Asal Mama tidak sibuk, boleh saja kalau ingin masak sesuatu. Tapi kalau sibuk tidak usah, Ma. Aku tidak mau Mama capek,” sahut Shasha.
“Sekarang setiap Minggu ‘kan mama selalu di rumah, jadi mama bisa melakukan apa pun.” Bu Dewi tersenyum pada putri sulungnya itu. “Berapa orang yang mau datang, Sha?” tanyanya kemudian.
“Cuma satu kok, Ma,” jawab Shasha.
“Teman kuliah?” Bu Dewi kembali bertanya pada sang putri sulung.
Shasha mengangguk. “Iya, satu jurusan. Namanya Tirta.”
“Pacarnya Kak Shasha?” tukas Rendra yang membuat Shasha sampai tersedak hingga batuk-batuk.
“Minum dulu, Sha.” Bu Dewi memberi gelas berisi air putih pada Shasha.
Setelah minum dan tenggorokannya lega, Shasha menjawab Rendra. “Jangan asal bicara! Dia bukan pacar. Kakak wanita normal ya. Perlu kamu tahu kalau Tirta itu cewek bukan cowok, Ren,” jelasnya yang tidak terima dengan tuduhan sang adik.
“Oh, cewek. Aku kira cowok, soalnya namanya kaya cowok,” sahut Rendra tanpa rasa bersalah dan melanjutkan lagi menyantap makan malamnya.
“Makanya tanya dulu biar enggak salah dan asal tuduh. Memang dia sering dikira cowok karena namanya, tapi Tirta itu cewek tulen. Besok Minggu kamu kenalan sama dia kalau enggak percaya,” ujar Shasha.
“Aku besok mau latihan di Gelanggang,” kata Rendra.
“Ya, habis latihan kan bisa,” lontar Shasha.
“Habis latihan aku ke kafe, Kak. Sabtu dan Minggu kan jadwal wajibku ke kafe,” ujar Rendra yang setelah lulus SMA membuka kafe di samping butik mamanya.
“Terserah kamulah kalau tidak mau kenalan sama dia. Yang jelas Tirta itu cewek bukan cowok.” Shasha merasa kesal pada adiknya yang susah disuruh kenalan sama cewek. Padahal hanya kenalan biar tahu nama dan orangnya, bukan karena mau dijodohkan, tetap saja tidak mau.
Namun, kalau dia terdengar membicarakan soal cowok, Rendra pasti akan langsung angkat bicara. Sikap protektifnya melebihi almarhum papa mereka. Maklum saja, sejak papanya meninggal, Rendra mau tidak mau mengambil tanggung jawab untuk melindungi keluarganya karena hanya dia sosok pria di rumah itu.
“Sudah, tidak usah diributkan masalah seperti itu. Mama tidak pernah melarang kalian berteman dengan siapa saja selama tidak membawa dampak yang buruk untuk kalian. Berulang kali mama juga bilang, jangan pernah pilih-pilih kalau berteman. Preman pun boleh dijadikan teman selama dia baik dengan kita. Mama tidak akan mempermasalahkan hal itu. Asal kita tetap mampu menjaga diri dan tidak ikut melakukan hal yang negatif. Intinya selama orang baik sama kita, ya kita juga harus baik sama mereka.” Bu Dewi menasihati ketiga buah hatinya.
“Iya, Ma,” sahut Shasha, Rendra dan Nisa.
“Ma, besok kita bikin kue saja. Mama sudah lama ‘kan enggak bikin kue,” pinta si bungsu, Nisa. Dahulu Bu Dewi memang sering membuat kue untuk dinikmati oleh keluarga kecilnya. Namun, sejak sang suami meninggal dunia dan dia harus bekerja keras membangun butik demi bisa menafkahi ketiga buah hatinya, Bu Dewi tak pernah lagi membuat kue. Bahkan memasak pun jarang. Biasanya Shasha atau Rendra yang memasak untuk makan mereka. Tergantung siapa yang punya waktu luang.
“Kamu mau dibikinkan kue apa, Nis?” Bu Dewi menoleh pada putri bungsunya.
“Apa saja yang dibuat Mama, aku mau. Aku kangen makan kue buatan Mama,” sahut Nisa dengan penuh antusias.
“Coba nanti dilihat ada bahan apa di lemari. Kalau ternyata habis, nanti kita belanja bahan kue setelah makan,” ujar Bu Dewi.
“Asyik,” teriak Nisa dengan girang. Akhirnya dia bisa merasakan lagi kue buatan sang mama yang menurutnya paling enak dari bakeri mana pun.
Hari Minggu pun tiba, kalau di rumah lain mungkin waktu untuk bermalas-malasan, tetapi tidak di rumah Bu Dewi. Sejak Subuh, mereka memulai aktivitasnya masing-masing. Ada yang membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika pakaian, dan juga memasak. Bu Dewi memang mendidik anak-anaknya mandiri. Apalagi sejak dia harus membanting tulang demi ketiga anaknya yang masih di usia sekolah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Setengah tujuh pagi, Rendra sudah keluar dari rumah untuk latihan karate di Gelanggang UGM. Tentu saja dia pergi setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di rumah. Nisa membantu mamanya membuat brownies usai mereka menyantap sarapan bersama. Sementara Shasha merapikan kamarnya agar tidak terlihat berantakan saat Tirta nanti masuk ke sana. “Mama mau buat brownies berapa sih?” tanya Nisa yang melihat ada banyak bahan di dapur. Bu Dewi tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan si bungsu. “Empat kayanya.” “Banyak banget, Ma,” komentar Nisa. “Satu nanti buat su
“Aku ingin buka toko aksesori motor dan mobil, Pak. Di sini kayanya belum ada. Kalau butuh apa-apa harus ke kota.” Kaisar memberi tahu bapaknya. “Rencananya mau buka di mana?” tanya Pak Dipta. “Di ruko depan ada yang kosong kan, Pak. Daripada disewa sama orang lain, aku sewa saja,” jawab Kaisar. “Pakai saja kalau kamu mau, Kai. Terus yang jaga toko siapa? Belanjanya di mana?” Pak Dipta menatap sang putra. “Aku ada kenalan yang jual grosiran aksesori motor sama mobil, Pak. Nanti barangnya aku ambil dari dia. Kalau yang jaga toko ambil dari orang sini saja, Pak. Cari orang yang jujur dan mau kerja keras. Kalau bisa sih laki-laki,” ujar Kaisar. Pak Dipta mengangguk-angguk. “Ya, nanti coba bapak carikan. Rencanamu kapan mau buka?” “Awal bulan depan saja, Pak. Nanti aku sekalian cari apa saja yang diperlukan,” sahut Kaisar. “Apa sudah ada modal?” Pak Dipta memastikan. “Alhamdulillah ada meski tidak banyak, Pak. Kemarin teman sudah nawari, bayarnya bisa tempo jadi tidak langsung luna
Dita mengangguk malu-malu. “Boleh, Mas.” “Oh ya sampai lupa. Ini aku bawakan makanan yang lagi hit di kota.” Kaisar meletakkan tas yang berisi kudapan yang dibawa ke atas meja. “Makasih, Mas. Malah jadi merepotkan. Aku sudah pesan sama Mas Adi tapi belum sempat dibelikan. Alhamdulillah dibawakan sama Mas Kaisar,” sahut Dita dengan raut bahagia. Gadis itu memang ekspresif dan apa adanya, tidak suka berpura-pura atau bersikap sok manis. “Mau coba kuenya? Aku bantu bukakan ya.” Kaisar mengeluarkan kemasan kardus dari tas plastik. “Mau yang rasa keju apa cokelat?” Kaisar menawarkan setelah membuka kardus dan terlihat macam-macam isinya. “Keju saja, Mas,” jawab Dita dengan mata berbinar-binar menatap kue yang ada di hadapannya. Kaisar mengambil kue dengan isian keju. Membuka kemasan plastiknya sebelum menyerahkan pada Dita. “Apa aku bantu suapi sekalian?” Dita tersenyum sambil menerima kue. “Makasih. Tidak perlu, Mas. Tangan kananku baik-baik saja kok. Biasanya aku juga makan sendiri
Sesudah makan siang, Kaisar masih mengobrol dengan Adi sampai Pak Wijaya dan Bu Hasna pulang. Sementara Dita beristirahat di kamarnya. Selalu seperti itu, Kaisar hanya punya kesempatan mengobrol dengan sang pujaan hati saat sedang menunggu Adi. Meski begitu, perwira polisi itu tetap merasa bahagia karena hari ini bisa mengobrol lama dengan adik dari sang sahabat. Kaisar pamit pulang setelah berbasi-basi sebentar dengan kedua orang tua Adi. Membahas tentang pelaku tabrak lari yang sudah berhasil ditangkap. Sebelum pulang, Bu Hasna membawakan Kaisar makanan hasil masakannya untuk dibawa ke kontrakan. Karena saat resepsi tadi Bu Ryani bercerita kalau masakannya gosong. Sepulang dari sana, Kaisar mampir dahulu ke toko yang membuat etalase. Memesan lemari kaca dan rak untuk memajang aksesori kendaraan di tokonya yang akan mulai buka bulan depan. Sebelum ke rumah Adi, dia tadi sudah mengukur panjang dan lebar ruko, jadi sudah menentukan ukuran etalase dan rak yang akan dipakai. Setelah it
Bibir Kaisar membentuk bulan sabit. “Kenapa? Kamu keberatan? Aku yang mau nunggu Dita kok kamu yang protes.” “Ck, bukan gitu, Mas. Kalau misal Dita nanti pas kuliah punya pacar gimana? Mas Kai, kan jadi buang-buang waktu nunggu dia.” Tirta coba memberi gambaran pada sang kakak. “Dita enggak bakal pacaran, Ta,” sangkal Kaisar dengan yakin. “Kok tahu?” Tirta mengernyit. “Tadi aku ngobrol sama Dita. Aku pancing soal pacar, dia bilang enggak mau pacaran. Buang-buang waktu katanya,” ungkap Kaisar. “Dita masih ABG, Mas. Masih labil. Gampang berubah. Hari ini bilang A, besok bisa jadi Z.” Tirta kembali mengingatkan sang perwira. “Dita enggak bakal berubah. Aku tahu dia sejak kecil.” Lagi-lagi Kaisar menyangkal omongan adiknya. “Apa sebaiknya aku mengikat dia dulu untuk berjaga-jaga ya, Ta.” Polisi berpangkat Ipda itu tiba-tiba berubah pikiran. “Mengikat gimana, Mas?” Tirta mengernyit karena penasaran. “Aku lamar dia sekarang. Terus tunangan dulu gitu sampai Dita selesai kuliah,” jelas
Shasha mengernyit mendengar permintaan sang kakak tingkat. “PW? Apa itu, Mas?” “Serius kamu enggak tahu apa itu PW?” tanya Arjuna yang dijawab gelengan kepala oleh juniornya itu. “PW itu pendamping wisuda, Sha,” terang Arjuna sambil tertawa kecil. “Oh, pendamping wisuda,” ucap Shasha dengan polosnya. “Masa kamu enggak tahu sih?” Pemuda berpostur tinggi dan tegap itu merasa heran. “Serius, aku enggak tahu, Mas. Soalnya belum pernah ada yang ngomong gitu sama aku,” aku Shasha. “Terus kenapa Mas Juna minta aku jadi PW?” Shasha lalu balik bertanya. “Kamu tahu sendiri aku kan jomlo. Enggak punya pacar. Masa iya pas wisuda aku enggak ada pendampingnya. Kaya ada yang kurang, Sha,” jawab Arjuna. “Iya, aku tahu. Tapi, kenapa aku? Masih banyak cewek lain kan yang Mas Juna kenal. Atau minta saja salah satu penggemar Mas Juna. Pasti mereka dengan sukarela jadi pendamping Mas Juna.” Shasha yang tak habis pikir dengan permintaan kakak tingkatnya itu. Arjuna menggeleng. “Aku maunya kamu yang
Shasha cekikikan. “Mau tahu banget sih, Ta.” “Sha, jangan bikin aku kesal ya. Apa perlu aku tanya kamu sambil teriak-teriak biar semua orang dengar?” ancam Tirta yang mulai kesal karena Shasha terus menggodanya. “Eh, jangan macem-macam ya kamu.” Shasha terlihat panik. “Iya, aku cerita,” lanjutnya. Tirta diam-diam tersenyum menyeringai melihat sang sahabat. Salah sendiri sering banget usil. Giliran diusilin balik jadi panik. “Oke, aku siap dengar ceritamu,” ucapnya setelah menyesap es teh. “Menurutmu sebaiknya aku mau jadi PW-nya Mas Juna atau tidak, Ta?” tanya Shasha sambi memandang sahabatnya. “Memangnya kamu belum jawab mau tidaknya?” Tirta malah balik bertanya. Shasha mengangguk. “Aku bingung, Ta. Aku takut jadi bahan gosip, tapi aku enggak enak kalau mau nolak. Tadi itu Mas Juna sampai memohon-mohon sama aku,” ujarnya. “Tapi kalau memang terpaksa sih, ya mau enggak mau aku jadi PW-nya Mas Juna,” lanjut Shasha yang membuat sang sahabat mengernyit. “Terpaksa?” tanya Tirta ya
Shasha jadi makin salah tingkah karena pertanyaan Tirta. “Jangan sok tahu, Ta,” elaknya. “Dari sikapmu sekarang aja udah kelihatan kok, Sha.” Tirta tersenyum miring. “Enggak usah bohong, Sha. Dosa tahu kalau bohong. Nanti masuk neraka loh.” “Aku mesti jujur gimana lagi, Ta. Memang aku merasa nyaman sama Mas Juna. Dan aku juga nyaman dengan hubungan kami yang seperti ini,” papar Shasha. “Yakin cuma merasa nyaman? Bukan sayang atau cinta? Awal cinta itu dari rasa nyaman loh, Sha.” Tirta kembali memainkan kedua alisnya, menggoda sang sahabat. Shasha menggelengkan kepala. “Aku sudah memutuskan enggak akan memikirkan cinta sampai bisa membahagiakan mama, Ta. Aku mau fokus kuliah terus kerja di tempat yang bagus. Tidak lagi membebani mama. Aku ingin membelikan sesuatu yang berharga buat mama. Sampai saat itu tiba, aku enggak akan berhubungan sama siapa pun.” Dia mengungkapkan apa yang ada di pikirannya selama ini. Tirta mengernyit. “Kok gitu, bukannya kalau punya pacar malah bisa menamb