Share

Bab 3

Adi menghampiri Kaisar dan sang ayah yang memandang ke arahnya.

“Kita diminta menunggu sebentar karena kamarnya baru disiapkan. Mas ambil yang VIP, Yah. Biar Bunda dan Adek lebih nyaman. Nanti mas yang bayar selisih harganya,” ujar Adi.

Sebagai ASN, Pak Wijaya dan keluarga mendapat jatah kelas 1 dari Askes untuk layanan rawat inap. Kalau mengambil kelas di atasnya, harus membayar selisih harga kelas 1 dan VIP. Begitu lulus kuliah dari Teknik Sipil UGM, Adi langsung diterima kerja di salah satu perusahaan konstruksi nasional dengan gaji yang cukup besar. Karena itu, dia berani menanggung biaya rawat inap adik semata wayangnya.

“Ayah juga mampu bayar, Mas,” sahut Pak Wijaya.

“Biar mas saja, Yah. Nanti kan Adek masih harus kontrol kalau pulang dari sini. Pasti juga tidak semua biaya ditanggung Askes.” Adi bersikeras menanggung biaya perawatan adiknya.

“Ya sudah, terserah kamu. Ayah mau lihat Adek dulu.” Pak Wijaya meninggalkan dua sahabat itu.

“Aku sudah bicara sama petugas yang ke sini tadi, Di. Sedang diusut sekarang. Katanya ada yang lihat pelat nomornya. Tunggu satu atau dua hari, insyaAllah nanti sudah ada kabar. Aku akan pantau terus perkembangannya,” ujar Kaisar.

“Makasih, Kai. Eh, kamu enggak bolos kerja kan?” tanya Adi yang baru sadar kalau sahabatnya itu langsung datang begitu dia menelepon tadi.

“Enggak lah. Tadi aku baru pulang Subuh, tidur, terus kebangun karena Tirta pulang. Enggak lama kamu telepon. Aku langsung mandi terus ke sini,” jawab Kaisar.

“Sori jadi ngerepotin kamu, Kai.” Adi menepuk bahu sang perwira.

Kaisar tersenyum. “Siapa yang repot, Di. Kaya sama siapa saja.”

Mereka berdua lalu saling bercerita sambil menunggu Dita dipindahkan ke ruang rawat inap. Sebenarnya sejak datang tadi, Kaisar ingin langsung melihat kondisi Dita, tapi dia merasa tidak enak hati. Jadi, dia harus sabar menunggu sampai gadis pujaannya itu masuk ke kamar inapnya.

Beberapa waktu kemudian, perawat dari bangsal VIP datang untuk menjemput Dita. Gadis yang tangannya digips itu, tergolek lemah di atas brankar IGD. Wajahnya terlihat pucat, dengan mata terpejam. Terlihat beberapa memar dan goresan di tubuhnya.

Kaisar ikut membantu perawat mendorong brankar Dita. Dia ingin lebih dekat dengan gadis itu. Bisa menatap lekat wajah yang sudah sangat lama dirindukan, meskipun dalam kondisi yang tidak menyenangkan seperti sekarang. Hatinya terasa sakit melihat gadis yang sudah lama mengisi hatinya itu. Kaisar bertekad harus bisa menemukan orang yang sudah tega membuat Dita seperti itu. Bagaimana pun pelaku tabrak lari harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

“Bunda, pulang dulu saja sama Ayah, ambil baju ganti. Biar Mas sama Kai yang nunggu Adek di sini,” ujar Adi pada sang bunda setelah Dita sudah dipindah di ruang VIP.

“Gimana, Yah?” Bu Hasna meminta pendapat suaminya.

Pak Wijaya mengangguk. “Adek dan Bunda ‘kan belum ada baju ganti. Nanti kalau Ayah atau Mas yang ambilkan malah salah. Kita pulang dulu saja, mumpung Adek masih tidur dan dijaga sama Mas dan Kaisar.”

“Ya sudah. Bunda titip Adek ya, Mas. Bunda enggak lama, cuma ambil baju saja,” putus Bu Hasna kemudian.

“Iya, Bun, Yah, hati-hati di jalan.” Adi dan Kaisar lalu menyalami pasangan paruh baya itu.

Pak Wijaya dan Bu Hasna kemudian meninggalkan mereka bertiga. Dita masih tertidur, mungkin karena efek pereda nyeri yang tadi diberikan dokter. Sementara Adi dan Kaisar duduk di sofa. Mereka melanjutkan mengobrol. Sesekali Kaisar mencuri pandang pada Dita.

“Bun, sakit.” Terdengar rintihan Dita yang terbaring di atas ranjang rumah sakit.

Sontak Adi dan Kaisar berdiri di samping ranjang Dita. Menatap gadis 17 tahun itu dengan penuh iba.

Adi kemudian duduk di kursi yang ada di samping ranjang. “Bunda baru pulang ambil baju, Dek. Mana yang sakit?” tanyanya dengan lembut. Dia mengelus rambut sang adik dengan penuh sayang.

“Badanku sakit semua, Mas. Tapi, tangan kiriku yang paling sakit,” jawab Dita dengan suara lemah.

“Tangan Adek ‘kan patah. Jadi wajar kalau sakit. Nanti juga sembuh karena sudah diobati.” Adi berusaha menenangkan adik semata wayangnya itu.

Kaisar hanya bisa melihat semua itu. Sebenarnya dia pun ingin menenangkan sang pujaan hati. Rasanya ingin menggantikan posisi Adi yang bisa dengan bebas menyentuh Dita tanpa harus merasa canggung.

“Sakit, Mas.” Dita merintih lagi sambil meringis menahan sakit.

“Mungkin efek obat penghilang rasa sakitnya sudah habis, Dek. Mas panggilkan perawat dulu. Adek di sini sama Kai ya,” ucap Adi.

Dita hanya mengangguk lemah sebagai jawaban.

“Enggak panggil pakai bel saja, Di?” Kaisar menunjuk tombol pemanggil di dekat ranjang.

“Ada yang mau aku omongin juga di sana. Titip Dita sebentar, Kai.” Adi menoleh pada Kaisar.

“Oke, Di. Aku akan menjaga Dita dengan baik,” sahut Kaisar yang diam-diam bersorak dalam hati karena bisa menggantikan Adi. Semesta sedang berpihak padanya. Keinginannya tiba-tiba langsung menjadi kenyataan.

Kaisar lalu duduk di samping ranjang Dita begitu Adi meninggalkan mereka berdua. Jantungnya berdegup kencang, karena baru pertama kali bisa sedekat ini dengan sang pujaan hati. Dahulu dia memang sering mengobrol dengan Dita, tapi waktu itu Dita masih kecil. Beda dengan sekarang yang sudah beranjak dewasa. Dengan wajah yang semakin cantik dan tubuh yang proporsional, membuatnya jadi gugup. Ada bahagia yang menyusup di sela sakit yang dirasakan hatinya melihat keadaan gadis itu.

Tangannya menggantung. Merasa ragu-ragu ingin menyentuh Dita. Menenangkan seperti yang Adi lakukan tadi. Namun, rasanya tak pantas memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Dia ingin menjaga kehormatan gadis pujaannya itu. Dita masih sangat polos. Belum mengenal cinta atau pun pria menurut cerita Adi. Karena itu, Kaisar tak mau sembarangan menyentuh Dita walaupun bukan sentuhan yang erotis.

“Ah, sakit.” Dita kembali merintih. Menggigit bibir bawahnya. Tangan kanannya meremas seprai putih yang melapisi ranjang.

“Mana yang sakit, Dita?” Kaisar memberanikan diri memegang tangan kanan Dita. Bermaksud memberi dukungan dan menunjukkan kalau dia ada untuk Dita. Tanpa disangka, Dita justru semakin erat memegang tangannya. Mungkin rasa sakit kembali menyerang gadis itu.

“Sakit, Mas,” lirih Dita lagi.

“Iya, aku tahu. Pegang saja tanganku kalau merasa sakit,” ucap Kaisar yang bingung harus melakukan apa. Kalau bisa menggantikan sakit yang Dita rasakan, dia rela menggantikannya. Tidak tega rasanya melihat sang pujaan hati merintih kesakitan seperti ini.

Titik-titik keringat mulai muncul di kening Dita yang menahan sakit, padahal ruangan itu menggunakan AC. Beberapa kali juga dia mengelap keringat dan membelai kepala gadis itu agar lebih tenang saat rasa sakit menyerang sambil berkata, “Sabar, ya. Adi sedang memanggil perawat. Kamu boleh memegang, mencengkeram, atau melakukan apa pun pada tanganku kalau itu bisa mengurangi rasa sakitmu.”

Beberapa waktu kemudian Adi kembali masuk ke kamar bersama perawat yang membawa obat dan jarum suntik. Dia melihat Kaisar duduk di samping ranjang Dita, dan sedang memegang tangan adiknya. Membuat keningnya mengerut melihat pemandangan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status