LOGINAku tidak berjalan menuju kamar tidur kami. Kenangan dan kebohongan di ruangan itu akan mencekikku. Aku melangkah ke ruang keluarga yang luas dan dingin di lantai bawah. Dinding kacanya yang tinggi membentang, menampakkan gemerlap lampu kota Jakarta yang seolah tak peduli pada duniaku yang baru saja runtuh.
Aku duduk di sofa kulit berwarna gading, punggungku tegak lurus, tanganku terlipat di pangkuan. Aku tidak menangis. Aku tidak gemetar. Aku hanya duduk di sana, dalam keheningan yang memekakkan, membiarkan rasa sakit itu mengkristal di dalam diriku menjadi sesuatu yang keras dan tajam. Langkah kaki yang panik terdengar di tangga. Bram menyusulku, napasnya terengah-engah seolah baru berlari maraton. "Arini, jangan begini," ia memohon, berhenti beberapa langkah di depanku, tidak berani mendekat. "Kita bisa bicarakan ini. Aku bisa jelaskan." "Jelaskan?" aku menatapnya, mataku terasa kering dan panas. "Apa lagi yang mau kau jelaskan? Kau mau bilang foto itu hasil photoshop? Atau Renata membiusmu dan kau tidak sadar?" Sarkasme dalam suaraku begitu tajam, membuatnya tersentak. "Tidak! Bukan begitu!" ia mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi, sebuah gestur yang selalu ia lakukan saat terpojok. "Aku... aku mengaku salah. Ya, aku salah. Aku minta maaf, Rin. Aku benar-benar minta maaf." Permintaan maaf. Kata yang begitu mudah diucapkan, namun begitu hampa makna saat datang dari bibirnya. "Maaf untuk apa, Bram?" tanyaku dingin. "Maaf karena telah berselingkuh? Atau maaf karena kau ketahuan?" Ia tidak bisa menjawab. Ia hanya menatapku dengan tatapan yang menyedihkan. Melihat tidak ada lagi jalan untuk berbohong, ia akhirnya menyerah. Ia berjalan lunglai dan menjatuhkan dirinya di sofa di seberangku, menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Ini rumit," bisiknya, suaranya parau. "Buat jadi sederhana untukku," balasku tanpa emosi. Ia mengangkat kepalanya. Di bawah cahaya lampu, aku melihat air mata menggenang di pelupuk matanya. Air mata seorang pria yang menangisi nasibnya sendiri, bukan air mata penyesalan atas luka yang telah ia torehkan. "Mama..." ucapnya, dan nama itu adalah kunci dari segalanya. "Mama tidak pernah berhenti menekanku. Sejak awal, beliau tidak pernah menyukaimu. Baginya, pernikahan kita adalah sebuah kesalahan yang merusak citra keluarga." Aku mendengarkan dalam diam. Membiarkannya menggali kuburnya sendiri lebih dalam. "Renata adalah pilihan Mama," lanjutnya, seolah itu adalah sebuah pembenaran. "Keluarga mereka adalah mitra bisnis yang sangat penting. Menyatukan Haryadi dan Sastranegara adalah impian Mama sejak lama. Beliau terus-menerus membandingkanmu dengannya. Mengatakan betapa Renata bisa membantuku, sementara kamu..." Ia tidak melanjutkan kalimatnya, tapi aku tahu akhirnya. Sementara aku adalah beban. "Aku terjebak, Rin," katanya, nadanya penuh dengan rasa mengasihani diri sendiri. "Di satu sisi ada kamu, istri yang kucintai. Di sisi lain ada ibuku, bisnis, dan semua tekanan ini. Aku mencoba menyenangkan semua orang, tapi aku gagal." Saat itulah aku mengerti. Pukulan terakhir yang menghancurkan sisa-sisa rasa hormatku padanya. Pengkhianatannya bukan lahir dari nafsu sesaat. Bukan sebuah kesalahan karena mabuk atau godaan setan. Pengkhianatannya adalah sebuah pilihan sadar. Sebuah keputusan bisnis. Sebuah proyek yang ia setujui untuk menyenangkan ibunya. Ia menukarku demi validasi dari wanita yang melahirkannya. Rasa jijik yang begitu pekat naik memenuhi dadaku, mengalahkan rasa sakit yang tadi kurasakan. Aku berdiri. "Jadi, selama lima tahun ini," kataku, suaraku terdengar begitu tenang, begitu mengerikan. "Aku tidak menikah dengan seorang pria dewasa, pemimpin Haryadi Group." Aku menatap lurus ke matanya yang basah. "Aku hanya menikah dengan anak laki-laki kecil kesayangan ibunya." Kata-kataku menamparnya lebih keras dari tangan mana pun. Wajahnya pucat pasi, mulutnya terbuka tanpa suara. Aku telah menyerang satu-satunya hal yang tersisa darinya: egonya sebagai seorang pria. Aku tidak memberinya waktu untuk merespons. Aku berbalik, berjalan menuju meja konsol di sudut ruangan. Aku mengambil ponselku dari dalam tasku. Bram menatapku dengan bingung dan cemas. "Kamu mau menelepon siapa?" Aku tidak menjawabnya. Aku mencari satu nama di kontakku, nama yang menjadi satu-satunya tempat aman bagiku saat ini. Jariku menekan tombol panggil. Nada sambung berbunyi sekali. Dua kali. Lalu diangkat. "Halo, Rin? Tumben malam-malam..." suara cemas Dian terdengar dari seberang. Aku menatap Bram untuk terakhir kalinya malam itu, membiarkannya melihat keputusanku yang tak tergoyahkan. "Dian," kataku, suaraku tetap stabil meski duniaku porak-poranda. "Maaf mengganggu. Bisa aku menginap di tempatmu malam ini? Sepertinya... untuk waktu yang cukup lama."Kemarahanku sedingin baja.Aku berhasil mempertahankan ketenanganku di depan Reza. Kami menghabiskan satu jam berikutnya—yang terasa seperti selamanya—membahas detail teknis renovasi kafe. Aku memaksakan otakku untuk fokus pada denah, material, dan struktur baja ringan. Setiap kali bayangan foto pertunangan itu melintas di benakku—Bram yang tersenyum palsu, Renata yang menang, Lidya yang angkuh—aku menariknya kembali dengan paksa. Aku tidak akan memberi Lidya kepuasan dengan hancur di saat aku baru memulai langkah pertamaku.Aku tidak ingat bagaimana aku mengucapkan selamat tinggal pada Reza. Aku hanya ingat berjalan kaku menuju mobilku, buku sketsa dan pensil di tanganku terasa seperti timah yang berat. Begitu pintu mobil tertutup, aku tidak langsung menyalakan mesin. Aku duduk diam di dalam keheningan yang memekakkan, menatap setir.Ini bukan lagi perzinaan. Ini adalah eksekusi publik.Tanganku mulai gemetar, getaran kecil yang merambat dari jemariku ke lengan, lalu ke seluruh tubuh
Sesuai janjiku pada Reza, dua hari kemudian aku berada di Senopati. Bukan di restoran mewah, tapi di depan sebuah ruko tua berlantai dua yang tampak kumuh. Catnya mengelupas, jendelanya kotor, dan terasnya dipenuhi gulma. Ini adalah lokasi kafe "ikonik" yang dimaksud Reza. Mimpi buruk sekaligus kanvas yang sempurna.Aku menarik napas dalam-dalam, mencium aroma debu, cat lama, dan tanah basah. Anehnya, aku merasa hidup. Aku mengeluarkan meteran dari tasku, buku sketsaku, dan sebuah pensil. Selama lima tahun, tanganku hanya menyentuh layar tablet untuk mendesain paviliun atau merenovasi kamar tamu di istana Lidya. Ini adalah pekerjaan lapangan pertamaku yang sesungguhnya.Aku sedang mengukur lebar fasad depan, mencatat struktur bata ekspos yang tersembunyi di balik plester yang hancur, ketika sebuah suara familier terdengar dari belakangku."Kukira Nyonya Haryadi sudah lupa cara memegang meteran."Aku berbalik tanpa tersenyum. Reza Adhitama bersandar di mobil Jeep Rubicon-nya yang gagah
Di puncak Haryadi Tower, di dalam kantor CEO yang dilapisi panel kayu mahoni dan kaca, Bramantyo Haryadi menatap amplop cokelat besar di mejanya seolah itu adalah seekor ular berbisa. Stempel dari firma hukum Dian terpampang jelas di sudut kiri atas.Ia membukanya dengan tangan yang sedikit gemetar.Beberapa lembar kertas ia keluarkan. Matanya memindai baris demi baris kalimat hukum yang kaku. Semakin ia membaca, semakin pucat wajahnya.*Perzinaan...**...dengan pihak ketiga bernama Renata Sastranegara...**...upaya penggelapan aset pernikahan...**...griya tawang di SCBD atas nama Lidya Haryadi...*"Sialan!" teriaknya, menyapu kertas-kertas itu dari mejanya. Gelas kristal di sudut meja ikut tersenggol dan jatuh ke lantai karpet tebal, isinya yang tersisa tumpah tanpa suara.Dia pikir Arini hanya pergi untuk "menenangkan diri". Dia pikir ini adalah pertengkaran suami-istri biasa yang akan selesai dengan permintaan maaf dan hadiah mahal. Dia tidak pernah menyangka Arini akan *berani* m
Dua minggu berlalu dalam pusaran aktivitas yang hening dan terfokus. Rahasia yang kami simpan bersama Pak Herman terasa seperti inti reaktor yang dingin di dalam diriku, sebuah sumber kekuatan yang tersembunyi. Sesuai rencana Dian, kami tidak melakukan apa pun dengan bom itu.Sebaliknya, aku fokus pada perang yang terlihat: membangun kembali hidupku.Apartemen Dian terasa sesak dengan dua wanita profesional yang bekerja dari rumah. Kami memutuskan untuk mengambil langkah berisiko: kami menyewa sebuah ruang kantor kecil di gedung *co-working space* yang trendi. "Firma Hukum & Desain Dian-Arini," begitu canda kami, meskipun untuk saat ini, papan nama kami hanya berupa stiker kecil di pintu kaca buram.Aku menghabiskan hari-hariku dengan menyusun ulang portofolioku, menghubungi kontak-kontak lama dari universitas, dan memberi tahu dunia bahwa aku "tersedia untuk proyek *freelance*". Responnya dingin. Nama "Haryadi" yang dulu kubenci, kini ketiadaannya terbukti menjadi sebuah hambatan. Ta
Perjalanan pulang dari rumah Pak Herman terasa sangat berbeda dari perjalanan pergi. Keheningan di dalam mobil terasa berat, sarat dengan apa yang baru saja kami dengar. Alat perekam kecil itu kusimpan di dalam tas, terasa lebih berat dari sebongkah emas. Dian menyetir dengan fokus yang tajam, rahangnya mengeras."Kecelakaan mobil... kantor notaris terbakar," gumamku pelan, memecah keheningan. "Di, wanita itu bukan sekadar licik. Dia berbahaya. Sangat berbahaya."Dian mengangguk, matanya tak lepas dari jalanan malam yang basah oleh gerimis. "Ya. Ini bukan lagi drama rumah tangga atau sengketa perceraian, Rin. Ini sudah masuk level *crime story*. Lidya tidak akan segan-segan melakukan apa pun untuk melindungi rahasianya. Termasuk... menyingkirkan notaris itu."Rasa dingin yang tidak ada hubungannya dengan AC mobil menjalar di kulitku. Apa yang tadinya kuanggap sebagai pembalasan dendam pribadi, kini telah berevolusi menjadi sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih menakutkan. Aku tidak
Keheningan yang mengikuti pengakuan Pak Herman terasa begitu pekat, seolah seluruh udara di ruangan kecil itu tersedot habis. Palsu. Kata itu menggema di benakku, membuka kotak pandora baru yang jauh lebih gelap dari sekadar perselingkuhan."Palsu?" ulang Dian, suaranya tajam sebagai seorang pengacara. "Seberapa yakin Anda, Pak?"Pak Herman tertawa getir, tawa yang terdengar seperti debu kering. "Seberapa yakin? Nyonya Dian, saya yang mendampingi almarhum Pak Haryadi ke notaris kepercayaannya di Bandung, enam bulan sebelum beliau wafat. Jauh sebelum beliau sakit-sakitan."Ia berdiri dan berjalan ke sebuah lemari kayu tua, membukanya dengan kunci kecil. "Pak Haryadi adalah pria yang baik, tapi beliau tidak naif. Beliau tahu persis seperti apa watak istrinya. Beliau tahu obsesi Nyonya Lidya pada kekuasaan dan status."Dari dalam lemari, ia mengeluarkan sebuah map cokelat tipis yang sudah menguning."Wasiat yang asli," lanjutnya, meletakkan map itu di meja, "sangat adil. Beliau membagi s







