Share

Bab 2

Penulis: Jingga Rinjani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-07 12:41:07

“Apa maksud ucapanmu itu, Lia?” tanyaku sambil keluar dari persembunyianku.

“Vania.” 

 

Mas Hanif dan Lia terperangah. Yah, sudah pasti mereka tak menyangka jika aku berada di sini. Mas Hanif langsung menghampiriku dan mencoba meraih tangan. Tadinya, aku ingin membicarakan hal ini pada mereka, namun mendengar omong kosong ini membuatku naik darah juga. Kuampiri Lia yang seakan gugup.

“Jelaskan padaku, apa maksudmu?” 

“Emm … Anu ….”

“Nggak usah anu-anu. Jelaskan!"

“Sudah lah, Van, Lia hanya salah bicara,” bela Mas Hanif yang membuatku semakin panas.

“Kamu membela pelakor ini, Mas?”

“Pelakor? Siapa yang pelakor? Bukankah orang ketiga di sini adalah kamu?” sentak Lia.

“Heh, punya otak masih terpasang rapi itu dipake! Jelas yang istri sah-nya di sini adalah aku!” ucapku.

“Tapi Mas Hanif hanya mencintaiku,” ucap Lia penuh percaya diri.

“Lia, sebaiknya kamu pulang dulu. Ini bukan waktunya kalian bertengkar. Bagaimana kalau Ibu nanti dengar dan malah ke sini?”

Lia membeliakkan matanya. Mungkin ia tak menyangka jika Mas Hanif benar-benar mengusirnya. Sementara aku mendengus. Sudah ramai begini, dia baru memikirkan ibunya? Aku malah berdo’a supaya Ibu datang dan memihakku saat ini juga.

“Kamu mengusirku, Mas? Bagus kalau Ibumu datang, kita jadi bisa menjelaskan sekalian, kan?” ucap Lia, tampak jelas sekali ia sangat ingin masuk di tengah-tengah keluarga ini. 

“Oalah, udah ngebet kamu? Ngebet kok sama suami orang. Nggak laku, kamu?” ejekku.

“Van, sudah lah. Kamu pulang dulu ya, Lia.” Mas Hanif menengahi, mungkin ia takut aku dan gundiknya akan adu mulut. 

Meski terlihat terpaksa, tapi gundik suamiku itu akhirnya pergi juga. Kini Mas Haris sedang dalam masalah. Ia harus menjelaskan apa maksud ucapan Lia tadi?

“Van, biar aku jelaskan.” 

“Apa yang akan kamu jelaskan, Mas? Pertanyaan Lia tadi sudah mewakili semuanya. Sebenarnya, memang tak ada cinta itu untukku, kan?”

“Ayo, kita duduk dulu. Aku akan jelaskan.”

Lalu, mengalir lah cerita dari mulut Mas Hanif. Tentang fakta dari terjadinya pernikahan kami dan juga alasannya. Rupanya, Mas Hanif mau menikahiku karena tak ingin kehilangan warisannya. Sebulan setelah ia putus dari Lia, Ibu mengenalkan Mas Hanif denganku, anak dari sahabat lamanya. Ibu juga sempat mengancam jika tak mau menikah denganku, maka Ibu akan menghapus nama Mas Hanif dari daftar ahli warisnya, otomatis semua harta Ibu akan jatuh pada Fajri, adik lelaki Mas Hanif dan juga Amira, adik bungsu Mas Hanif yang kini bersuamikan orang luar kota.

Aku terlalu naif selama ini, mengartikan kebaikan suamiku sebagai tanda cinta dan tulusnya padaku. 

Hatiku sakit bagai tertusuk benda tajam. Aku yang mencintainya dengan sungguh-sungguh, merasa bagai air susu yang dibalas air tuba. Kupikir, Mas Hanif mencintaiku penuh dengan ketulusan, nyatanya semua itu hanyalah karena tak ingin kehilangan warisan. Tiba-tiba, aku jadi teringat dengan Ibu. Beliau, bahkan sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri, namun ternyata tega menjerumuskanku dalam jurang kesakitan. 

Aku yang salah, karena telah menafsirkan  tanggung jawabnya sebagai kasih sayang, dan kekhawatirannya sebagai bentuk cinta. Padahal faktanya, ia tak ingin ‘sumber warisannya’ ini sakit atau bahkan terluka.

Masih terbayang di pelupuk mata saat aku melahirkan Anna dan Aldi yang terpaksa harus menjalani operas ceasar, bagaimana wajah Mas Hanif yang saat itu seakan dipenuhi dengan kekhawatiran dan cemas. Mungkin saja, perasaan itu memang ada, namun bukan untukku. Ia mungkin hanya mengkawatirkan anak-anaknya saja.

“Maafkan aku, Van.”

“Baik lah, Mas,” ucapku. 

“Kamu mau memaafkanku dan menerima Lia?” tanyanya dengan wajah berseri.

“Kata siapa? Aku belum memaafkanmu dan selamanya tak akan menerima kehadiran pelakor itu.” 

“Dia bukan pelakor, Van. Dia justru datang lebih dulu dari pada kamu.” Ia tak terima aku terus menyebut gundiknya itu, pelakor.

Aku melengos dan menatap punggung Mas Hanif yang keluar dari rumah. Entah lah, mungkin ia ingin menemui gundiknya itu dan meminta maaf karena telah menyuruhnya pulang. Mas Hanif memang benar-benar keterlaluan, ia bahkan tak mau mengerti keadaan istri sah-nya ini. 

Seharusnya hatiku yang kau sembuhkan, Mas, bukan menyusul gundikmu! 

“Kamu kenapa, Van?” Aku tersentak saat mendengar suara Ibu. Sejak kapan beliau ada di sana? Apakah ia mendengarkan obrolan kami tadi.

“Oh, nggak papa, Bu.” 

“Itu juga, si Hanif mau ke mana?” 

Aku menggeleng, rasanya aku sudah muak. Lalu aku teringat dengan pembahasan kami tadi. Kupandangi wajah penuh keriput itu. Masih tak menyangka jika Ibu juga ada andil di semua ini. Ingin marah saja rasanya pad belaiau jika tak mengingat semua kebaikan Ibu selama ini padaku.

-

[Mbak, bisa kita ketemu?] 

Aku membaca pesan dari Fajri, adik ipaku saat Ibu pulang. Dia memang tinggal di sebuah rumah yang juga masih milik Ibu. Sejak menikah, ia memang sudah tidak tinggal di sini. Alasannya lebih dekat dengan tempat tinggalnya. Dulu aku berpikir jika ia tak menyukai kehadiranku sebagai kakak iparnya, namun semua itu terbantahkan dengan sikapnya padaku. Ia baik.

[Oke, mau ketemu di mana? Mumpung Mas-mu tidak ada di rumah.]

[Kita ketemu sambil makan aja. Biar nanti aku jemput Aldi dan Anna.]

Aku pun segera bersiap. Memang benar, sebentar lagi anak-anakku pulang. Daripada mereka melihat ada hawa tak enak saat masuk ke dalam rumah, sebaiknya aku mengajak mereka untuk makan di luar bersama om-nya. Kebetulan mereka cukup dekat. Setelah siap, kupastikan tak ada api yang menyala dan juga mematikan lampu ruang tengah. Kunyalakan mobil dan melaju menuju rumah makan yang sudah menjadi langgananku bersama dengan anak-anak. 

Saat turun dari mobil, bersamaan dengan mobil Fajri yang memasuki area parkir. Anna yang muncul pertama kali dan memindahkan tasnya ke dalam mobilku. Sementara Aldi begitu cuek sambil masuk ke dalam mobil. Memang begitu lah si kembarku ini. Mereka memang kembar identik, namun sfat keduanya sungguh berbeda. 

“Aku sudah reservasi, Mbak. Kita tinggal masuk aja.” 

Aku mengangguk, lalu menggandeng tangan Anna dan masuk ke dalam. Rumah makan ini memang sudah ramai sejak dulu, sehingga jika kami ingin makan di sini, maka harus memesan tempat alias reservasi. 

Tak lama kami duduk dan memesan, makanan pun datang. Aldi langsung makan, mungkin ia sangat lapar, mengingat tadi pagi ia hanya makan sedikit. Setelah makanan tandas, Fajri mengajakku untuk duduk di pinggir kolam yang tersedia di depan gazebo. Sebenarnya aku sudah sangat penasaran, apa yang sebenarnya ingin ia katakan? 

“Sebenarnya, aku tahu kalau Mbak Lia datang lagi ke kehidupan kalian kan, Mbak?” 

“Kamu tau dari mana?” tanyaku, karena aku memang belum menceritakan hal ini pada siapapun.

“Aku melihat mereka berdua keluar dari ….”

“Dari mana?”

Kata selanjutnya yang keluar dari  mulut Fajri membuatku terkejut. Bisa-bisanya!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ma E
ya udah Van mending mundur dari PD dimadu....
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
berjuanglah utk anak2 dan harga diri mu. jgn kebanyakan drama. toh menikah juga di jodohkan dan g usah terlalu baper. kasih tau aja mertua mu
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
W rasa si aldi udah tau ulah bapaknya makanya sikapnya gitu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pelakor Yang Diundang Suamiku   BAB 117

    BAB 117 | ENDING __"Masakanmu enak juga, Na!" celetuk Haikal. Anna mendengkus pelan, "heh, kamu pikir makanan yang kita makan di rumah Mama itu masakan Mama? Itu masakanku, bodoh!" Lelaki jangkung itu tergelak, "kamu kenapa suka banget sih ngomong kasar, padahal anak-anak di kelasku pada bilang kamu tuh positif vibes, lemah lembut." Mendengar ucapan mantannya itu membuat Anna memberengut kesal. "Yang tahu-tahu aja lah, lagian aku enggak peduli sama penilaian orang." "Iya juga sih, makanya kamu mau aja nerima aku yang brengsek ini. Padahal aku terkenal bad boy," sahut Haikal, mengenang saat pertama kali ia kenal dengan Anna. Gadis berambut panjang itu terkekeh, "jujur sih, aku cuma penasaran aja pacaran sama bad boy." Haikal mendelik, "jadi semua kata rindu dan cintamu itu dusta?" Mereka saling tatap, lagi jantung Anna berdebar ketika bersitatap dengan pemilik iris mata cokelat itu. "Iya, dusta." Anna memalingkan wajahnya. Haikal terkekeh, ia tahu gadis di hadapannya itu ha

  • Pelakor Yang Diundang Suamiku   BAB 116

    BAB 116___Anna bergeming mendengar kata rindu yang keluar dari bibir mantan kekasihnya, seandainya saat ini status mereka bukan saudara tiri, mungkin ia akan memeluk Haikal menumpahkan kerinduan yang menumpuk di hatinya. Tapi, ia harus mengubur rasa cinta dan rindu di hatinya. Rasanya tak etis, jika diantara mereka memiliki hubungan lebih dari saudara. "Waras kan, lu?" ketus Anna, seraya membuang wajah. Ia tak mau berlama-lama menatap wajah Haikal, pertahanannya bisa goyah. Haikal menyentak napas kasar, ia mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar stres karena tak lagi bisa memiliki Anna, ia juga masih memiliki rasa pada mantan kekasihnya. Meskipun ia sudah berkali-kali mencari pengganti Anna, tapi tak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatinya. Hanya dengan Anna, ia merasakan ketulusan. "Lu mau balapan, ya?" tanya Anna to the point. "Tahu dari mana?" "Dari Tere." Haikal mendengkus pelan, "kalau iya kenapa?" "Kamu enggak kasihan sama Mama Papa?" tanya Anna. Lelaki

  • Pelakor Yang Diundang Suamiku   BAB 115

    BAB 115__Vania terkejut ketika melihat anak bungsunya tergeletak di depan pintu kamar mandi. "Mas tolong!" teriak Vania, seraya menghampiri putrinya. Aldi dan Ibra yang masih berada di rumah, bergegas menghampiri Vania. Darah mengalir dari hidung Sela, membuat mereka semakin panik. "Kita ke rumah sakit aja, Ma!" ucap Ibra.Ibra mengangkat tubuh putrinya, sementara Aldi bergegas menyiapkan mobil. Dengan terburu-buru mereka pergi ke rumah sakit, bahkan tak sempat mengunci pintu. Tubuh Sela sangat panas, ada ruam merah di bagian lengan dan betis Sela. Sepanjang jalan, Aldi berusaha fokus, terlebih jalanan ibu kota di pagi hari sangatlah padat.Setelah menempuh perjalanan duapuluh menit, mereka sampai di lobby Instalasi Gawat Darurat. Mereka disambut oleh perawat dan dokter yang berjaga di bagian IGD. Ibra benar-benar cemas dengan kondisi anaknya, ia merasa bersalah karena tak punya banyak waktu untuk sang anak. Terlebih Sela jarang menghubunginya, putrinya bahkan tak pernah mereng

  • Pelakor Yang Diundang Suamiku   BAB 114

    BAB 114Sela memeluk Anna, ia mencurahkan kesedihan dan juga kesepian yang ia alami. "Tapi, semenjak aku tinggal di sini, aku tak lagi merasakan kesepian seperti ketika aku tinggal di rumah mama. Meskipun Papa masih sering keluar kota, tapi ada mama Vania yang setia menemaniku.""Lah itu, kita hanya perlu mengambil Sisi baiknya dan membuang Sisi buruknya dari semua kejadian yang kita alami. Sekarang kamu tidak sendirian, ada aku dan Bang Aldi serta Mama."Sela mengangguk, ia sadar selama ini telah salah karena menganggap Kakak tirinya itu sebagai saingan. Padahal mereka telah bersikap baik kepada dirinya, tapi Sela terlalu serakah. Menginginkan hal yang lebih dari apa yang ia terima. --Rima membuatkan Abangnya kopi, semalam waktu hari sampai rumah, Ia sibuk dengan Mira yang tengah sakit. "Gimana, Bang? Ketemu?" "Ada, Rim. Tapi pas sampai sana aku kaget banget ngelihat dia sudah tergeletak.""Apa? Maksudnya dibunuh?" tanya Rima."Aku nggak tahu, tapi mungkin nanti pemilik rumah ak

  • Pelakor Yang Diundang Suamiku   BAB 113

    BAB 113Hanif dan orang-orang melihat Lia yang tergeletak di lantai. Darah merembes ke lantai hingga sampai ke bagian tubuh Lia."Astagfirullah!"Hanif bersama pemilik rumah mengangkat tubuh dia dan memindahkannya ke tempat yang lebih bersih. Pemilik rumah memeriksa denyut nadi wanita yang tengah Hamil 3 Bulan itu."Masih ada nadinya, sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit.""Iya, Pak."Pemilik rumah membawa mobilnya yang berupa angkot, lalu Hanif menyetirnya. Sementara Lia di belakang bersama istri pemilik rumah.Aldi, Anna, dan Teresa segera naik ke mobil Hanif. Mereka mengikuti dari belakang hingga akhirnya sampai di rumah sakit umum yang tak jauh dari kontrakan Lia."Aku takut banget, Bang. Kita kan ke sini cuma mau menemui tante Lia, kenapa malah jadi adegan trailer begini.""Sudah, Nggak papa, An. Kita mana tahu kalau kejadiannya bakal begini."Anna dan Teresa mengangguk, Mereka pun menunggu di kantin rumah sakit bersama dengan Aldi.Tak lama kemudian, Hanif datang dan mengab

  • Pelakor Yang Diundang Suamiku   BAB 112

    BAB 112Malam harinya, Anna pulang ke rumah Vania untuk izin besok menemani ayahnya ke luar kota. Aldi yang mendengarnya menentang keras keinginan Anna. "Kita nggak tahu, perempuan itu di luar sana dilindungi oleh siapa. Bagaimana kalau kalian datang ke sana dan banyak preman? Papa itu nggak jago kelahi, kalau nanti kamu dan Tere diapa-apain bagaimana?""Betul itu, Nak. Mama juga khawatir kalau kamu ikut pergi Papa keluar kota, Papa Ibra pun pasti tak akan mengizinkan. Kamu ini anak perempuan, Kenapa papamu tak mengajak abang sekalian?" Anna mengangguk, Ia pun menghubungi Hanif dan mengabarkan jika Vania tak mengizinkan apabila Aldi tak diajak serta. "Papa tak mau mengajak, tapi kamu tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Abangmu."" Coba papa ngomong sendiri sama Abang, barangkali dia mau. Apalagi tadi yang paling menentang itu dia daripada Mama." Hanif merenungkan ucapan Anna sewaktu menelepon tadi, Ia pun mencari kontak Aldi dan menghubunginya. Sayangnya, telepon itu tak kunjun

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status