Vianca mengusap wajah suaminya yang terlelap tidur. Dia sulit terpejam setelah selesai bercumbu walau raganya sedang lelah karena aktifitasnya tadi. Mendengkus, dia tak ingin malam ini cepat berlalu. Karena dia tahu Zeva setelah ini akan pergi lagi, tinggal terpisah darinya dan bahkan bersikap seperti orang asing.
"Kenapa tidak tidur?" tanya Zeva, matanya masih terpejam.
Vianca tertegun, dia pikir suaminya sudah terlelap dibuai mimpi. "Kamu juga belum tidur."
"Aku sudah hampir bermimpi, tapi kamu sentuh-sentuh terus, hingga wajahku geli." Zeva perlahan membuka mata.
Vianca tertunduk, meraih selimut dan bersembunyi dibalik selimut itu.
"Vianca, emang yang tadi kurang? Kalau mau ronde dua, kita harus istirahat dulu baru mulai lagi."
Sumpah demi apa pun Vianca ingin mencuci isi otak suaminya yang isinya tak jauh-jauh dari sex. Apa Zeva tak pernah mengeri bahwa dirinya ingin Zeva berada di sampingnya sebagai tempat berlindung juga?
Vianca berusaha tetap tegar walau melihat suami sendiri digandeng wanita lain. Apalagi, wanita itu adalah mantannya Zeva. Iya, kata Zeva Savana mantannya, entah jika sebenarnya mereka tidak putus berarti Zeva menipu dirinya."Kamu tidak mau pergi? Mau berdiri saja seperti orang bodoh di situ?" tanya Savana sinis.Vianca tak mau dipermalukan, dia menahan tangisannya yang hampir pecah. Perlahan, dia memundurkan langkah. Dia menyempatkan diri, melihat tampang Zeva yang bodoh, pria itu hanya datar saja. Vianca tak bisa menebak isi kepala suaminya tersebut.Vianca berjalan tergesa-gesa pergi dari apartemen Zeva. Dia bahkan melupakan pakaian sexy yang masih di simpan di atas sofa apartemen di dalam paper bag. Saat ingat hal itu, dia malahan berharap Savana melihat isinya, dan sadar bahwa Zeva dan dirinya akan melakukan apa jika Savana tak ada.***Vianca datang ke rumah Melvin dengan membawa setumpuk uang hasil menguras saldo Zeva. Dia mendengar kelu
Semuanya sudah berubah setelah Zeva ketahuan membawa mantan kekasih ke kamar. Vianca menjadi dingin, dia memang masih melayani Zeva tapi pikirannya entah berlabuh di mana. Dia tak bahagia.Apalagi kini dia sedang tak enak badan. Dia hanya meringkuk di balik selimut, tak berharap banyak Zeva akan menemani. Malah bisa dibilang, komunikasi mereka memburuk. Vianca enggan tersenyum saat menyambut suaminya pulang.Vianca menggeliat, dia menyalakan televisi, cukup sulit menemukan chanel yang bagus untuk ditonton. Akhirnya, dia memilih chanel lokal yang isinya seputar inspirasi usaha atau hobby. Kebetulan sekali orang yang diwawancarai di acara tersebut Vianca kenal dengannya.Vianca tertegun, pria tinggi dan tampan berbicara dengan sangat santun di media. Edrick sedang mengadakan acara amal dan kegiatannya sedang diliput. Vianca merasa kagum, pria itu sudah berubah dari yang dia kenal dulu di SMA. Vianca menjadi kagum padanya."Aku melihat kamu di tv, acar
Vianca menyingkirkan tangan Zeva yang melingkar di perutnya. Dia bangkit dari posisi berbaring, dan duduk menghadap ke arah jendela. Walaupun Zeva belum menjawab pertanyaan dirinya. Tapi dia sudah merasa pilu hanya dengan melihat ekspresi wajah Zeva."Vianca, tatap mataku, sini!""Tidak mau.Tolong jawab pertanyaan aku dulu. Kamu setuju dengan pertunangan itu 'kan?" tanya Vianca"Tidak, aku tidak setuju. Ayah mengatur acara itu sendiri tanpa minta pendapatku.""Tapi ujung-ujungnya, Mas Zeva setuju juga 'kan?" Vianca mulai menatap wajah Zeva."Ya."Hal yang dia takutkan akhirnya kejadian. Dia menyesal sudah menitipkan hatinya pada buaya darat macam Zeva."Aku ingin kita pisah!" ucap Vianca."Jangan main-main, Vianca. Kamu harusnya ingat masa lalumu seperti apa. Masa lalumu yang memalukan tidak akan merubah statusmu jadi seorang putri hanya dengan kamu jadi istriku. Aku mencintaimu, tapi mengenalkan kamu pada keluargaku adal
"Vianca, harusnya apapun yang akan kamu lakukan diskusikan dulu padaku. Aku pun juga ingin punya anak darimu tapi nanti, disaat waktu yang tepat.""Diskusi? Mas Zeva bertunangan dengan Savana pun tidak diskusi dulu padaku, kenapa aku harus diskusi?""Karena aku sebagai suami yang berhak mengambil segala keputusan.""Egois!"Vianca malas berkata-kata lagi, saat Zeva menanggapinya seperti itu. Dia menarik selimut menutupi badannya. Mengelus perut, dia berdoa pada Allah supaya anak yang dia kandung membuat Zeva menjadi sadar, dan membatalkan pernikahan dengan Savana.Zeva melihat tingkah laku Vianca. Meskipun dirinya tak berniat memiliki anak dari Vianca, akan tetapi semuanya sudah terlanjur, dan Zeva tak ingin ada jiwa yang mati hanya karena dirinya tak menginginkannya. Lagipula, itu bukan anak haram.Zeva mendekat, mengelus rambut Vianca. Kemudian memeluknya dari belakang. "Jaga anak kita sayang!"Vianca berbalik badan menj
Vianca membuat janji di sebuah restauran dengan Edrick. Tak pernah terlintas dalam benaknya untuk mengadu dan berkeluh kesah pada adik iparnya tersebut. Namun, dia tak tahu harus berbagi dengan siapa lagi. Saat ini, orang yang bisa dipercaya adalah adik Zeva.Edrick menatap lekat pada Vianca yang duduk di hadapannya. Wanita yang dia sukai, kini telah jadi kakak iparnya. Mungkin, keinginan untuk menjalin cinta dengan Vianca sudah musnah, tapi setidaknya dia bisa berhubungan baik dengan Vianca sebagai saudara."Aku dan Zeva sama-sama memiliki masa lalu yang buruk, dia pernah di penjara dan aku pernah menjadi wanita malam. Aku pikir, karena kami memiliki persamaan masa lalu yang kelam pada akhirnya Zeva akan memaklumi asal usulku yang mungkin bagi keluarga kalian adalah masa lalu yang tidak jelas dan memalukan. Tapi rupanya tetap saja, dia hanya menjadikan aku pelampiasannya saja."Edrick mencermati setiap kata yang Vianca lontarkan. Dia ingin menjadi pendengar yan
Zeva menyesap Macchiato di sebuah coffee shop. Dia terbiasa melepas penat selepas dirinya bekerja di tempat itu karena lokasinya yang dekat, yaitu berada tepat di sebrang gedung kantor.Ada seseorang yang menghampirinya. Zeva melirik dan melihat adiknya berdiri di dekatnya."Bang Zev, gua duduk di sini, ya!""Oke, tumben ke sini juga? Mau ngopi?""Enggak, gua tau lo ada di sini, emang sengaja ke sini buat ketemu sama Bang Zeva.""Ada apa?""Bang, gua udah tau lo udah menikah sama Vianca."Zeva mengerutkan dahi atas informasi yang diberikan adiknya itu. "Siapa yang bilang? Lo jangan banyak omong! Awas! Itu semuanya rahasia.""Vianca yang bilang langsung. Harusnya Bang Zev gak merahasiakan itu dari gua.""Jangan ikut campur, adik sialan! Jangan coba-coba berani cahtting sama Vianca lagi.""Tapi kenapa lo merahasiakan ini? apa karena lo merasa malu dengan masa lalu Vianca?"Zeva tak menjawab, sebenarnya
"Vianca, maaf! Harusnya aku gak bahas masa lalumu, aku sebenarnya hanya cemburu. Aku tahu, aku sudah kelewat batas." Zeva menatap lekat ke arah Vianca.Vianca tertunduk. "Dari dulu emosimu memang selalu meledak Mas Zeva, aku sudah hafal. Kehidupan aku memang memalukan, pantas lah kamu merahasiakan keberadaanku ini."Zeva terdiam, dia semakin merasa bersalah saat Vianca mengatakan hal itu. Berbaring di samping istrinya, dia pun memeluk tubuh Vianca erat. Berharap Vianca tidak murung lagi, tapi semuanya sudah terlambat. Vianca sudah terlanjur sakit hati dan Zeva kehilangan senyum indah Vianca untuknya."Vianca, hal apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahanku. Apa kamu ingin aku belikan perhiasan baru?""Jangan, tidak usah! Aku hanya ingin Mas Zeva tetap berada di sini. Aku membutuhkanmu dan takut saat melahirkan nanti, kamu malah tak ada di sampingku."Zeva ragu untuk berkata iya. Dirinya tak bisa menjanjikan selalu pulang lebih cepat. "Akan
Vianca merasa tenggorokannya kering. Saat dirinya berjalan ke parkiran matanya lekat tertuju pada stand Milik Shake di sebrang sana. Banner menu berbagai variant rasa menggugah selera. Sementara itu, Zeva melihat arah pandang istrinya. Dia pun berkata, "kamu mau? Aku ke toilet dulu sebentar. Nanti aku akan belikan minuman itu, mau rasa apa?" "Kalau cuma beli ke sebrang aku sendiri bisa, kok. Kamu ke toilet aja, nanti nyusul ke tempat itu." "Oke, hati-hati." Vianca berjalan menuju zebra cross, kemudian menyebrang bersama penyeberang yang lain. Dia langsung menuju stand minum itu dan memilih menu yang dia suka. "Stroberi Milk Shake satu, Pak." "Topingnya apa, Mbak?" "Wipe cream sama taburan choco chips dan sedikit keju." "Oke, tunggu sebentar, Mbak." Vianca melakukan pembayaran di awal, kemudian mencari tempat duduk di sebuah bangku out door. Udara di tempat itu lumayan sejuk, karena walaupun di pusat kota. Akan tetapi su