Share

6. Wanita yang Tak Layak

Sudah kesekian kalinya Zeva dan Vianca bertemu. Sekadar berkeluh kesah layaknya teman yang saling mendukung. Namun, baru kali ini Vianca diajak ke kontrakan milik Zeva. Kontrakan yang lebih mirip persembunyian teroris karena letaknya yang jauh dari jalan utama. Serta, stiker logo death metal menempel penuh di jendela membuat kesan yang urakan.

Vianca kembali berburuk sangka, dengan kontrakan sekecil ini mengapa Zeva selalu memiliki uang yang cukup banyak. Apa Zeva jualan obat-obatan terlarang? Langkah Vianca terhenti. Bahkan lebih daripada itu, kakinya bergetar.

"Ayo masuk! Kenapa diem kaya patung gitu? Alergi masuk kontrakan kecil?"

"Kontrakan aku juga kecil, emm tapi__"

"Tapi tidak menyeramkan seperti ini?" Zeva menebak.

Vianca membulatkan mata. "Bukan begitu!"

"Atau lo takut gua rebus hidup-hidup di dalem? Atau mungkin, takut ada tikus dan kecoa? Asal lo tahu, biarpun stiker jendela gua band cadas tapi isi kontrakan rapi dan bersih, kok."

Vianca ingat ucapan Zeva. Bahwa dirinya, tidak suka dipandang sebelah mata. Cukup keluarganya saja yang mendiskriminasi. Vianca sadar Zeva butuh teman. Akhirnya, Vianca memberanikan diri untuk masuk, kemudian duduk di sofa setelah sebelumnya dipersilahkan duduk oleh Zeva.

Zeva membuka lemari pendingin mini, dan menyimpan dua soft drink di meja. Lalu duduk di samping Vianca.

Segala kerisauan di dalam benak Zeva, dia ceritakan pada Vianca. Toh, dia merasa Vianca tidak ada kaitannya dengan keluarganya. Bahkan, bisa saja mereka akan saling melupakan di masa depan.

"Lingkungan keluarga gua adalah pembunuh mental terbaik. Disaat mereka bilang gua gak guna. Kata-kata itu membekas sedari kecil hingga saat ini. Gua jadi malas berguna buat mereka, karena merasa percuma juga."

Vianca mendengarkan dengan cermat setiap kalimat yang keluar dari mulut Zeva. Meskipun dia tidak punya solusi apa-apa, tapi dia adalah pendengar yang baik. Dan hal itulah yang Zeva butuhkan saat ini.

"Gua terlalu menikmati kebebasan gua selama ini, di saat gua memutuskan tinggal jauh dari mereka, tapi di tengah jalan gua lupa ada norma-norma yang gak boleh gua langgar. Akhirnya, gua kembali sebagai sampah. Dan orang-orang yang tahu gua masuk bui sepertinya bersorak gembira."

Zeva meraih gelas yang berisi air soda. Saat dia meneguk minuman itu, matanya melirik Vianca. Wanita itu sedang menatap ke arahnya dengan lekat. Seolah, dia menaruh minat yang banyak pada obrolan Zeva.

"Vianca!"

"Ya?" Vianca terperanjat.

"Lo udah nulis lamaran?"

"Belum. Persyaratannya ada yang belum lengkap."

"Ribet, ya! Padahal ujung-ujungnya nyogok juga. Emang lo bodoh banget ya, Ampe harus nyogok kerja semahal itu?"

Vianca mengerucutkan bibir. Andai saja Zeva tahu nilai tes Vianca sesungguhnya. Hanya karena Vianca tidak mempunyai koneksi, lantas tidak dilirik sama sekali. 

"Memangnya, Mas Zeva tidak tahu seberapa sulit cari pekerjaan? Kadang, nilai baik di sekolah belum bisa menjamin kita bakal jadi apa di masa yang akan datang 'kan?"

"Lo jadi wanita penghibur pun kurang berbakat sebenarnya. Gak agresif kaya kebanyakan cewek malam. Intinya lo terlalu tertutup dan pendiam juga."

Menghela nafas berat, Vianca akui memiliki masalah dengan tingkat percaya diri. Dia pernah di-bully saat Sekolah Menengah Atas, sehingga membuat dirinya sulit terbuka pada siapa pun. 

Zeva menggelengkan kepala saat melihat Vianca diam dengan ekspresi datar. Wanita ini sungguh tertutup. Terkadang, dia kesulitan menebak isi kepala wanita yang ada di hadapannya. Namun terkadang, Zeva  bisa melihat Vianca bisa ekspresif jika dalam ketakutan. 

"Lo mau gua antar lengkapi persyaratan kerja? Kurang apa lagi emangnya?" tanya Zeva memecah keheningan yang sempat terjadi.

Vianca terperanjat. Merasa bermimpi Zeva menawarkan bantuan. "Antar? Serius Mas mau ngantar?"

"Ya! Kurang apa lagi? Bilang aja! Mumpung gua lagi gabut."

"Bikin Surat Keterangan Kelakuan Baik."

Zeva menunjuk pintu keluar dengan sudut matanya. "Yuk, cabut! Mumpung belum terlalu siang."

Vianca mengikuti langkah Zeva dari belakang. Perasaannya tak tenang, merasa aneh dengan situasi ini. Apa semudah ini menaklukkan hati Zeva? Atau Zeva hanya melihat dirinya sebagai wanita yang menyedihkan? Vianca hanya bisa menerka tanpa berani untuk bertanya.

***

Hingga malam tiba mereka masih bersama. Zeva berada di atas kursi sambil makan Snack. Sementara Vianca, sedang menulis lamaran, itupun Zeva yang membujuk supaya Vianca menulis dengan segera. Lebih cepat lebih baik.

Zeva mendekat, mulai penasaran dengan yang Vianca lakukan. Wanita itu sedang menyiapkan lampiran-lampiran yang sudah di-scan. Zeva juga meminjamkan laptop supaya Vianca bisa mengirim email surat lamaran pada beberapa Perusahan. Tertegun sejenak, karena Perusahaan keluarga Zeva adalah salah satu sasaran Vianca memasukan lamaran. Sialnya, email sudah berhasil dikirim sebelum Zeva meminta jangan melamar ke Perusahaan itu.

"Sudah selesai semua, Mas. Lamaran sudah aku kirim," kata Vianca sambil menatap ke arah Zeva.

"Wah, bagus. Semoga ada panggilan dari salah satu Perusahaan yang udah dikirim lamarannya, ya!"

"Aamiin."

"By the way, saran dari gua. Kalau lo masih gagal juga, coba untuk terjun bisnis."

"Aku gak berbakat kalau usaha sendiri kaya gitu, Mas."

"Lo gak bakal tahu sebelum lo mencoba. Siapa tahu malah ketagihan. Malahan enak, lo bisa dapat cuan tanpa diatur oleh bel masuk dan bel istirahat kaya di beberapa Perusahaan."

Vianca ingin bertanya tapi takut. Zeva tidak bekerja juga tidak terlihat sedang menjalankan bisnis. Apa pria dihadapannya sedang ikut pesugihan online? Otak Vianca berputar-putar tak karuan dengan pertanyaan yang ragu dia tanyakan. Tiba-tiba, dia merasakan tangan Zeva mengacak puncak kepalanya.

"Gua gak jualan narkoba atau melihara tuyul, kok. Gak usah terlalu takut deket-deket sama gua."

Vianca terperanjat, dengan malu dia berkata, "Maaf, Mas! Aku akui, aku takut secara berlebihan saat lagi sama Mas Zeva."

Zeva mengerutkan alis. Setelah itu malah terkekeh lalu berkata, "Takut berlebihan artinya phobia. Emang lo phobia sama gua?"

"Bu-kan gitu juga maksudnya." Vianca mulai panik, dia merasa sudah menyinggung Zeva.

"Orang lain tuh, phobia sama ulet, kecoa, cicak, dan lo malah phobia sama gua?"

Jawaban itu, berhasil membuat Vianca tertawa. Sepertinya, perlahan dia mulai menyadari, bahwa Zeva tidak seburuk yang dia duga. 

"Em, Mas Zeva. Kalau gitu aku ijin pilang sekarang, ya."

"Kenapa pulang? Gak mau nginap aja? Kasur gua masih cukup kalau di isi oleh dua orang. Kalau lo ngerasa sempit, lo bisa tidur mepet ke tubuh gua."

Vianca merinding mendengar ucapan Zeva. Baru saja dia mulai merasa nyaman dekat dengan Zeva, dan sekarang malah ingin menarik mulut pria itu hingga jontor. "Yang ada, kita bisa kegerahan kalau saling menempel seperti yang Mas sebutkan barusan."

"Lo pikir di kamar gua gak ada kipas angin?"

"Palingan kipas angin kecil yang anginnya sudah menghilang gara-gara tertutup debu."

Zeva terkekeh, dia merasa Vianca imut dengan tuduhan-tuduhannya yang receh. Zeva merasa setingkat lebih akrab dengan Vianca.

Zeva menggenggam tangan Vianca. "Katanya mau pulang, gua antar!"

Vianca mengikuti langkah Zeva sambil tangannya terus bergandengan, dan tangan mereka terlepas saat dia memasuki mobil milik Zeva.

Sepanjang perjalanan, Zeva memikirkan sesuatu. Dia merasa hal ini salah, menemui Vianca sampai berulang-ulang hingga membantu menyiapkan lamaran seperti tadi adalah diluar rencananya. Wanita itu mampu membuatnya selalu ingin bertemu, padahal awalnya dia hanya ingin mencari pelampiasan saja.

Lalu pada akhirnya, dia menyusun rencana untuk kembali pada tujuan awalnya, untuk mengejar Savana. 

***

Zeva saat ini berada di ruang pribadi Ayahnya di rumah. Dia datang ke tempat ini setelah sebelumnya mendapat telepon dari sang Ayah. Dirinya merasa risau karena memiliki hutang penjelasan, dia janji akan bekerja dan bertanggung jawab pada diri sendiri. Tapi nyatanya, di luar rumah Zeva hanya senang-senang.

"Zeva, mulai besok kamu bantu Kakakmu di Perusahaan keluarga kita! Besok Adam akan mengarahkan apa saja yang harus kamu kerjakan."

Zeva mengerutkan alis. "Maaf ayah, Zeva mau tanya, kenapa tiba-tiba disuruh bantu Kak Adam? Bukankah sebelum ini ayah bilang Zeva pengganggu. Zeva gak akan cocok kerja di Perusahaan."

Pak Aris Ayah Zeva menarik nafas dengan berat. "Kamu di luar juga makin parah, malah luntang-lantung gak jelas. Katanya mau cari pekerjaan tapi tidak kamu lakukan. Kamu harus bertanggungjawab pada dirimu sendiri, sebelum bertanggungjawab pada keluargamu kelak. Merangkak dari bawah hingga menjadi besar di kemudian hari adalah sifat lelaki sejati, tapi kamu tidak demikian, malah mau enaknya saja."

Tertegun, Zeva juga punya cita-cita, dia sebenarnya hanya perlu dukungan dan kepercayaan. Tuduhan yang dilontarkan ayahnya hanya membuat dia tertarik untuk memberontak. Namun lain halnya dengan saat muda dulu yang langsung marah, kini seiring bertambahnya usia dia agak sedikit dewasa. Dia hanya diam saat hatinya kesal seperti ini.

"Lagian, kamu sudah ayah kasih uang, bukannya mulai merintis usaha, malah main-main dengan wanita penghibur."

Zeva terperanjat, merasa heran kenapa ayahnya tahu aktifitasnya selama ini. Dia tetap diam. Setidaknya, dia perlu tahu sejauh mana ayahnya mengetahui tentang dia.

"Ayah sudah simpan nama wanita yang sering kamu ajak ketemu. Orangnya itu-itu lagi, 'kan? Kamu sudah membuat malu keluarga dengan di penjara, jangan sampai lebih membuat malu lagi dengan main-main bersama wanita kotor."

"Ayah tau dari mana? Semua itu hanya fitnah. Apa jangan-jangan Leon bicara macam-macam sama ayah. Jangan terlalu percaya sama dia, mungkin saja dia hanya ingin cari muka."

"Kamu gak perlu tahu ayah tahu dari mana. Hanya saja Ayah minta, jangan sewa wanita rendahan lagi. Kamu sekarang fokuslah bantu bisnis kakakmu. Tapi ingat! Jangan buat malu."

Zeva merasa tidak kesulitan dengan permintaan itu, karena ada rencana tidak menemui Vianca lagi. Lagi pula, dia sudah diberi wewenang untuk bekerja di Perusahaan keluarga. Meskipun tidak mendapatkan jabatan tinggi seperti kakaknya, tetapi bagi Zeva hal itu adalah jalan supaya bisa merebut perhatian Savana kembali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status