Sudah kesekian kalinya Zeva dan Vianca bertemu. Sekadar berkeluh kesah layaknya teman yang saling mendukung. Namun, baru kali ini Vianca diajak ke kontrakan milik Zeva. Kontrakan yang lebih mirip persembunyian teroris karena letaknya yang jauh dari jalan utama. Serta, stiker logo death metal menempel penuh di jendela membuat kesan yang urakan.
Vianca kembali berburuk sangka, dengan kontrakan sekecil ini mengapa Zeva selalu memiliki uang yang cukup banyak. Apa Zeva jualan obat-obatan terlarang? Langkah Vianca terhenti. Bahkan lebih daripada itu, kakinya bergetar.
"Ayo masuk! Kenapa diem kaya patung gitu? Alergi masuk kontrakan kecil?"
"Kontrakan aku juga kecil, emm tapi__"
"Tapi tidak menyeramkan seperti ini?" Zeva menebak.
Vianca membulatkan mata. "Bukan begitu!"
"Atau lo takut gua rebus hidup-hidup di dalem? Atau mungkin, takut ada tikus dan kecoa? Asal lo tahu, biarpun stiker jendela gua band cadas tapi isi kontrakan rapi dan bersih, kok."
Vianca ingat ucapan Zeva. Bahwa dirinya, tidak suka dipandang sebelah mata. Cukup keluarganya saja yang mendiskriminasi. Vianca sadar Zeva butuh teman. Akhirnya, Vianca memberanikan diri untuk masuk, kemudian duduk di sofa setelah sebelumnya dipersilahkan duduk oleh Zeva.
Zeva membuka lemari pendingin mini, dan menyimpan dua soft drink di meja. Lalu duduk di samping Vianca.
Segala kerisauan di dalam benak Zeva, dia ceritakan pada Vianca. Toh, dia merasa Vianca tidak ada kaitannya dengan keluarganya. Bahkan, bisa saja mereka akan saling melupakan di masa depan.
"Lingkungan keluarga gua adalah pembunuh mental terbaik. Disaat mereka bilang gua gak guna. Kata-kata itu membekas sedari kecil hingga saat ini. Gua jadi malas berguna buat mereka, karena merasa percuma juga."
Vianca mendengarkan dengan cermat setiap kalimat yang keluar dari mulut Zeva. Meskipun dia tidak punya solusi apa-apa, tapi dia adalah pendengar yang baik. Dan hal itulah yang Zeva butuhkan saat ini.
"Gua terlalu menikmati kebebasan gua selama ini, di saat gua memutuskan tinggal jauh dari mereka, tapi di tengah jalan gua lupa ada norma-norma yang gak boleh gua langgar. Akhirnya, gua kembali sebagai sampah. Dan orang-orang yang tahu gua masuk bui sepertinya bersorak gembira."
Zeva meraih gelas yang berisi air soda. Saat dia meneguk minuman itu, matanya melirik Vianca. Wanita itu sedang menatap ke arahnya dengan lekat. Seolah, dia menaruh minat yang banyak pada obrolan Zeva.
"Vianca!"
"Ya?" Vianca terperanjat.
"Lo udah nulis lamaran?"
"Belum. Persyaratannya ada yang belum lengkap."
"Ribet, ya! Padahal ujung-ujungnya nyogok juga. Emang lo bodoh banget ya, Ampe harus nyogok kerja semahal itu?"
Vianca mengerucutkan bibir. Andai saja Zeva tahu nilai tes Vianca sesungguhnya. Hanya karena Vianca tidak mempunyai koneksi, lantas tidak dilirik sama sekali.
"Memangnya, Mas Zeva tidak tahu seberapa sulit cari pekerjaan? Kadang, nilai baik di sekolah belum bisa menjamin kita bakal jadi apa di masa yang akan datang 'kan?"
"Lo jadi wanita penghibur pun kurang berbakat sebenarnya. Gak agresif kaya kebanyakan cewek malam. Intinya lo terlalu tertutup dan pendiam juga."
Menghela nafas berat, Vianca akui memiliki masalah dengan tingkat percaya diri. Dia pernah di-bully saat Sekolah Menengah Atas, sehingga membuat dirinya sulit terbuka pada siapa pun.
Zeva menggelengkan kepala saat melihat Vianca diam dengan ekspresi datar. Wanita ini sungguh tertutup. Terkadang, dia kesulitan menebak isi kepala wanita yang ada di hadapannya. Namun terkadang, Zeva bisa melihat Vianca bisa ekspresif jika dalam ketakutan.
"Lo mau gua antar lengkapi persyaratan kerja? Kurang apa lagi emangnya?" tanya Zeva memecah keheningan yang sempat terjadi.
Vianca terperanjat. Merasa bermimpi Zeva menawarkan bantuan. "Antar? Serius Mas mau ngantar?"
"Ya! Kurang apa lagi? Bilang aja! Mumpung gua lagi gabut."
"Bikin Surat Keterangan Kelakuan Baik."
Zeva menunjuk pintu keluar dengan sudut matanya. "Yuk, cabut! Mumpung belum terlalu siang."
Vianca mengikuti langkah Zeva dari belakang. Perasaannya tak tenang, merasa aneh dengan situasi ini. Apa semudah ini menaklukkan hati Zeva? Atau Zeva hanya melihat dirinya sebagai wanita yang menyedihkan? Vianca hanya bisa menerka tanpa berani untuk bertanya.
***Hingga malam tiba mereka masih bersama. Zeva berada di atas kursi sambil makan Snack. Sementara Vianca, sedang menulis lamaran, itupun Zeva yang membujuk supaya Vianca menulis dengan segera. Lebih cepat lebih baik.
Zeva mendekat, mulai penasaran dengan yang Vianca lakukan. Wanita itu sedang menyiapkan lampiran-lampiran yang sudah di-scan. Zeva juga meminjamkan laptop supaya Vianca bisa mengirim email surat lamaran pada beberapa Perusahan. Tertegun sejenak, karena Perusahaan keluarga Zeva adalah salah satu sasaran Vianca memasukan lamaran. Sialnya, email sudah berhasil dikirim sebelum Zeva meminta jangan melamar ke Perusahaan itu.
"Sudah selesai semua, Mas. Lamaran sudah aku kirim," kata Vianca sambil menatap ke arah Zeva.
"Wah, bagus. Semoga ada panggilan dari salah satu Perusahaan yang udah dikirim lamarannya, ya!"
"Aamiin."
"By the way, saran dari gua. Kalau lo masih gagal juga, coba untuk terjun bisnis."
"Aku gak berbakat kalau usaha sendiri kaya gitu, Mas."
"Lo gak bakal tahu sebelum lo mencoba. Siapa tahu malah ketagihan. Malahan enak, lo bisa dapat cuan tanpa diatur oleh bel masuk dan bel istirahat kaya di beberapa Perusahaan."
Vianca ingin bertanya tapi takut. Zeva tidak bekerja juga tidak terlihat sedang menjalankan bisnis. Apa pria dihadapannya sedang ikut pesugihan online? Otak Vianca berputar-putar tak karuan dengan pertanyaan yang ragu dia tanyakan. Tiba-tiba, dia merasakan tangan Zeva mengacak puncak kepalanya.
"Gua gak jualan narkoba atau melihara tuyul, kok. Gak usah terlalu takut deket-deket sama gua."
Vianca terperanjat, dengan malu dia berkata, "Maaf, Mas! Aku akui, aku takut secara berlebihan saat lagi sama Mas Zeva."
Zeva mengerutkan alis. Setelah itu malah terkekeh lalu berkata, "Takut berlebihan artinya phobia. Emang lo phobia sama gua?"
"Bu-kan gitu juga maksudnya." Vianca mulai panik, dia merasa sudah menyinggung Zeva.
"Orang lain tuh, phobia sama ulet, kecoa, cicak, dan lo malah phobia sama gua?"
Jawaban itu, berhasil membuat Vianca tertawa. Sepertinya, perlahan dia mulai menyadari, bahwa Zeva tidak seburuk yang dia duga.
"Em, Mas Zeva. Kalau gitu aku ijin pilang sekarang, ya."
"Kenapa pulang? Gak mau nginap aja? Kasur gua masih cukup kalau di isi oleh dua orang. Kalau lo ngerasa sempit, lo bisa tidur mepet ke tubuh gua."
Vianca merinding mendengar ucapan Zeva. Baru saja dia mulai merasa nyaman dekat dengan Zeva, dan sekarang malah ingin menarik mulut pria itu hingga jontor. "Yang ada, kita bisa kegerahan kalau saling menempel seperti yang Mas sebutkan barusan."
"Lo pikir di kamar gua gak ada kipas angin?"
"Palingan kipas angin kecil yang anginnya sudah menghilang gara-gara tertutup debu."
Zeva terkekeh, dia merasa Vianca imut dengan tuduhan-tuduhannya yang receh. Zeva merasa setingkat lebih akrab dengan Vianca.
Zeva menggenggam tangan Vianca. "Katanya mau pulang, gua antar!"
Vianca mengikuti langkah Zeva sambil tangannya terus bergandengan, dan tangan mereka terlepas saat dia memasuki mobil milik Zeva.
Sepanjang perjalanan, Zeva memikirkan sesuatu. Dia merasa hal ini salah, menemui Vianca sampai berulang-ulang hingga membantu menyiapkan lamaran seperti tadi adalah diluar rencananya. Wanita itu mampu membuatnya selalu ingin bertemu, padahal awalnya dia hanya ingin mencari pelampiasan saja.
Lalu pada akhirnya, dia menyusun rencana untuk kembali pada tujuan awalnya, untuk mengejar Savana.
***Zeva saat ini berada di ruang pribadi Ayahnya di rumah. Dia datang ke tempat ini setelah sebelumnya mendapat telepon dari sang Ayah. Dirinya merasa risau karena memiliki hutang penjelasan, dia janji akan bekerja dan bertanggung jawab pada diri sendiri. Tapi nyatanya, di luar rumah Zeva hanya senang-senang.
"Zeva, mulai besok kamu bantu Kakakmu di Perusahaan keluarga kita! Besok Adam akan mengarahkan apa saja yang harus kamu kerjakan."
Zeva mengerutkan alis. "Maaf ayah, Zeva mau tanya, kenapa tiba-tiba disuruh bantu Kak Adam? Bukankah sebelum ini ayah bilang Zeva pengganggu. Zeva gak akan cocok kerja di Perusahaan."
Pak Aris Ayah Zeva menarik nafas dengan berat. "Kamu di luar juga makin parah, malah luntang-lantung gak jelas. Katanya mau cari pekerjaan tapi tidak kamu lakukan. Kamu harus bertanggungjawab pada dirimu sendiri, sebelum bertanggungjawab pada keluargamu kelak. Merangkak dari bawah hingga menjadi besar di kemudian hari adalah sifat lelaki sejati, tapi kamu tidak demikian, malah mau enaknya saja."
Tertegun, Zeva juga punya cita-cita, dia sebenarnya hanya perlu dukungan dan kepercayaan. Tuduhan yang dilontarkan ayahnya hanya membuat dia tertarik untuk memberontak. Namun lain halnya dengan saat muda dulu yang langsung marah, kini seiring bertambahnya usia dia agak sedikit dewasa. Dia hanya diam saat hatinya kesal seperti ini.
"Lagian, kamu sudah ayah kasih uang, bukannya mulai merintis usaha, malah main-main dengan wanita penghibur."
Zeva terperanjat, merasa heran kenapa ayahnya tahu aktifitasnya selama ini. Dia tetap diam. Setidaknya, dia perlu tahu sejauh mana ayahnya mengetahui tentang dia.
"Ayah sudah simpan nama wanita yang sering kamu ajak ketemu. Orangnya itu-itu lagi, 'kan? Kamu sudah membuat malu keluarga dengan di penjara, jangan sampai lebih membuat malu lagi dengan main-main bersama wanita kotor."
"Ayah tau dari mana? Semua itu hanya fitnah. Apa jangan-jangan Leon bicara macam-macam sama ayah. Jangan terlalu percaya sama dia, mungkin saja dia hanya ingin cari muka."
"Kamu gak perlu tahu ayah tahu dari mana. Hanya saja Ayah minta, jangan sewa wanita rendahan lagi. Kamu sekarang fokuslah bantu bisnis kakakmu. Tapi ingat! Jangan buat malu."
Zeva merasa tidak kesulitan dengan permintaan itu, karena ada rencana tidak menemui Vianca lagi. Lagi pula, dia sudah diberi wewenang untuk bekerja di Perusahaan keluarga. Meskipun tidak mendapatkan jabatan tinggi seperti kakaknya, tetapi bagi Zeva hal itu adalah jalan supaya bisa merebut perhatian Savana kembali.
Setelah satu bulan lamanya, Vianca sudah tak mendengar kabar laki-laki itu lagi. Terakhir mereka bertemu, Zeva membantu menyiapkan lamaran pekerjaan. Hal kecil itu membuat kesan tersendiri bagi seorang Vianca, yang sangat jarang berinteraksi dengan orang sekitar. Saat Zeva tidak hadir, maka hari-harinya kembali sepi dan membosankan. Sebenarnya bukan karena jatuh hati pada pria itu. Dia hanya rindu suasana berisik yang Zeva ciptakan. Bahkan dia belum meminta maaf karena sudah menuduh Zeva adalah seorang buronan. Sehabis menandaskan sarapannya. Dia meraih ponsel. Mencoba memberanikan diri mengirim pesan pada pria itu. "Hallo Mas Zeva apa kabar? Saat Mas tidak menghubungiku,aku tahu itu artinya aku sedang tidak dibutuhkan. Tapi saat ini sepertinya aku yang membutuhkan Mas Zeva. Apa bisa kita bertemu?" Vianca masih memegang ponsel, menanti centang satu abu berubah menjadi centang dua biru. Namun, hal itu tidak terjadi meskipun sudah cukup lama dia m
Vianca sudah memakai pakaian putih-hitam karena hari ini ada panggilan kerja. Namun, walaupun masih pagi, dia diresahkan oleh kehadiran Melvin di depan rumahnya. Kakaknya itu, nampak kumal, serta belum mengganti pakaian hang out. Sepertinya, Melvin semalaman habis party bersama teman-temannya.Vianca berada dibalik pintu, dia tidak ingin berurusan dulu dengan kakaknya. Dia tahu, kakaknya akan datang jika sudah kehabisan uang."Vi ... Vi ... buka pintunya! Kakak tahu kamu ada di dalam!" teriak Melvin.Vianca terperanjat, berdiri dibalik pintu, tetap bertahan menunggu kakaknya itu pergi. Namun, cukup sulit membuat Melvin pergi. Vianca beberapa kali melihat jam di tangannya, cemas karena khawatir akan terlambat.Melvin lagi-lagi mengetuk pintu, kali ini lebih kencang karena sudah cukup pusing dari tadi menunggu. "Woy, buka, woy! Adik sialan, gak tahu diri! Udah syukur kamu disekolahin sama bokap, pas udah gede malah pelit kaya gini."Vianca melirik ke
Bukan hal yang mudah bagi Vianca berpura-pura tidak mengenal Zeva. Setelah beberapa malam dilewati bersama, tapi Zeva malah menyuruh wanita itu melupakan segala kenangan tentang mereka. Vianca bekerja ditempatkan di bagian resepsionis, dan mau tidak mau dia harus melihat Zeva berjalan tanpa melihat ke arahnya. Vianca terperanjat dari lamunan tentang Zeva, dari jarak beberapa meter ada pria tegap yang berdiri menatap lekat ke arahnya. Vianca menyipitkan mata, merasa pernah melihat pria itu, namun jarak pandangnya agak jauh sehingga dia takut salah orang. Pria itu mendekat, semakin mendekat dan tiba-tiba jantung Vianca berpacu tak terkendali. Bayangan kejadian saat SMA melintas dipikirannya. Hal yang pernah membuat dirinya putus asa dalam meraih cita-cita. "Selamat pagi, Pak!" sapa Vianca "Via!" Pria itu tidak menjawab ucapan salam. Malah, memanggil nama kecil Vianca. Risa yang berada di samping Vianca tercengang karena Vianca dipanggil de
Zeva menghempaskan diri pada kasurnya. Kemudian mengatur posisi yang baik untuk meluruskan kaki. Dia kelelahan, setelah pulang bekerja harus bersusah payah membujuk Savana untuk balikan padanya. Usahanya tak sia-sia, wanita itu memberi kesempatan ke dua dengan syarat Zeva harus memperbaiki imagenya yang buruk dan Zeva pun diminta untuk berusaha supaya naik jabatan. Atau bahkan, membuat Perusahan sendiri. Savana adalah motivasi hidupnya. Tentu saja sebagai laki-laki dia harus berusaha memenuhi yang Savana mau. Terlebih, Savana minta uang mahar yang tinggi jika mereka sampai maju ke pelaminan. Bel pintu berbunyi. Zeva mengumpat. Baru saja dia berhasil istirahat melepas aktivitas yang menguras energi. Akan tetapi malah ada tamu tak diundang malam-malam begini. "Tamu laknat dari mana yang ganggu istirahat gua?" Zeva yang bertelanjang dada memakai T-shirt, sebelum membuka pintu apartemen. Pintu dibuka. Dia melihat sosok pria tegap nyengir ke arahnya.
Zeva mengelak bahwa dirinya mencintai Vianca. "Savana jauh lebih cantik puluhan kali lipat daripada Vianca. Gak ada alasan buat gua jatuh cinta sama dia." "Karena cinta itu gak ada logika, Bang Zev. Buktinya, lo nyimpen celana dalam Vianca pake kado, di simpen baik-baik bareng sama baju lo. Itu artinya, logika lo pindah ke dengkul, Bang Zev." Zeva meraih celana dalam yang dibuang Edrick, kemudian menggulung dan menjejal benda tersebut ke mulut adiknya yang berisik itu, hingga Edrick batuk. "Nih, ambil! Ambil kalau lo mau Vianca, ambil aja sana!" Edrick, membenarkan posisi duduknya. Wajahnya nampak serius. "Vianca gak seperti yang lo banyangkan. Dia baik, hanya saja kehidupannya sulit. Andai saja Bang Zev tahu, Gua bersalah sudah buat situasi dia makin terpuruk. Dan jika ada kesempatan buat jadi pendampingnya, gua mau, kok." Zeva bungkam, dirinya mendengarkan tiap kalimat dari mulut Edrick. Bahkan, sudah langsung menyerap ke dalam otaknya. Ada perasaan
Edrick mengantarkan Vianca pulang. Dia memperlakukan wanita itu layaknya tuan putri yang harus dilindungi.Bagi Vianca, sesuatu hal yang aneh ada pria yang membukakan pintu mobil untuknya. Wanita yang mempunyai sejarah yang kelam seperti dirinya, jarang mendapatkan perlakuan seperti ini. "Makasih Pak Edrick."Vianca masuk, dia tak bisa menolak karena hari sudah malam. Kurang aman pulang sendiri dalam keadaan tubuh yang belum pulih total."Rumah kamu di mana, Via?""Di jalan Sweet Corn gang Flower, Pak!"Edrick mengangguk sambil menyipitkan mata. Berpikir letak tempat yang disebutkan Vianca. Dia mengingat-ingat rute tempat itu, lalu melaju ke arah kontrakan Vianca."Kamu tinggal sendiri sekarang?""Iya, dulu sempat satu kontrakan sama teman, tapi dia udah mudik." Vianca menjawab pertanyaannya Edrick tanpa menatap wajahnya.Edrick pun berhenti bertanya, melihat tatapan wanita itu, seakan menghindar.Vianca kaku
Vianca perlahan memejamkan mata, efek obat dari dokter yang barusan dia minum, membuat dirinya cepat mengantuk.Zeva masih ada di situ, menatap lekat pada Vianca. Dia mengabaikan dering telepon yang berbunyi berkali-kali dari Savana. Karena dia khawatir, Savana bertanya keberadaan dirinya saat ini. Namun akhirnya, tak terdengar lagi dering telepon itu, mungkin Savana sudah menyerah untuk menghubungi Zeva.Zeva terperanjat, saat mendengar suara rintihan dari Vianca. Ketika dilihat mata Vianca masih terpejam. "Vi, kamu mengigau? Bikin orang kaget saja."Zeva yang sebelumnya menyangka suara tadi adalah suara rintihan dari kuntilanak, akhirnya mendekat pada Vianca. Dia melihat wanita itu keringat dingin, mungkin saja sedang bermimpi buruk. Zeva meraih tisu di nakas, lantas mengusap peluh di dahi Vianca.Zeva tersenyum, mengamati bentuk wajah Vianca yang indah. Dia mengecup dahi Vianca dengan lembut.Wanita itu nampak lebih baik hanya dengan
Vianca mendengar suara mesin mobil dari dalam kamar. Dia terperanjat, saat sadar bahwa Zeva sudah pulang tanpa pamit terlebih dulu padanya. Dia menghampiri Melvin yang masih berada di ruang tengah. Wanita itu terkejut, lantaran Melvin sedang asik menghitung uang ratusan ribu yang cukup banyak."Kak, Mas Zeva udah pulang?""Iya! Kakak suruh pria itu pulang.""Kakak minta uang sama dia? Kakak meras Mas Zeva?""Iya." Melvin menjawab sambil mengipasi dirinya dengan uang pemberian Zeva.Vianca geram, dia menyiram wajah Melvin dengan satu gelas air yang berada di atas meja."Hey, sialan! Uang gua jadi basah gara-gara lo.""Malu-maluin, tahu, gak! Cepat balikin! Ada berapa semua?""Cuma dua juta, kok. Tenang aja!Katanya ini buat sarapan kita berdua."Melvin tidak cerita bahwa Zeva sudah mentransfer juga ke rekeningnya dengan jumlah yang lebih banyak. Adiknya terlalu rese untuk diajak kerja sama."Sini uangnya! Vianca aka