“Ayo! Kita pulang ke rumahmu sekarang!” Aku membawanya sampai di rumah, dan bertemu dengan tetangga Ismawati dan menjawab pertanyaan wanita itu seperlunya saja. Setelah itu aku menidurkannya di kamarnya. Aku menunggu ibunya, tapi karena tidak kunjung datang dan aku harus pergi mengaji, aku memutuskan untuk meninggalkannya setelah memastikan dia baik-baik saja.“Is, nggak apa kan, kalau aku pergi sekarang, sebelum ibumu pulang?”Ismawati hanya mengangguk lemah.“Mungkin sebentar lagi Ibumu pulang!”Ismawati mengangguk lagi.Aku pergi ke mushola, setelah menutup pintu rumah Ismawati begitu saja. Saat berjalan, aku melihat sebuah mobil berhenti tidak jauh dari rumah Ismawati dan aku sadar, orang yang ada di dalamnya tengah memperhatikan aku di balik kaca mata hitamnya. Namun, karena takut dan waspada, aku pun lari sekuat tenaga untuk segera sampai ke mushola.Begitu aku pulang, ibu bertanya seperti seorang polisi menginterogasi tersangka. Setelah aku selesai cerita, dia membawaku
“Jangan berpikir buruk soal maksud Ibuk!” kata Ibuku.Aku diam saja, tapi bapak yang melanjutkan bicara.“Maksud Bapak sama Ibumu ini bagus, Mina. Bukannya nggak sayang sama kamu, tapi justru seperti itulah ungkapan sayang yang bisa bapak berikan buat kamu, menikah dengan Ragil adalah jalan terbaik buat kesempurnaan jalan hidupmu!”“Bapak yakin, dia yang terbaik buat Mina?”Bapak mengangguk, “Coba kamu ingat lagi, perjalananmu kerja sampai pindah ke tempat kost itu, apa itu bukan isyarat kalau ... bisa jadi dia memang jodohmu!”“Masa?”“Ragil itu pernah ngasih sayuran ke Ibuk loh, Pak! Waktu ke sana sama Linda dan Landu!” kata ibu.Bapak mengangguk, “Dia juga yang bantuin kamu waktu sakit dan kecelakaan, kurang baik apa coba dia?”“Eh, bisa jadi dia baik buat mancing Mina biar suka sama dia?”“Lah, apa salahnya? Nggak salah mancing perasaan calon istri biar jatuh cinta!” kata Bapak.“Ih, Bapak bisa aja, gimana kalau sudah jadi istrinya terus dia nggak baik lagi sama Mina?”
“Nah! Di sini kamu rupanya!” kata Mas Ragil sambil menangkap ayam jantan itu dan memeluk serta mengelus kepalanya.Astaghfirullah! Aku menatapnya tak percaya, ternyata, seperti ini dia memperlakukan ayamnya.Itu artinya, kalau aku jadi istrinya, maka harus bersaing dengan ayam untuk mendapatkan perhatian darinya? Tiba-tiba aku merinding, seolah ada hantu yang kebetulan lewat dan menunjukkan wujud aslinya.“Awas!” seruku padanya, sambil mendorong tubuh Mas Ragil yang masih berdiri di dekat pintu, lalu menutupnya dengan keras. Brak!Sempat kulihat ada beberapa kotoran ayam di lantai.Aku menguncinya dengan menyembunyikan rasa kesal, dan pergi tanpa permisi, pada laki-laki yang sudah membuat mood-ku buruk di pagi hari ini. Rasanya tidak rela, kalau aku harus menjadi saingan ayam nantinya. Jadi, aku harus menunjukkan sikap tidak sukaku dengan jelas padanya sekarang, sebelum semuanya terlambat.Anehnya, aku tidak sadar kalau ada binatang bersembunyi di rumahku. Aneh juga kenapa
Hari ini aku dikejutkan dengan kedatangan seseorang dikontrakan dan mengganggu hari liburku. Seharusnya aku menikmati waktu tidur siangku yang nyenyak, tapi orang yang mengetuk pintu itu begitu menjengkelkan.“Awas kalau itu Mas Ragil! Aku langsung tutup lagi pintunya!” aku menggerutu sambil meninggalkan tempat tidur dan memakai kerudung.Sudah senang aku tidak melihat batang hidung laki-laki itu selama beberapa hari, sejak insiden ayam Lestari yang hilang. Eh, sekarang menggangguku waktu masih tidur siang.“Katanya calon suami tercinta, harusnya ngerti kalau sekarang waktunya tidur siang calon istrinya!” aku masih mengomel sambil memutar kunci.Begitu pintu kontrakanku terbuka, aku dibuat heran dengan laki-laki gagah yang berdiri sambil menyunggingkan senyuman manisnya. Sontak saja aku berpikir keras, dan bertanya dalam hati, siapa laki-laki ini?Pasti alisku berkerut karena alam pikiranku yang cetek tidak mampu mengingatnya.“Maaf, benar ini kamu, Minari, kan?” katanya dengan
“Abid beruntung, bisa nikah sama adikmu, Linda!” kata Firman lagi, dan aku mengangguk tanda setuju dengan ucapannya itu, sebab Linda adalah adik kandungku.“Iya, kamu benar! Mereka pasangan yang serasi! Nggak kayak aku, sampai sekarang belum ada yang mau!” Aku berseloroh demi membuka pembicaraan lainnya.Firman tertawa kecil dan dia menggelengkan kepalanya sambil menatapku dengan tatapan yang sulit kualihkan. Dia seperti menggoda imanku untuk mengingat masa lalu yang menyedihkan.Haruskah aku ungkit sekarang tentang bagaimana ia dulu pernah menyakitiku. Ia memberikan harapan setinggi langit tapi kemudian aku dihempaskan dengan sangat keras ke dasar bumi. Rasanya perih di ulu hati dan itulah kali pertama aku merasakan sakit, karena patah hati.Dia pergi tanpa permisi dari rumah, saat aku izin ke kamar mandi, padahal kedatangannya ke rumah waktu itu jelas ingin melamarku.Waktu itu aku terima keinginannya untuk melamar, walau belum lama aku dan dia pacaran—yaitu menjelang kelulusan
“Mina! Tapi, kamu cinta pertamaku!” kata Firman berusaha meyakinkan aku soal perasaannya.“Cinta pertama itu nggak bisa jamin untuk cinta jadi terakhirmu, Fir! Apalagi perasaan kita hanyalah masa di mana kita masih remaja dulu, aku yakin kamu sudah beberapa kali pula jatuh cinta!” aku menukas ucapan Firman yang menurutku konyol itu.Memangnya siapa yang menjamin dia akan menjadikan aku sebagai cinta terakhir dan istri satu-satunya? Bukankah masih banyak kemungkinan terjadi setelah menikah? Lagi pula, tidak ada yang tahu soal takdir manusia dalam pernikahannya, apakah pasti bisa hidup bahagia bersama sampai tua dan tutup usia. Rasanya aku sulit mempercayainya. Mengingat aku tidak benar-benar mengenal Firman, meski kami pernah punya hubungan asmara.Masa lalu memang menjadi bukti adanya masa sekarang, tetapi bukan berarti boleh diungkit terus-terusan, apalagi kalau hanya untuk mengungkapkan sebuah penderitaan. Aku tidak bisa menerima perasaan Firman kembali padaku. Walaupun, aku dan
“Siapa dia? Untuk apa mereka ke sini?” kata sebuah suara yang kudengar dari arah belakang kepala. Tentu saja aku terkejut dan langsung menoleh.Ahk, dia lagi!Ternyata Mas Ragil sudah berdiri tepat di belakang punggungku hingga saat aku berusaha menghindar, senggolan antar bahu tak bisa kuhindari.“Mas Ragil ini ngagetin aja, sih!” Aku berkata dengan ketus, hampir saja tidak bisa menahan diri dan ingin rasanya memukul pria itu.Aku juga kesal pada Mas Ragil ia sudah bagus menghilang lebih dari sepekan ini, tahu-tahu muncul seperti hantu di siang hari. Lagian, dia lewat dari mana, sih? Perasaan sejak aku tadi berdiri di pintu pagar kontrakan, tidak ada orang lain lagi yang lewat, selain nyamuk atau lalat.Mas Ragil tidak mengomentari gerutuan di mulutku, tapi dia terus melihat ke arah Abid dan Firman yang masih berdiri di dekat mobil mereka masing-masing. Namun, tak lama kemudian mereka pergi.Setelah itu, aku melangkah pergi ke kontrakanku sendiri dan Mas Ragil mengikuti.“Siap
“Kamu mau bicara soal Abid apa soal pernikahan kita?” balasan dari Mas Ragil begitu cepat, membuatku merasa berarti.Percaya diri sekali dia. Aku tidak menjawab lagi pesannya, karena aku berniat untuk menghubunginya kembali setelah selesai melipat pakaian. Namun, ternyata dia menghubungiku terlebih dahulu.Aku membiarkan telepon berdering beberapa saat lamanya hingga panggilannya berakhir dengan sendirinya. Tak lama setelah itu, ia mengirimkan pesan.“Katanya mau ngomong di telepon, kenapa nggak diangkat?” Aku pun menjawab, “Nanti!”Tak ada jawaban. Baru setelah aku selesai membersihkan baju dan mandi serta sholat ashar, barulah aku meneleponnya kembali.“Halo! Gimana, Dek?” Mas Ragil langsung menjawab panggilanku, setelah bunyi nada sambung ke satu.Wah, wah, semangat sekali sih, calon suamiku itu.“Udah sholat ashar belum, Mas?” tanyaku sekedar memastikan kalau ia sudah melaksanakan kewajibannya itu.“Sudah! Itu nomor satu, seperti kamu!”Aku memilih diam mendengar gombalannya ya