LOGINSuara pintu pantry dibanting keras menggema di seluruh rumah.
"KRAK-DHUM!" Gian terdiam membeku di tempat. Tangannya masih memegang map berisi jadwal kerja yang belum sempat ia serahkan. Napasnya sedikit tercekat, bukan karena suara bantingan pintu itu, tapi karena...tatapan terakhir Afie sebelum pergi. Tatapan itu... bukan hanya marah. Tapi juga kecewa, terluka dan menyerah. Tatapan seseorang yang lelah berjuang di medan yang tak memberinya tempat. Gian menatap pintu pantry yang kini tertutup rapat. Ada sesuatu dalam dadanya yang sesak, meski ia belum mau mengakuinya. Ponselnya tiba-tiba berdering di saku celana. Layar menunjukkan satu nama: “MAMA.” Dengan berat hati, Gian mengangkat. “Halo, Ma…” Suara di ujung telepon langsung meledak seperti badai. 'GIAN REZA RAHARDIAN" Gian terpaksa menjauhkan ponsel dari telinga. “Mama, bisa tenang dulu—” "APA YANG KAMU LAKUKAN KE AFIE?!” Suara Ibu Clara terdengar marah dan penuh kekecewaan. “Anak itu menelepon ibunya sambil menangis! Dia bilang dia mau pergi dari rumah kita! Kamu usir dia, ya?! Kamu perlakukan dia dengan kasar?! Afie bukan pembantu , Gian!” Gian memijit pelipisnya yang mulai berdenyut. “Dia masuk pantryku tanpa izin, masakannya gosong, dan hampir membuat dapur meledak, serta jemur sandal limited edition-ku di luar. Sandal Hermes, Ma. di jemur sama dia!” “Dan kamu pikir itu cukup alasan untuk mempermalukan dan mengusirnya?!” balas ibunya tanpa jeda. “Afie ke rumahmu karena mama yang minta. Mama ke Amsterdam buat bantu kakakmu, dan hanya dia yang bisa mama percaya untuk tinggal bersamamu selama mama pergi.” “Dia itu anak baik, Gian. Seumur hidupnya cuma ngurus ibunya yang sakit dan kuliah. Dia bahkan nggak biasa masak, apalagi tinggal di rumah yang semua tombolnya butuh panduan khusus!” Gian tidak bisa membalas. Ia duduk di kursi dapur, wajahnya tertunduk. “Kalau dia sampai pergi, mama nggak akan maafin kamu,” lanjut ibunya tegas. “Hentikan dia. Sekarang. Dan minta maaf.” Klik. Telepon terputus. Gian menatap layar kosong itu cukup lama sebelum akhirnya berdiri. Langkahnya cepat, menyusuri lorong rumah menuju lantai atas. Di lantai atas... Afie menarik koper besar dari dalam kamar. Suaranya berderit saat ditarik ke lorong panjang. GRRTT... GRRTT.. Setiap putaran roda koper seperti mengikis harga dirinya sendiri. Ia menelan air liur. Hatinya sakit, marah, tapi di sisi lain...lega. “Cukup, Fie. Ini cukup,” gumamnya lirih. Ia menarik koper lebih cepat. Langkahnya mantap, hingga suara dari bawah mengejutkannya. "AFIE!" Langkahnya terhenti. Wajahnya menegang. “Halah... mulai lagi, apa maunya orang Arogan satu ini,” gumamnya pelan. Gian sudah berdiri di tangga bawah, matanya menatap tajam namun penuh kecemasan. Tidak ada lagi map, tidak ada nada sombong. Wajahnya… hanya panik. “Afie, jangan pergi.” Afie menatapnya tajam. “Bapak pikir aku bercanda? Ini beneran. Aku mau keluar dari rumah ini.” “Saya tahu. Tapi dengar dulu…” “Enggak. Awas.” Gian melangkah maju, berdiri tepat di depan jalur koper. Menjadi penghalang. “Minggir,” desis Afie. “Enggak.” Afie menarik koper dengan paksa. Gian tetap bergeming. Hingga akhirnya... “Aakh!” Dengan gerakan tak terduga, Afie menggigit lengan Gian. “AW! Kenapa sih kamu hobi banget gigit orang?!” “Karena aku lagi pengen banget gigit orang sombong!” balasnya geram. Tarik-menarik koper pun terjadi. Seperti adegan absurd dari film komedi, roda koper tersangkut, suara teriakan menggema di seluruh rumah. Afie hampir menangis, Gian berusaha tetap tenang sambil menahan emosi. “Saya minta maaf!” seru Gian akhirnya. Afie terdiam sejenak. Matanya memerah. Nafasnya terengah. “Terlambat,” bisiknya pelan. “Mama yang telepon saya,” ujar Gian. “Dia bilang semua ini salah saya dan mama benar.” Afie tak berkata apa-apa. Matanya berkaca-kaca. “Kamu bukan pembantu. Kamu nggak pantas diperlakukan seperti itu. Saya terlalu keras, Saya salah.” Afie menunduk. Suaranya lirih. “Aku bukan siapa-siapa di rumah ini.” Gian menggeleng perlahan. “Saya yang bikin kamu merasa begitu.” Ia melangkah maju, menatap gadis di depannya. “Kamu bisa tinggal di kamar tamu. Yang nyaman. Kamu bebas pakai dapur, pantry, kolam renang, apapun. Saya... cuma minta satu hal.” Afie menatapnya curiga. “Apa?” “Minta maaf sama saya dulu.” Afie menegang. Ekspresinya berubah cepat dari bingung menjadi... kesal. “Jadi ini semua bukan karena tulus? Tapi karena gengsi?” Gian mengangkat alis. “Kamu yang sudah keterlaluan.” “Bapak yang arogan! Tapi minta aku yang minta maaf? Aku cuma bereaksi waktu dihina!” Gian mendekat, suaranya dingin. “Kamu bahkan nggak sadar kesalahan kamu.” Afie membalas dengan kesal. “Cuma gara-gara mie kimchi itu, ya?! Oke, aku ganti. Bapak jangan takut bangkrut!” “Bukan. Bukan itu,” Gian membalas sambil menatapnya tajam. “Kamu emang nggak inget?” Afie menggeleng bingung. “Selain mie dan sandal kesayangan bapak, dan telor gosong itu, aku nggak ingat bikin masalah lain apa.” “Parah. Masih muda udah amnesia,” sindir Gian dingin. Afie mendengus. “Yang jelas aku nggak punya niat jahat apa-apa. Cuma Bapak aja yang selalu suudzon sama aku.” Gian tiba-tiba melangkah lebih dekat, tiga langkah cepat. Kini ia hanya berjarak satu langkah di depan Afie. Tubuhnya tinggi dan bayangannya menutupi cahaya dari lampu ruang tengah. Afie menegang. Jantungnya berdebar tak karuan. “Bapak... mau apa?” tanyanya gugup. Gian menunduk sedikit, menatap langsung ke matanya. “Mau kasih kamu pelajaran. Biar ingat kesalahan kamu.” Afie menelan ludah. Mencoba mundur setengah langkah, tapi koper di belakang menghalanginya. “Oke, saya bantu ingatkan,” ucap Gian, suaranya berat. “Tadi kamu hina saya, kamu sumpahin saya… dan kamu ....” Ia menyodorkan lengannya yang masih berbekas merah di kulit. “Gigit saya." Afie langsung terdiam. Ingatannya memutar ulang. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi karena menyesal... sedikit. Dengan suara pelan, ia bergumam, “Maaf… nggak sengaja.” “Apa? Saya nggak dengar,” sahut Gian cepat, masih menatapnya tajam. Afie memejamkan mata, mencoba menarik napas panjang. “Maaf, Pak. Aku... nggak sengaja. Spontan aja. Tapi... ya, memang benar sih. Bapak udah tua.” “APA?!” Gian nyaris berteriak. “Geram banget,” bisiknya sambil mencengkeram ujung rambutnya frustasi. Afie melengkungkan bibir, menahan tawa yang hampir pecah. ***Pagi itu, cahaya matahari masuk lembut melalui jendela rumah mereka. Suara tawa anak-anak memenuhi ruang tamu, berbaur dengan aroma bubur hangat dan roti panggang yang sedang disiapkan Gian. Afie duduk di sofa, perutnya yang sudah membesar akibat kehamilan pertama menonjol lembut. Ia menatap pemandangan itu, hatinya terasa hangat seperti musim semi yang lembut. “Mas Gian… kau benar-benar hebat,” bisik Afie, matanya menatap suaminya penuh cinta. Gian sedang sibuk menyiapkan sarapan, mengenakan celemek bergambar karakter kartun favorit anak-anak mereka, tampak serius tapi lucu. “Hebat? Ah, aku lebih dari hebat! Aku adalah kepala keamanan keluarga sekaligus koki profesional rumah tangga!” Gian menjawab dengan nada bangga sambil menuang jus jeruk ke gelas.
Pagi itu, sinar matahari masuk lembut melalui jendela kamar mereka. Afie bangun perlahan, tangan terletak di perutnya yang mulai membulat, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Ah… aku masih tidak percaya,” gumamnya sendiri. “Benar-benar… ada kehidupan kecil di sini.” Gian, yang sudah berada di dapur, menoleh begitu mendengar suara Afie. Matanya berbinar, senyum tak bisa disembunyikan. Segera ia melangkah cepat ke kamar, tangan mengambil piring sarapan yang baru selesai ia buat. “Kau bangun, sayang?” tanya Gian sambil meletakkan piring di meja samping tempat tidur. “Aku buatkan sarapan favoritmu, telur orak-arik, roti gandum, dan jus jeruk.” Afie terkekeh. “Gian… kau benar-benar protektif sejak aku bilang aku hamil, ya?” Gian mengangkat bahu dengan senyum polos, tapi tatapannya penuh arti. “Protektif? Tentu saja! K
Pagi itu, udara di sekitar rumah keluarga Afie terasa hangat dan damai.Matahari memantul lembut di kaca jendela, menembus tirai tipis yang sedikit bergoyang karena angin pagi. Aroma bunga segar memenuhi ruang tamu, berpadu dengan wangi kue dan kopi yang baru diseduh. Semua terasa biasa, tapi bagi Afie, hari itu istimewa.Ia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana dengan hiasan renda halus di lengan dan leher. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi sedikit bunga lily putih. Setiap kali ia menatap bayangannya sendiri, ada rasa hangat yang mengalir di dada campuran antara gugup, bahagia, dan lega.Badai panjang itu sudah berlalu, batinnya. Semua luka masa lalu, semua kesalahan yang membuatnya rapuh, semua ketidakpastian yang menahan hatinya selama ini, kini terasa jauh.Di ruangan lain, Gian juga bersiap dengan jas hitam rapi. Tangan kanannya menggenggam kaku buket bunga lily putih,
Bandara sore itu ramai luar biasa. Orang-orang berlalu-lalang dengan langkah tergesa, koper berderak di lantai, dan pengumuman penerbangan bergema dari pengeras suara.Namun bagi Gian, semua itu terasa jauh, seolah-olah ia hidup di dunia yang berhenti berputar.Suara tawa, dering ponsel, bahkan aroma kopi dari kedai di sudut terminal tak mampu menembus dinding kehampaan yang menyelubungi hatinya.Dunia di sekelilingnya penuh warna, tetapi dalam dirinya hanya ada satu nama yang bergema tanpa henti Afie.Ia duduk di ruang tunggu, di kursi panjang yang menghadap ke landasan pacu. Sinar matahari sore memantul di kaca besar di depannya, menyorot wajah yang lelah dan mata yang sembab.Tubuhnya sedikit menggigil, bukan karena udara dingin dari pendingin ruangan, melainkan karena guncangan emosi yang menumpuk terlalu lama.Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Setiap suara pengumuman keberangkatan yang menyebut kota tujuan membuat jantun
Beberapa hari terakhir, hati Afie tak pernah benar-benar tenang. Malam-malamnya selalu diisi dengan kecemasan yang tidak bisa dijelaskan.Kabar tentang Gian yang mulai lelah menunggu, bahkan sempat menangis, terus terngiang di telinganya seperti gema yang enggan menghilang.Ia duduk di balkon apartemennya, menatap langit malam yang bertabur bintang.Di tangannya, secangkir teh melati yang sejak setengah jam lalu tak disentuh. Uapnya sudah menipis, namun pikirannya justru semakin pekat.Afie menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia meyakinkan diri bahwa keputusannya untuk menjaga jarak adalah yang terbaik.Ia pikir, dengan menjauh, waktu akan mengajarkan Gian untuk memahami batasan, untuk melepaskan.Tapi ternyata, semakin jauh ia mencoba pergi, semakin kuat bayangan tatapan sendu Gian menghantui setiap langkahnya.Ada hal yang tak bisa ia pungkiri, setiap kali mendengar namanya disebut, dadanya terasa hangat sekaligus nyeri
Hari-hari setelah pertemuan di taman terasa berjalan begitu lambat bagi Gian.Setiap menit yang berlalu seolah menuntut kesabaran yang tak pernah ia miliki.Ia sudah berjanji pada Afie untuk menunggu, tapi ternyata menunggu jauh lebih melelahkan daripada apa pun yang pernah ia alami.Setiap pagi, begitu membuka mata, bayangan Afie langsung hadir dalam benaknya.Wanita itu bukan hanya seseorang yang ia cintai, Afie sudah menjadi bagian dari napas, dari hidup yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.Setiap kali Gian mencoba mendekat, jarak itu seperti dinding tak kasat mata, ada, namun tak bisa ditembus.Ketika datang ke kantor atau sekadar mengintip dari jauh, pemandangan yang ia lihat selalu sama.Afie duduk di balik meja kerja dengan ekspresi serius, tenggelam dalam tumpukan dokumen.Kadang ia berdiskusi dengan Ryan, kakaknya, kadang berbicara dengan para paman tentang strategi perusahaan.Afie terlihat begitu fokus, begi







