Anak laki-laki berusia empat tahun berlari dengan seragam sekolah yang sedikit kusut. Rambut hitam tebalnya acak-acakan, wajahnya berseri-seri.
Moza langsung berjongkok, membuka lengan, dan menyambut pelukan hangat Kayden. Anak itu melompat ke pelukannya, mencium pipi Moza dengan senyum polos.
“Mama, hari ini aku dapat bintang lima dari Bu Guru karena rajin!”
Moza tertawa kecil, hatinya meleleh. Meski tubuh Kayden sudah mulai besar, Moza menggendongnya dan membawa bocah lelaki itu ke kamar.
“Wah, hebat sekali anak Mama. Sekarang, ganti baju dulu.”
Di kamar, Moza membantu Kayden melepas seragamnya, lalu menggantinya dengan kaos bergambar dinosaurus. Ia duduk di tepi tempat tidur, menarik Kayden ke pangkuannya.
Kayden memang memiliki wajah yang sangat tampan. Alisnya tebal, matanya tajam, hidungnya mancung, dan bibirnya tipis seperti lukisan alami. Setiap kali Moza menatapnya, ada sesuatu yang menusuk hatinya, campuran antara rasa syukur dan luka yang tak pernah sembuh.
‘Kamu lahir dari malam yang menghancurkan hidup Mama. Tapi, kamu juga adalah cahaya yang membuat Mama bertahan sampai sekarang,’ batin Moza pedih.
“Mama, minggu depan ada pentas seni di sekolah,” kata Kayden tiba-tiba, matanya berbinar. “Aku main drama dan terpilih menjadi George Washington. Apa Papa bisa datang?”
Dada Moza terasa sesak. Ia menarik napas dalam-dalam sembari memeluk Kayden erat.
“Papa belum bisa pulang, Sayang. Dia masih harus bekerja, tapi dia pasti bangga padamu.”
Kayden mengangguk pelan, meski matanya masih menyimpan pertanyaan yang belum bisa dijawab.
“Yuk, makan siang dulu. Mama sudah memasak ayam goreng kesukaanmu.”
Dengan sabar, Moza mendudukkan putra kecilnya, lalu menemaninya makan siang. Namun, ponsel Moza yang tergeletak di meja tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul membuat jantungnya berdebar kencang.
Reva, sahabatnya sejak kecil. Satu-satunya orang yang tahu semua kebenaran tentang malam itu. Hanya Reva yang peduli padanya dan bersedia menolongnya meninggalkan ibu kota.
Tanpa pikir panjang, Moza menerima panggilan itu. Ia tahu sahabatnya yang berprofesi sebagai wartawan, akan memberikan informasi yang dia perlukan.
“Hallo, Reva.”
“Moza, aku punya kabar yang sudah kamu tunggu-tunggu. Akhirnya, kamu punya kesempatan untuk masuk ke keluarga Limantara.”
Moza terhenyak. Selama empat tahun ini, ia sudah menunggu momen yang tepat untuk membalas dendam pada lelaki yang menghancurkan hidupnya. Dengan bantuan Reva, ia tahu bahwa resort yang ia tempati malam itu adalah milik keluarga Limantara, keluarga paling kaya di ibu kota.
Selama itu pula, Moza sudah mencari informasi tentang anggota keluarga Limantara. Keluarga itu memiliki lima orang putra laki-laki, dan sebagai pemilik mereka bebas keluar masuk kapan saja.
Oleh karenanya, Moza yakin bahwa salah satu dari mereka adalah pria bejat yang sudah mengambil kesuciannya. Terlebih, setelah peristiwa itu, ia menemukan jam tangan merk Audemars Piguet di atas nakas, jam tangan eksklusif yang hanya bisa dimiliki oleh para milyader.
Moza menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca. “Bagaimana caranya, aku bisa masuk ke sana?"
“Keluarga Limantara sedang mencari pelayan baru, lebih tepatnya perawat untuk kakek mereka, Tuan Markus Limantara,” jawab Reva.
“Kualifikasinya sangat cocok denganmu. Pendidikan minimal SMA, pandai memasak, mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, dan nggak terikat pernikahan,” jelas Reva panjang lebar.
“Gaji yang mereka tawarkan cukup besar, tapi anehnya para pelayan yang pernah menempati posisi ini nggak bisa bertahan lebih dari tiga bulan.”
Moza langsung bangkit dari kursi. “Aku mau. Aku akan melamar sebagai pelayan di keluarga Limantara.”
“Tunggu dulu,” potong Reva. “Kamu harus lolos seleksi oleh kepala pelayan, dan setelah itu melakukan wawancara dengan salah satu dari lima Tuan Muda Limantara. Apa kamu yakin bisa menghadapi mereka?”
Moza menelan ludah, tetapi matanya bersinar tajam. Berbekal informasi yang sudah ia kumpulkan bertahun-tahun, ia sudah menghafal setiap nama, profesi, hobi, serta wajah dari kelima putra Limantara itu.
Putra sulung keluarga itu bernama Dastan Limantara, CEO Elan Medical Tech, perusahaan farmasi terbesar di kota Jadara. Terkenal angkuh, perfeksionis, jarang tersenyum. Sudah bercerai, punya seorang putri bernama Abigail, usia empat tahun, hampir sebaya dengan Kayden.
Yang kedua adalah Rezon Limantara, dokter bedah kepala di Prima Medika. Cerdas, tenang, tetapi punya aura yang membuat orang merinding. Dikenal sebagai dokter yang tidak pernah gagal operasi, tetapi juga tidak pernah dekat dengan wanita.
Putra ketiga dan keempat adalah pria kembar yang bernama Elbara dan Elzen Limantara.
Elbara, pengacara jenius yang belum pernah kalah di pengadilan. Dingin, logis, dan bisa menghancurkan lawan hanya dengan kalimat. Kembarannya adalah Elzen, pilot dari maskapai ternama, tampan, punya banyak kekasih, suka pesta, tetapi entah kenapa selalu lolos dari skandal.
Sementara, putra bungsu keluarga itu adalah Kageo Limantara, tuan muda kelima yang paling misterius. Dia lumpuh dan jarang sekali keluar dari mansion. Rumor yang beredar mengatakan bahwa Kageo mengidap suatu penyakit langka yang membuat kondisi tubuhnya lemah.
Meski begitu, Kageo punya akun media sosial yang sangat populer. Setiap unggahannya memperdengarkan alunan biola, piano, dan saksofon yang begitu merdu, sehingga ia memiliki banyak penggemar.
“Kalau kamu diterima, kamu akan bekerja di hadapan kelima pria ini setiap hari. Menjadi bagian dari dunia mereka,” imbuh Reva. Ia khawatir Moza tidak akan kuat menghadapi tekanan di rumah keluarga kaya.
“Memang itu yang aku inginkan. Sesulit apa pun, aku harus lolos seleksi. Ini demi Kay," pungkas Moza mantap.
Ada jeda di seberang sana, sebelum Reva melontarkan sebuah pertanyaan yang menusuk.
“Bagaimana kalau kamu bertemu Yohan? Dia sekarang sudah menikahi Alexa, kakak tirimu.”
Moza membalas dengan senyuman dingin, tak terlihat rasa cemburu sedikit pun di sorot matanya.
“Aku nggak peduli dengan mereka. Justru, aku akan menggunakan kesempatan ini untuk melakukan dua hal sekaligus. Menemukan siapa ayah Kayden, sekaligus mengumpulkan bukti bahwa Yohan terlibat dalam peristiwa itu.”
Mendengar rencana Moza, suara Reva di seberang sana berubah serius. “Hati-hati, Moza. Kelima pria Limantara bukan orang biasa. Mereka punya mata di mana-mana. Kalau kamu ketahuan mencari tahu terlalu dalam….”
“Aku tahu risikonya,” potong Moza. “Tapi, aku nggak akan membiarkan penjahat itu bebas tanpa hukuman. Aku akan masuk ke istana mereka sebagai pelayan yang lugu, lalu mencari titik lemah mereka satu per satu.”
Usai keluar dari kamar Tuan Markus, Moza mengikuti langkah Thalia yang cepat dan tegas. Seiring dengan langkah mereka menuju paviliun, terlihat lampu gantung sederhana yang menyala redup di setiap jarak sepuluh meter. Lantainya bukan terbuat dari marmer, melainkan keramik abu-abu bermotif garis. Di sekelilingnya terdapat tembok tinggi yang dicat putih bersih. “Ini adalah asrama pelayan,” kata Thalia tanpa menoleh. “Tamu dari luar tidak boleh masuk. Bahkan para Tuan Muda jarang sekali kemari, kecuali ada urusan penting.” Thalia tetap berjalan di depan Moza, menyusuri lorong yang lebih rendah dari lantai utama mansion. Di sepanjang sisi kiri dan kanan, berjejer pintu-pintu kecil dengan nomor dan nama pelayan yang tertulis di papan kayu. “Akan kutunjukkan letak kamarmu. Kopermu sudah dibawa oleh Ninda kemari,” pungkas Thalia dengan suara datar. Mereka terus melangkah sampai di ujung koridor, di mana hanya ada satu pintu yang tersisa. Thalia merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan
Ketika Moza masih bimbang dengan perasaannya sendiri, terdengar suara berat seorang pria dari ambang pintu.“Abi, jangan sembarangan memanggil orang lain sebagai Mama.”Semua kepala menoleh serempak.Di pintu, berdiri seorang pria mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung sampai siku. Tingginya sekitar 185 cm, memiliki postur tegap, bahu yang lebar dan jari-jemari panjang.Wajahnya simetris, dilengkapi dengan sepasang mata berwarna hitam pekat. Ekspresi pria itu dingin, tetapi ada kilatan kelembutan saat ia menatap Abigail.Moza mengenali dia sebagai Rezon Limantara, putra kedua keluarga Limantara. Dokter bedah sekaligus kepala Limantara Medika, lelaki yang namanya sering muncul di majalah medis internasional sebagai "The Silent Healer".Ketika Rezon melihat Abigail memeluk pinggang Moza, kedua alis tebalnya langsung menukik tajam.“Abi, lepaskan tanganmu,” katanya datar, tetapi cukup tajam untuk didengar semua orang.Abigail menatap sang paman dengan wajah cemberut, tetapi akhir
“Saya akan menjaga rahasia itu selama tidak melanggar hukum atau menyakiti orang yang tidak bersalah. Karena loyalitas adalah harga diri seorang pelayan.”Mendengar jawaban Moza, Elbara duduk kembali di kursinya dengan tenang. Kini, giliran Elzen yang beranjak. Pria itu bersandar santai pada tepi meja sembari melipat tangannya di depan dada.“Giliranku yang mengajukan pertanyaan. Bagaimana kamu bisa membedakan kami berdua, terutama saat Elbara tidak pakai kacamata, dan kami memakai baju yang sama?” tantang Elzen dengan ekspresi serius.“Jika kamu salah panggil, atau salah melayani, itu bisa menimbulkan konflik internal. Apalagi, masih ada dua kakak kami, Dastan dan Rezon, serta adik kami, Kageo. Kami semua memiliki hak atas pelayanan yang tepat.”Moza diam sejenak. Ia mengamati keduanya—wajah yang identik, postur yang sama, bahkan gerakan tangan yang hampir sinkron.Tidak sia-sia ia mengumpulkan informasi mengenai keluarga Limantara. Inilah saatnya dia menggunakan pengetahuan tersebut
Dengan langkah lebar, Thalia memimpin Moza keluar dari ruang tamu. Mereka pun tiba di dapur belakang, yang dilengkapi peralatan masak stainless steel canggih, oven berteknologi tinggi, dan dua pelayan muda yang sedang memotong sayuran.“Ini Moza. Calon pelayan. Dia akan membuat sup dan puding untuk Tuan Markus. Kalian diam saja. Biarkan dia bekerja.”Tanpa membuang waktu, Moza segera memakai apron dan mencuci tangan. Dengan cekatan, ia mencuci bersih sirip ikan hiu berkualitas tinggi dari lemari pendingin. Merebusnya selama dua jam dengan air jahe segar, daun pandan, dan potongan akar lotus untuk menghilangkan bau amis dan meningkatkan sirkulasi darah.Kemudian, Moza menumis bumbu rempah dan mencampurnya ke dalam kaldu sirip ikan. Moza mengaduk perlahan dengan sendok kayu, agar tekstur kaldu tetap halus dan tidak pecah.Untuk puding, Moza menggunakan biji delima segar yang sudah disiapkan Thalia. Ia mencampurnya dengan susu almond, gelatin alami, dan madu hutan, lalu menuangkannya ke
Setelah telepon dari Reva terputus, Moza tidak menyia-nyiakan waktu. Sesudah menyerahkan Kayden pada bibinya, ia segera masuk ke kamar dan membuka. Jemari Moza mengetik cepat meski hatinya berdebar-debar. Formulir lamaran yang dikirim Reva telah ia isi dengan data yang disamarkan. Ia tidak menyebutkan nama suami sebelumnya, tidak mencantumkan alamatnya dulu di ibu kota. Hanya riwayat pendidikan, pengalaman memasak dan membuat kue, serta kota kecil tempat ia tinggal saat ini.Sesudah mengunggah kartu identitas dan foto terbaru, Moza menekan tombol ‘kirim’.Ia pun menarik napas panjang, seperti melepas beban yang ditahan bertahun-tahun. Ini bukan sekadar melamar pekerjaan. Ini adalah tiket masuk ke sarang harimau, tempat di mana kebenaran tersembunyi di balik kemewahan dan kekuasaan. Dengan tekad baru, Moza membuka lemari kayu tua di kamar. Meski belum tahu apakah lamaran pekerjaannya akan diterima, Moza mulai berkemas. Ia memasukkan baju-bajunya ke dalam koper kecil bekas warisan ib
Anak laki-laki berusia empat tahun berlari dengan seragam sekolah yang sedikit kusut. Rambut hitam tebalnya acak-acakan, wajahnya berseri-seri. Moza langsung berjongkok, membuka lengan, dan menyambut pelukan hangat Kayden. Anak itu melompat ke pelukannya, mencium pipi Moza dengan senyum polos. “Mama, hari ini aku dapat bintang lima dari Bu Guru karena rajin!”Moza tertawa kecil, hatinya meleleh. Meski tubuh Kayden sudah mulai besar, Moza menggendongnya dan membawa bocah lelaki itu ke kamar. “Wah, hebat sekali anak Mama. Sekarang, ganti baju dulu.”Di kamar, Moza membantu Kayden melepas seragamnya, lalu menggantinya dengan kaos bergambar dinosaurus. Ia duduk di tepi tempat tidur, menarik Kayden ke pangkuannya.Kayden memang memiliki wajah yang sangat tampan. Alisnya tebal, matanya tajam, hidungnya mancung, dan bibirnya tipis seperti lukisan alami. Setiap kali Moza menatapnya, ada sesuatu yang menusuk hatinya, campuran antara rasa syukur dan luka yang tak pernah sembuh.‘Kamu lahir d