LOGINSetelah percakapan singkat di gerai donat, Moza kembali duduk di samping Abigail. Sementara Rezon mengambil tempatnya di balik kemudi, dan melajukan mobil dengan kecepatan stabil.Abigail menyambut kotak donat dengan girang, memakannya dengan lahap selama perjalanan pulang.Moza berusaha melupakan kegelisahannya dengan mengelap bibir Abigail yang belepotan coklat. Entah mengapa ia merasa seperti seekor domba yang diantar kembali ke kandang singa.Saat mobil akhirnya melintasi gerbang mansion Limantara, Abigail baru saja menghabiskan donat terakhirnya. Moza turun lebih dulu lantas membantu gadis kecil itu keluar dengan hati-hati.Tepat saat mereka melangkah, pandangan Moza tertuju pada sosok wanita cantik yang berdiri di teras bersama Elbara. Ia belum pernah melihat wanita ini sebelumnya.Wanita itu mengenakan gaun biru tua yang elegan, menampakkan aura keanggunan yang tak tertandingi.Sebelum ia sempat membuka suara, Abigail sudah berlari kecil ke arah wanita itu."Tante Valen!" serun
Malam telah menyelimuti rumah peristirahatan Aurora. Setelah segala urusan dapur beres, Moza memenuhi janjinya untuk menemani Abigail tidur.Di dalam kamar, Moza duduk di tepi ranjang, membacakan sebuah dongeng dengan suara lembut. Namun, malam ini Abigail tidak kunjung terlelap. Matanya yang biasanya mengantuk justru terbuka lebar, menatap Moza penuh rasa ingin tahu."Tante Moza," bisik Abigail tiba-tiba, memecah kesunyian. "Tante suka nggak sama Papa?"Pertanyaan itu bagai petir yang menyambar di malam hari. Moza refleks menelan ludah kasar. Dia sama sekali tidak menyangka gadis kecil ini akan menanyakan hal yang begitu personal.Dia pun bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin dia jujur pada gadis kecil ini bahwa dia bermusuhan dengan Dastan Limantara. Namun di sisi lain, berbohong juga terasa begitu sulit.Karena Moza terlalu lama terdiam, Abigail malah menyimpulkan sendiri. "Tante pasti suka Papa. Papa itu sangat tampan dan rajin bekerja,” ujarnya dengan yakin, seolah itu adala
Sekitar pukul lima sore, mansion Limantara disinari cahaya jingga keemasan. Sebuah sedan mewah berhenti mulus di depan pintu utama.Elbara Limantara, sang pengacara handal keluarga, turun dengan wajah yang terlihat cukup lelah.Baru saja ia berhasil menyelesaikan sengketa besar untuk PT Cakra Properti, terkait pembebasan lahan yang melibatkan gugatan dari serikat pekerja. Pertempuran hukum selama berhari-hari itu akhirnya dimenangkan. Namun, menyisakan kelelahan mental dan menguras seluruh energinya.Elbara melonggarkan dasinya yang terasa mencekik dan menarik napas panjang. Ia menikmati keheningan singkat sebelum melangkah masuk ke mansion.Begitu tiba di ruang tengah, kelelahan Elbara langsung teralihkan. Valen sudah berdiri di sana, bersiap untuk menyambut kepulangannya.Valen mengenakan gaun krem dengan potongan bodycon yang membentuk lekuk tubuhnya. Rambutnya terurai, bibirnya berwarna merah muda mengilap. Sambil tersenyum manis, ia berjalan mendekati Elbara.Tanpa kata, Valen me
“Opa, tenang saja. Begitu sampai di mansion, aku akan segera memeriksa Kageo,” ujar Rezon dengan ketenangan khas seorang dokter.Tuan Markus mengangguk perlahan, matanya kembali tenang, seolah dengan kehadiran Rezon dan Moza di mansion beban di pundaknya sedikit berkurang.Moza tidak berkata apa-apa. Ia hanya menunduk, menerima takdir yang baru saja dijatuhkan padanya. Besok, ia harus kembali ke mansion dan menjadi pelayan sementara untuk Kageo.Di dalam hati, Moza ingin menolak tetapi bagaimana mungkin?Di hadapan Tuan Markus, penolakan berarti pembangkangan. Dan pembangkangan berarti ia bisa kehilangan akses ke keluarga Limantara, sekaligus kehilangan kesempatan untuk mengungkap kebenaran tentang pria di resort.Beberapa jam kemudian, di dapur yang mulai diselimuti senja, Moza berdiri mematung sambil memandangi bahan masakan yang diracik untuk makan malam. Pikirannya berkecamuk, terperangkap dalam rencana yang tiba-tiba berantakan.Tidak seharusnya perubahan ini terjadi.Sekarang, d
Mendengar Kageo sakit, Valen segera menoleh pada Thalia. "Aku akan naik ke lantai dua untuk menjenguk Kageo."Tanpa menunda lagi, Valen dan Thalia bergegas menaiki anak tangga menuju lantai dua.Di sana, mereka menemukan pria itu sedang duduk bersandar di kursi. Wajahnya pucat seperti lilin, dengan butiran keringat dingin di pelipis. Deru napas Kageo juga terdengar pendek dan tidak beraturan.“Kageo, kau baik-baik saja?” tanya Valen buru-buru menghampiri."Valen, kau sudah datang. Kepalaku seperti dihantam palu," gumam Kageo lemah. Beberapa memar kecil terlihat di lengan bawahnya meski tidak terbentur apa pun.Valen segera duduk di samping Kageo, mengecek dahinya yang berkeringat. "Tenang, Kageo. Kau hanya perlu minum obat dan istirahat."Dengan sigap, Valen membantu Kageo meminum obat pereda nyeri. Kemudian, ia menuntun pria itu menuju tempat tidur. Mengatur bantal di kepala ranjang, agar Kageo bisa bersandar dengan nyaman."Bibi Thalia, tolong ambilkan kompres untuk meredakan sakit
Nuri, yang sejak tadi mengawasi dari jarak dekat, bergegas memeriksa kondisi Abigail. “Sebenarnya, Tuan Dastan bicara begitu agar Nona Kecil lebih hati-hati. Dulu, Nona Kecil pernah dirawat di rumah sakit, dan Tuan Dastan sempat panik mencari donor darurat.”"Kenapa bukan Tuan Dastan yang menjadi pendonornya? Bukankah darah mereka sama?” tanya Moza penasaran. Sebelum Nuri sempat menjawab, langkah kaki pria terdengar menyusuri jalan setapak.Rezon muncul dari arah belakang dan menghampiri mereka. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Ada apa, Abi? Kenapa wajahmu pucat?"Nuri segera menjelaskan, "Nona Kecil hampir jatuh, Tuan Muda. Untung Moza cepat menangkapnya."Rezon langsung berjongkok di depan Abigail, suaranya lembut sekaligus mengandung teguran."Jangan lari-lari di area seperti ini, Abi. Banyak batu dan akar pohon yang tidak terlihat. Bisa cedera.”“Maaf, Paman,” jawab Abigail menunduk seraya memegangi lengan Moza.Rezon tersenyum sambil mengelus kepala sang keponakan. “Besok p







