Setelah telepon dari Reva terputus, Moza tidak menyia-nyiakan waktu. Sesudah menyerahkan Kayden pada bibinya, ia segera masuk ke kamar dan membuka. Jemari Moza mengetik cepat meski hatinya berdebar-debar.
Formulir lamaran yang dikirim Reva telah ia isi dengan data yang disamarkan. Ia tidak menyebutkan nama suami sebelumnya, tidak mencantumkan alamatnya dulu di ibu kota. Hanya riwayat pendidikan, pengalaman memasak dan membuat kue, serta kota kecil tempat ia tinggal saat ini.
Sesudah mengunggah kartu identitas dan foto terbaru, Moza menekan tombol ‘kirim’.
Ia pun menarik napas panjang, seperti melepas beban yang ditahan bertahun-tahun. Ini bukan sekadar melamar pekerjaan. Ini adalah tiket masuk ke sarang harimau, tempat di mana kebenaran tersembunyi di balik kemewahan dan kekuasaan.
Dengan tekad baru, Moza membuka lemari kayu tua di kamar. Meski belum tahu apakah lamaran pekerjaannya akan diterima, Moza mulai berkemas. Ia memasukkan baju-bajunya ke dalam koper kecil bekas warisan ibunya. Selain itu, Moza membawa beberapa foto Kayden, dan sebuah buku harian tebal yang berisi catatan-catatan pribadi.
Pintu kamar terbuka pelan. Kayden masuk, diikuti oleh Bibi Mara, wanita paruh baya yang merupakan adik kandung dari mendiang ibu Moza. Di tangan Kayden, ada mainan pesawat plastik yang sedang ia mainkan.
“Mama mau pergi?” tanya Kayden sembari menatap koper yang terbuka di atas tempat tidur.
Moza langsung merunduk, membuat badannya setinggi mata Kayden. Bibirnya menyunggingkan senyum meski dadanya terasa sesak di dalam sana.
“Sayang, Mama akan berangkat ke luar kota.”
“Apa untuk mencari Papa?” tanya Kayden dengan mata membulat.
Moza mengangguk pelan. “Iya. Tapi, kamu harus janji sama Mama. Rajin belajar, patuh pada Nenek Mara dan Paman Henry. Makan yang cukup, tidur tepat waktu, dan jangan rewel. Mama belum tahu berapa lama Mama akan pergi.”
Wajah Kayden langsung murung. Ia mendekap Moza erat-erat, hampir menangis. “Aku janji, Ma. Aku akan jadi anak paling baik di dunia, supaya bisa ketemu Papa.”
Air mata Moza luruh seketika. Ia memeluk Kayden lebih erat, mencium ubun-ubunnya. Apa pun yang terjadi, ia akan kembali dengan membawa sosok ayah yang selalu dirindukan oleh Kayden.
***
Langit masih kelabu saat Moza bangun. Ia menyalakan kompor untuk membuat bubur ayam kesukaan Kayden. Setelah itu, ia membantu putra kecilnya bersiap ke sekolah.
Baru saja Moza selesai memandikan Kayden, ponselnya berdering. Dahi Moza berkerut saat melihat nomor asing yang tertera di layar. Ia ragu sejenak, sebelum menerima panggilan tersebut.
Dari ujung sana, terdengar suara wanita paruh baya yang tegas dan dingin.
“Selamat pagi. Apakah ini Mozarella Hutama, yang mengirimkan lamaran sebagai pelayan keluarga Limantara?”
“Benar, saya Moza, Bu.”
“Saya Thalia, Kepala Pelayan. Setelah membaca surat lamaran yang kau kirimkan, kami memutuskan untuk mengundangmu mengikuti seleksi.”
Jantung Moza berdegup kencang. Tak disangka, ia akan dihubungi secepat ini.
“Kapan jadwal seleksi dilangsungkan, Bu?” tanya Moza bersemangat.
“Hari ini, pukul tiga sore di Limantara Mansion. Lokasinya akan kukirimkan ke ponselmu. Tunjukkan kartu identitas, dan petugas akan mengantarmu masuk. Jangan sampai terlambat.”
“Baik, Bu, saya pasti akan datang tepat waktu,” balas Moza sebelum telepon terputus.
Perjalanan Moza ke ibu kota dimulai dengan bus tua yang mengantarnya menuju bandara kecil. Dari sana, Moza naik penerbangan langsung ke Jadara.
Setelah menempuh penerbangan selama tiga jam, pesawat mendarat tepat waktu. Moza turun dengan napas tertahan, memandang kota kelahirannya yang telah ia tinggalkan selama lima tahun.
Untuk mempersingkat waktu, Moza segera memesan taksi yang akan mengantarnya ke Limantara Mansion.
Taksi pun melaju, menyusuri jalanan kota yang padat. Hingga pada akhirnya, berbelok ke kawasan perumahan elite yang dijaga ketat oleh empat orang petugas keamanan.
Mereka menanyakan apa keperluan Moza memasuki perumahan tersebut. Setelah menjelaskan tujuannya, petugas keamanan mengizinkan taksi yang dinaiki Moza masuk.
Sesuai petunjuk yang diberikan Moza, taksi berhenti di depan sebuah bangunan bertingkat tiga yang dilindungi oleh gerbang besi. Lekas saja, Moza membuka pintu dan turun dari taksi.
Sejenak, ia memandang kediaman bergaya arsitektur Mediterania Eropa itu. Limantara Mansion, tempat di mana ia akan memperjuangkan keadilan dengan mempertaruhkan hidupnya sendiri.
Melihat ada seorang wanita muda yang berdiri di depan gerbang, dua petugas keamanan berseragam biru segera mendekat.
“Anda siapa dan ada keperluan apa kemari?” tanya salah satu petugas kepada Moza.
“Saya Moza, calon pelayan yang akan mengikuti seleksi. Saya dihubungi langsung oleh Ibu Thalia,” jawab Moza tenang meski jantungnya berdegup kencang.
Tak mau percaya begitu saja, petugas itu meminta kartu identitas Moza. Usai mengecek sebentar, ia pun membukakan gerbang.
“Silakan masuk."
Moza membawa kopernya, melangkah melewati gerbang yang terbuka perlahan. Udara di dalam terasa lebih sejuk, mungkin karena ada banyak tanaman hias dan bunga beraneka warna di sekeliling taman.
Dengan diantar salah satu pelayan, Moza masuk ke ruang tamu utama. Sebuah aula besar dengan langit-langit tinggi, sofa beludru biru tua, dan lantai marmer hitam-putih yang menyerupai papan permainan catur.
Sembari duduk di ujung sofa, mata Moza menatap sekeliling. Bagaimana mungkin orang-orang yang punya segalanya—rumah seperti istana, uang tanpa batas, dan kekuasaan masih bisa merusak hidup orang lain.
Tanpa sadar, Moza meremas jemarinya sendiri. Kenangan malam itu kembali muncul, sentuhan liar, pergulatan panas dan kenikmatan sesaat yang berujung pada penderitaan.
Tiba-tiba, suara derap sepatu keras memecah lamunan Moza. Seorang wanita paruh baya berseragam hitam muncul dari koridor samping. Rambutnya dikuncir kencang, wajahnya sedingin es dan matanya tajam seperti pisau.
Sambil berdiri di depan Moza, wanita itu memandangnya dari ujung rambut hingga ujung sepatu seperti menilai barang. Dia adalah Thalia, kepala pelayan yang sudah belasan tahun bekerja di mansion keluarga Limantara.
“Kenapa kau membawa koper?” tanyanya datar.
Moza menelan ludah. “Saya baru saja tiba dari Sarima, kota kecil di pesisir utara. Saya pikir lebih baik jika saya membawa barang-barang sekalian.”
Wanita itu mendengus pelan. “Belum tentu kamu diterima. Jika kamu gagal dalam seleksi tiga tahap, kamu harus segera meninggalkan mansion ini.”
“Saya mengerti, Bu,” jawab Moza mengangguk hormat.
Tanpa berbasa-basi lagi, Thalia meminta Moza untuk berdiri dan mendekatinya. Kemudian, dengan jengkal tangan, wanita itu mengukur lingkar dada dan pinggang Moza. Ia juga memegang tangan Moza, memeriksa kuku dan meraba telapak tangannya.
“Sekarang, kau akan menjalani seleksi tahap pertama. Ikut aku ke dapur belakang, kau harus memasak sup sirip ikan dengan rempah dan puding buah delima untuk Tuan Markus. Aku akan lihat sejauh mana kemampuanmu,” tukas Thalia dingin.
Usai keluar dari kamar Tuan Markus, Moza mengikuti langkah Thalia yang cepat dan tegas. Seiring dengan langkah mereka menuju paviliun, terlihat lampu gantung sederhana yang menyala redup di setiap jarak sepuluh meter. Lantainya bukan terbuat dari marmer, melainkan keramik abu-abu bermotif garis. Di sekelilingnya terdapat tembok tinggi yang dicat putih bersih. “Ini adalah asrama pelayan,” kata Thalia tanpa menoleh. “Tamu dari luar tidak boleh masuk. Bahkan para Tuan Muda jarang sekali kemari, kecuali ada urusan penting.” Thalia tetap berjalan di depan Moza, menyusuri lorong yang lebih rendah dari lantai utama mansion. Di sepanjang sisi kiri dan kanan, berjejer pintu-pintu kecil dengan nomor dan nama pelayan yang tertulis di papan kayu. “Akan kutunjukkan letak kamarmu. Kopermu sudah dibawa oleh Ninda kemari,” pungkas Thalia dengan suara datar. Mereka terus melangkah sampai di ujung koridor, di mana hanya ada satu pintu yang tersisa. Thalia merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan
Ketika Moza masih bimbang dengan perasaannya sendiri, terdengar suara berat seorang pria dari ambang pintu.“Abi, jangan sembarangan memanggil orang lain sebagai Mama.”Semua kepala menoleh serempak.Di pintu, berdiri seorang pria mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung sampai siku. Tingginya sekitar 185 cm, memiliki postur tegap, bahu yang lebar dan jari-jemari panjang.Wajahnya simetris, dilengkapi dengan sepasang mata berwarna hitam pekat. Ekspresi pria itu dingin, tetapi ada kilatan kelembutan saat ia menatap Abigail.Moza mengenali dia sebagai Rezon Limantara, putra kedua keluarga Limantara. Dokter bedah sekaligus kepala Limantara Medika, lelaki yang namanya sering muncul di majalah medis internasional sebagai "The Silent Healer".Ketika Rezon melihat Abigail memeluk pinggang Moza, kedua alis tebalnya langsung menukik tajam.“Abi, lepaskan tanganmu,” katanya datar, tetapi cukup tajam untuk didengar semua orang.Abigail menatap sang paman dengan wajah cemberut, tetapi akhir
“Saya akan menjaga rahasia itu selama tidak melanggar hukum atau menyakiti orang yang tidak bersalah. Karena loyalitas adalah harga diri seorang pelayan.”Mendengar jawaban Moza, Elbara duduk kembali di kursinya dengan tenang. Kini, giliran Elzen yang beranjak. Pria itu bersandar santai pada tepi meja sembari melipat tangannya di depan dada.“Giliranku yang mengajukan pertanyaan. Bagaimana kamu bisa membedakan kami berdua, terutama saat Elbara tidak pakai kacamata, dan kami memakai baju yang sama?” tantang Elzen dengan ekspresi serius.“Jika kamu salah panggil, atau salah melayani, itu bisa menimbulkan konflik internal. Apalagi, masih ada dua kakak kami, Dastan dan Rezon, serta adik kami, Kageo. Kami semua memiliki hak atas pelayanan yang tepat.”Moza diam sejenak. Ia mengamati keduanya—wajah yang identik, postur yang sama, bahkan gerakan tangan yang hampir sinkron.Tidak sia-sia ia mengumpulkan informasi mengenai keluarga Limantara. Inilah saatnya dia menggunakan pengetahuan tersebut
Dengan langkah lebar, Thalia memimpin Moza keluar dari ruang tamu. Mereka pun tiba di dapur belakang, yang dilengkapi peralatan masak stainless steel canggih, oven berteknologi tinggi, dan dua pelayan muda yang sedang memotong sayuran.“Ini Moza. Calon pelayan. Dia akan membuat sup dan puding untuk Tuan Markus. Kalian diam saja. Biarkan dia bekerja.”Tanpa membuang waktu, Moza segera memakai apron dan mencuci tangan. Dengan cekatan, ia mencuci bersih sirip ikan hiu berkualitas tinggi dari lemari pendingin. Merebusnya selama dua jam dengan air jahe segar, daun pandan, dan potongan akar lotus untuk menghilangkan bau amis dan meningkatkan sirkulasi darah.Kemudian, Moza menumis bumbu rempah dan mencampurnya ke dalam kaldu sirip ikan. Moza mengaduk perlahan dengan sendok kayu, agar tekstur kaldu tetap halus dan tidak pecah.Untuk puding, Moza menggunakan biji delima segar yang sudah disiapkan Thalia. Ia mencampurnya dengan susu almond, gelatin alami, dan madu hutan, lalu menuangkannya ke
Setelah telepon dari Reva terputus, Moza tidak menyia-nyiakan waktu. Sesudah menyerahkan Kayden pada bibinya, ia segera masuk ke kamar dan membuka. Jemari Moza mengetik cepat meski hatinya berdebar-debar. Formulir lamaran yang dikirim Reva telah ia isi dengan data yang disamarkan. Ia tidak menyebutkan nama suami sebelumnya, tidak mencantumkan alamatnya dulu di ibu kota. Hanya riwayat pendidikan, pengalaman memasak dan membuat kue, serta kota kecil tempat ia tinggal saat ini.Sesudah mengunggah kartu identitas dan foto terbaru, Moza menekan tombol ‘kirim’.Ia pun menarik napas panjang, seperti melepas beban yang ditahan bertahun-tahun. Ini bukan sekadar melamar pekerjaan. Ini adalah tiket masuk ke sarang harimau, tempat di mana kebenaran tersembunyi di balik kemewahan dan kekuasaan. Dengan tekad baru, Moza membuka lemari kayu tua di kamar. Meski belum tahu apakah lamaran pekerjaannya akan diterima, Moza mulai berkemas. Ia memasukkan baju-bajunya ke dalam koper kecil bekas warisan ib
Anak laki-laki berusia empat tahun berlari dengan seragam sekolah yang sedikit kusut. Rambut hitam tebalnya acak-acakan, wajahnya berseri-seri. Moza langsung berjongkok, membuka lengan, dan menyambut pelukan hangat Kayden. Anak itu melompat ke pelukannya, mencium pipi Moza dengan senyum polos. “Mama, hari ini aku dapat bintang lima dari Bu Guru karena rajin!”Moza tertawa kecil, hatinya meleleh. Meski tubuh Kayden sudah mulai besar, Moza menggendongnya dan membawa bocah lelaki itu ke kamar. “Wah, hebat sekali anak Mama. Sekarang, ganti baju dulu.”Di kamar, Moza membantu Kayden melepas seragamnya, lalu menggantinya dengan kaos bergambar dinosaurus. Ia duduk di tepi tempat tidur, menarik Kayden ke pangkuannya.Kayden memang memiliki wajah yang sangat tampan. Alisnya tebal, matanya tajam, hidungnya mancung, dan bibirnya tipis seperti lukisan alami. Setiap kali Moza menatapnya, ada sesuatu yang menusuk hatinya, campuran antara rasa syukur dan luka yang tak pernah sembuh.‘Kamu lahir d