Share

Tiga Tahap Seleksi

Penulis: Risca Amelia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-29 00:41:46

Setelah telepon dari Reva terputus, Moza tidak menyia-nyiakan waktu. Sesudah menyerahkan Kayden pada bibinya, ia segera masuk ke kamar dan membuka. Jemari Moza mengetik cepat meski hatinya berdebar-debar. 

Formulir lamaran yang dikirim Reva telah ia isi dengan data yang disamarkan. Ia tidak menyebutkan nama suami sebelumnya, tidak mencantumkan alamatnya dulu di ibu kota. Hanya riwayat pendidikan,  pengalaman memasak dan membuat kue, serta kota kecil tempat ia tinggal saat ini.

Sesudah mengunggah kartu identitas dan foto terbaru, Moza menekan tombol ‘kirim’.

Ia pun menarik napas panjang, seperti melepas beban yang ditahan bertahun-tahun. Ini bukan sekadar melamar pekerjaan. Ini adalah tiket masuk ke sarang harimau, tempat di mana kebenaran tersembunyi di balik kemewahan dan kekuasaan. 

Dengan tekad baru, Moza membuka lemari kayu tua di kamar. Meski belum tahu apakah lamaran pekerjaannya akan diterima, Moza mulai berkemas. Ia memasukkan baju-bajunya ke dalam koper kecil bekas warisan ibunya. Selain itu, Moza membawa beberapa foto Kayden, dan sebuah buku harian tebal yang berisi catatan-catatan pribadi.

Pintu kamar terbuka pelan. Kayden masuk, diikuti oleh Bibi Mara, wanita paruh baya yang merupakan adik kandung dari mendiang ibu Moza. Di tangan Kayden, ada mainan pesawat plastik yang sedang ia mainkan.

“Mama mau pergi?” tanya Kayden sembari menatap koper yang terbuka di atas tempat tidur.

Moza langsung merunduk, membuat badannya setinggi mata Kayden. Bibirnya menyunggingkan senyum meski dadanya terasa sesak di dalam sana.

“Sayang, Mama akan berangkat ke luar kota.”

“Apa untuk mencari Papa?” tanya Kayden dengan mata membulat.

Moza mengangguk pelan. “Iya. Tapi, kamu harus janji sama Mama. Rajin belajar, patuh pada Nenek Mara dan Paman Henry. Makan yang cukup, tidur tepat waktu, dan jangan rewel. Mama belum tahu berapa lama Mama akan pergi.”

Wajah Kayden langsung murung. Ia mendekap Moza erat-erat, hampir menangis. “Aku janji, Ma. Aku akan jadi anak paling baik di dunia, supaya bisa ketemu Papa.”

Air mata Moza luruh seketika. Ia memeluk Kayden lebih erat, mencium ubun-ubunnya. Apa pun yang terjadi, ia akan kembali dengan membawa sosok ayah yang selalu dirindukan oleh Kayden.

***

Langit masih kelabu saat Moza bangun. Ia menyalakan kompor untuk membuat bubur ayam kesukaan Kayden. Setelah itu, ia membantu putra kecilnya bersiap ke sekolah.

Baru saja Moza selesai memandikan Kayden, ponselnya berdering. Dahi Moza berkerut saat melihat nomor asing yang tertera di layar. Ia ragu sejenak, sebelum menerima panggilan tersebut.

Dari ujung sana, terdengar suara wanita paruh baya yang tegas dan dingin.

“Selamat pagi. Apakah ini Mozarella Hutama, yang mengirimkan lamaran sebagai pelayan keluarga Limantara?”

“Benar, saya Moza, Bu.”

“Saya Thalia, Kepala Pelayan. Setelah membaca surat lamaran yang kau kirimkan, kami memutuskan untuk mengundangmu mengikuti seleksi.”

Jantung Moza berdegup kencang. Tak disangka, ia akan dihubungi secepat ini.

“Kapan jadwal seleksi dilangsungkan, Bu?” tanya Moza bersemangat.

“Hari ini, pukul tiga sore di Limantara Mansion. Lokasinya akan kukirimkan ke ponselmu. Tunjukkan kartu identitas, dan petugas akan mengantarmu masuk. Jangan sampai terlambat.”

“Baik, Bu, saya pasti akan datang tepat waktu,” balas Moza sebelum telepon terputus.

Perjalanan Moza ke ibu kota dimulai dengan bus tua yang mengantarnya menuju bandara kecil. Dari sana, Moza naik penerbangan langsung ke Jadara.

Setelah menempuh penerbangan selama tiga jam, pesawat mendarat tepat waktu. Moza turun dengan napas tertahan, memandang kota kelahirannya yang telah ia tinggalkan selama lima tahun.

Untuk mempersingkat waktu, Moza segera memesan taksi yang akan mengantarnya ke Limantara Mansion.

Taksi pun melaju, menyusuri jalanan kota yang padat. Hingga pada akhirnya, berbelok ke kawasan perumahan elite yang dijaga ketat oleh empat orang petugas keamanan.

Mereka menanyakan apa keperluan Moza memasuki perumahan tersebut. Setelah menjelaskan tujuannya, petugas keamanan mengizinkan taksi yang dinaiki Moza masuk.

Sesuai petunjuk yang diberikan Moza, taksi berhenti di depan sebuah bangunan bertingkat tiga yang dilindungi oleh gerbang besi. Lekas saja, Moza membuka pintu dan turun dari taksi.

Sejenak, ia memandang kediaman bergaya arsitektur Mediterania Eropa itu. Limantara Mansion, tempat di mana ia akan memperjuangkan keadilan dengan mempertaruhkan hidupnya sendiri.

Melihat ada seorang wanita muda yang berdiri di depan gerbang, dua petugas keamanan berseragam biru segera mendekat.

“Anda siapa dan ada keperluan apa kemari?” tanya salah satu petugas kepada Moza.

“Saya Moza, calon pelayan yang akan mengikuti seleksi. Saya dihubungi langsung oleh Ibu Thalia,” jawab Moza tenang meski jantungnya berdegup kencang.

Tak mau percaya begitu saja, petugas itu meminta kartu identitas Moza. Usai mengecek sebentar, ia pun membukakan gerbang.

“Silakan masuk."

Moza membawa kopernya, melangkah melewati gerbang yang terbuka perlahan. Udara di dalam terasa lebih sejuk, mungkin karena ada banyak tanaman hias dan bunga beraneka warna di sekeliling taman. 

Dengan diantar salah satu pelayan, Moza masuk ke ruang tamu utama. Sebuah aula besar dengan langit-langit tinggi, sofa beludru biru tua, dan lantai marmer hitam-putih yang menyerupai papan permainan catur.

Sembari duduk di ujung sofa, mata Moza menatap sekeliling. Bagaimana mungkin orang-orang yang punya segalanya—rumah seperti istana, uang tanpa batas, dan kekuasaan masih bisa merusak hidup orang lain.

Tanpa sadar, Moza meremas jemarinya sendiri. Kenangan malam itu kembali muncul, sentuhan liar, pergulatan panas dan kenikmatan sesaat yang berujung pada penderitaan. 

Tiba-tiba, suara derap sepatu keras memecah lamunan Moza. Seorang wanita paruh baya berseragam hitam muncul dari koridor samping. Rambutnya dikuncir kencang, wajahnya sedingin es dan matanya tajam seperti pisau.

Sambil berdiri di depan Moza, wanita itu memandangnya dari ujung rambut hingga ujung sepatu seperti menilai barang. Dia adalah Thalia, kepala pelayan yang sudah belasan tahun bekerja di mansion keluarga Limantara. 

“Kenapa kau membawa koper?” tanyanya datar.

Moza menelan ludah. “Saya baru saja tiba dari Sarima, kota kecil di pesisir utara. Saya pikir lebih baik jika saya membawa barang-barang sekalian.”

Wanita itu mendengus pelan. “Belum tentu kamu diterima. Jika kamu gagal dalam seleksi tiga tahap, kamu harus segera meninggalkan mansion ini.”

“Saya mengerti, Bu,” jawab Moza mengangguk hormat.

Tanpa berbasa-basi lagi, Thalia meminta Moza untuk berdiri dan mendekatinya. Kemudian, dengan jengkal tangan, wanita itu mengukur lingkar dada dan pinggang Moza. Ia juga memegang tangan Moza, memeriksa kuku dan meraba telapak tangannya. 

“Sekarang, kau akan menjalani seleksi tahap pertama. Ikut aku ke dapur belakang, kau harus memasak sup sirip ikan dengan rempah dan puding buah delima untuk Tuan Markus. Aku akan lihat sejauh mana kemampuanmu,” tukas Thalia dingin. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Kau adalah Gairahku

    Dalam kondisi penuh ketidakpastian, Moza akhirnya berhasil menyelesaikan slide presentasinya. Saat dia hendak keluar untuk menyiapkan makan siang Abigail, derap langkah kaki pria terdengar di koridor.Jantungnya berdebar kencang. Itu pasti Kageo. Hanya dia satu-satunya Tuan Muda yang masih berada di mansion pada jam segini. Setelah pernyataan cinta tadi pagi, Moza sama sekali belum siap untuk bertemu dengannya. Dia memutuskan untuk tidak keluar, berharap Kageo akan lewat.Namun, rasa penasarannya menggelegak. Mau ke mana dia? Apa ini jadwal terapinya, atau Kageo sengaja pergi karena patah hati? Moza pun menempelkan telinganya di daun pintu, mencoba menyaring suara. Terdengar samar, langkah kaki itu terus berjalan menjauhi kamar Abigail, dan kemudian menuruni tangga.Dengan berjingkat, Moza membuka pintu dan menyelinap keluar. Dia bergegas menuju balkon di lantai dua yang menghadap halaman depan. Dari atas, Moza melihat Kageo masuk ke mobil dan melaju pergi bersama sopir pribadinya

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Kejutan yang Menanti

    Sesudah terbebas dari kamar Kageo, Moza bergegas turun ke bawah. Ia berusaha keras untuk terlihat biasa saja, seolah tidak ada pengakuan cinta, tawaran pernikahan, atau penolakan menegangkan yang baru saja terjadi. Jantungnya masih berdebar, tetapi ia mengendalikan langkahnya agar tetap tenang.Ketika ia sampai di meja makan, ternyata Abigail sudah selesai sarapan. Gadis kecil itu sedang mengenakan tas sekolah dan bersiap berangkat."Tante, kenapa lama sekali di atas?" tanya Abigail penasaran.Moza terpaksa berbohong. Tidak mungkin ia berkata jujur, bahwa ia baru saja ditahan oleh Kageo dan menolak lamaran pernikahan."Tante masih harus membersihkan kamar Papa, Nona Kecil. Ada sedikit pekerjaan tambahan." Abigail mengangguk, menerima penjelasan itu."Tante, nanti sepulang sekolah temani aku menggambar wajah Paman Elzen dan Paman Elbara. Kita harus membuat yang paling bagus untuk hadiah ulang tahun.""Tentu, Nona Kecil," jawab Moza seraya tersenyum hangat. "Tante akan siapkan semua ba

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Maukah Kau Menjadi Nyonya Limantara?

    "Kita mau ke mana, Tuan Muda?" protes Moza, mencoba menahan langkahnya. "Saya belum selesai membersihkan kamar Tuan Muda Dastan. Masih ada tugas lain—""Justru, aku akan membebaskanmu dari semua tugas yang tidak kau sukai,” potong Kageo, tanpa menoleh. Cengkeramannya di pergelangan tangan Moza tidak juga mengendur.“Kita ke kamarku."Kageo menarik Moza agar bergerak, mengarah ke kamarnya sendiri yang terletak di ujung lorong. Wajahnya terlihat jauh lebih bertekad dari biasanya, kontras dengan sifatnya yang pendiam.Dengan cepat, Kageo mendorong pintu kamarnya hingga terbuka dan menguncinya dari dalam.Klik.Suara itu menggema di keheningan ruangan, yang terasa lebih misterius daripada kamar Dastan.Moza terkejut dan merasa was-was. Ia menatap Kageo dengan mata melebar."Ada apa sebenarnya, Tuan Muda?" tanya Moza dengan suata bergetar.Dengan tenang, Kageo menggiring Moza untuk duduk di sofa sudut. Setelah Moza duduk, ia sendiri mengambil tempat di sebelahnya.Kageo mencondongkan tubuh

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Rintangan Tak Terduga

    Meski Moza menyapa dengan lembut, Dastan tidak menoleh sekali pun. Pria itu tetap menghadap ke cermin, berkonsentrasi untuk merapikan celana panjangnya lalu menyisir rambutnya yang masih lembap. Diam-diam, Moza merasa kesal. Dastan Limantara memang mudah berubah sikap, arah pikirannya sangat sulit untuk ditebak.Semalam, ia begitu hangat dan penuh gairah, tetapi pagi ini kembali menjadi sosok yang dingin dan acuh tak acuh.Mungkinkah ini semua adalah ujian? Sebuah cara bagi Dastan untuk mengukur sejauh mana inisiatifnya dalam melayani.Tak mau tinggal diam, Moza berjalan mendekat. Matanya cepat memindai seisi kamar.Pandangannya lantas tertuju pada kemeja dan jas cokelat yang masih tersampir di sandaran sofa. Tampaknya Dastan memang belum sempat mengenakannya.Tanpa ragu, Moza segera mengambil kemeja itu dan berdiri di depan Dastan yang masih bertelanjang dada."Biar saya bantu memakai kemeja, Tuan Muda," ucap Moza.Dastan tidak menyahut, tetapi matanya menyipit seperti menunggu tind

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Menguji Kepatuhanmu

    Mendengar tantangan yang dilemparkan Dastan, Moza merasakan getaran halus yang menjalar di punggungnya. Namun, sorot matanya justru memancarkan tekad baja.Ia tahu betul bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan menyerah. Hanya dengan tunduk pada pimpinan keluarga Limantara, dia bisa mempertahankan kendali atas nasibnya dan Kayden."Saya siap, Tuan Muda. Saya akan membuktikan bahwa saya milik Anda."Suara Moza terdengar lugas, bertentangan dengan irama jantungnya yang memacu cepat di tulang rusuk.Dastan terdiam sejenak, matanya yang tajam menyelidiki. Ia memindai setiap kerutan di wajah Moza, mencari celah kepalsuan atau penyesalan dalam kepasrahan wanita itu.Namun, Moza tidak goyah. Dia telah membangun tembok di sekeliling hatinya. Keputusan telah dibuat, dan ia akan memainkan peran ini sampai tuntas.Akhirnya, bibir Dastan melengkung sangat tipis, menunjukkan gurat kepuasan yang berbahaya. Aura kemenangan memancar kuat dari matanya.“Jika kau sungguh-sungguh dengan ucapa

  • Pelayan Lima Tuan Muda Perkasa   Apa Kau Siap Menjadi Milikku?

    Setelah mengetuk dua kali, Moza menunggu dengan jantung berdebar. Setiap sel sarafnya terasa tegang, menunggu detik-detik pintu akan terbuka.Namun, tidak ada yang terjadi. Entah Dastan sengaja membuatnya menunggu, atau masih berada di kamar mandi.Keberanian Moza mulai menguap, digantikan oleh rasa panik. Jika tidak ada jawaban, ia terpaksa pergi sebelum Abigail terbangun, atau Kageo keluar dari kamar dan mendapati dirinya berdiri di depan kamar Dastan.Tak mau menyerah terlalu cepat, Moza mencoba peruntungannya. Ia mengangkat tangan dan mengetuk sekali lagi, sedikit lebih keras. Ia menunggu sambil menghitung mundur dalam hati. Tepat ketika Moza hampir menyerah, ada suara gerakan dari dalam.Pintu kamar Dastan terbuka. Pria itu berdiri di ambang pintu, mengenakan piyama kimono berwarna hitam yang diikat longgar. Belahan piyama yang terbuka, menampakkan sebagian besar dada Dastan yang bidang dan keras. Rambutnya yang biasanya rapi, tampak sedikit berantakan.Moza menahan napas sejena

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status