FAZER LOGINMenggeleng, Alisia memberi isyarat kalau dirinya akan patuh dan tidak berteriak lagi. Lelaki menakutkan itu menepati ucapannya sehingga melepaskan bekapan tangannya.
Alisia masih menggigil karena lelaki itu belum beranjak dari atas tubuhnya dan kini malah menatapnya lekat. Selama beberapa saat Alisia masih ditindih, hingga belum ada tanda-tanda dirinya akan dilepaskan. Karena itu Alisia mencoba memberanikan diri dengan berkata. "Permisi, s-saya... hmm... itu.... b-bisakah anda menjauh dari saya dulu? Posisi kita sekarang rasanya agak..." Bisa dibilang terlalu intim untuk dua manusia beda jenis kelamin, berada diatas ranjang yang sama. Tapi cukup memalukan mengingat bagaimana posisi mereka. Dan menyebalkan karena mereka jelas orang asing bagi satu sama lain. Seharusnya mereka tidak seperti ini. Bagi Alisia yang sepanjang hidupnya terkurung di rumah keluarga Patel, apa yang terjadi sekarang jelas momen yang membuatnya ketakutan. "Kenapa?" "A-apanya yang kenapa?" tanya Alisia heran. "Tentu saja karena anda terlalu besar dan berat sehingga saya—" "Kenapa berjalan sendirian seperti pagi tadi?" "Hah...?" Ternyata itu lah yang ingin ditanyakan lelaki ini. Alisia malah memikirkan hal lain. "Melihatmu tidur nyenyak, aku rasa kamu sudah jalan kaki begitu jauh sehingga kelelahan." Alisia malah berpikir kalau dirinya jatuh pingsan karena terkejut. Tapi ternyata dia malah tertidur karena kelelahan setelah jalan berjam-jam lamanya. Dan bisa-bisanya dia tidak waspada sehingga bisa tidur dengan nyenyak di samping lelaki yang entah punya niat apa terhadapnya. "A-aku memang kelelahan. Tapi apa kita bisa bicara dengan posisi yang lebih baik? D-dengan duduk misalnya. K-karena ini rasanya—" "Apa kamu punya gangguan bicara?" Alisia menggeleng. "Saya bisa bicara dengan baik. Hanya sedikit—" "Takut padaku?" Itu memang benar. Dirinya takut. Tapi Alisia lebih senang dengan ide untuk membantah agar tidak membuat lelaki ini tersinggung. "B-bukan begitu. Saya kurang nyaman kalau kita terus bicara seperti ini. Maksud saya, akan lebih baik kalau kita sama-sama duduk." Barulah Alisia bisa bernafas lega saat lelaki itu menjauh darinya. Tangannya menyentuh dada dan bisa merasakan detak jantungnya yang menggila. Hari pertama melarikan diri dari keluarga Patel, dirinya berakhir di ranjang lelaki menakutkan. Rambut lelaki itu sepanjang milik Alisia. Di pelipis kanannya ada bekas luka memanjang. Lelaki itu berkumis dan juga memiliki janggut. Tapi Alisia pikir lelaki itu belum tua. Perawakannya seperti menunjukkan usia tiga puluh tahunan. Bergegas Alisia menyusul untuk duduk. Tanpa ragu dia pun mengomentari penampilan lelaki itu. "Anda tidak mau berpakaian? Maksud saya, tidak mau mengenakan atasan dulu?" Bekas luka bukan hanya terlihat ada di wajah lelaki itu. Tapi lebih banyak di badannya. "Bicara lah dengan santai. Aku bukan atasanmu." Bagaimana Alisia bisa berbicara santai sementara mereka tidak saling mengenal? Dia masih tau caranya bersikap sopan. "O-oke. Apa sejak tadi pagi kita tidur disini berdua?" Lelaki itu menatapnya datar. "Ini kamarku kalau kamu tidak tau." "Tentu saja aku tau kalau ini kamarmu karena kamar ini jelas bukan milikku. Tapi kenapa aku bisa disini?" "Lalu kamu seharusnya ada dimana?" Lelaki itu balik bertanya sehingga Alisia bingung bagaimana menjawabnya. "Apa maksudmu?" "Kalau bukan disini, kamu seharusnya ada dimana? Tergeletak begitu saja di jalanan hingga tidak ada yang menjamin kalau kamu masih akan tetap utuh?" Seketika Alisia merinding mendengar kata utuh. Ibunya sendiri pernah berkata kalau kehidupan diluar begitu sulit. Tapi karena ibunya mampu bertahan, makanya Alisia berani untuk mencoba. Tapi ucapan lelaki itu membuatnya berpikir, bagaimana kalau seandainya Alisia bertemu orang jahat. Kalau bukan dinodai, mungkin dirinya akan dibunuh. "Bukan begitu maksudku. Aku cuma ingin tau kenapa aku bisa berakhir di dalam kamarmu." "Kamu tidur di pelukanku dan aku tidak tega meninggalkan seorang perempuan di jalanan begitu saja." Lelaki yang masih memiliki hati nurani ternyata. Alisia beruntung karena bertemu orang sebaik ini. "Tapi kenapa tidak menempatkan aku di kamar tamu saja? Kenapa di kamarmu hingga kita harus berbagi ranjang?" "Apa kamu tidak bisa berterima kasih saja? Karena aku merasa cukup dengan itu." Alisia menggeleng. Dia lupa melakukan itu sehingga baru sadar setelah menerima sindiran. "Aku pasti sangat merepotkan kamu. Maaf karena itu dan terima kasih atas bantuannya." "Tidak merepotkan. Aku bahkan heran kenapa menggendong kamu rasanya seperti sedang membawa sekarung kapas." "Aku tidak seringan itu," protes Alisia cepat. "Aku cuma bertubuh kecil dan kurus." Karena itu terasa ringan saat digendong oleh lelaki bertubuh besar ini. "Ya, aku bisa melihat sendiri betapa kurus dan kecilnya kamu. Terlihat persis seperti orang yang hanya makan sekali dalam tiga hari." Alisia tetap makan tiga kali dalam sehari. Hanya saja dalam porsi kecil sambil dilanda rasa takut. Alisia tidak ingin diracuni seperti yang terjadi pada ibunya. "Para gadis biasanya memang bertubuh kecil dan kurus. Karena penampilan yang begitu disukai lelaki." "Siapa bilang?" Lelaki itu bertanya dengan suara terdengar mengejek. "Aku rasa lelaki umumnya suka perempuan yang memiliki pantat dan dada besar." Apa lelaki ini baru saja mencela badannya karena Alisia tidak memiliki dada dan pantat yang besar? Meski benar, Alisia mencoba bersabar. Dalam hatinya dia berdoa agar lelaki ini kelak mendapatkan istri yang tidak memiliki dua hal tadi. "Apa yang tadi aku temui di jalan itu, ehm... yang berambut panjang itu adalah kamu?" "Sekarang kamu melihat rambutku panjang atau tidak?" Itu artinya benar. Bahwa lelaki ini lah yang Alisia temui saat di jalan tadi. "Siapa tau aku bertemu seorang perempuan. Karena itu aku bertanya." "Kamu tidak bisa mengingat wajah orang dengan baik ya?" "Bukan begitu," bantah Alisia. "Tadi itu karena sorotan dari lampu mobil, makanya penglihatanku kurang jelas." Lelaki itu mengangguk-angguk. "Alasanmu bisa diterima untuk sekarang." "Tapi kenapa kamu bisa keluar dari mobil? Bisa saja aku adalah orang jahat." Meski tubuhnya kecil, Alisia menutupi kepalanya dengan jaket. Seharusnya lelaki ini tidak tau kalau dirinya hanyalah gadis yang tidak berdaya. "Aku kebetulan lewat disana dan bertemu kucing kecil yang terlihat kelelahan. Bahkan dari caranya berjalan saja sudah menunjukkan kalau dia akan tumbang." Alisia mengangguk-angguk karena mulai paham dengan apa yang terjadi pagi tadi. Lelaki ini tidak sengaja turun dari mobil untuk menyelamatkan seekor kucing dan mengejutkannya. "Ternyata begitu." Alisia bisa sepenuhnya lega. Lelaki ini ternyata benar-benar orang yang baik. "Tadinya aku cukup terkejut karena aku pikir kamu turun dari mobil untuk menyakitiku—" "Kamu lah kucing kecil yang ku maksud." "Oh, ternyata aku kucing yang kamu maksud. Eh... apa maksudnya aku adalah kucing?" ***Perutnya terasa bergejolak padahal hanya mencicipi segelas alkohol saja. Kepalanya pun juga terasa sedikit pusing. Walau keduanya tidak begitu menyebalkan karena Alisia masih bisa menahan serangan pada tubuhnya ini. Meski begitu, Alisia tidak menyangka kalau pertama kali mencoba, dia akan berakhir seperti sekarang. Padahal semua kakaknya tampak begitu menikmati setiap kali minum-minum dan tidak tumbang seperti dirinya. Tapi yang lebih membuat Alisia merutuki diri dan menyesal, dia terbangun dalam kondisi yang tidak pantas. Di bawah selimut, Alisia mendapati dirinya dalam kondisi telanjang bersama dengan Ken di sebelahnya. Badan Alisia dipenuhi dengan jejek kemerahan. Mulai dari dada, perut hingga sampai ke pahanya. Melihat semua itu membuatnya merinding. Meski baru pertama kali mengalami ini, bukan berarti Alisia tidak mengetahui apa yang sudah terjadi. Dia tidak sepolos itu karena pendidikan seks juga dia dapatkan dari gurunya yang menyebalkan. Bahkan Alisi
Lenguhan dan desahan Alisia terus terdengar tanpa henti dan memenuhi ruang makan, ketika Reed terus memberikan rangsangan pada bagian bawah tubuhnya. Perempuan itu masih sulit untuk tenang, tapi tak terlihat ingin menjauh. Seakan belum ingin menyudahi hal ini, Reed masih memainkan bibir dan lidahnya diantara kedua paha Alisia. Hingga cairan perempuan itu seakan tidak bisa berhenti keluar. "Reed... euhm... aku..." Remasan Alisia pada rambutnya sama sekali tidak mengganggu Reed. Karena ada satu hal yang diinginkan lelaki itu sekarang. Membuat Alisia semakin basah dan siap untuk dia masuki pertama kalinya. Reed tidak boleh meninggalkan trauma karena rasa sakit disaat memberikan pengalaman pertama pada Alisia. Karena hal itu sebagai penentu apakah malam berikutnya akan dia dapatkan dengan mudah atau tidak. "Tunggu... pipis... aku... aahh..." Pinggang Alisia sedikit terangkat hingga menghentak-hentak ketika orgasme pertama sepanjang hidupnya baru saja
Reed Kensington adalah putra pertama dari Liam Kensington bersama mendiang istrinya, Nathalia Kensington. Lelaki itu merupakan yang tertua dari para Kensington dalam generasi yang sama. Tiga bersaudara dimana dua adiknya adalah sepasang anak kembar yang berusia jauh di bawahnya. Sejak berumur lima tahun, Reed sudah melihat dunia seperti apa yang digeluti oleh keluarga besarnya. Lelaki itu pun juga sudah mulai mempelajari usaha keluarganya. Reed tumbuh sesuai dengan ajaran yang dia terima dari sang ayah dan para pamannya. "Dari luar kita memang terlihat seperti keluarga kaya dengan perusahaan yang sudah berdiri kokoh puluhan tahun lamanya. Tapi nyatanya di dalam, kita tidak sebersih yang dipikirkan orang." Reed berbincang dengan sang ayah di suatu siang saat dirinya mengunjungi salah satu arena tempat orang-orang mereka berada. Saat itu, Reed baru beranjak remaja. Dia rajin datang kesana untuk latihan bela diri dan menembak. Kalau tidak diingatkan untuk pulang, di
Suasana di ruang makan jelas sudah berubah menegangkan bagi semua yang ada disana kecuali Ken dan Alisia. Para pelayan mulai gemetar bahkan hampir semuanya berusaha untuk mengalihkan pandangan dari betapa gelapnya raut wajah sang majikan sekarang. Ken memang lelaki menakutkan dan mengerikan, siapa yang tidak mengetahui itu? Tapi selain orang yang hampir mati di tangannya, siapa lagi yang berani mengatakan itu tepat didepan matanya selain perempuan yang sudah mabuk itu? Tapi setelahnya mereka terkesiap saat melihat bagaimana nona muda yang semalam dibawa sang majikan ke dalam rumah ini sudah meninggalkan kursi. Kurang dari lima detik kemudian, Alisia beralih duduk diatas pangkuan sang majikan. "Aku mohon jangan katakan padanya kalau calon istrinya— tidak, maksudku calon tawanannya ada disini." Alisia mengusap dada Ken, mencoba memberi bujukan yang nyatanya membuat sang lelaki malah menatapnya tertarik. "Kamu benar-benar sudah mabuk sekarang." Dengan
"Oke, Alisia. Salam kenal."Sudah pasti Alisia tidak mengharapkan tanggapan yang seperti ini.Dia membutuhkan nama. Akan lebih baik lagi nama keluarga dari lelaki ini agar Alisia tau dimana keberadaannya sekarang.Alisia masih ingat nama-nama keluarga besar yang pernah disebutkan selama pendidikannya berlangsung. Baik itu keluarga yang menjadi musuh, maupun yang pernah dan sedang menjalin kerja sama dengan keluarga Patel.Dan dengan mengetahui nama keluarga lelaki ini, Alisia bisa tau dirinya sedang berada di tangan musuh keluarganya atau bukan. Sehingga dia bisa berhati-hati selama masih berada disini."Lalu bagaimana dengan namamu? Kamu belum mengatakannya padaku."Lelaki itu mendekat, berdiri menjulang tinggi dan besar didepan Alisia yang jadi terlihat kecil. "Kamu yakin ingin mendengar namaku?"Alisia mengangguk. "Karena memang seharusnya aku tau namamu bukan?"Tapi Alisia pikir akan lebih baik lagi kalau dirinya tidak berada di dalam keluarga yan
Rasanya begitu aneh saat makan malam di meja makan sepanjang ini tapi hanya berdua saja. Apalagi dengan jejeran makanan yang jelas terlalu berlebihan untuk dihidangkan kepada dua orang.Beberapa pelayan berdiri tegap tak jauh dari meja makan. Mereka selalu bersiap untuk menunggu dan bergerak cepat mengikuti perintah dari sang majikan.Sebelum makan, Alisia sempat bertanya-tanya. Apa lelaki ini tidak memiliki keluarga sehingga hanya mereka berdua saja yang makan? Apa mungkin karena sekarang sudah lewat makan siang dan belum masuk jam makan malam sehingga hanya mereka berdua yang makan?Tapi pertanyaan itu pun dikalahkan rasa lapar sehingga Alisia lebih fokus pada makanannya dibandingkan dengan hal lain. Termasuk lelaki menakutkan yang baik hati ini."Aku sudah selesai." Alisia mengusap bibirnya dengan tisu sebelum membalas tatapan lelaki itu. "Terima kasih atas makanannya. Aku kenyang sekali."Berkat lelaki itu memberinya makan, Alisia tidak perlu repot-repot mencari tempat untuk makan







