LOGIN"Kenapa kaget?"
Mana mungkin Alisia tidak terkejut saat dirinya disebut sebagai kucing kecil? "Menurutmu, siapa yang tidak terkejut dan malah berterima kasih setelah dirinya disamai dengan seekor binatang?" "Lagi pula kucing bukan binatang yang menjijikkan." Alisia tentu saja tau soal itu. "Meski lucu dan menggemaskan, tetap saja jangan menyamakan orang lain dengan binatang. Tidak semuanya bisa menerima itu, termasuk aku." Hal ini malah mengingat Alisia pada sang ibu. Saat Ethan butuh tubuh Margaret, rangkaian kalimat rayuan dia utarakan termasuk memanggil wanita itu dengan nama binatang. Meski dalam bayangan dan pendengaran keduanya panggilan itu terdengar lucu dan menambah gairah, tetap saja di mata Alisia, sang ibu hanya diperlakukan sebagai binatang. Ethan hanya menginginkan saat butuh untuk membuang spermanya, tanpa memikirkan perasaan dan penolakan dari Margaret. Terutama saat malam pertama keduanya. "Lupakan itu kalau kamu tidak senang mendengarnya. Lagi pula aku berniat untuk memberi bantuan pada orang yang aku anggap lemah, bukan bermaksud melukai." Alisia paham sekarang. Mengingat bagaimana dirinya kelelahan setelah berjalan berjam-jam lamanya, penampilannya tadi pagi pasti tampak begitu menyedihkan. "Aku berterima kasih karena kamu sudah membawaku kesini dan tidak membiarkanku di jalanan begitu saja. Terima kasih karena sudah menampungku di rumahmu hari ini." "Sama-sama." Karena semua urusannya dengan lelaki ini sudah selesai, Alisia pikir ini lah waktu yang tepat untuk berpamitan. Bagaimana pun juga, Alisia harus mencari tempat yang aman secepatnya. Dan kalau memungkinkan, harus tempat yang tidak terjangkau oleh keluarga Patel. Barbara pasti tidak akan membiarkannya begitu saja. Karena dengan kepergian Alisia, itu artinya Aurelie lah yang harus menikah dengan keluarga Kensington. Alisia yakin kalau orang-orang mungkin sudah dikerahkan untuk mencari keberadaannya sekarang. Terlalu lama disini hanya menunda proses pelariannya. "Karena sekarang aku sudah bangun setelah istirahat dengan baik hingga badanku juga terasa segar, apa aku boleh pergi sekarang?" "Dimana rumahmu?" Alisia rasa itu bukan pertanyaan yang perlu dia jawab. Terutama memberitahu dari keluarga mana asalnya. "Aku tidak pulang ke rumah setelah ini karena harus pergi ke suatu tempat. Saat kita bertemu, aku sedang diperjalanan kesana." "Kemana tujuanmu?" Alisia belum memiliki tujuan jelas karena yang dia pikirkan hanyalah meninggalkan keluarga Patel terlebih dulu. Sisanya bisa dia pikirkan setelah benar-benar terlepas dari keluarga itu. "Ada suatu tempat yang ingin aku kunjungi. Hmm... keluarga ibuku." "Berikan alamatnya dengan jelas agar aku bisa mengantarmu kesana." "Oh, tidak perlu." Alisia segera menolak. Sayangnya dia terlihat begitu panik hingga lelaki itu menatapnya heran. "Terima kasih atas tawarannya. Tapi aku tidak ingin merepotkan kamu lagi. Aku bisa pergi sendiri." "Sudah ku bilang bukan kalau aku tidak merasa direpotkan? Katakan kemana aku harus mengantarmu." "Sejujurnya aku lebih suka untuk pergi sendiri saja." Alisia menolak lagi. "Kamu akan berjalan kaki seperti sebelumnya? Begitu? Bahkan tanpa kamu tau dimana posisi rumahku sekarang?" Benar! Alisia tidak tau posisi rumah ini tepatnya ada dimana. Bisa saja di dekat kediaman keluarga Patel bukan? "Memangnya ada dimana rumahmu ini?" "Yang pasti cukup jauh dari tempat aku menemukanmu tadi." Alisia mengigit bibirnya karena jawaban itu terlalu membingungkan. "Bisa bantu arahkan aku ke pusat kota? Termasuk tunjukkan dimana aku bisa menemukan taksi. Itu saja sudah lebih dari cukup untuk membantuku." Pusat kota lah akhirnya dipilih Alisia sebagai dalih. Bagaimana pun juga, dia bisa bersembunyi diantara orang ramai dari pengejaran keluarga Patel saat disana. "Tidak ada taksi yang berkeliling disekitar sini." "Kenapa tidak ada?" Alisia bertanya heran. "Karena area ini adalah milik pribadi. Setelah melewati hutan, baru kamu sampai di pinggir kota." Ternyata dirinya berada di tempat yang antah berantah. Bahkan membayangkannya saja, Alisia pikir dirinya akan berjalan jauh. "Jadi bisa dibilang kalau rumahmu ini dikelilingi hutan?" "Bisa dibilang begitu." Jawaban yang terdengar tidak yakin sekali. Berarti tidak ada jalan lain selain menerima tawaran dari lelaki ini. Ternyata Alisia memang butuh untuk diantar. "Apa aku bisa merepotkan kamu sekali lagi? Aku ingin meminta bantuanmu untuk mengantarku ke pusat kota." "Tentu. Aku bisa mengantar kamu ke pusat kota." Alisia tersenyum lega. Dia benar-benar bertemu dengan orang yang sangat baik. Tuhan ternyata masih menyayanginya. Dan mungkin ini berkat doa ibunya juga sepanjang hidup. "Terima kasih karena sudah membantuku sekali lagi. Aku beruntung bertemu denganmu." "Sama-sama." Alisia mendorong selimut dari kakinya. "Kalau begitu, dimana tas milikku? Aku harap kamu tidak meninggalkannya di jalanan begitu saja. Karena—" "Karena itu hasil dari menjarah rumah orang lain?" Alisia melongo. Apa dirinya baru saja dikatakan sebagai seorang pencuri? "Itu tidak benar. Uang dan perhiasan itu adalah milikku dan mendiang ibuku." Jelas tuduhan itu membuat Alisia tersinggung. "Jelaskan sebelum aku berpikir untuk membawamu ke kantor polisi yang ada di pusat kota." Jadi itu alasan lelaki ini menawari untuk mengantarnya? Karena berniat untuk membawanya ke kantor polisi dengan tuduhan sudah menjarah rumah? "Aku memiliki masalah di rumah. Dan... itu adalah cerita yang panjang dan membosankan." "Aku punya waktu untuk mendengarnya selama beberapa menit. Katakan secara ringkas." Sayangnya Alisia tidak tertarik untuk membicarakan kehidupan pribadinya. Terutama pada lelaki asing yang bahkan namanya saja masih belum dia ketahui. "Intinya aku tidak mengambil milik orang lain. Semua perhiasan, uang dan pakaian di dalam tas itu, semuanya adalah milikku. Aku bersumpah." "Tidak terdengar cukup meyakinkan." Alisia meringis. "Oh, ayolah? Itu semua benar-benar milikku." "Untuk sekarang, kamu keluar dulu dari kamarku. Didepan pintu sudah ada pelayan sedang menunggumu. Ikuti dia ke kamar tamu." Alisia benar-benar tidak bisa menebak jalan pikiran lelaki ini. Setelah menuduhnya sebagai pencuri, sekarang dia seperti membuka kesempatan untuknya menjarah rumah ini. Bukan kah seharusnya lelaki ini sedikit waspada terhadap orang yang dianggapnya berpotensi untuk melakukan hal buruk? "Kenapa aku harus kesana?" "Lalu kamu mau tetap disini? Ingin mandi berdua bersamaku? Aku tidak keberatan." "Tapi aku yang keberatan." Alisia melompat turun dari ranjang. "Berarti kita akan melanjutkan pembicaraan setelah mandi?" "Tepatnya setelah makan bersama. Apa kamu tidak lapar?" "Kamu benar-benar tuan rumah yang baik," puji Alisia karena dia memang lapar sekarang. Alisia melihat kiri dan kanan sebelum melangkahkan kaki ke arah pintu yang lebih besar. Ternyata pilihannya tepat. Dia tidak membuka pintu lain yang tampaknya menuju kamar mandi. Sebelum menutup kembali pintu kamar itu, Alisia memperhatikan lelaki yang ada diatas ranjang. Tatapan tajam lelaki itu masih tertuju padanya. "Sekali lagi, terima kasih untuk semua bantuanmu." ***Perutnya terasa bergejolak padahal hanya mencicipi segelas alkohol saja. Kepalanya pun juga terasa sedikit pusing. Walau keduanya tidak begitu menyebalkan karena Alisia masih bisa menahan serangan pada tubuhnya ini. Meski begitu, Alisia tidak menyangka kalau pertama kali mencoba, dia akan berakhir seperti sekarang. Padahal semua kakaknya tampak begitu menikmati setiap kali minum-minum dan tidak tumbang seperti dirinya. Tapi yang lebih membuat Alisia merutuki diri dan menyesal, dia terbangun dalam kondisi yang tidak pantas. Di bawah selimut, Alisia mendapati dirinya dalam kondisi telanjang bersama dengan Ken di sebelahnya. Badan Alisia dipenuhi dengan jejek kemerahan. Mulai dari dada, perut hingga sampai ke pahanya. Melihat semua itu membuatnya merinding. Meski baru pertama kali mengalami ini, bukan berarti Alisia tidak mengetahui apa yang sudah terjadi. Dia tidak sepolos itu karena pendidikan seks juga dia dapatkan dari gurunya yang menyebalkan. Bahkan Alisi
Lenguhan dan desahan Alisia terus terdengar tanpa henti dan memenuhi ruang makan, ketika Reed terus memberikan rangsangan pada bagian bawah tubuhnya. Perempuan itu masih sulit untuk tenang, tapi tak terlihat ingin menjauh. Seakan belum ingin menyudahi hal ini, Reed masih memainkan bibir dan lidahnya diantara kedua paha Alisia. Hingga cairan perempuan itu seakan tidak bisa berhenti keluar. "Reed... euhm... aku..." Remasan Alisia pada rambutnya sama sekali tidak mengganggu Reed. Karena ada satu hal yang diinginkan lelaki itu sekarang. Membuat Alisia semakin basah dan siap untuk dia masuki pertama kalinya. Reed tidak boleh meninggalkan trauma karena rasa sakit disaat memberikan pengalaman pertama pada Alisia. Karena hal itu sebagai penentu apakah malam berikutnya akan dia dapatkan dengan mudah atau tidak. "Tunggu... pipis... aku... aahh..." Pinggang Alisia sedikit terangkat hingga menghentak-hentak ketika orgasme pertama sepanjang hidupnya baru saja
Reed Kensington adalah putra pertama dari Liam Kensington bersama mendiang istrinya, Nathalia Kensington. Lelaki itu merupakan yang tertua dari para Kensington dalam generasi yang sama. Tiga bersaudara dimana dua adiknya adalah sepasang anak kembar yang berusia jauh di bawahnya. Sejak berumur lima tahun, Reed sudah melihat dunia seperti apa yang digeluti oleh keluarga besarnya. Lelaki itu pun juga sudah mulai mempelajari usaha keluarganya. Reed tumbuh sesuai dengan ajaran yang dia terima dari sang ayah dan para pamannya. "Dari luar kita memang terlihat seperti keluarga kaya dengan perusahaan yang sudah berdiri kokoh puluhan tahun lamanya. Tapi nyatanya di dalam, kita tidak sebersih yang dipikirkan orang." Reed berbincang dengan sang ayah di suatu siang saat dirinya mengunjungi salah satu arena tempat orang-orang mereka berada. Saat itu, Reed baru beranjak remaja. Dia rajin datang kesana untuk latihan bela diri dan menembak. Kalau tidak diingatkan untuk pulang, di
Suasana di ruang makan jelas sudah berubah menegangkan bagi semua yang ada disana kecuali Ken dan Alisia. Para pelayan mulai gemetar bahkan hampir semuanya berusaha untuk mengalihkan pandangan dari betapa gelapnya raut wajah sang majikan sekarang. Ken memang lelaki menakutkan dan mengerikan, siapa yang tidak mengetahui itu? Tapi selain orang yang hampir mati di tangannya, siapa lagi yang berani mengatakan itu tepat didepan matanya selain perempuan yang sudah mabuk itu? Tapi setelahnya mereka terkesiap saat melihat bagaimana nona muda yang semalam dibawa sang majikan ke dalam rumah ini sudah meninggalkan kursi. Kurang dari lima detik kemudian, Alisia beralih duduk diatas pangkuan sang majikan. "Aku mohon jangan katakan padanya kalau calon istrinya— tidak, maksudku calon tawanannya ada disini." Alisia mengusap dada Ken, mencoba memberi bujukan yang nyatanya membuat sang lelaki malah menatapnya tertarik. "Kamu benar-benar sudah mabuk sekarang." Dengan
"Oke, Alisia. Salam kenal."Sudah pasti Alisia tidak mengharapkan tanggapan yang seperti ini.Dia membutuhkan nama. Akan lebih baik lagi nama keluarga dari lelaki ini agar Alisia tau dimana keberadaannya sekarang.Alisia masih ingat nama-nama keluarga besar yang pernah disebutkan selama pendidikannya berlangsung. Baik itu keluarga yang menjadi musuh, maupun yang pernah dan sedang menjalin kerja sama dengan keluarga Patel.Dan dengan mengetahui nama keluarga lelaki ini, Alisia bisa tau dirinya sedang berada di tangan musuh keluarganya atau bukan. Sehingga dia bisa berhati-hati selama masih berada disini."Lalu bagaimana dengan namamu? Kamu belum mengatakannya padaku."Lelaki itu mendekat, berdiri menjulang tinggi dan besar didepan Alisia yang jadi terlihat kecil. "Kamu yakin ingin mendengar namaku?"Alisia mengangguk. "Karena memang seharusnya aku tau namamu bukan?"Tapi Alisia pikir akan lebih baik lagi kalau dirinya tidak berada di dalam keluarga yan
Rasanya begitu aneh saat makan malam di meja makan sepanjang ini tapi hanya berdua saja. Apalagi dengan jejeran makanan yang jelas terlalu berlebihan untuk dihidangkan kepada dua orang.Beberapa pelayan berdiri tegap tak jauh dari meja makan. Mereka selalu bersiap untuk menunggu dan bergerak cepat mengikuti perintah dari sang majikan.Sebelum makan, Alisia sempat bertanya-tanya. Apa lelaki ini tidak memiliki keluarga sehingga hanya mereka berdua saja yang makan? Apa mungkin karena sekarang sudah lewat makan siang dan belum masuk jam makan malam sehingga hanya mereka berdua yang makan?Tapi pertanyaan itu pun dikalahkan rasa lapar sehingga Alisia lebih fokus pada makanannya dibandingkan dengan hal lain. Termasuk lelaki menakutkan yang baik hati ini."Aku sudah selesai." Alisia mengusap bibirnya dengan tisu sebelum membalas tatapan lelaki itu. "Terima kasih atas makanannya. Aku kenyang sekali."Berkat lelaki itu memberinya makan, Alisia tidak perlu repot-repot mencari tempat untuk makan







