Sementara itu Zaara marah dan merutuki dirinya sendiri saat dia mengingat pemuda yang dia tolong. Dia begitu mengkhawatirkannya tetapi pemuda tersebut malah menghina fisiknya yang difabel. Dia merasa harga dirinya jatuh sejatuhnya sebab diinjak-injak oleh lelaki tersebut.
“Lelaki sialan! Pemuda brengsek! Aku kira pemuda jalanan yang berambut gondrong hatinya baik. Um, cuma penampilannya saja yang urakan. Ternyata sama saja!
Semua lelaki yang mengaku punya banyak uang mau dia berpenampilan gaul atau rapi metroseksual kayak si Ray sama saja! Lelaki brengsek!”
Zaara tak henti-hentinya merutuk. Lalu dia duduk di sebuah bangku kosong dekat gerobak bakso untuk istirahat.
“Neng mau makan bakso?” tanya tukang bakso yang memang sudah mengenal Zaara sejak kedatangannya ke rumah Hamid dan Fatimah. Zaara dikenalkan oleh mereka sebagai anak angkatnya pada semua orang.
“Iya, Mang! Bakso dengan level terpedas,” jawab Zaara dengan sedikit ketus. Dia memijit pangkal hidungnya berkali-kali. Lalu merangkak menuju pelipisnya. Rasanya sakit kepala berhadapan dengan pemuda tadi. Dia tidak habis pikir bisa-bisanya mengingat dan mencemaskan pemuda yang menyebalkan.
“Neng, apa gak takut kalau kepedasan sakit perut?” goda tukang bakso saat melihat Zaara setengah melamun.
Reflek Zaara menoleh pada gerobak bakso. “Enggak, Mang! Kehidupan lebih pedas dari potongan cabe habanero sekalipun!”
“Ish! Si Neng bisa aja,” ucap Tukang bakso menoleh ke arahnya.
“Amang jadi ingat waktu dulu, Neng mana mau makan bakso di pinggiran. Kayaknya gimana gitu ya Neng. Kalau orang Sunda bilang, jirijipeun, jijik gitu,”
“Itu dulu, Mang,” ucap Zaara dengan cemberut. “Ayo Mang, aku sudah lapar,”
Jika teringat pertama kali dia makan di sana sepertinya memalukan. Zaara tidak terbiasa makan di pinggir jalan. Meskipun ke dua orang tuanya tidak terlalu kaya, Zaara terbiasa hidup enak. Ketika makan di luar pun Zaara seringkali memilih makan di restoran bukan gerobak di emperan jalan.
“Okay, makasih!”
Zaara menghabiskan satu mangkuk bakso hingga tak bersisa. Lalu dia memutuskan untuk pulang setelah membayarnya.Zaara menarik knop pintu rumah Fatimah sebab beberapa kali dia berucap salam tak ada satupun yang menyahut. Lalu dia berjalan menuju kamar tidur Fatimah yang saat dia sentuh pintunya sedikit terkuak. Sepertinya Fatimah tengah berada di kamarnya, istirahat.
“Zaara sudah pulang?” seru Fatimah saat baru bangun dari ranjangnya dengan memakai sweater dan syal. Dia tengah sakit demam tetapi Zaara tidak mengetahuinya sebab Fatimah tidak menceritakan kondisinya. Dia tak ingin melihat Zaara bersedih.
“Ibu tidur?” tanya Zaara berusaha menggapai tepian ranjang ingin sekedar duduk bersisian dengan ibu angkatnya.
“Iya, ketiduran,”
“Ibu, sakit? Seharusnya tadi aku tidak meninggalkan Ibu. Maafin aku ya Bu,”
“Tidak Sayang, Ibu baik-baik saja,”
“Tadi pintu juga tidak dikunci, untunglah tidak ada maling,”
“Oh gitu ya. Sepertinya Ibu lupa mengunci pintu,”
“Bapak belum pulang?”
“Bapak pulang seminggu sekali, Ra. Soalnya majikannya tak ingin ditinggal. Di rumahnya yang besar sepi jadi Bapak mau tak mau menginap di sana,”
“Oh, begitu,”
“Bagaimana jualannya, Ra?” tanya Fatimah menyambutnya.
“Mayan, Bu. Ternyata susah juga ya, dagang kayak gini!”
“Ya udah kata Ibu juga kamu tidak perlu berjualan bunga, sudah diam saja di rumah,”
“Gak mau Bu, aku jenuh,”
***
Tak menyerah, seperti biasa Zaara berjualan bunga di sekitar TPU untuk membantu ekonomi keluarga barunya. Matahari sudah naik tetapi tak ada satupun yang membeli bunga miliknya. Entah apa alasannya.
Kasak-kusuk terdengar ada sesama penjual bunga yang menjatuhkan harga bunga sehingga pelanggan Zaara berpindah dan memilih membeli bunga di sana.
Mendengar hal tersebut Zaara kesal dan dengan mengumpulkan keberaniannya menegur seorang wanita yang berada tak jauh dekat dengannya.
“Bu, maaf mengganggu,” ucap Zaara menghampiri wanita itu. Pada dasarnya Zaara memang memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Namun kebutaan sempat membuatnya benar-benar terpuruk, kepercayaan dirinya sirna dan merasa rendah diri. Hamid senantiasa memberinya nasihat dan motivasi sehingga perlahan dia kembali ceria dan percaya diri.
“Apa?” jawabnya ketus.
“Ibu tahu ‘kan saya lebih dulu jualan bunga di sini?”
“Terus? Merasa tersaingi begitu?”
“Um …”
“Bu Fatimah saja biasa aja. Ini siapa kamu? Sok ngatur-ngatur?”
“Um, saya belum selesai bicara, Bu. Silahkan kalau Ibu mau jualan di sini. Saya ridho tapi tolong dong kalau usaha itu jangan saling jatohin harga hanya demi dagangan laris. Saya dengar Ibu menjatuhkan harga bunga? Itu ‘kan melanggar aturan dagang,”
Zaara lupa dia berhadapan dengan siapa. Dia hanya berhadapan dengan seorang wanita yang kurang paham soal aturan dagang.
“La emang kenapa kalau saya menjual murah bunga saya? Toh saya pengen cepet laris.”
“Iya, tapi tak masuk akal saja Bu. Masa Ibu jual murah banget. Pelanggan saya auto kabur semua,”
“Maaf Neng, bukan urusan saya,”
Zaara mendecak sebal melihat respon wanita tua yang keras kepala tersebut. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Demi kebaikan, akhirnya dia memilih mengalah setelah berusaha mengingatkannya.
Beberapa orang mengikuti langkah kaki gadis buta itu tanpa dia sadari. Dua orang pemuda yang merupakan anak wanita tadi menghampiri Zaara yang akan pulang. Di tengah jalan dia dihadang oleh mereka. Mereka mencegat langkah kaki Zaara hingga membuatnya tersentak kaget.
Di sebuah mansion mewah berkonsep klasik-kontemporer, para pelayan cantik yang mengenakan seragam khusus menyambut kedatangan majikan mereka. Seorang butler langsung menyambut Elia Mariyam dan membawakan barang bawaannya sedangkan pelayan yang lain langsung meraih jaket wol yang dikenakan olehnya dan langsung menaruhnya dengan menggantungnya pada gantungan besi etnik.Pelayan yang lain juga segera menyambut kedatangan tuan majikannya yang tak lain Haikal sang putra semata wayang yang berjalan di belakang sang ibu. Beberapa pelayan muda seringkali berlomba agar bisa bertemu, bercengkerama dan melayani tuan muda mereka yang terlihat sangat tampan berwajah khas timur tengah. Namun Haikal tidak suka diperlakuan semacam itu.Apalagi rambut Haikal yang gondrong sedikit ikal tampak menampakkan sisi maskulin seorang lelaki macho, membuat para gadis menjerit melihatnya. Padahal Haikal tak pernah berniat menggoda para hawa dengan penampilannya yang paripurna, terkesan cowok badboy dengan setela
Haikal terlihat menarik nafas dalam.“Ya …” ucap Haikal singkat.Elia dan Edi saling menoleh kaget melihat respon Haikal. Tak percaya, Elia masih merekam memori beberapa tahun silam saat Haikal ditawari mengurus perusahaan tetapi Haikal memilih meninggalkan rumah dan berbuat sesuka hati.Haikal lantas meninggalkan meja makan tanpa suara. Dia langsung keluar mansion dan menyisir kendaraan miliknya, sebuah motor ninja yang sudah dimodifikasi. Dia pergi mengunjungi kekasihnya yang sedang marah saat ini.Di depan sebuah kantor agency model, Haikal menyesap sebatang rokok seraya menunggu kekasihnya keluar. Dia ingin memberi kejutan padanya. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Lalu Haikal memutuskan masuk ke kantor tersebut.Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya tanpa berkedip. Apa yang dilakukan seorang badboy rupawan di kantor tersebut?“Siapa dia?” tanya salah satu model.“Dia … bukankah dia Haikal Mahardika? Anak pengusaha tambang itu loh,”“Serius?”“Mau ngapain di sini?”Begitulah perca
Zaara dicegat oleh dua orang pemuda asing.“Apa mau kalian?” pekik Zaara panik saat menyadari kehadiran mereka.“Kamu sudah berbuat tak sopan pada ibu kami. Kamu siapa? Um, dasar gadis buta. Dengar, ibu kami warga sini sedangkan kamu hanya orang asing. Kamu jangan sok-sokan ngatur warga sini? Berani main labrak,”Salah satu pemuda itu menarik tongkat yang dipegang Zaara hingga membuat Zaara kaget.“Hei, jangan kurang ajar!”“Bagaimana Bang, kita lihat apa gadis itu bisa berjalan tanpa tongkat? Kasihan, gadis cantik tapi …”“Buta dan yatim piatu,”“Benar Bang, malang kali nasibnya,”“Diam? Atau ..”“Atau apa?” salah satu pemuda itu menjawil dagu Zaara.“Jangan kurang ajar? Atau aku akan berteriak?””“Teriak saja, memang kami takut,”“Sialan,”Zaara tidak tinggal diam, dia melepas salah satu sepatunya lalu menudingkan ke arah pemuda tadi lalu memukul-mukul asal ke berbagai arah yang akhirnya salah satu wajah pemuda itu tertimpuk cukup keras mengenai pangkal hidungnya.Lalu terdengar Zaa
"Mas!” seru Zaara sebab lawan bicaranya terdiam tiba-tiba. Padahal lawan bicaranya saat ini tengah menatap Zaara lekat. Zaara terlihat sangat cantik, berwajah oriental dan berkulit kuning langsat. Kecantikannya bertambah dengan pashmina yang dia kenakan, sebuah pashmina berwarna krem dipadupadankan dengan tunik berwarna moka serta celana flare pants putih. Dari penampilannya yang bergaya, Haikal menyimpulkan jika Zaara bukanlah gadis desa sehingga membuatnya penasaran. “Iya, aku masih di sini. Nunggu jawaban kamu,” “Jawaban apa?” “Kamu mau terima tawaranku? Lusa ibuku ulang tahun, aku ingin bunga segar mirip yang kamu kasih ke aku pas di rumah sakit. Bunga mawar putih dengan kelopak yang besar. Aku suka itu …” “Okay,” Setelah menimang-nimang Zaara akhirnya menerima tawaran Haikal. Dia memang butuh uang. Untuk sesaat dia mengenyampingkan rasa gengsinya. “Apa mau dibayar sekarang atau nanti?” tanya Haikal berhati-hati. Khawatir Zaara tersinggung. “Ada uang ada barang,” Zaara ter
Lamunan Zaara terinterupsi karena kedatangan Fatimah.“Assalamualaikum!” ucap Fatimah yang membuka sedikit pintu kamar Zaara. “Waalaikumsalam, Ibu ada apa?”Zaara buru-buru mengusap wajahnya yang basah dari air mata dan beristigfar.“Kamu sudah makan malam Nak?”“Sudah, Bu. Bagaimana keadaan Ibu sekarang?”Zaara beranjak dari kursi dekat jendela dan menghampiri Fatimah. Dia terlihat khawatir pasalnya Fatimah sedari kemarin meringkuk di kamar. Namun dia tidak berani menganggunya. Fatimah hanya keluar untuk memasak saja.“Sudah baikkan Nak,” jawab Fatimah padahal sedang tidak baik-baik saja. Keringat dingin mengucur di tubuhnya dan tekanan darahnya rendah. Dia kelelahan karena bekerja terlalu keras, memanen bunga.“Alhamdulillah baik, Bu,”Zaara mengukir senyum tatkala mendengar sang ibu dalam kondisi membaik. “Bagaimana jualanmu?” tanya Fatimah membuat Zaara membatu. Zaara tak berniat menceritakan padanya bahwa jualannya tidak laku sebab ada saingan sesama penjual bunga. Tidak hany
“Gila Bos! Gak kenal sumpah, mirip siapa ya … mirip aktor Turki,” puji Antonie dengan tertawa puas. “Jambangnya ilang juga,” katanya mengusap dagunya. Dalam hati, dia sangat iri pada Haikal yang memiliki rambut yang subur berbeda dengan dirinya yang defisit rambut padahal sudah sering memakai obat-obatan penyubur rambut. “Baiklah, misiku sudah selesai. Sekarang kita kemana?” tanya Antonie seraya kembali memanaskan mobil majikannya. “Pulang,” Antonie berbalik arah untuk mengantarkan pulang majikannya yang tak lain sahabatnya sendiri. “Ngapain belok, aku bilang pulang!” “Kan apartemen Bos ada di sana,” “Gak ke apartemen, pulang ke rumah nyokap,” “Cie … yang udah akur,” “Emang siapa yang berantem?” “Gak ada sih. Tapi kalau diem-dieman itu termasuk berantem gak ya?” “Terserah,” Haikal membuang nafas kasar. Selama perjalanan Haikal senantiasa menyapu jalan sebab dia ingin melihat sesuatu yang belakangan ini seringkali mengusik pikirannya selain Safira. “Stop!” titah Haik
Tak hanya Antonie yang terkejut dengan penampilan Haikal, Elia pun tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Haikal mengubah seluruh penampilan fisiknya. Dia berpenampilan sebagaimana penampilan seorang CEO pada umumnya dengan potongan rambut quiff haircut, sebuah model rambut pendek tetapi masih mempertahankan messy look alias sedikit berantakan bagian depan, menyesuaikan karakter Haikal.“It’s me Mom, please jangan lebay deh,” tukas Haikal mengomentari ibunya."Tante sampe cengo gitu lihat anak kesayangan jadi ganteng dan rapi klimis gitu ya. Model Cekmek yang lagi ngehits Tan. Siapa dulu dong asistennya. Asistennya juga gak kalah ganteng,” ucap Antonie membusungkan dada, berhasil membuat sepasang netra ibu dan anak mengarah padanya.“Eh, canda Bos and Tan,” ucap Antonie nyengir kuda. Dia menyugar rambut caesar hair miliknya, sebuah model rambut dipotong pendek dengan poni yang yang ditata ke arah depan dan samping mirip Jungkook.Haikal menatap Antonie dengan sorot mata yang tajam se
Fatimah bisa merasakan kalau Zaara tengah menyukai seseorang tetapi dia berusaha untuk tidak menanyakannya langsung. Biarlah Zaara sendiri yang mengatakannya. Fatimah ingin dipercaya olehnya sepenuh hati sebagaimana seorang ibu pada umumnya. Dan, seseorang itu ialah pemuda yang memesan bunga.“Menurut Ibu, orang yang memesan bunga seorang pemuda tampan. Benar?”Fatimah menerka-nerka. Tentu saja menerka berdasarkan kemampuan analisanya membaca ekspresi wajah Zaara yang mendadak memerah kentara kulitnya yang kuning langsat. “Lah, Ibu kok tahu sih?”Senyum Zaara semakin melebar. Zaara berusaha membayangkan wajah Haikal Harun dalam ingatannya. Dia sempat meraba wajahnya sehingga membuatnya, melukis wajah Haikal dalam bayangannya. Haikal berwajah timur tengah dan pasti tampan sekali. Karakternya sedikit menyebalkan tetapi hatinya baik. Singkatnya itu yang dirasakan Zaara tentang Haikal.“Ibu hanya menebak saja,”Fatimah terkekeh senang sebab analisanya tepat sekali.“Dia pemuda yang aku t