Share

8. Dicegat orang asing

Sementara itu Zaara marah dan merutuki dirinya sendiri saat dia mengingat pemuda yang dia tolong. Dia begitu mengkhawatirkannya tetapi pemuda tersebut malah menghina fisiknya yang difabel. Dia merasa harga dirinya jatuh sejatuhnya sebab diinjak-injak oleh lelaki tersebut.

“Lelaki sialan! Pemuda brengsek! Aku kira pemuda jalanan yang berambut gondrong hatinya baik. Um, cuma penampilannya saja yang urakan. Ternyata sama saja!

Semua lelaki yang mengaku punya banyak uang mau dia berpenampilan gaul atau rapi metroseksual kayak si Ray sama saja! Lelaki brengsek!”

Zaara tak henti-hentinya merutuk. Lalu dia duduk di sebuah bangku kosong dekat gerobak bakso untuk istirahat.

“Neng mau makan bakso?” tanya tukang bakso yang memang sudah mengenal Zaara sejak kedatangannya ke rumah Hamid dan Fatimah. Zaara dikenalkan oleh mereka sebagai anak angkatnya pada semua orang.

“Iya, Mang! Bakso dengan level terpedas,” jawab Zaara dengan sedikit ketus. Dia memijit pangkal hidungnya berkali-kali. Lalu merangkak menuju pelipisnya. Rasanya sakit kepala berhadapan dengan pemuda tadi. Dia tidak habis pikir bisa-bisanya mengingat dan mencemaskan pemuda yang menyebalkan.

“Neng, apa gak takut kalau kepedasan sakit perut?” goda tukang bakso saat melihat Zaara setengah melamun.

Reflek Zaara menoleh pada gerobak bakso. “Enggak, Mang! Kehidupan lebih pedas dari potongan cabe habanero sekalipun!”

“Ish! Si Neng bisa aja,” ucap Tukang bakso menoleh ke arahnya.

“Amang jadi ingat waktu dulu, Neng mana mau makan bakso di pinggiran. Kayaknya gimana gitu ya Neng. Kalau orang Sunda bilang, jirijipeun, jijik gitu,”

“Itu dulu, Mang,” ucap Zaara dengan cemberut. “Ayo Mang, aku sudah lapar,”

Jika teringat pertama kali dia makan di sana sepertinya memalukan. Zaara tidak terbiasa makan di pinggir jalan. Meskipun ke dua orang tuanya tidak terlalu kaya, Zaara terbiasa hidup enak. Ketika makan di luar pun Zaara seringkali memilih makan di restoran bukan gerobak di emperan jalan.

“Okay, makasih!”

Zaara menghabiskan satu mangkuk bakso hingga tak bersisa. Lalu dia memutuskan untuk pulang setelah membayarnya.

Zaara menarik knop pintu rumah Fatimah sebab beberapa kali dia berucap salam tak ada satupun yang menyahut. Lalu dia berjalan menuju kamar tidur Fatimah yang saat dia sentuh pintunya sedikit terkuak. Sepertinya Fatimah tengah berada di kamarnya, istirahat.

“Zaara sudah pulang?” seru Fatimah saat baru bangun dari ranjangnya dengan memakai sweater dan syal. Dia tengah sakit demam tetapi Zaara tidak mengetahuinya sebab Fatimah tidak menceritakan kondisinya. Dia tak ingin melihat Zaara bersedih.

“Ibu tidur?” tanya Zaara berusaha menggapai tepian ranjang ingin sekedar duduk bersisian dengan ibu angkatnya.

“Iya, ketiduran,”

“Ibu, sakit? Seharusnya tadi aku tidak meninggalkan Ibu. Maafin aku ya Bu,”

“Tidak Sayang, Ibu baik-baik saja,”

“Tadi pintu juga tidak dikunci, untunglah tidak ada maling,”

“Oh gitu ya. Sepertinya Ibu lupa mengunci pintu,”

“Bapak belum pulang?”

“Bapak pulang seminggu sekali, Ra. Soalnya majikannya tak ingin ditinggal. Di rumahnya yang besar sepi jadi Bapak mau tak mau menginap di sana,”

“Oh, begitu,”

“Bagaimana jualannya, Ra?” tanya Fatimah menyambutnya.

“Mayan, Bu. Ternyata susah juga ya, dagang kayak gini!”

“Ya udah kata Ibu juga kamu tidak perlu berjualan bunga, sudah diam saja di rumah,”

“Gak mau Bu, aku jenuh,”

***

Tak menyerah, seperti biasa Zaara berjualan bunga di sekitar TPU untuk membantu ekonomi keluarga barunya. Matahari sudah naik tetapi tak ada satupun yang membeli bunga miliknya. Entah apa alasannya.

Kasak-kusuk terdengar ada sesama penjual bunga yang menjatuhkan harga bunga sehingga pelanggan Zaara berpindah dan memilih membeli bunga di sana.

Mendengar hal tersebut Zaara kesal dan dengan mengumpulkan keberaniannya menegur seorang wanita yang berada tak jauh dekat dengannya.

“Bu, maaf mengganggu,” ucap Zaara menghampiri wanita itu. Pada dasarnya Zaara memang memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Namun kebutaan sempat membuatnya benar-benar terpuruk, kepercayaan dirinya sirna dan merasa rendah diri. Hamid senantiasa memberinya nasihat dan motivasi sehingga perlahan dia kembali ceria dan percaya diri.

“Apa?” jawabnya ketus.

“Ibu tahu ‘kan saya lebih dulu jualan bunga di sini?”

“Terus? Merasa tersaingi begitu?”

“Um …”

“Bu Fatimah saja biasa aja. Ini siapa kamu? Sok ngatur-ngatur?”

“Um, saya belum selesai bicara, Bu. Silahkan kalau Ibu mau jualan di sini. Saya ridho tapi tolong dong kalau usaha itu jangan saling jatohin harga hanya demi dagangan laris. Saya dengar Ibu menjatuhkan harga bunga? Itu ‘kan melanggar aturan dagang,”

Zaara lupa dia berhadapan dengan siapa. Dia hanya berhadapan dengan seorang wanita yang kurang paham soal aturan dagang.

“La emang kenapa kalau saya menjual murah bunga saya? Toh saya pengen cepet laris.”

“Iya, tapi tak masuk akal saja Bu. Masa Ibu jual murah banget. Pelanggan saya auto kabur semua,”

“Maaf Neng, bukan urusan saya,”

Zaara mendecak sebal melihat respon wanita tua yang keras kepala tersebut. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Demi kebaikan, akhirnya dia memilih mengalah setelah berusaha mengingatkannya.

Beberapa orang mengikuti langkah kaki gadis buta itu tanpa dia sadari. Dua orang pemuda yang merupakan anak wanita tadi menghampiri Zaara yang akan pulang. Di tengah jalan dia dihadang oleh mereka. Mereka mencegat langkah kaki Zaara hingga membuatnya tersentak kaget.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status