Di sebuah mansion mewah berkonsep klasik-kontemporer, para pelayan cantik yang mengenakan seragam khusus menyambut kedatangan majikan mereka. Seorang butler langsung menyambut Elia Mariyam dan membawakan barang bawaannya sedangkan pelayan yang lain langsung meraih jaket wol yang dikenakan olehnya dan langsung menaruhnya dengan menggantungnya pada gantungan besi etnik.
Pelayan yang lain juga segera menyambut kedatangan tuan majikannya yang tak lain Haikal sang putra semata wayang yang berjalan di belakang sang ibu. Beberapa pelayan muda seringkali berlomba agar bisa bertemu, bercengkerama dan melayani tuan muda mereka yang terlihat sangat tampan berwajah khas timur tengah. Namun Haikal tidak suka diperlakuan semacam itu.
Apalagi rambut Haikal yang gondrong sedikit ikal tampak menampakkan sisi maskulin seorang lelaki macho, membuat para gadis menjerit melihatnya. Padahal Haikal tak pernah berniat menggoda para hawa dengan penampilannya yang paripurna, terkesan cowok badboy dengan setelan kasual, celana jeans robek-robek yang dipadupadankan dengan sepatu sneaker. Namun dia memiliki pesona bagaikan magnet yang bisa menarik lawan jenis ke dalam pangkuannya andai dia mau.
“Tuan, ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang butler senior menghampiri tuannya. Pasalnya tuannya baru pulang dari rumah sakit karena mengalami kecelakaan.
“Tidak, terima kasih,” jawab Haikal irit bicara. “Oh ya Pak Ri, panggil saya Mas saja! Kita tinggal di Indo bukan di Wentworth Woodhouse,” ucap Haikal lalu bersiul. Dia berjalan menuju kamarnya dengan memilih menaiki anak tangga yang dibalut karpet merah mewah dari pada menaiki lift.
Para pelayan terkekeh mendengar tuan muda mereka berbicara yang santai tidak seperti tuan muda pada umumnya yang gila hormat.
“Mas Haikal … aw … aw …” kata pelayan muda yang begitu terobsesi dengan majikannya.
“Aku padamu, Mas,” kata pelayan yang lain.
“Diamlah! Jangan kurang ajar nanti terdengar Nyonya besar,” ucap Hairi butler senior di mansion tersebut dan langsung membubarkan para pelayan.
Tanpa bantuan pelayan, Haikal langsung menyeret koper berisi pakaiannya dan membawa ke kamarnya di lantai dua. Dia tidak sudi menerima bantuan pelayan yang padahal sedari tadi mengikuti langkah kakinya agar bisa melayaninya. Namun pelayan cukup mafhum dengan sikap majikannya bahwa dia memang terbiasa mandiri dan melakukan hal sendiri sewaktu tinggal di apartemen. Semenjak duduk di bangku kuliah dia lebih memilih tinggal di apartemen seorang diri.
“Apakah Tuan membutuhkan sesuatu?” tanya pelayan lelaki dengan sedikit gugup tatkala mereka tiba di lantai dua kamarnya. Tanpa sepatah kata dia mengikuti majikannya seumpama bayangan.
Haikal menoleh setelah membuka pintu kamarnya. “Sudah aku bilang, aku tidak butuh bantuan. Kamu tuli? Menyingkirlah dari hadapanku!” ucap Haikal bernada dingin. “Satu lagi, panggil aku Mas atau apalah asal jangan dipanggil Tuan!”
“Baik Tuan … eh … Mas Haikal,” sahut pelayan itu dengan mengangguk takut.
Haikal langsung mendorong kopernya ke sembarang arah hingga terjungkal. Lalu dia membanting pintu raksasa kamarnya hingga menciptakan gema suara yang menakutkan. Pelayan lelaki yang baru saja melangkah dekat lift langsung terdiam karena gendang telinganya terusik dengan bunyi pintu yang dibanting.
‘Tuan muda aneh,’ gumamnya menggelengkan kepala.
Haikal memegangi perutnya yang masih terasa sakit dan perih. Dia merebahkan tubuhnya untuk beristirahat. Rupanya dia masih sakit tetapi tak pernah memperlihatkan rasa sakitnya ataupun mengeluh. Baginya sakit fisik tak seberapa jika dibandingkan sakit psikis yang dideritanya sebab dia terpaksa harus berpisah dengan ayah kandung dan adik kesayangannya.
Beberapa kali kekasihnya meneleponnya tetapi dia malas mengangkatnya. Alasannya dia tengah kesal karena terpaksa harus mengikuti keinginan Elia untuk tinggal di mansion miliknya bersama ayah sambungnya. Pun, kesal pada Zaara yang menolak pemberiannya. Dia berpikir Zaara seperti para gadis umumnya tetapi di luar dugaan dia gadis yang berbeda.
“Aku nyaris lupa siapa namamu?” gumam Haikal sembari memejamkan matanya dan berusaha mengingat senyum gadis itu yang terasa hangat.
Sejurus kemudian Haikal membuka matanya perlahan. Dia bangun lalu duduk dengan menyandar pada kepala ranjang. Dia merutuki dirinya sendiri atas kenakalan isi kepalanya mengingat gadis lain padahal dia sudah bertunangan.
Karena merasa bersalah, Haikal menengok ponselnya lalu menelepon balik kekasihnya itu. Mungkin kekasihnya marah sebab sudah lebih dari dua puluh kali dia menelepon tetapi tidak diangkat. Sedetik kemudian Haikal yang mengidap temperamen akut langsung melempar ponselnya ke dinding sehingga menyebabkan ponselnya pecah menjadi beberapa bagian. Entah ponsel ke berapa yang dia banting saat dia meledak-ledak meluapkan emosinya. Safira benar-benar marah karena kekasihnya sudah mengabaikan panggilannya.
Jam makan siang sudah tiba. Seorang house keeper sudah memanggilnya lewat interkom di depan kamarnya, membuat Haikal terpaksa bangun dan menyeret ke dua tungkai kakinya malas menuju ruang makan megah yang berada di lantai satu.
Tampak Elia Mariam dan Edi Mahardika sang ayah sambung duduk di ruang makan. Mereka tengah berbincang hangat dan mesra sebagaimana pasangan suami istri yang awet meski usia pernikahan telah berlangsung lama.
Haikal bahagia melihat sang ibu tetapi sedih di saat yang sama sebab Elia tersenyum bukan karena Harun ayah kandungnya melainkan lelaki lain yang mungkin mampu memperlakukan ibunya dengan sangat istimewa.
Haikal duduk berseberangan dengan mereka. Dia tak berkata sepatah katapun dan hanya langsung menarik piring porselen yang sudah diisi dengan toast. Dia meraih garpu dan pisau untuk memotong roti miliknya. Dia langsung melahapnya dalam waktu yang super singkat.
Baik Elia dan Edi cukup mafhum pada sikap Haikal yang terlihat dingin. Atau bisa dikatakan lebih baik sekarang karena Haikal bersedia duduk satu meja dengan ayah sambungnya.
“Jadi kamu bersedia ke kantor menggantikan Daddy?” cetus Edi Mahardika seketika menghentikan kunyahan roti yang masih tersisa di dalam mulut Haikal. Buru-buru dia menelannya kasar dan meneguk lemon yang dicampur madu.
Batin Elia berdebar-debar. Semoga saja anaknya tersebut tidak berulah lagi agar kehidupan rumah tangganya tenang. Edi sudah menekan egonya beberapa tahun terakhir dalam menghadapi Haikal yang sudah bukan anak remaja lagi. Di usianya yang menginjak tiga puluh tahun Haikal masih bersikap labil dan tidak dewasa sama sekali.
Haikal terlihat menarik nafas dalam.
Haikal terlihat menarik nafas dalam.“Ya …” ucap Haikal singkat.Elia dan Edi saling menoleh kaget melihat respon Haikal. Tak percaya, Elia masih merekam memori beberapa tahun silam saat Haikal ditawari mengurus perusahaan tetapi Haikal memilih meninggalkan rumah dan berbuat sesuka hati.Haikal lantas meninggalkan meja makan tanpa suara. Dia langsung keluar mansion dan menyisir kendaraan miliknya, sebuah motor ninja yang sudah dimodifikasi. Dia pergi mengunjungi kekasihnya yang sedang marah saat ini.Di depan sebuah kantor agency model, Haikal menyesap sebatang rokok seraya menunggu kekasihnya keluar. Dia ingin memberi kejutan padanya. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Lalu Haikal memutuskan masuk ke kantor tersebut.Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya tanpa berkedip. Apa yang dilakukan seorang badboy rupawan di kantor tersebut?“Siapa dia?” tanya salah satu model.“Dia … bukankah dia Haikal Mahardika? Anak pengusaha tambang itu loh,”“Serius?”“Mau ngapain di sini?”Begitulah perca
Zaara dicegat oleh dua orang pemuda asing.“Apa mau kalian?” pekik Zaara panik saat menyadari kehadiran mereka.“Kamu sudah berbuat tak sopan pada ibu kami. Kamu siapa? Um, dasar gadis buta. Dengar, ibu kami warga sini sedangkan kamu hanya orang asing. Kamu jangan sok-sokan ngatur warga sini? Berani main labrak,”Salah satu pemuda itu menarik tongkat yang dipegang Zaara hingga membuat Zaara kaget.“Hei, jangan kurang ajar!”“Bagaimana Bang, kita lihat apa gadis itu bisa berjalan tanpa tongkat? Kasihan, gadis cantik tapi …”“Buta dan yatim piatu,”“Benar Bang, malang kali nasibnya,”“Diam? Atau ..”“Atau apa?” salah satu pemuda itu menjawil dagu Zaara.“Jangan kurang ajar? Atau aku akan berteriak?””“Teriak saja, memang kami takut,”“Sialan,”Zaara tidak tinggal diam, dia melepas salah satu sepatunya lalu menudingkan ke arah pemuda tadi lalu memukul-mukul asal ke berbagai arah yang akhirnya salah satu wajah pemuda itu tertimpuk cukup keras mengenai pangkal hidungnya.Lalu terdengar Zaa
"Mas!” seru Zaara sebab lawan bicaranya terdiam tiba-tiba. Padahal lawan bicaranya saat ini tengah menatap Zaara lekat. Zaara terlihat sangat cantik, berwajah oriental dan berkulit kuning langsat. Kecantikannya bertambah dengan pashmina yang dia kenakan, sebuah pashmina berwarna krem dipadupadankan dengan tunik berwarna moka serta celana flare pants putih. Dari penampilannya yang bergaya, Haikal menyimpulkan jika Zaara bukanlah gadis desa sehingga membuatnya penasaran. “Iya, aku masih di sini. Nunggu jawaban kamu,” “Jawaban apa?” “Kamu mau terima tawaranku? Lusa ibuku ulang tahun, aku ingin bunga segar mirip yang kamu kasih ke aku pas di rumah sakit. Bunga mawar putih dengan kelopak yang besar. Aku suka itu …” “Okay,” Setelah menimang-nimang Zaara akhirnya menerima tawaran Haikal. Dia memang butuh uang. Untuk sesaat dia mengenyampingkan rasa gengsinya. “Apa mau dibayar sekarang atau nanti?” tanya Haikal berhati-hati. Khawatir Zaara tersinggung. “Ada uang ada barang,” Zaara ter
Lamunan Zaara terinterupsi karena kedatangan Fatimah.“Assalamualaikum!” ucap Fatimah yang membuka sedikit pintu kamar Zaara. “Waalaikumsalam, Ibu ada apa?”Zaara buru-buru mengusap wajahnya yang basah dari air mata dan beristigfar.“Kamu sudah makan malam Nak?”“Sudah, Bu. Bagaimana keadaan Ibu sekarang?”Zaara beranjak dari kursi dekat jendela dan menghampiri Fatimah. Dia terlihat khawatir pasalnya Fatimah sedari kemarin meringkuk di kamar. Namun dia tidak berani menganggunya. Fatimah hanya keluar untuk memasak saja.“Sudah baikkan Nak,” jawab Fatimah padahal sedang tidak baik-baik saja. Keringat dingin mengucur di tubuhnya dan tekanan darahnya rendah. Dia kelelahan karena bekerja terlalu keras, memanen bunga.“Alhamdulillah baik, Bu,”Zaara mengukir senyum tatkala mendengar sang ibu dalam kondisi membaik. “Bagaimana jualanmu?” tanya Fatimah membuat Zaara membatu. Zaara tak berniat menceritakan padanya bahwa jualannya tidak laku sebab ada saingan sesama penjual bunga. Tidak hany
“Gila Bos! Gak kenal sumpah, mirip siapa ya … mirip aktor Turki,” puji Antonie dengan tertawa puas. “Jambangnya ilang juga,” katanya mengusap dagunya. Dalam hati, dia sangat iri pada Haikal yang memiliki rambut yang subur berbeda dengan dirinya yang defisit rambut padahal sudah sering memakai obat-obatan penyubur rambut. “Baiklah, misiku sudah selesai. Sekarang kita kemana?” tanya Antonie seraya kembali memanaskan mobil majikannya. “Pulang,” Antonie berbalik arah untuk mengantarkan pulang majikannya yang tak lain sahabatnya sendiri. “Ngapain belok, aku bilang pulang!” “Kan apartemen Bos ada di sana,” “Gak ke apartemen, pulang ke rumah nyokap,” “Cie … yang udah akur,” “Emang siapa yang berantem?” “Gak ada sih. Tapi kalau diem-dieman itu termasuk berantem gak ya?” “Terserah,” Haikal membuang nafas kasar. Selama perjalanan Haikal senantiasa menyapu jalan sebab dia ingin melihat sesuatu yang belakangan ini seringkali mengusik pikirannya selain Safira. “Stop!” titah Haik
Tak hanya Antonie yang terkejut dengan penampilan Haikal, Elia pun tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Haikal mengubah seluruh penampilan fisiknya. Dia berpenampilan sebagaimana penampilan seorang CEO pada umumnya dengan potongan rambut quiff haircut, sebuah model rambut pendek tetapi masih mempertahankan messy look alias sedikit berantakan bagian depan, menyesuaikan karakter Haikal.“It’s me Mom, please jangan lebay deh,” tukas Haikal mengomentari ibunya."Tante sampe cengo gitu lihat anak kesayangan jadi ganteng dan rapi klimis gitu ya. Model Cekmek yang lagi ngehits Tan. Siapa dulu dong asistennya. Asistennya juga gak kalah ganteng,” ucap Antonie membusungkan dada, berhasil membuat sepasang netra ibu dan anak mengarah padanya.“Eh, canda Bos and Tan,” ucap Antonie nyengir kuda. Dia menyugar rambut caesar hair miliknya, sebuah model rambut dipotong pendek dengan poni yang yang ditata ke arah depan dan samping mirip Jungkook.Haikal menatap Antonie dengan sorot mata yang tajam se
Fatimah bisa merasakan kalau Zaara tengah menyukai seseorang tetapi dia berusaha untuk tidak menanyakannya langsung. Biarlah Zaara sendiri yang mengatakannya. Fatimah ingin dipercaya olehnya sepenuh hati sebagaimana seorang ibu pada umumnya. Dan, seseorang itu ialah pemuda yang memesan bunga.“Menurut Ibu, orang yang memesan bunga seorang pemuda tampan. Benar?”Fatimah menerka-nerka. Tentu saja menerka berdasarkan kemampuan analisanya membaca ekspresi wajah Zaara yang mendadak memerah kentara kulitnya yang kuning langsat. “Lah, Ibu kok tahu sih?”Senyum Zaara semakin melebar. Zaara berusaha membayangkan wajah Haikal Harun dalam ingatannya. Dia sempat meraba wajahnya sehingga membuatnya, melukis wajah Haikal dalam bayangannya. Haikal berwajah timur tengah dan pasti tampan sekali. Karakternya sedikit menyebalkan tetapi hatinya baik. Singkatnya itu yang dirasakan Zaara tentang Haikal.“Ibu hanya menebak saja,”Fatimah terkekeh senang sebab analisanya tepat sekali.“Dia pemuda yang aku t
Setahun sudah Haikal seringkali bermimpi didatangi seorang gadis berambut panjang. Hanya wajahnya samar-samar, tak jelas. Gadis tersebut mengejarnya hingga Haikal tak bisa berlari lagi sebab di belakangnya hanya ada jurang yang dalam dengan tebing bebatuan vulkanik tajam. Haikal bangun dari tidurnya dengan nafas yang memburu dan keringat dingin mengucur di sekujur tubuhnya. Lantas dia mengambil air putih yang berada di atas nakas di samping tempat tidur. Dia pun meneguk air minum perlahan dan berusaha menormalkan kembali nafasnya; menarik nafas lalu membuangnya. Dia lakukan beberapa kali agar segera sadar dan mengumpulkan ruhnya. Mimpi buruk Haikal erat kaitannya dengan peristiwa setahun silam tatkala dia menabrak seseorang di jalan dalam kondisi tidak sadarkan diri, di bawah pengaruh alkohol. Mungkin bukan seseorang tetapi pernah beberapa kali dia menabrak orang atau pohon yang dilewatinya saat dia melajukan motor balapnya dengan tidak waras. Parahnya dia tidak pernah berniat men