Share

9. Tentang Haikal

Di sebuah mansion mewah berkonsep klasik-kontemporer, para pelayan cantik yang mengenakan seragam khusus menyambut kedatangan majikan mereka. Seorang butler langsung menyambut Elia Mariyam dan membawakan barang bawaannya sedangkan pelayan yang lain langsung meraih jaket wol yang dikenakan olehnya dan langsung menaruhnya dengan menggantungnya pada gantungan besi etnik.

Pelayan yang lain juga segera menyambut kedatangan tuan majikannya yang tak lain Haikal sang putra semata wayang yang berjalan di belakang sang ibu. Beberapa pelayan muda seringkali berlomba agar bisa bertemu, bercengkerama dan melayani tuan muda mereka yang terlihat sangat tampan berwajah khas timur tengah. Namun Haikal tidak suka diperlakuan semacam itu.

Apalagi rambut Haikal yang gondrong sedikit ikal tampak menampakkan sisi maskulin seorang lelaki macho, membuat para gadis menjerit melihatnya. Padahal Haikal tak pernah berniat menggoda para hawa dengan penampilannya yang paripurna, terkesan cowok badboy dengan setelan kasual, celana jeans robek-robek yang dipadupadankan dengan sepatu sneaker. Namun dia memiliki pesona bagaikan magnet yang bisa menarik lawan jenis ke dalam pangkuannya andai dia mau.

“Tuan, ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang butler senior menghampiri tuannya. Pasalnya tuannya baru pulang dari rumah sakit karena mengalami kecelakaan.

“Tidak, terima kasih,” jawab Haikal irit bicara. “Oh ya Pak Ri, panggil saya Mas saja! Kita tinggal di Indo bukan di Wentworth Woodhouse,” ucap Haikal lalu bersiul. Dia berjalan menuju kamarnya dengan memilih menaiki anak tangga yang dibalut karpet merah mewah dari pada menaiki lift.

Para pelayan terkekeh mendengar tuan muda mereka berbicara yang santai tidak seperti tuan muda pada umumnya yang gila hormat.

“Mas Haikal … aw … aw …” kata pelayan muda yang begitu terobsesi dengan majikannya.

“Aku padamu, Mas,” kata pelayan yang lain.

“Diamlah! Jangan kurang ajar nanti terdengar Nyonya besar,” ucap Hairi butler senior di mansion tersebut dan langsung membubarkan para pelayan.

Tanpa bantuan pelayan, Haikal langsung menyeret koper berisi pakaiannya dan membawa ke kamarnya di lantai dua. Dia tidak sudi menerima bantuan pelayan yang padahal sedari tadi mengikuti langkah kakinya agar bisa melayaninya. Namun pelayan cukup mafhum dengan sikap majikannya bahwa dia memang terbiasa mandiri dan melakukan hal sendiri sewaktu tinggal di apartemen. Semenjak duduk di bangku kuliah dia lebih memilih tinggal di apartemen seorang diri.

“Apakah Tuan membutuhkan sesuatu?” tanya pelayan lelaki dengan sedikit gugup tatkala mereka tiba di lantai dua kamarnya. Tanpa sepatah kata dia mengikuti majikannya seumpama bayangan.

Haikal menoleh setelah membuka pintu kamarnya. “Sudah aku bilang, aku tidak butuh bantuan. Kamu tuli? Menyingkirlah dari hadapanku!” ucap Haikal bernada dingin. “Satu lagi, panggil aku Mas atau apalah asal jangan dipanggil Tuan!”

“Baik Tuan … eh … Mas Haikal,” sahut pelayan itu dengan mengangguk takut.

Haikal langsung mendorong kopernya ke sembarang arah hingga terjungkal. Lalu dia membanting pintu raksasa kamarnya hingga menciptakan gema suara yang menakutkan. Pelayan lelaki yang baru saja melangkah dekat lift langsung terdiam karena gendang telinganya terusik dengan bunyi pintu yang dibanting.

‘Tuan muda aneh,’ gumamnya menggelengkan kepala.

Haikal memegangi perutnya yang masih terasa sakit dan perih. Dia merebahkan tubuhnya untuk beristirahat. Rupanya dia masih sakit tetapi tak pernah memperlihatkan rasa sakitnya ataupun mengeluh. Baginya sakit fisik tak seberapa jika dibandingkan sakit psikis yang dideritanya sebab dia terpaksa harus berpisah dengan ayah kandung dan adik kesayangannya.

Beberapa kali kekasihnya meneleponnya tetapi dia malas mengangkatnya. Alasannya dia tengah kesal karena terpaksa harus mengikuti keinginan Elia untuk tinggal di mansion miliknya bersama ayah sambungnya. Pun, kesal pada Zaara yang menolak pemberiannya. Dia berpikir Zaara seperti para gadis umumnya tetapi di luar dugaan dia gadis yang berbeda.

“Aku nyaris lupa siapa namamu?” gumam Haikal sembari memejamkan matanya dan berusaha mengingat senyum gadis itu yang terasa hangat.

Sejurus kemudian Haikal membuka matanya perlahan. Dia bangun lalu duduk dengan menyandar pada kepala ranjang. Dia merutuki dirinya sendiri atas kenakalan isi kepalanya mengingat gadis lain padahal dia sudah bertunangan.

Karena merasa bersalah, Haikal menengok ponselnya lalu menelepon balik kekasihnya itu. Mungkin kekasihnya marah sebab sudah lebih dari dua puluh kali dia menelepon tetapi tidak diangkat. Sedetik kemudian Haikal yang mengidap temperamen akut langsung melempar ponselnya ke dinding sehingga menyebabkan ponselnya pecah menjadi beberapa bagian. Entah ponsel ke berapa yang dia banting saat dia meledak-ledak meluapkan emosinya. Safira benar-benar marah karena kekasihnya sudah mengabaikan panggilannya.

Jam makan siang sudah tiba. Seorang house keeper sudah memanggilnya lewat interkom di depan kamarnya, membuat Haikal terpaksa bangun dan menyeret ke dua tungkai kakinya malas menuju ruang makan megah yang berada di lantai satu.

Tampak Elia Mariam dan Edi Mahardika sang ayah sambung duduk di ruang makan. Mereka tengah berbincang hangat dan mesra sebagaimana pasangan suami istri yang awet meski usia pernikahan telah berlangsung lama.

Haikal bahagia melihat sang ibu tetapi sedih di saat yang sama sebab Elia tersenyum bukan karena Harun ayah kandungnya melainkan lelaki lain yang mungkin mampu memperlakukan ibunya dengan sangat istimewa.

Haikal duduk berseberangan dengan mereka. Dia tak berkata sepatah katapun dan hanya langsung menarik piring porselen yang sudah diisi dengan toast. Dia meraih garpu dan pisau untuk memotong roti miliknya. Dia langsung melahapnya dalam waktu yang super singkat.

Baik Elia dan Edi cukup mafhum pada sikap Haikal yang terlihat dingin. Atau bisa dikatakan lebih baik sekarang karena Haikal bersedia duduk satu meja dengan ayah sambungnya.

“Jadi kamu bersedia ke kantor menggantikan Daddy?” cetus Edi Mahardika seketika menghentikan kunyahan roti yang masih tersisa di dalam mulut Haikal. Buru-buru dia menelannya kasar dan meneguk lemon yang dicampur madu.

Batin Elia berdebar-debar. Semoga saja anaknya tersebut tidak berulah lagi agar kehidupan rumah tangganya tenang. Edi sudah menekan egonya beberapa tahun terakhir dalam menghadapi Haikal yang sudah bukan anak remaja lagi. Di usianya yang menginjak tiga puluh tahun Haikal masih bersikap labil dan tidak dewasa sama sekali.

Haikal terlihat menarik nafas dalam.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Camelia
haikal ohhh haikal
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status