Share

Semua Untuk Siska

Kumasukkan koper Ibu ke kamar tamu. Lalu aku kembali ke ruang makan.

"Siapa, Bu?" tanya Kayla.

"Nenek dan Tante Siska," jawabku singkat. Aku kembali duduk dan menyantap makan siangku.

"Ngapain ke sini?" tanya Bila dengan wajah keheranan.

"Untuk sementara Nenek dan Tante Siska akan tinggal di sini bersama kita!" jawabku lagi. Terlihat raut wajah anak-anakku yang tidak menyukai keberadaan Ibu dan Siska. Bukan apa-apa. Sewaktu kami masih tinggal di rumah Ibu, sikap kejam mereka berdua bukan hanya kepadaku namun juga kepada anak-anakku. Tak heran mereka keberatan Ibu dan Siska tinggal di sini.

"Sudah kalian tenang saja! Ibu gak akan biarkan yang terjadi di rumah nenek akan terjadi lagi di sini," ucapku meyakinkan mereka.

Kayla dan Bila mengangguk mengerti.

"Kami pasti selalu dukung Ibu! Kita harus jadi tim yang solid, Bu!" ucap Kayla bersemangat

Aku dan Bila mengacungkan jempol menyetujui ucapan Kayla. Kemudian mereka berdua membereskan piring bekas makan mereka dan mencucinya.

Mas Nizam, Ibu dan Siska datang kemudian langsung duduk di meja makan. Setelah menyalami Ibu dan Siska, Kayla dan Bila berpamitan ke kamar.

Kusiapkan piring untuk mereka makan. Siska menatap lauk yang ada di atas meja.

"Cuma ayam?! Gak ada daging ya? Mas, gaji kamu, kan gede, kenapa istri kamu cuma masak ayam gini?!" protes Siska.

Aku hanya diam tak berminat menjawab. Malas harus menimpali setiap omongan dari Siska. Karena bawaan jadi emosi aja.

"Gak tau, tuh! Entah kemana gaji Mas!" jawab Mas Nizam tanpa merasa bersalah.

Aku menatap tajam ke arah Mas Nizam. "Emang setiap bulan, kamu ngasih aku berapa, Mas? tanyaku menahan emosi.

"Kan semuanya kukasih sama kamu!" jawabnya santai.

"Semua?" tanyaku lagi berusaha menyindirnya.

"Lah iya, kan semuanya!" jawabnya lagi.

"Mahira ini pasti boros, Ibu yakin! Dia taunya ngabisin uang suami, gak tau gimana capeknya suami banting tulang cari uang!" timpal Ibu.

'Waw keren! Aku harus melawan mereka bertiga! Namun, aku gak akan takut dan mau mengalah.'

"Bukannya Ibu tau sendiri, gaji Mas Nizam itu kemana? Buat makan aja gak cukup! Kalau aku gak kerja, gak bakalan ada makanan di rumah ini!" jawabku ketus.

"Mahira, kamu jangan sombong! Kalau aku gak ngizini kamu kerja, kamu juga gak bakalan bisa menghasilkan!" sahut Mas Nizam.

"Justru karena aku menghasilkan dan bisa menutupi kekurangan gaji kamu, makanya kamu nyuruh aku kerja! Dan gaji serta uang lembur kamu bisa kamu kasih ke Ibu dan Siska tanpa memikirkan kebutuhan anak dan istri!" ucapku dengan lantang.

"Kamu mau protes aku ngasih Ibu dan Siska? Wajar dong kalau aku ngasih mereka! Mereka —,"

"Ya, aku tau. Kamu mau ngomong mereka keluargamu. Lantas aku dan anak-anak bukan keluargamu? Ibu, kalau kamu gak kasih pun, penghasilannya lebih dari cukup. Namun, kamu lebih memilih zolim sama istri dan anak-anak!" sahutku.

"Sudah, Mbak! Kamu dari tadi kok, nyolot terus ngomongnya?! Kami di sini tamu jadi harusnya kamu menghargai kami!" Kembali Siska melontarkan protesnya.

"Saya akan menghargai tamu jika tamu itu juga sadar diri!" jawabku. Aku berdiri dan hendak melangkah menuju kamar.

"Oh ya, satu lagi, Tolong setelah makan dibereskan lagi! Jangan kalah sama anak kecil!" sindirku. Langsung saja kutinggalkan mereka. Siska yang sudah akan protes dihentikan oleh Ibu.

Aku segera menuju kamar anak-anakku. Kuketuk pintu terlebih dahulu. Setelah mendengar jawaban dari dalam, aku membuka pintu.

"Lagi ngapain, Nak? tanyaku. Aku duduk di tepian ranjang.

"Ini, Bu lagi buat PR. Jadi nanti malam bisa santai nonton tivi," jawab Kayla.

"Nenek sama Tante Siska di mana, Bu? Masih di ruang makan?" tanya Kayla lagi.

"Masih," jawabku singkat.

"Ibu gak balik lagi ke butik?" Kali ini Bila yang bertanya.

"Sebentar lagi, setelah Ayah kalian balik ke kantor," jawabku.

"Mahira!" Terdengar suara Mas Nizam memanggil.

Aku segera berdiri dan menuju pintu. Kemudian membuka pintu dan keluar dari kamar. Kudapati Mas Nizam berdiri sambil berkacak pinggang. Apalagi ini. Belum ada sejam mereka di sini, sudah membuatku susah.

"Ibu dan Siska gak bisa tidur berdua. Sempit katanya!" Jadi, kamu pindahkan anak-anak ke kamar dekat gudang, biar Siska yang menempati kamar mereka!" titah Mas Nizam.

Kutatap Mas Nizam, yang masih dengan berdiri di posisi yang sama. Tak tampak Siska atau Ibu, mungkin di kamar.

"Denger ya, Mas! Perlu aku tekankan sekali lagi! Ini rumahku! Jika tidak suka dengan kondisi rumah ini, silahkan pergi! Enak saja, anak-anak harus mengalah sama Siska!"

"Siska itu adikku!" sahut Mas Nizam.

"Dan jangan lupa, Kayla dan Bila anak-anakmu!" ucapku mengingatkan.

"Sudah, jangan membantah!" Kembali Mas Nizam memberi perintah.

"Aku gak akan sudi mindahin anak-anak ke kamar dekat gudang. Kalau Siska gak mau tidur bareng Ibu, ya sudah! Suruh dia yang tidur di situ! Jangan karena adikmu, kamu menyingkirkan anak-anakmu. Sudah cukup selama ini, aku di nomor duakan di rumah ibumu. Ini rumahku, gak akan kubiarkan siapapun semena-mena di rumah ini sekalipun itu kamu!" jawabku lantang.

"Kamu!" ucap Mas Nizam. Dia mengepalkan tangannya menahan emosi.

"Apa?" tantangku. Bukan kamu saja yang bisa melawan aku pun bisa!"

"Kamu bersihkan kamar dekat gudang itu, nanti biar kita yang pindah ke sana aja!" ucap Mas Nizam.

"Enak aja! Sudah numpang itu harus sadar diri! Kamar tamu itu bukannya kecil, Mas. Malah lebih besar dari kamar anak-anak. Dasar adikmu itu aja kemanjaan! Aku gak mau tau. Dia tidur sama Ibu atau di kamar belakang, titik!" Aku melengos pergi kembali ke kamar anak-anak.

"Mahira! Aku belum selesai ngomong!" teriak Mas Nizam.

Aku berbalik badan dan menatapnya. "Tapi, aku udah selesai ngomongnya! Terima atau gak itu urusan kamu sama Siska!"

Kutinggalkan Mas Nizam yang masih mencak-mencak di ruang tengah. Biarin, enak saja harus selalu ngalah sama keluarganya. Aku berpamitan pada anak-anak kembali ke butik. Saat aku keluar, Mas Nizam sudah tidak ada lagi di ruang tengah.

Ketika aku akan melangkah persis di depan kamar tamu terdengar suara orang bercakap-cakap.

"Mas, gimana ini? Kita jadi gak bebas kalau ada Ibu!" Samar-samar kudengar suara Siska berbicara. Kudekati pintu kamar tamu. Siska berbicara sama siapa? Apa sama Ibu? Tapi, dia manggil Mas. Apa jangan-jangan Mas Nizam yang di dalam. Ku tempelkan telinga untuk mendengar percakapan mereka.

"Sabar, untuk sementara gak papalah kamu di kamar belakang, nanti Mas suruh Mahira membersihkannya terus nanti bakal Mas pasang AC dan taruh tivi di situ, gimana?" Ternyata benar itu suara Mas Nizam. 'Apa dia bilang tadi? Pasang AC dan tivi. Gak akan Marimar biarkan Fergusso. Lihat saja nanti!'

"Tapi, kamar itu kan kecil, Mas. Kita gak leluasa nanti!" Kembali terdengar suara protes Siska. 'Leluasa maksudnya apa? Emang mau ngapain?' tanyaku dalam hati.

"Cukuplah, pinter-pinter kita aja nanti!" jawab Mas Nizam lagi. 'Aku jadi curiga, memang mereka mau ngapain sih?' batinku.

"Udah, ya, Mas balik ke kantor lagi!" Terdengar suara Mas Nizam berpamitan. Aku segera menyingkir dari pintu dan langsung ke ruang tengah.

Aku berpura-pura seolah-olah baru keluar dari kamar anak-anak saat berpapasan dengan Mas Nizam yang baru saja keluar dari kamar tamu.

"Lho, kamu baru mau pergi, Ra?" tanya Mas Nizam dengan ekspresi terkejut.

"Iya, ini baru mau pergi. Mau pamit sama Ibu!" ucapku membuat alasan. Aku berpura-pura menuju kamar tamu.

"Oh, Ibu gak ada, tadi udah pergi ke toko dijemput sama Dito," jawab Mas Nizam salah tingkah.

"Terus kamu ngapain di dalam?" tanyaku lagi.

"Mmm …aku itu bujuk Siska, dia merajuk karena harus menempati kamar belakang. Kamu juga sih, kan aku jadi repot kalau begini!" protes Mas Nizam.

"Salah sendiri, kenapa gak mau satu kamar sama Ibu!" Kamu bersihkan sendirilah, aku capek! Aku mau balik ke butik," ucapku kemudian berlalu dari hadapan Mas Nizam. Dia hanya menatap kepergianku.

Segera kupacu motor kembali ke butik. Sesampai di sana, Dila langsung menemuiku.

"Mbak, Alhamdulillah banget, Mbak!" ucap Dila.

Aku mengernyitkan alis, heran saja tiba-tiba Dila langsung menemuiku dan bilang Alhamdulilah.

"Alhamdulillah apa, La?" tanyaku.

"Ada customer baru mesan barang dalam jumlah banyak dan udah langsung DP setengah dari totalnya. Padahal, barangnya belum datang, masih di konveksi. Akan dikirim sekitar tiga hari lagi. Katanya, dia gak mau kehabisan soalnya dia lagi butuh model kayak gitu," jelas Dila lagi.

"Alhamdulillah, La, Allah kasih rezeki buat kita," timpalku.

"Iya, Mbak," jawab Dila dengan senyum sumringah.

"Ya udah, Mbak ke ruangan dulu," pamitku.

Dila mengacungkan jempolnya sambil tersenyum. Anak itu selalu semangat dalam hal apapun. Sudah lebih dari sepuluh tahun dia ikut aku bekerja sampai sekarang belum pernah hasil kerjanya mengecewakan. Hanya saja dia belum ingin menikah. Trauma masa lalu yang membuat dia hampir putus asa. Jadi, untuk sekarang dia hanya fokus bekerja dan membahagiakan kedua orang tuanya.

Aku masuk ke dalam ruanganku. Kembali duduk di kursi dan mengecek laporan keuangan yang telah dibuat Dila. Bunyi ponsel membuyarkan konsentrasiku. Kuraih tas dan merogoh ponsel di dalamnya. Ternyata panggilan dari Mas Nizam.

"Halo," jawabku.

"Kamu sudah sampai butik?" tanya Mas Nizam.

"Udah," jawabku singkat.

"Aku cuma mau bilang nanti sore akan datang orang yang pasang AC di kamar belakang sama tivi. Nanti tolong kamu terima dan arahkan buat masangnya!" titah Mas Nizam.

"Untuk apa kamu pasang AC dan narok tivi di situ? Kamar itu, kan kecil. Lagipula, waktu aku mau pasang AC di kamar kita, kenapa kamu nolak? Dan sekarang untuk Siska kamu bela-belain langsung beli!" cecarku.

"Sudahlah, Siska itu adikku! Jadi gak usah protes mulu! Aku mau lanjut kerja lagi!" Mas Nizam langsung mematikan panggilan.

Kuketuk-ketuk jari mencari ide bagaimana agar AC itu tidak jadi dipasang di kamar Siska. Sepertinya aku harus pulang cepat.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
apa g bisa mengambil kesimpulan dari percakapan suami mu dan siska, tolol!! apa aja yg ada dlm otak mu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status