Malam itu, Selena merebahkan diri di ranjang lama mendiang saudara laki-lakinya. Sekarang, dia memutuskan untuk menempati kamar tersebut mulai dari sekarang.
Dia tidak tahu, kenapa kedua orang tuanya bisa sangat membela Mersya melebihi dirinya sendiri yang merupakan putri kandung mereka. Selama ini, dia telah berusaha menjadikan nama keluarganya senantiasa eksis. Mendatangi beberapa pertemuan penting di istana sebagai perwakilan keluarga Marquees Douglass, bahkan menghadiri pesta-pesta perjamuan yang sebenarnya sangat menguras tenaga. Selena mendudukkan diri, memikirkan apa yang harus dilakukan supaya pertunangannya dengan Arthur batal. "Aku tidak mungkin menikah dengan seseorang yang bahkan sudah memiliki niat untuk menduakanku sebelum resmi menikah," gumamnya, mulai memutar otak. Setelah berpikir selama beberapa saat, gadis itu mengembuskan napas lelah. "Tidak ada yang percaya padaku ...." Selena ingin kembali menjatuhkan tangis, tetapi dia sudah terlalu lelah akan apa saja yang terjadi hari ini. Lalu, tiba-tiba saja sebuah ketukan yang menyambangi pintu kamarnya membuat gadis itu terlonjak. "Aku tidak mau diganggu, Asha—" "Kak Selena? Ini aku, Mersya." Raut Selena berubah masam. Dari sekian banyaknya orang, mengapa Mersya harus datang ke sini? Tidak tahukah kalau Selena muak sekali dengan topeng sok polos yang sedang Mersya kenakan saat ini? Selena sengaja tak memberi tanggapan. Dia pikir, Mersya akan pergi lantaran tak digubris. Namun, Mersya malah langsung memasuki kamar barunya itu tanpa peduli bagaimana suasana hati Selena saat ini. "Apa yang kaulakukan?! Kenapa kau sembarangan memasuki kamarku!" serunya tidak terima. Mersya menatap Selena, tidak bersuara. Selena sendiri tidak bisa menangkap arti dari tatapan yang Mersya berikan. "Keluar dari kamarku, Mersya!" kesalnya. Bukannya keluar, Mersya malah mendekat dengan senyum timpangnya. "Memangnya kenapa kalau aku dan Arthur baru saja bercinta di kamar lamamu, Kak Selena?" Selena memicingkan mata. Ini dia! Sifat asli Mersya baru terungkap di hadapannya secara langsung. "Kau iblis, Mersya." "Kalau iblis ditakdirkan cantik sepertiku, tidak masalah, Kak Selena. Jadi, bagaimana? Apa kedua kakimu tidak lelah karena sudah mendengarku dan Arthur bercinta di kamarmu tadi, Kak? Apa kau mendengar desahan yang Arthur keluarkan juga, Kak? Ah! Terdengar merdu sekali, 'kan?" "Kau sudah tidak punya malu ya? Menyedihkan sekali hidupmu. Selalu bersembunyi di balik topeng kepolosan, tapi isi otakmu bahkan lebih kotor dan licik dari para kriminal," ujar Selena, tidak mau mundur begitu saja. Mersya tidak tersinggung sama sekali, justru tertawa kecil dengan tangan terlipat di depan dada. "Bagaimana rasanya tidak mendapatkan pembelaan dari siapa pun, Kak Selena? Sakit? Oh! Kalau dipikir-pikir, itu tidak seberapa sakit dengan apa yang pernah kulalui sebelum menjadi bagian dari keluarga ini." "Maksudmu? Kau ingin aku merasakan sengsara sepertimu dulu, begitu?" tanyanya tajam. "Oh, tentu saja! Tidak adil rasanya ketika Tuhan hanya memberiku kehidupan buruk, tapi tidak dengan orang lain. Tidak adil!" Selena mengepalkan tangan erat-erat, ingin sekali melempari Mersya dengan sesuatu, tetapi ditahan untuk sementara. "Maka, itu bukan urusanku, Mersya. Selama ini, aku selalu menganggapmu seperti adik kandungku sendiri. Selalu mendahulukan kebahagiaanmu, tapi kenapa ... kenapa kau malah menjadikan hidupku seperti ini?" tanya Selena dengan nada bicara melemah. "Kenapa? Tentu saja karena sejak lahir hidupmu sudah enak, Kak Selena. Setidaknya, kau harus merasakan cobaan hidup yang sulit dulu biar tahu rasa!" cetus Mersya. "Lalu, bagaimana dengan para tunanganku yang terdahulu? Apakah kau menggoda mereka semua?" "Ah, para berandalan yang mempunyai gelar hanya karena lahir dari keluarga bangsawan itu? Sebenarnya, tanpa aku melakukan apa pun, mereka langsung tergoda. Padahal aku hanya sengaja memperlihatkan belahan dadaku saja, tapi liur mereka sudah menetes ke mana-mana. Lucu, 'kan?" Mersya meledakkan tawa. "Terutama Arthur—aku baru menyapanya saja dia sudah memiliki niatan untuk meniduriku. Omong-omong, dia sendiri yang mengajakku untuk bercinta di kamar lamamu itu, Kak Selena." "K-kau ...." "Tapi, memang Arthur lebih pandai soal hal ranjang daripada para tunanganmu yang terdahulu, Kak Selena. Mau mencobanya juga?" "Keluar kau sekarang juga!" geramnya. Mersya menyeringai. Merasa menang lantaran Selena telah terpancing akan seluruh ucapannya. "Mau kubuat menderita lagi tidak, Kak?" "Pergi sana! Jangan menggangguku!" "Oh! Tidak seru kalau aku tidak menambah penderitaanmu lagi, Kak." Mersya menghampiri meja bundar di dekat jendela, meraih cawan lilin yang lilinnya sedang menyala. Selena menyipitkan mata, merasa ada yang tidak beres. "Apa yang akan kaulakukan?" "Hanya mau menambah penderitaanmu saja, Kak Selena. Cukup diam saja, dan lihat betapa banyak orang yang ada di sisiku." Prangg! Selena terperanjat saat cawan lilin tersebut jatuh begitu saja ke lantai, sedangkan Mersya sengaja menumpahkan lelehan lilin yang masih panas itu ke salah satu tangannya. "Akhhhh! Kak Selena!" Selena berjengit, mengetahui apa yang tengah direncanakan oleh adik angkat bermuka duanya itu. "K-kau—" "Ada apa ini?" "Astaga, Mersya sayang!" Selena terpaku, kebingungan saat kedua orang tuanya melesak masuk ke kamarnya. Mereka menghampiri Mersya penuh kecemasan, mengabaikan eksistensi Selena yang mematung di tempat. Sang Marquees menoleh ke arahnya dengan sejumput kemarahan. "Apa yang kaulakukan terhadap Mersya, Selena?!" "A-apa? Aku? Aku tidak melakukan apa pun, Ayah! Tiba-tiba saja dia masuk ke sini dan—" "Aku ingin membantu meringankan beban pikiran Kak Selena, Ayah, Ibu. Tapi, Kak Selena malah memarahiku, masih menuduhku telah bermain api dengan Arthur sampai-sampai melempariku dengan cawan lilin ...." Mersya kembali menyuguhkan tangisnya, yang mana berhasil mengundang iba dari pasangan Erick-Marlinda. Selena menganga, tidak mengira jika Mersya berani mengambil langkah seterang-terangan ini. Tidak lain dan tidak bukan, Mersya sudah tidak peduli dengan status Selena. Adik angkatnya itu telah mendeklarasikan peperangan. "Ka-kau—" Plak! "Sadar, Selena! Sadar! Kau baru saja menyakiti saudaramu satu-satunya!" Selena merasakan panas mulai menjalari pipi kirinya. Bukan hanya itu saja, gadis itu tak kuasa membendung air matanya lagi bertepatan dengan tamparan yang dilayangkan oleh ibunya sendiri. "I-ibu, tapi aku tidak—" "Astaga! Kau harusnya bersyukur karena mempunyai adik seperti Mersya yang mau membantumu, Selena! Bukannya malah menyakitinya seperti ini!" "Ibu, aku tidak menyakitinya sama sekali! Dia yang melempar cawan lilin itu kepada dirinya sendiri!" Marlinda menggeleng tidak percaya, lekas membawa Mersya keluar dari kamar tersebut. "Ibu kecewa denganmu, Selena." "I-ibu ...." Sang ayah mengikuti, berhenti sejenak di samping Selena. Tatapan pria tegas itu seakan-akan menghakimi Selena sebagai anak paling durhaka di muka bumi ini. "Beristirahatlah, Selena. Kau memang penerus utama keluarga Douglass, tetapi kalau kau kehilangan setengah kewarasan seperti ini, bisa saja Mersya yang akan mengambil alih." Selena tersentak saat mendengar Sang Marquees berkata demikian. "Mersya?" Jadi, apakah yang dilakukannya selama ini tidak berarti apa-apa? •••••Tampan.Luar biasa tampan.Bahkan, Erick yang kurang ajar itu pun kalah tampan dengan sosok pria bertubuh kekar yang memesona di hadapan Selena saat ini."Siapa kau?" tanya pria itu lagi.Selena tersadar, lantas berdiri sambil merapikan debu yang tertinggal pada gaun kurang bahannya. Melihat bagaimana penampilan Selena saat ini, pria itu membuang muka sembari mendecih pelan."Ah, jangan bilang kalau kau adalah salah satu gadis panggilan dari Rumah Bordil Beruna? Kau ingin menggodaku? Percuma saja kau melakukan semua ini. Keluar dari tendaku, Nona."Selena mendongak, memberanikan diri menatap sepasang mata biru pria di hadapannya itu. "Permisi, tapi ... apakah kau tidak mengingat saya, Tuan Grand Duke?" tanya Selena pelan.Alis kanan pria itu meninggi, lantas memberi tatapan meremehkan yang sudah membuat Selena kesal duluan. Kalau saja dia tidak sedang dalam keadaan terjepit, mungkin dia akan melempari Jeffrey dengan sesuatu. Sayangnya, dia harus menahan keinginan tersebut untuk saat i
"Selena menghilang?"Asha mengangguk dengan berurai air mata. "Lady Douglass tidak ada di kamarnya saat saya memeriksa pagi ini, Tuan Marquees."Erick Douglass memiringkan kepala, lantas menatap sang istri yang tampaknya tidak terganggu sama sekali. "Belakangan, Selena memang sedikit terganggu kejiwaannya, Asha. Saya paham kalau kau adalah pelayan pribadi Selena yang sudah membersamai selama tujuh tahun ini, tetapi sepertinya Selena hanya sekadar melarikan diri untuk sementara saja."Asha hendak menimpali perkataan dari tuan besarnya itu, tetapi didahului oleh Marlinda yang berkata, "semalam Selena sudah kelewatan. Mungkin saja, dia hanya mencari udara segar untuk sementara waktu, Asha. Kau tidak perlu khawatir. Memangnya dia mau pergi ke mana? Dia tidak punya tujuan lain selain menetap di manor ini, Asha.""Teruskan saja pekerjaanmu, Asha! Terima kasih karena sudah memberi tahu, tapi saya yakin kalau Selena tidak apa-apa," sambung Erick tanpa beban sedikit pun.Asha menganga, tidak p
Selena tidak bisa memejamkan mata barang sedetik. Hari ini merupakan hari kehancuran yang tidak pernah akan dia terima. Tidak dipercaya oleh kedua orang tuanya sendiri, bahkan mendapatkan tamparan dari sang ibu yang selama ini sangat disayanginya. Di tengah lamunan yang membuat lupa waktu itu, Selena mendengar sesuatu yang berasal dari beranda kamarnya. Waspada, gadis itu berdiri sembari membawa salah satu cawan lilin terdekat. "Si-siapa di sana ...?" tanyanya yang hanya dibalas oleh embusan angin. Selena hendak memanggil pengawal yang berjaga di bagian lain manor, tetapi sadar bahwa mungkin pada saat ini tidak ada yang ditempatkan di dekat kamarnya. Kenyataannya, Selena tidak pernah benar-benar mendapatkan pengawalan ketat. Berbeda halnya dengan Mersya yang selalu mendapatkan apa pun yang terbaik dari kedua orang tuanya. Gadis itu tersenyum getir, menyadari jika hidupnya tidak lebih dari pajangan yang disetujui oleh keluarganya saja. Padahal, dia adalah anak kandung yang tersis
Malam itu, Selena merebahkan diri di ranjang lama mendiang saudara laki-lakinya. Sekarang, dia memutuskan untuk menempati kamar tersebut mulai dari sekarang. Dia tidak tahu, kenapa kedua orang tuanya bisa sangat membela Mersya melebihi dirinya sendiri yang merupakan putri kandung mereka.Selama ini, dia telah berusaha menjadikan nama keluarganya senantiasa eksis. Mendatangi beberapa pertemuan penting di istana sebagai perwakilan keluarga Marquees Douglass, bahkan menghadiri pesta-pesta perjamuan yang sebenarnya sangat menguras tenaga.Selena mendudukkan diri, memikirkan apa yang harus dilakukan supaya pertunangannya dengan Arthur batal. "Aku tidak mungkin menikah dengan seseorang yang bahkan sudah memiliki niat untuk menduakanku sebelum resmi menikah," gumamnya, mulai memutar otak.Setelah berpikir selama beberapa saat, gadis itu mengembuskan napas lelah. "Tidak ada yang percaya padaku ...."Selena ingin kembali menjatuhkan tangis, tetapi dia sudah terlalu lelah akan apa saja yang t
Seluruh anggota keluarga Marquees Douglass telah berada di ruang makan. Mereka menyantap makan siang dengan raut senang yang penuh kedamaian. Tidak lupa dengan kedatangan Arthur yang malah duduk di samping Mersya.Padahal, jelas-jelas kursi kosong yang belum Selena tempati itu seharusnya berada di samping Arthur. Namun, pria muda itu malah duduk dan bercakap bersama Mersya seakan-akan tidak punya dosa.Selena menarik napas, mempersiapkan diri sebelum menggerakkan tungkainya menuju ruang makan. Begitu derap heels-nya terdengar, beberapa pasang mata tertuju padanya dengan penuh keheranan."Selena? Kau terlambat makan siang, tidak biasanya. Lelah sehabis dari air terjun, ya?" tanya sang ibu yang terpaksa harus Selena abaikan untuk saat ini.Selena melangkah penuh kepastian, dengan satu tangan menyeret seprai yang didiami oleh bekas pergulatan panas Arthur dan Mersya tadi. Melihat apa yang dibawa oleh Selena, semua orang kebingungan."Kak Selena? Apa yang kau—""Kau lupa tidak menyeka cai
"Maaf, Selena. Tapi, kenyataannya aku tidak mencintaimu sama sekali. Aku mencintai Mersya lebih dari apa pun di dunia ini.""Selena, aku tidak bisa meneruskan pertunangan kita ini, aku mencintai adik angkatmu—Mersya.""Kita akhiri saja hubungan ini, Selena. Sejak awal, aku memang hanya mengincar nama keluargamu saja, aku malah jatuh cinta kepada adik angkatmu karena dia lebih cantik dan cerdas daripada dirimu."Selama ini, Selena selalu mendapatkan penolakan dari para tunangannya dengan alasan yang sama; mereka semua menyukai adik angkatnya—Mersya.Setiap kali hal semacam itu terjadi, Selena akan mengurung diri di kamar sampai sepekan lamanya, lantas keluar setelah merasa bahwa lebih baik dia berdamai dengan situasi yang ada.Akan tetapi, dia tidak pernah melihat penolakan secara terang-terangan yang terlihat menjijikan di depan matanya ini.Sang adik angkat berciuman dengan tunangan terbarunya di kamarnya sendiri."Arthur, bagaimana kalau Selena tahu? Aku tidak mau membuatnya sedih l