"Tentu saja aku ingin datang ke rumah sahabatku... Ehh, ups, sahabat? Apa kita memang bersahabat, ya?" kata Joey dengan wajah polosnya.
"Berani-beraninya kau datang ke rumahku, anak culun." Sandi geram. Dan Joey mengerut dahinya.
"Rumahmu? Perlu diralat kata-katamu, yang betul adalah rumah orang tuamu, dan kamu hanyalah anak dari orang tuamu, jadi bisa dianggap kamu salah satu penumpang di rumah orang tuamu." Kata Joey yang ia buat seperti layaknya guru mengajari muridnya.
Sandi tertawa garing mendengarnya. Lalu ia tersenyum mengejek, "Wah... rupanya kau sudah berani ya? Kau datang kesini ingin mati?"
Joey menghela nafasnya, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya seakan lelah.
"Tidak, aku tidak ingin mati. Aku datang kesini karena ingin makan," ucap Joey, "BUGH!" Tiba-tiba Joey memukul Sandi dengan keras.
"Argghh!" Tubuh Sandi terjatuh dan duduk di lantai. Tangannya memegang lehernya.
Lehernya sakit karena mendapat pukulan mendadak yang dilancarkan cepat oleh Joey.
"Tenanglah, itu takkan membuatmu mati." ucap Joey sambil tersenyum.
Sandi terbatuk-batuk. Joey berjongkok di hadapan nya, ia tersenyum menyeringai.
"Sepertinya aku datang kemari bukan hanya ingin makan."
Tangan Joey mencengkram wajah Sandi dan mendorongnya dengan keras, "BUGH!"!
Seketika Sandi pingsan setelah Joey menghantamkan kepala belakangnya ke lantai.
Joey menghela nafasnya melihatnya. "Ahhhh… gak seru, malah pingsan."
"BYUR!" Sandi tersadar setelah diguyur air. Ia merasakan sakit di belakang kepalanya.
Ia melihat sekelilingnya, ternyata ia duduk di kursi kayu di dalam kamarnya, lehernya masih sakit. Sandi Ingin berdiri, namun tak bisa bergerak. Ternyata kedua tangannya dan kedua kakinya terikat di kursinya. Ia melihat jam dinding yang ada di dalam kamarnya, jam sudah menunjukan jam setengah 12 malam.
"Sudah bangun?"
Sandi menolehkan kepalanya, ia terbelalak melihat Joey di depannya yang sedang duduk santai di kursi sofa single miliknya.
"Hmpp… Hmpp terus..." ingin berkata kasar, tapi apa daya, mulutnya di lakban rapat.
"Sial, kenapa dia bisa berbuat begini padaku?" batin Sandi.
"Kamu bicara apa? Aku tidak mendengarnya," tanya Joey sambil meletakkan telapak tangannya di telinganya, seakan-akan ia tak mendengar.
"Hmpp.. . Hmpp…"
"Kalau punya mulut digunakan dong," kata Joey menggeleng-gelengkan kepalanya seakan ia lelah dengan lawan bicaranya.
Sandi berontak, namun tak bisa, ia melotot ke arah Joey, "Hmpp... Hmpp…"
"Kubunuh kau culun sialan!" Sandi membatin dengan tatapan bencinya.
"Ahh... aku ingin bermain," lalu ia berdiri, ia berjalan mendekati meja belajar. Ia mengambil pisau dapur yang sudah ia ambil dari dapur.
"Aku jadi teringat, awal pertama kali masuk kampus saat ospek. Dari situ, aku sudah mulai di bully oleh kalian." kata Joey sambil memutar-putar pisaunya.
Ia kembali mengingat semua ingatan pemilik tubuhnya. Sungguh miris, bully tiada henti. Namun ia kadang kagum kepada sang pemilik tubuhnya.
Selalu dibully tapi masih kuat untuk bertahan. Sungguh hebat, Demi meraih impian ia rela melewati rintangan, salut rasanya kepada pemilik tubuhnya. Kalau ia menjadi dirinya, sekali dibully pasti akan langsung dibalas.
Mungkin kalau orang lain pasti ingin pindah kampus atau bunuh diri, karena tak tahan dibully terus.
"Tapi sekarang, aku ingin memberitahumu rasa sakit yang nyata. Dan kamu pasti akan menikmati rasa sakitnya." Joey perlahan mendekati dengan tangannya yang masih memutar-putarkan pisaunya.
Kedua mata Sandi melebar sempurna, ia menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat Joey yang sudah berjongkok di depannya.
"Hmpp… Hmpp…"
"Jangan-jangan!"
Dengan perlahan Joey menusuk kecil dengan ujung pisaunya di salah satu punggung kaki Sandi. Lalu ia memutar-putarkan pisaunya dengan pelan.
"Hmp... Hmp..."
"Arrggghhh kakiku...."
Kemudian pisaunya pindah, Joey mengores sebuah garisan di salah satu lengan tangannya Sandi. Dan tentunya saja Sandi berontak kesakitan. Joey meletakan telunjuk jarinya di bibirnya.
"Sssttt... Jangan bergerak, nanti lenganmu tambah sakit. Jadi kamu tahan ya." ucapnya dengan nada pelan, namun menyeramkan.
Joey tersenyum simpul dengan wajah polosnya, ia membuat luka garisan di kulit lengan Sandi. Sandi berontak kesakitan, Joey menghentikan aktivitasnya, Ia melihat luka di punggung kaki dan di lengan Sandi, memang tak dalam, tapi lukanya cukup mengeluarkan darah, ia terkekeh.
Dengan jari telunjuknya, Joey menyentuh tetesan darah Sandi yang keluar, lalu ia menjilatnya.
"Hmm… darahmu rasanya lumayan juga. Tidak seperti darah orang yang kubunuh 2 hari yang lalu."
Sandi terdiam, beberapa detiknya, ia terbelalak mengingat berita tentang pembunuhan yang telah diberitakan 2 hari yang lalu.
Joey terkekeh melihatnya, "Kenapa? Kamu kaget?"
"Tidak mungkin." batin Sandi menatap sosok Joey yang benar-benar sangat berbeda yang ia kenal.
Joey berdiri dari jongkoknya, salah satu tanganya memegang dagunya, dan tangan satunya masih menggenggam pisau.
Joey terlihat sedang berpikir, "Sekarang, aku bingung, tubuhmu layaknya dilukis apa ya?"
Sandi terbelalak, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Sandi ketakutan. Sosok yang ia kenal, sekarang benar-benar mengerikan, ia jadi teringat cerita Rangga dan Hendrik. Namun sekarang, melihat sosok Joey yang sekarang.
Sandi jadi teringat salah satu film, tokoh utamanya punya musuh yang bernama Joker, "Orang Jahat adalah Orang Baik yang Tersakiti, benarkah itu?"
"Psychopath." Sandi membatin, ia benar-benar ketakutan yang amat luar biasa.
Joey kembali duduk di sofa, ia terkekeh melihat Sandi.
Lalu ia menghela nafasnya, ia memasang wajah polosnya dengan senyuman, "Aku punya penawaran untukmu."
Keesokan Harinya. Seperti biasa, Joey berangkat ke kampusnya untuk kuliah. Semua pandangan yang melihatnya adalah hal yang sudah tak asing, dari penampilannya khas dirinya sebagai laki-laki culun. Semua mahasiswa dan mahasiswi hanya menatapnya lalu mengalihkan pandangan mereka. Semua mengabaikannya. Hal itu benar-benar sudah biasa bagi Joey. Di tempat Parkir. Rifky dan gengnya seperti biasa nongkrong di parkiran sebelum jam masuk, hanya saja Sandi belum terlihat. Rifky dan gengnya menatap mengejek saat melihat Joey sudah masuk ke kelasnya. "Anak itu, masih berani menampakan dirinya. Padahal sudah berkali-kali kita mengganggunya." ucap Richard terkekeh. Rifky mengangguk kepalanya. "Ya, aku salut keberaniannya." Rangga, dan Hendrik tertawa kecil, tapi tertawa mereka berdua hanya dibuat-buat, karena mereka masih heran dengan kelakuan Joey. Beberapa saat kemudian, sebuah mobil datang. Pintu belakang terbuka. Ternyata Sandi, yang turun dari mobil.
Spontan dengan wajah lesunya, Sandi pasrah mengangguk kepalanya. Joey tersenyum melihatnya, "Wah, tak terduga, ternyata kamu mau." Joey berjalan mendekati Sandi, dengan pisaunya ia melepaskan tali rafia yang mengikat Sandi. Tatapan mata Sandi langsung menatap Joey. Tapi Joey sudah bergerak cepat lebih dulu. Ujung pisaunya sudah didepan mata Sandi dengan jarak 1 cm. "Kamu ingin melawan?" tanya Joey dingin, tatapan kedua matanya adalah tatapan pembunuh. Terasa seperti aura membunuh yang mencengkram yang dirasakan oleh Sandi. Ia menelan salivanya. Sandi sudah terlepas dari ikatannya. Sandi masih duduk di kursi kayunya. Joey berdiri dihadapannya, ia juga telah selesai menghubungkan GPS hpnya dengan hp milik Sandi. "Besok langsung saja kerjakan tugasmu. Cari alasan jika teman-temanmu bertanya tentang kondisimu. Tapi kalau kamu berniat menceritakan semua tentang pertemuan kita ini, silahkan saja. Mungkin Rangga dan Hendrik sedikit percaya, tapi bagaimana dengan
Entah apa yang dirasakan istrinya itu, Wanita itu merasa tak asing dengan wajah Joey, dan merasa ada hubungan. Tapi apa hubungan itu? Sekilas wanita itu teringat masa lalunya, tapi ia harus menepisnya. Karena tak ingin suaminya kecewa padanya, karena telah berjanji untuk melupakan masa lalunya. Sedangkan di sisi Joey, ia dari tadi merasa tak asing dengan wanita tadi. Namun ia risih saat dirinya ditatap secara intens olehnya. "Cih, diliat-liat seperti itu, rasanya aku ingin melempar air cucian piring ke wajahnya." batin Joey. — Hari telah malam. Acara ulang tahun dari anak gadis orang kaya telah selesai. Semua pengunjung telah pulang. Semua karyawan membereskan sisa-sisa dari acara. Setelah selesai, jam juga telah menunjukan jam 11 malam. Semua karyawan telah siap untuk pulang. Mereka akan mendapat bonus saat gajian, semua kembali pulang dengan kendaraan mereka masing-masing. Joey memilih berjalan kaki, ia kini sudah duduk di kursi halte. Ia seda
Sarah menjalankan mobilnya. Sarah mengendarai mobilnya dengan kecepatan standar, hari memang sudah malam. Tiba-tiba di dari jaraknya, Sarah bisa melihat ke depan. Yang ia lihat suasana ramai, dan jalan macet. "Sepertinya jalannya macet deh." kata Sarah. "Iya, sepertinya ada kecelakaan." kata Nita. "Terus bagaimana?" tanya Angelica. "Kayaknya kita harus muter, lewat jalan yang itu." kata Sarah. "Kamu yakin, kita lewat sana, jam segini jalan sudah sepi loh." kata Nita. "Dari pada kita ikut kejebak macet." ucap Sarah. Angelica dan Nita hanya mengiyakan, karena hari sudah malam, terpaksa mereka harus lewat jalan lain. Sarah pun membalikan mobilnya ke arah jalan lain, meski jauh, tapi ia juga tak mau terjebak macet. Jalan itu tidak ramai, melainkan sepi. Tidak lewat kota, melainkan mereka akan lewat pinggir kota, dan jalannya seperti lewat hutan. — Saat ditengah perjalanan, Sarah menghentikan mobilnya. Ia melihat ada orang laki-lak
Sarah tak menjawab, ia menangis, tapi ia menurut. Sarah berdiri, Joey langsung menggenggam tangannya. Mereka berjalan mendekati Nita dan Angelica yang masih duduk di tanah. Joey menyuruh Sarah untuk duduk bersama Angelica dan Nita. Kini ketiga gadis mahadewi tengah duduk di tanah. Dan Joey tengah berdiri di hadapan mereka bertiga. Sosok Joey yang sekarang bukanlah sosok culun yang mereka kenal saat di kampus. Saat di kampus yang mereka kenal adalah laki-laki culun. Tapi sekarang, sisi lain dari laki-laki yang terkenal culun. "Kalian bertiga, bisakah jangan menundukkan wajah kalian?" kata Joey melihat ketiga gadis itu menunduk tak berani melihatnya. Ketiga gadis itu diam, tak berani menjawab, dan tak merespon kata-kata Joey. Joey pun berjongkok, "Bukankah kalian tidak tuli? Sepertinya kalian memang ingin kubuat tuli beneran ya?" Seketika mereka bertiga mendongak mendengar kata-kata Joey yang menyeramkan didengar. Kini mereka tak menunduk wajahnya. Ket
Seketika Angelica menegang mendengar kata-kata Joey. Bahkan Nita, dan Sarah terkejut bukan main. Joey memegang dagunya seakan ia sedang berpikir. "Hmm... Tapi sepertinya lebih asik kalau aku memperkosa kalian bertiga sebelum kubunuh." "DEG!" Mendengar kata-kata Joey yang begitu santai tanpa dosa, seketika Angelica, Nita, dan Sarah menegang. Joey tersenyum melihat ketegangan yang dirasakan ketiga gadis yang dikenal the most wanted di kampusnya itu. Joey terkekeh melihatnya, "Lihatlah, kalian bertiga cuma mendengar kata-kata sederhana saja kalian sudah terdiam membisu, hahaha..." ucap Joey sambil tertawa. Kata-kata sederhana? Yang benar saja. Kata-kata Joey itu sudah sangat terdengar mengerikan di telinga mereka bertiga. Hahaha… baiklah, cukup sampai disini saja. Aku ingin pulang, ini sudah malam." Ucap Joey setelah menghentikan tawanya. Joey mengembalikan ponsel mereka bertiga, lalu membuka pintu mobil. Ia pun turun, namun sebelum menutupnya kemb
"DEG!" Seketika, wajah mereka bertiga menegang. Perlahan mereka menoleh kepalanya ke arah sumber suara itu. Terlihat Joey sedang berdiri santai di ujung parkiran sambil tersenyum. Ditambah penampilannya yang dibuat-buat untuk mencerminkan penampilannya. Laki-laki berpenampilan culun itu bersuara, "Cobalah, cek ponsel kalian, ada berita heboh." Joey terkekeh, kebetulan tempat parkir sangat sepi, hanya mereka berempat. Joey masih diam di tempatnya, ia ingin melihat reaksi ketiga gadis cantik itu. Angelica cepat-cepat membuka ponselnya, ia browsing untuk melihat berita terbaru. Seketika Angelica terbelalak setelah membaca berita, Sarah dan Nita penasaran. Sarah mengambil ponsel Luara lalu ia membacanya, dan Nita juga ikut membacanya. Ternyata berita pembunuhan dua preman langsung menjadi berita utama. Para polisi dan pihak lainnya menangani kasus itu. Mereka menemukan sidik jari di pakaian dan di lengan salah satu mayat. Dan mereka juga menemukan rekaman CCTV
Di sebuah rumah sederhana, di dalamnya, terlihat Joey tengah duduk di santai sambil minum kopi. Rumah itu adalah rumah yang dibeli oleh Joey. Ia membelinya dengan yang dari hasil uang yang ia rampas dari salah satu koruptor. Tentu saja nasib koruptor itu telah ia bunuh dengan cara sama sadisnya. Semua trik untuk tak dicurigai, dengan mudah ia lakukan. Kini ia terkekeh, sambil mengingat kejadian beberapa jam yang lalu, saat ia di introgasi di kantor Polisi. Dengan mudah dan pandainya ia bersandiwara. Di kehidupan sebelumnya, hal itu sudah biasanya. Ditambah tubuh yang ia tempati adalah laki-laki culun yang berprestasi. Dengan pikiran liciknya dan otak cerdas dari pemilik tubuhnya. Sudah pasti ia bisa merencanakan hal sesuatu yang mudah. Dengan penampilan polosnya, itu bisa menutupi sosok aslinya. Saat tengah-tengah menikmati kesendiriannya dengan segelas kopi, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Joey segera membuka ponselnya, dan membaca pesan masuk, ternyata dari Sand