Share

Bab 14.

     "Tentu saja aku ingin datang ke rumah sahabatku... Ehh, ups, sahabat? Apa kita memang bersahabat, ya?" kata Joey dengan wajah polosnya.

     "Berani-beraninya kau datang ke rumahku, anak culun." Sandi geram. Dan Joey mengerut dahinya.

     "Rumahmu? Perlu diralat kata-katamu, yang betul adalah rumah orang tuamu, dan kamu hanyalah anak dari orang tuamu, jadi bisa dianggap kamu salah satu penumpang di rumah orang tuamu." Kata Joey yang ia buat seperti layaknya guru mengajari muridnya.

     Sandi tertawa garing mendengarnya. Lalu ia tersenyum mengejek, "Wah... rupanya kau sudah berani ya? Kau datang kesini ingin mati?"

     Joey menghela nafasnya, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya seakan lelah.

     "Tidak, aku tidak ingin mati. Aku datang kesini karena ingin makan," ucap Joey, "BUGH!" Tiba-tiba Joey memukul Sandi dengan keras.

     "Argghh!" Tubuh Sandi terjatuh dan duduk di lantai. Tangannya memegang lehernya.

     Lehernya sakit karena mendapat pukulan mendadak yang dilancarkan cepat oleh Joey.

     "Tenanglah, itu takkan membuatmu mati." ucap Joey sambil tersenyum.

     Sandi terbatuk-batuk. Joey berjongkok di hadapan nya, ia tersenyum menyeringai.

     "Sepertinya aku datang kemari bukan hanya ingin makan."

     Tangan Joey mencengkram wajah Sandi dan mendorongnya dengan keras, "BUGH!"!

     Seketika Sandi pingsan setelah Joey menghantamkan kepala belakangnya ke lantai.

     Joey menghela nafasnya melihatnya. "Ahhhh… gak seru, malah pingsan."

     "BYUR!" Sandi tersadar setelah diguyur air. Ia merasakan sakit di belakang kepalanya.

     Ia melihat sekelilingnya, ternyata ia duduk di kursi kayu di dalam kamarnya, lehernya masih sakit. Sandi Ingin berdiri, namun tak bisa bergerak. Ternyata kedua tangannya dan kedua kakinya terikat di kursinya. Ia melihat jam dinding yang ada di dalam kamarnya, jam sudah menunjukan jam setengah 12 malam.

     "Sudah bangun?"

     Sandi menolehkan kepalanya, ia terbelalak melihat Joey di depannya yang sedang duduk santai di kursi sofa single miliknya.

      "Hmpp… Hmpp terus..." ingin berkata kasar, tapi apa daya, mulutnya di lakban rapat.

     "Sial, kenapa dia bisa berbuat begini padaku?" batin Sandi.

     "Kamu bicara apa? Aku tidak mendengarnya," tanya Joey sambil meletakkan telapak tangannya di telinganya, seakan-akan ia tak mendengar.

     "Hmpp.. . Hmpp…"

     "Kalau punya mulut digunakan dong," kata Joey menggeleng-gelengkan kepalanya seakan ia lelah dengan lawan bicaranya.

     Sandi berontak, namun tak bisa, ia melotot ke arah Joey, "Hmpp... Hmpp…"

     "Kubunuh kau culun sialan!" Sandi membatin dengan tatapan bencinya.

     "Ahh... aku ingin bermain," lalu ia berdiri, ia berjalan mendekati meja belajar. Ia mengambil pisau dapur yang sudah ia ambil dari dapur.

     "Aku jadi teringat, awal pertama kali masuk kampus saat ospek. Dari situ, aku sudah mulai di bully oleh kalian." kata Joey sambil memutar-putar pisaunya.

     Ia kembali mengingat semua ingatan pemilik tubuhnya. Sungguh miris, bully tiada henti. Namun ia kadang kagum kepada sang pemilik tubuhnya.

     Selalu dibully tapi masih kuat untuk bertahan. Sungguh hebat, Demi meraih impian ia rela melewati rintangan, salut rasanya kepada pemilik tubuhnya. Kalau ia menjadi dirinya, sekali dibully pasti akan langsung dibalas.

     Mungkin kalau orang lain pasti ingin pindah kampus atau bunuh diri, karena tak tahan dibully terus.

     "Tapi sekarang, aku ingin memberitahumu rasa sakit yang nyata. Dan kamu pasti akan menikmati rasa sakitnya." Joey perlahan mendekati dengan tangannya yang masih memutar-putarkan pisaunya.

     Kedua mata Sandi melebar sempurna, ia menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat Joey yang sudah berjongkok di depannya.

     "Hmpp… Hmpp…"

     "Jangan-jangan!"

     Dengan perlahan Joey menusuk kecil dengan ujung pisaunya di salah satu punggung kaki Sandi. Lalu ia memutar-putarkan pisaunya dengan pelan.

     "Hmp... Hmp..."

     "Arrggghhh kakiku...."

     Kemudian pisaunya pindah, Joey mengores sebuah garisan di salah satu lengan tangannya Sandi. Dan tentunya saja Sandi berontak kesakitan. Joey meletakan telunjuk jarinya di bibirnya.

     "Sssttt... Jangan bergerak, nanti lenganmu tambah sakit. Jadi kamu tahan ya." ucapnya dengan nada pelan, namun menyeramkan.

     Joey tersenyum simpul dengan wajah polosnya, ia membuat luka garisan di kulit lengan Sandi. Sandi berontak kesakitan, Joey menghentikan aktivitasnya, Ia melihat luka di punggung kaki dan di lengan Sandi, memang tak dalam, tapi lukanya cukup mengeluarkan darah, ia terkekeh.

     Dengan jari telunjuknya, Joey menyentuh tetesan darah Sandi yang keluar, lalu ia menjilatnya.

     "Hmm… darahmu rasanya lumayan juga. Tidak seperti darah orang yang kubunuh 2 hari yang lalu."

     Sandi terdiam, beberapa detiknya, ia terbelalak mengingat berita tentang pembunuhan yang telah diberitakan 2 hari yang lalu.

     Joey terkekeh melihatnya, "Kenapa? Kamu kaget?"

     "Tidak mungkin." batin Sandi menatap sosok Joey yang benar-benar sangat berbeda yang ia kenal.

     Joey berdiri dari jongkoknya, salah satu tanganya memegang dagunya, dan tangan satunya masih menggenggam pisau.

     Joey terlihat sedang berpikir, "Sekarang, aku bingung, tubuhmu layaknya dilukis apa ya?"

     Sandi terbelalak, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Sandi ketakutan. Sosok yang ia kenal, sekarang benar-benar mengerikan, ia jadi teringat cerita Rangga dan Hendrik. Namun sekarang, melihat sosok Joey yang sekarang.

      Sandi jadi teringat salah satu film, tokoh utamanya punya musuh yang bernama Joker, "Orang Jahat adalah Orang Baik yang Tersakiti, benarkah itu?"

     "Psychopath." Sandi membatin, ia benar-benar ketakutan yang amat luar biasa.

     Joey kembali duduk di sofa, ia terkekeh melihat Sandi.

     Lalu ia menghela nafasnya, ia memasang wajah polosnya dengan senyuman, "Aku punya penawaran untukmu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status