Share

Bab 351

Penulis: Emilia Sebastian
“Kenapa kamu nggak berbaring dengan baik dan lanjut istirahat?”

Adika melangkah maju dengan cepat. Ketika hendak mengulurkan tangan untuk memapah Syakia, dia baru menyadari bahwa Hala sedang memapah Syakia dari belakang. Hanya saja, Hala terhalang oleh pintu sehingga orang di luar tidak dapat melihatnya.

Syakia menahan tangan Adika, lalu tersenyum. “Nggak usah. Aku sudah berbaring terlalu lama di kereta kuda sampai badanku terasa kaku. Sekarang, aku mau meregangkan otot tubuh. Lagian, aku sudah nggak apa-apa. Aku sudah baikan setelah minum obat.”

‘Bohong! Kalau kamu benar-benar sudah nggak apa-apa, mana mungkin kamu suruh Hala diam-diam memapahmu,’ gumam Adika dalam hati.

Adika tahu bahwa Syakia hanya bersandiwara di depan para pejabat ini. Pada akhirnya, dia pun menarik kembali tangannya yang terulur sampai setengah.

“Saat ini, tempat yang situasinya paling parah di Lukati adalah Kabupaten Nirila. Tapi, ada Bupati Nugraha yang berjaga di sana. Meski Pasukan Bendera Hitam yang kubawa c
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 454

    Seusai berbicara, Panji pun mendengus dalam hati. Dia hanya merasa penasaran dan ingin mendengar usul teman-temannya itu. Bagaimanapun juga, dia bukanlah orang bodoh. Sekelompok orang ini bukanlah teman sejatinya. Mana mungkin dia percaya usul mereka benar-benar adalah demi kebaikannya?Ketika Panji berpikiran seperti itu, seseorang berjalan mendekatinya, lalu membisikkan sesuatu kepadanya. Awalnya, ekspresi Panji masih terlihat acuh tak acuh. Namun, setelah mendengar bisikan temannya, matanya tiba-tiba membelalak dan terlihat agak berbinar. Dia juga tenggelam dalam pikirannya.“Gimana? Apa kamu mau coba?” tanya pemuda itu sambil tersenyum licik setelah menyadari perubahan ekspresi Panji.Setelah bimbang sejenak, Panji menoleh dan melirik kereta kuda kecil yang berhenti di pinggir jalan itu. Entah apa yang dipikirkannya, ada kebencian yang melintasi matanya. Kemudian, dia berkata, “Ayo kita turun dan lihat situasinya!”“Oke!”“Ayo jalan!”“Akan ada pertunjukan seru, nih!”Begitu Panji

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 453

    “Lihat saja, dia langsung marah, ‘kan?”“Jangan marah dong. Kita itu teman. Kami cuma bercanda kok.”“Benar, Panji. Kalau itu nggak benar, buat apa kamu marah?”Beberapa pemuda itu memberi isyarat mata pada satu sama lain, lalu langsung membuat Panji bungkam.Panji berseru marah, “Itu memang nggak benar kok! Siapa suruh kalian bicara sembarangan! Kalau kalian masih berani asal bicara, jangan salahkan aku bertindak kasar sama kalian!”“Woi, Panji, kami sudah bilang kami cuma bercanda. Buat apa kamu semarah itu?”“Makanya! Siapa suruh kamu langsung lari begitu melihatnya. Kami kan jadi salah paham.”“Kalau itu memang nggak benar. Kamu buktikan saja pada kami.”“Benar! Lagian, bukankah orangnya lagi ada di bawah?”Sekelompok orang itu mulai membuat keributan.Setelah melihat Syakia, suasana hati Panji pada dasarnya sudah kurang bagus. Sekarang, suasana hatinya bertambah buruk lagi.Panji menjulingkan matanya pada teman-temannya itu. “Jangan kira aku nggak tahu kalian cuma mau mempermaluka

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 452

    Setelah menyelesaikan kelas pagi keesokan harinya, Syakia pun meminta izin pada Shanti, lalu membawa 2 hadiah itu turun gunung dan melaju ke ibu kota.Adika awalnya hendak mengirim kereta kuda untuk Syakia, tetapi Syakia menolaknya. Dia sudah memiliki kereta kuda kecil sendiri. Untuk apa dia masih merepotkan Adika?Jadi, Syakia hanya membawa Eira. Mereka bahkan tidak memanggil kusir dan melaju masuk ke ibu kota secara perlahan dengan menaiki kereta kuda kecil itu.“Hei, Hei! Panji, cepat lihat ke bawah!”Di lantai atas sebuah rumah makan yang terletak di sisi jalanan yang ramai, terlihat seorang pemuda sedang bersandar di ambang jendela. Dia tiba-tiba melihat sesuatu di bawah, lalu segera menarik pakaian Panji.Panji sedang minum arak. Berhubung pakaiannya tiba-tiba ditarik orang, dia pun berkata dengan kesal, “Duh, kamu ngapain sih? Kamu nggak lihat aku lagi minum arak? Bajuku sudah kecipratan arak!”“Ya ampun! Itu benar-benar dia! Panji, jangan minum lagi! Cepat lihat! Yang ada di ba

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 451

    Gerakan kuda-kuda memang adalah latihan yang paling mendasar. Namun, sepasang kaki Syakia sudah sangat pegal padahal dia baru mempertahankan posisinya tidak sampai 15 menit.“Masih bisa bertahan?” tanya Adika setelah menyadari ada selapis keringat yang membasahi wajah Syakia.“Bisa,” jawab Syakia sambil menggertakkan gigi.Adika mengangguk tanpa membujuk Syakia untuk menyerah. Dia lanjut mengawasi gerakan Syakia sambil mengoreksi gerakan Syakia ketika menyimpang. Dia juga tidak berhenti memperhatikan ekspresi Syakia.Sekitar 15 menit kemudian, Adika baru bertanya lagi, “Masih bisa bertahan?”Syakia mengangkat kedua tangannya dan menjawab dengan menggertakkan gigi, “Bi ... bisa.”Meskipun merasa kaki dan tangannya sudah hampir mati rasa, Syakia merasa dirinya masih bisa lanjut bertahan.Adika pun merasa agak terkejut, tetapi masih tetap hanya mengangguk. Setelah hampir 15 menit lagi, Adika tidak lagi bertanya, melainkan langsung berkata, “Sudah, istirahat saja dulu.”Pada saat ini, Syak

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 450

    “Emm, selain para petani, pekerjakan juga beberapa pengawal di setiap tempat. Setelahnya, kalau masih ada yang berani datang untuk menghancurkan ladang obat seperti sebelumnya, nggak peduli siapa pun itu, langsung tangkap mereka dan kirim mereka ke pengadilan.”“Baik. Nona tenang saja. Aku sudah pilih kelompok orang pertama. Mereka semua akan segera ditugaskan.”Efisiensi kerja Yanto sangat baik.Setelah mendengar semua laporan dari Yanto, Syakia berpura-pura masuk ke dapurnya, lalu menjinjing keluar sebuah ember.“Ember ini berisi cairan obat yang kuracik. Setelah diencerkan, siramlah ke semua ladang obat. Obat ini bisa meningkatkan peluang hidup dan khasiat obat herbal.”Setengah dari isi ember kayu itu adalah air spiritual dari sungai dalam ruang giok. Demi menyembunyikan jejaknya, Syakia sengaja meracik cairan obat yang dapat menjaga kesegaran tanaman. Setelah mencampurkannya dengan air spiritual, warnanya pun berubah menjadi hijau tua dan sama sekali tidak terlihat mencurigakan.“

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 449

    “Ucapanmu benar-benar nggak masuk akal!” Abista menatap Ranjana dengan tidak percaya. “Apanya yang memperlakukanmu layaknya orang normal? Siapa di antara kami yang nggak memperlakukanmu layaknya orang normal?”“Lagian, kalau Syakia memang merasa risih padamu, mana mungkin dia menjagamu selama itu? Meski dia nggak berjasa, dia juga sudah banyak berkorban! Tapi, semua itu tetap nggak bisa menukar sedikit pun perasaan darimu?”“Sudah kubilang, aku nggak membencinya. Tapi, cuma sebatas itu. Itu juga karena aku menghargai usahanya merawatku selama ini,” ujar Ranjana dengan acuh tak acuh. Nadanya terdengar bagaikan sedang memberi belas kasihan.Abista tidak dapat mendengarnya lagi. “Kamu benar-benar ... benar-benar nggak tertolong lagi!”Berhubung sangat marah, Abista langsung mengibaskan lengan pakaiannya dan langsung pergi.“Kak, obatmu ...,” seru Ranjana.Sayangnya, Abista sudah berjalan keluar dengan cepat dan meninggalkan area tempat tinggal Ranjana tanpa menoleh lagi.Ranjana memegang

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 448

    Ranjana menjawab dengan acuh tak acuh, “Aku cuma nggak taruh perasaan apa pun padanya. Memangnya ada peraturan di keluarga ini yang mengharuskan bahwa sesama saudara harus punya perasaan yang mendalam?”Tentu saja tidak ada peraturan seperti itu. Namun, sikap Ranjana terhadap Syakia dulu tidak begini. Abista yang merasa ada kesalahpahaman di antara mereka pun hendak mengorek masalahnya.Abista lanjut bertanya, “Apa ada yang dilakukan Syakia? Atau ada rumor apa yang kamu dengar?”Ranjana yang merasa agak kesal menghentikan gerakan tangannya lagi.“Baiklah, berhubung Kakak bersikeras mau tahu, aku akan memberitahumu. Tapi, aku cuma akan mengatakannya sekali. Kelak, jangan pernah ungkit hal ini lagi di depanku.”“Oke, katakanlah,” jawab Abista sambil mengangguk.Ranjana berujar dengan tenang, “Dulu, sikapku terhadap Syakia memang nggak begini. Gimanapun, waktu itu, aku sering sakit dan dia yang selalu menjagaku. Secara logika, hubungan di antara kami seharusnya lumayan bagus. Sayangnya, a

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 447

    Ranjana mendongak dan meliriknya sejenak sebelum menjawab, “Iya, Ayu memberikannya padaku 2 hari lalu.”Kemudian, Ranjana menyadari sesuatu dan bertanya sambil menatap Abista, “Ayu juga memberikannya pada Kakak?”Abista mengangguk dan tidak mengatakan apa-apa lagi.Setelah menyadari sikap dingin Abista terhadap Ayu, Ranjana pun bertanya, “Kak, Ayu memang sudah melakukan kesalahan. Tapi, dia sudah menyadari kesalahannya.”Abista memandang pot bunga itu sambil menjawab dengan acuh tak acuh, “Mungkin saja.”“Bukan mungkin, tapi benar.”Ranjana menghentikan gerakannya dan lanjut berkata, “Kak, Ayu pada dasarnya sangat polos. Apalagi, dia juga tumbuh besar di luar. Wajar saja dia berbuat salah. Bukankah yang penting dia menyesal dan mengoreksi diri? Buat apa Kakak permasalahkan hal itu dengannya?”“Polos?” Setelah mendengar ucapan itu, Abista menoleh dan bertemu pandang dengan Ranjana. “Ranjana, kamu benar-benar merasa Ayu polos?” tanya Abista sambil menatap mata Ranjana lekat-lekat.Ranja

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 446

    Setelah melihat pemikiran Ayu akhirnya terbuka juga, Damar baru mengangguk pelan. “Emm. Lakukanlah sesuai perintahku. Untuk sementara, jangan cari masalah dengan Syakia lagi. Ketika waktunya sudah tepat, apa kamu masih perlu takut nggak bisa balaskan dendammu?”“Emm! Ayah, terima kasih atas bimbinganmu!”“Ranjana, bantulah adikmu dengan baik. Kuserahkan hal ini pada kalian. Ini kesempatan terakhir kalian. Kalau kalian membuat masalah lagi, jangan salahkan aku bertindak kejam.”“Baik, Ayah!”...Setelah meninggalkan tempat tinggal Ayu, Ranjana berjalan kembali ke tempat tinggalnya sambil berpikir. Tepat pada saat ini ....“Duk!”“Hk!”“Sakit sekali!”Ranjana menabrak seseorang, lalu tubuhnya yang lemah langsung jatuh ke belakang. Untungnya, jatuhnya ini tidak serius. Begitu mendongak, dia melihat orang yang ditabraknya ternyata adalah Abista.“Kak Abista? Kamu nggak apa-apa, ‘kan? Tadi, aku lagi mikirin sesuatu, jadinya nggak perhatikan jalan.”Ranjana bangkit dari lantai, lalu mengulur

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status