Bu Halimah memandang anaknya dengan tatapan iba, bagaimana dia akan bertanya tentang kehamilan anaknya disituasi berat begini. [Rima baik-baik saja. kamu kapan bisa pulang, Nak?] [Pekerjaan sudah selesai lebih cepat, Bu. Sekarang saya seang dalam perjalanan, perasaan saya tidak enak saat ini, jadi memutuskan untuk langsung pulang. oya, Bu. Boleh saya bicara dengan Rima?] Permintaan James membuat wanita paruh baya itu dilema, meski dia senang mendengar, jika James akan segera pulang. Namun, Bu Halimah bingung harus menyampaikan permintaan menantunya, saat melihat sang anak masih termenung dalam kesedihan. [Lebih baik kamu langsung pulang, Rima lagi sedikit mual-mual. kamu hati-hati, ya, di jalan. Banyak orang yang bergantung padamu, termasuk Rima.] Bu Halimah berusaha menyembunyikan perasaan sedihnya, berharap semua kan baik-baik saja. Setelah sedikit berbincang, Bu Halimah mengakhiri panggilan telepon. Setitik airmata, turun perlahan di wajahnya yang mulai dipenuhi dengan keriput.
Bu Halimah mengambil tangan besannya, dan dia genggam dengan erat. "Saya juga minta maaf, Besan. Saya tidak bisa memposisikan diri," balas Bu Halimah merendah."Nak, kamu yang menemui dokter, ya," pinta Bu Rina pada sang menantu.Rima mengangguk patuh, dan mengikuti suster menuju ruang dokter, tanpa sepatah kata."Silahkan, Bu," ujar suster, mempersilahkan Rima untuk masuk ke dalam ruangan dokter.Rima hanya mengangguk sebagai ucapan terima kasih. "Permisi, Dok. Ini Ibu dari Sherly," ujar sang suster."Silahkan duduk, Bu." Dokter meminta Rima untuk duduk di kursi yang ada di depannya. "Apakah ibu sendirian?" tanya dokter kemudian.Rima mengangguk, dan tersenyum miris. Bukan menampakan kebahagian, tapi kepedihan yang mendalam. Setelah menarik napas panjang, Rima mulai bertanya."Ada apa dengan anak saya, Dok. Apakah ada hal yang sangat patal, sehingga banyak alat medis di tubuhnya?" tanya Rima.Kali ini dokter yang menarik napas panjang dan berat, lalu menghembuskannya secara perlahan
"Malanjutkan yang tadi, Bu Rima. Ibu sebaiknya membuat laporan resmi kepada Pak Irawan, agar kasus anak ibu bisa segera ditangani," saran dari dokter. "Sherly mendapatkan perlakuan serius dari para tersangka, dan saat ini memerlukan perhatian juga penanganan yang sangat seriu. Ibu pun harus didampingi suami atau keluarga yang lainnya," imbuh dokter.Rima menarik napas panjang, dan mencondongkan tubuhnya ke depan. "Apa dokter yakin, anak saya diperkosa?" tanya Rima dengan nada serius."Ekhm!" sang dokter berdehem.Tidak langsung menjawab, dokter yang ada di depan Rima membenarkan posisi duduknya. Melipat tangannya, dan terbatuk ."Jika diperkosa, maka yang melakukannya hanya satu atau dua kali saja. Akan tetapi, kemaluan anak ibu sobek dan ...," kembali sang dokter berdehem. "Anak ibu dirudapaksa dan di aniaya," lanjuta sang dokter.Mata Rima melotot, sendi di kakinya terasa sangat lemah, bahkan tubuhnya tidak merespon ketika dia ingin bergerak. Dunia Rima runtuh seketika, padahal dia
"Benaran, Rima hamil?" tanya Bu Rina ulang.Bu Halimah mengangguk, sedangkan Bu Rina sangat bahagia, terliat dari matanya yang berbinar dan wajahnya yang berseri-seri. Sejenak dia melupakan kepedihan cucunya yang lain."Tapi situasi ini tidak mendukung sama sekali!" lirihnya dengan kecewa, bukan karena kehamilan putrinya, tapi karena situasi yang sangat fatal untuk keluarga besar mereka.Bu Rina langsung memeluk besannya, harapan mereka berdua sama. Hidup tenang bersama anak dan cucu-cucu mereka.Di tengah kabar bahagia dan duka, james datang dengan tergesa-gesa dan langsung menuju kamar anaknya, Sherly."Bu," sapa James, ketika sampai di dalam ruangan anaknya dan melihat ibu serta mertuanya saling berpelukan.Bu Hlimah dan Bu Rina mengurai pelukan merekan dan menatap ke arah james yang terlihat kelelahan."Ada apa, Bu. Setelah ibu telepon, aku langsung pulang dan beruntungya ada penunpang yang membatalkan tiket pesawatnya." James berkisah."Ibu juga belum tahu apa-apa, Nak. Tadi Rim
Setelah puas melapiaskan kekesalan dan ketidakberdayaannya, james menyusuri lorong rumah sakit untuk menemui suster jaga untuk mengetahui ada apa dirinya tadi di telepon. Dengan langkah gontai, James sampai di meja suster jaga dan segera menanyakan apa yang ingin dia ketahui. setelah mendapat informasi tentang keadaan Rima, James bergegas menuju kamar rawat sang istri. Saat ini dia inin mengutamakan sang istri dibandingkan bertemu dengan dokter yang menunggu kedatangannya.James menarik napas panjang, saat masuk ke dalam ruangan. Menatap punggung istrinya yang nampak bergetar, sesaat James termenung. Suara isakan Rima terdengar lirih, seperti seseorang sedang meratapi nasibnya yang malang. James berjalan mendekati ranjang, dan langsung memeluk tubuh Rima yang nampak kurus. Dengan lembut, James mengecup kening sang istrinya yang berkeringat."Ada apa sayang?" bisik James lirih.Mendengar suara James, Rima malah makin terisak."Ma--maaf, Mas. Maafkan, aku. Maaf!" ujarnya berulang kali
"Bisa, Pak!" jawab James tegas. "Lebih baik, kita berbicara di luar saja. Istri saya butuh istirahat," imbuh James. James merasa tidak nyaman, ketika lelaki yang ada di depannya memandang Rima yang sedang tersedu. James dapat menilai pandangan lelaki itu, pada istrinya bukanlah pandangan yang biasa. Lelaki itu langsung menatap ke arah James, setelah dia terpergok memandang Rima yang sedang terbaring. Dengan berdeham, dia mencoba menormalkan rasa yang bergejolak dalam hatinya, "Di sini saja, Mas. Aku ingin mendengar kebenaran yang terjadi, Sherly juga anakku!" pinta Rima dengan menarik tangan James, yang dilepas oleh suaminya. James mengaangguk dan mengiyakan pinta sang istri yang ingin tahu kebenaran tentang anak mereka. Mengesampingkan rasa curiganya pada lelaki yang ada di depannya, James juga mengkhawatirkan keadaan istrinya yang terlihat sangat drop. Apalagi, Rima masih sangat syok, karena kehilangan anak dalam rahimnya dan juga anak sambungnya yang sedang terbaring tidak berd
Rima merasa gagal sebagai ibu sambung, dia berusaha menjadi lebih baik, akan tetapi semua malah menjadi buruk.James menggenggam tangan istrinya dengan erat, menyalurkan energi positif yang sangat diperlukan Rima, saat ini. Rima mencoba mengatur napasnya, agar isakannya tidak terlalu kentara. James meminta sang istri untuk mendengar penjelasan dari polisi yang ada di depannya.Satria pun di minta untuk melanjutkan lagi info yang harus di dengar oleh James dan Rima"Kami harus mengumpulkan bukti-bukti secara akurat, dan paling penting adalah kesaksian dari Sherly. Kami berharap, keluarga bisa bekerjasama dengan baik," Satria mengatakan dengan tegas, tapi sesekali dia menatap ke arah Rima."Kesaksian Sherly?" tanya james dengan lirih. dan di balas dengan anggukan oleh James. "Pasti Sherly akan sangat depresi, jika dipaksa untuk mengingat perbuatan biad*p mereka!" keluh James kemudian.James tahu konsekuesi atas kejadian ini. Bukan hanya Sherly saja yang akan menanggung rasa malu seumur
James merasa dia tidak mungkin akan bisa melawan rekan bisnisnya itu, karena James tahu kekuatan mereka. Di dalam bisnis saja, mereka bisa bertindak sangat kejam, apalagi untuk urusan anak mereka yang melakukan hal yang memalukan.Rima membekap mu;lutnya, saat melihat dengan yakin siapa yang ada di poto itu. Kemudian dia berseru, "Me--mereka yang melakukan hal b*adab?"Pandangan James beralih pada istrinya yang berteriak, mengenali para tersangka. Lelaki bermanik coklat itu tidak menyangka, jika Rima mengetahui tentang mereka. James yakin, jika pergaulan Rima tidak seperti apa yang dia tahu selama ini."Dari mana kamu mengenal mereka?" selidik James, yang menampakan kecemburuannya."Ini adalah murid yang les private padaku tiga tahun yang lalu, dan yang ini adalah teman Sherly yang ikutan les, hanya Jadwalnya berbeda dengan Sherly," terang Rima, dengan suara bergetar.James diam, dia kembali memperhatikan poto orang yang ada di dalam map yang dia pegang. Kemudian melihat ke arah Satri