Share

Penghalang

Semua mata menuju ke Sherly, Rima terduduk karena terkejut dengan apa yang di lakukan oleh anak didiknya. James mendekati Sherly dan meminta pisau yang dipegang oleh anak gadisnya itu.

"Aku sudah bilang! Jangan pernah menggantikan posisi mama dengan wanita lain!" teriak Sherly frustasi.

Rima berdiri, kemudian menetralkan keterkejutannya. Dengan lirih, dia meminta Dion untuk masuk ke dalam kamar dan berpesan untuk tidak mengintip apapun yang terjadi. Rima menatap manik coklat milik Sherly dengan lekat tanpa berkedip, seakan menghipnotis gadis di depannya.

Sherly menjatuhkan pisau yang ada di tangannya dan menunduk. Dia tidak berdaya dengan tatapan Rima yang tajam namun, terlihat meneduhkan. Dia pun menginginkan Rima sebagai ibunya, tapi rasa gengsi dan benci lebih besar dari apapun. Juga, karena masa lalu yang sebenarnya membuat dirinya trauma, hanya saja dia mampu menutupinya dengan kenakalan. Sherly menganggap semua wanita yang dekat dengan ayahnya akan meninggalkan dirinya dan Dion setelah bosan, sama seperti ibunya.

"Tidak akan ada yang menggantikan mama kamu, meskipun papa kamu menikah lagi. Papamu dan kamu butuh pendamping dan teman, jadi kamu harus berpikir ulang. Jangan karena masa lalu, kamu melukai semua orang, termasuk diri sendiri. Saya tidak akan menikah dengan papamu, tapi nasehat ini untuk kamu ingat baik-baik!" tegas Rima berkata.

Tanpa menunggu jawaban dari siapapun, Rima melangkah pergi dan kemudian berbalik menuju ke depan ayah dan anak yang sedang saling tatap.

"Papamu berjuang demi kamu, sudah sepatutnya kamu berbakti dengannya dan jangan sering-sering membantah ucapannya." Mata Rima memanas ketika mengatakan hal itu. "Hari ini terakhir saya mengajar, dan besok saya akan risegn dari kantor!" tambah Rima kepada James.

James mengatakan pada Sherly untuk pergi ke kamar dan merenungkan apa yang sudah terjadi, kemudian dia mengejar Rima yang sudah keluar dari pintu depan.

"Rima, tunggu!" panggil James. "Rima, saya tidak bercanda dan saya sangat serius ingin menikah dengan kamu," tambah James, ketika mampu mengimbangi langkah Rima.

Rima menatap lelaki tampan di depannya, meskipun sudah memiliki dua anak auranya masih mempesona. Rima tidak percaya, jika dirinya mampu memikat bos di perusahaan tempatnya bekerja. Begitu banyak wanita yang mecoba menarik perhatian James, tapi lelaki itu lebih tertarik pada wanita sederhana yang cuek padanya.

"Pak! Mbak Grace, Mbak Dian, Vero, dan Susan, menyukai bapak. Bahkan sering memperhatikan bapak ketika bekerja, sebaiknya bapak pilih salah satu dari mereka saja!" saran Rima.

"Saya maunya kamu!" jawab James tegas.

Rima memberikan peringatkan pada james, dengan mengulurkan tangannya dan melebarkan telapak tangannya, agar James menjauh darinya. Namun, semakin Rima menghalangi James, lelaki itu semakin nekat mendekati Rima.

"Berhenti, Pak!" ancam Rima.

"Kalau saya enggak mau berhenti, kamu mau menikah dengan saya?" tanya James menggoda.

Rima merasa James sudah keterlaluan, tangannya terulur ingin meraih pipi James. Bukan ingin membelai, melainkan memberikannya hadiah perpisahan berupa tamparan untuk menyadarkan lelaki jutawan di depannya.

"Pak, lepas!" Ketika James menyambut tangan Rima dalam gengaman tangannya.

Semakin memberontak, James semakin gemas pada wanita pilihannya. James menarik tangan Rima dan meraih pinggang rampingnya, sehingga mereka tidak memiliki jarak lagi. Pandangan mereka saling beradu, juga napas yang sama-sama memburu.

"Pak, tolong lepas," lirih Rima.

Rima hampir saja tidak dapat mengontrol dirinya, ketika hembusan napas beraroma mint terhirup oleh penciumannya. Bagaimanapun, James adalah lelaki idaman wanita yang melihatnya. Bohong, jika Rima tidak tertarik sama sekali dengan James, tapi dia cukup tahu diri karena strata mereka berbeda.

"Saya tidak akan melepas mutiara seperti kamu, kamu wanita yang baik, tidak neko-neko, mementingkan keluarga dari pada diri sendiri, yang paling utama tidak silau harta!" bisik James.

Bulu kuduk Rima meremang, ketika tidak sengaja bibir James menempel di leher jenjangnya. Rima mendorong tubuh kekar itu menjauh darinya dengan sisa tenaganya, agar rasa sesak bisa menghilang.

"Jangan ganggu saya, Pak! Permis!" Rima mengambil langkah seribu dan menjauh dari lelaki yang memuat jantungnya bisa berdebar.

"Nanti malam saya akan datang melamar ke rumah kamu bersama orang tua saya!" teriak James, ketika Rima sudah menjauh.

Mendengar ucapan bosnya, langkah kaki Rima hampir goyah. Naasnya, kakinya jadi tersandung dan dia tersungkur. Buru-buru dia bangun dan berlari, sebelun duda keren itu mengejarnya.

Sepanjang jalan, Rima melamun. Dia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi baru saja.

"Aw!" pekiknya ketika dia mencubit pipinya sendiri. "Seperti sinetron," ocehnya.

Rima menggelengkan kepalanya, ketika mengingat novel yang dia baca. Cinderella yang patah, kisah tragis seorang gadis yang di persunting lelaki kaya. Bahagia sekejap mata, lalu terluka hingga akhir.

"Ya Allah, jauhkan dia dariku. Aku ingin membahagiakan ibu hingga akhir hayatnya dan tidak ingin dia terluka karena diriku, apapun itu." Doa Rima lirih.

***

Langkah Rima tidak lagi bersemangat, hingga dia kembali ke rumahnya. Bahkan ibunya terkejut ketika dia kembali, tidak biasanya anak perempuannya itu pulang lebih awal. Bahkan, terlihat kekhawatiran di wajah cantik Rima. Seorang ibu, mampu menangkap kegelisahan anaknya, meskipun tidak di ucapkan.

"Rim," sapa--Bu Halimah--ibunya.

Rima tidak menjawab, dia hanya meletakan kepalanya di pangkuan sang ibu yang sedang duduk di ruang tamu. Menonton televisi, mengusir kejenuhan.

"Ibu, Rima janji! Rima akan kerja lebih keras lagi, untuk membahagiakan ibu." Setetes air mata jatuh begitu saja.

"Kamu kenapa?" tanya Bu Halimah dengan mengusap kepala anaknya.

Rima menggeleng, lalu mengusap air matanya. Dia mengatakan jika dirinya hanya lelah dan butuh istirahat. Rima langsung masuk ke kamarnya, tanpa ingin mengatakan apa yang tadi terjadi. Di kamar inilah, Rima mampu mencurahkan semua dengan menangis tanpa henti. Mungkin, matanya saat isi sudah sembab. Satu jam dia meratapi nasibnya esok hari yang harus kehilangan dua pekerjaan sekaligus.

Ketukan di pintu membuat Rima menghentikan tangisnya, dan langsung membasuh wajahnya menggunakan air minum. Agar sedikit membuah wajahnya segar.

"Ada apa?" tanya Rima ketus pada abang sepupunya.

"Yuk, kita jalan-jalan," ajak Rahmadi.

"Lagi males!" ujar Rima, yang masih saja menunduk, enggan menatap abang sepupunya.

Rahmadi tahu ada sesuatu yang di sembunyikan oleh Rima dan dia dapat melihat mata sembab sepupunya, meski Rima menunduk. Lelaki tinggi dan berwajah manis itu, tidak berani memaksa Rima. Karena dia tahu, jika Rima menangis pastilah beban atau masalahnya sedang sangat berat.

Ketika, Rima hendak mengusir Rahmadi, suara keributan terdengar dari arah luar rumah. Rima menatap Rahmadi curiga, dia tahu jika sepupunya tersebut sering berbuat usil.

"Dengan siapa ke sini?" tanya Rima selidik.

Rahmadi menggelengkan kepalanya dan mengatakan dia hanya sendirian menemui Rima. Akan tetapi, Rima tidak percaya begitu saja. Gadis berambut panjang itu lekas menuju ke depan rumahnya. Seketika matanya membulat sempurna, saat pintu teruka lebar.

"Ka-kamu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status