"Apa itu Black Circle?"Zac menatap Vinn yang baru saja melontarkan satu pertanyaan dengan wajah datar. Sejak lama, ia tahu harus menjelaskan ini pada pria muda itu. Mewakili Darren. "Aku tidak bisa menjelaskan tentang klub di sini." Zac mengawasi sekitar. "Begini saja, dua hari ke depan kami akan mengadakan pertemuan. Hubungi aku begitu kau sempat," lanjutnya sambil memberikan selembar kartu nama. Vinn menerimanya, membaca tulisan yang tercetak dalam hati. Zachary Dave, seorang konsultan hukum. Namun pertanyaan tentang apa itu 'Black Circle' belum terjawab sama sekali. "Baiklah." Vinn mengangguk. "Ha! Aku harus pergi, Nak. Maaf jika kau tersinggung tapi setidaknya harus ada perayaan untuk kematian pamanmu." Zac tergelak, menunjukkan gigi tanpa ada rasa sungkan sedikit pun. Zac melangkah ke gerbang kompleks pemakaman mewah, disusul beberapa meter di belakangnya. Daniel yang berdiri di dekat mobil dengan segera membuka mobil agar Vinn bisa masuk. Sembari masuk ke kursi kemudi, pri
Kerabat dan tamu undangan mulai memenuhi halaman belakang Mansion Hazard sore itu. Diadakan secara mendadak, tak mengurangi senyum di wajah tirus mempelai wanita. Sedangkan Martin yang berada di nbalkon lantai dua berdiri dengan ekspresi datar, jika boleh ia ingin kabur dari tempat ini sekarang juga. Di saat yang sama di ruang make up pengantin. "Bagian pinggangnya sudah pas?" tanya Sandra, desainer dress putih sekaligus teman Stella. Tangannya membetulkan pita tipis di pergelangan si calon pengantin. "Sudah pas. Terima kasih, San, aku suka dressnya," puji Stella seraya tersenyum.Dua wanita sebaya itu berdiri di depan cermin besar. Bersiap untuk acara sakral yang akan dimulai dua puluh menit lagi. "Sama-sama. Jujur aku masih kaget lho kamu nikah sama Martin. Terakhir kamu cerita lagi dekat dengan Demian.""Ssstt, jangan sebut nama dia lagi," potong Stella. Sesekali wanita itu melihat pintu ruangannya yang tertutup, berharap tidak ada yang mendengar percakapan mereka. "Oke, sorr
Langit berwarna gelap matahari telah terbenam sejak satu jam yang lalu. Sebuah mobil mewah di depan pintu gerbang villa di kawasan perbukitan. Usai si supir menurunkan kaca mobil, dua security mengijinkan mobil itu masuk. Tiba di dekat teras bergaya klasik, supir membuka pintu. Dua wanita keluar sedangkan seorang pelayan pria membawa dua koper dari bagasi mobil menuju ke dalam. "Kenapa kita ke sini, Bri?" Clara melihat sekitar, merasa asing. "Mulai sekarang Kak Clara akan tinggal di sini. Ayo kita masuk," ajak Briana. Tangannya menggandeng Clara memasuki vila bernuansa putih tulang tersebut. Clara tidak bertanya lagi setelahnya. Ia seakan sibuk dengan pikirannya sendiri. Usai mengetahui jika dirinya hamil, Clara merasa menyesal sempet melakukan percobaan bunuh diri. Tanpa sadar tangannya menyentuh perut yang masih datar. Meski membenci Martin, nyatanya ia tak ingin menyalahkan janin tak berdosa itu. "Kakak kenapa? Masih mual?" tanya Briana khawatir. Ia meletakkan tas tangan dan m
Sensor penangkap suhu tubuh seketika aktif saat Vinn dan Daniel memasuki ruangan misterius itu. Tiga lampu menyala bersamaan. Vinn terkejut sementara Daniel takjub kala mendapati barang-barang di depan mereka. Lemari dengan display lampu. Berjejer beberapa senjata pistol berbagai jenis dan bentuk. Di sisi lain, tampak lemari kaca berisi lebih dari sepuluh paspor dengan nama berbeda. Satu yang pasti, foto yang tertera adalah milik Darren Alfredo. Di satu sudut, terdapat peti persegi panjang berwarna hitam. Rasa penasaran Vinn membuatnya membuka peti tersebut. Di sana, akhirnya ia menemukan buku catatan sang ayah yang sejak tadi mereka cari. "Tuan, saya menemukan ini." Daniel mendekati Vinn beserta kartu keanggotaan klub Black Circle di tangannya. "Kerja bagus. Explore sisi lain, mungkin masih ada yang bisa kau temukan." Vinn tersenyum saat menerimanya, tapi entah bagaimana Daniel bisa menangkap sorot kekecewaan di mata itu. Daniel pergi ke ruangan lain yang dipisahkan dengan pintu
"Maaf, Nona. Tapi Anda tidak diijinkan keluar dari vila," pelayan menghalangi gerak Clara yang telah siap dengan dress mint juga clutch senada. "Kenapa? Siapa yang melarangku?" tanya Clara jengah. Sejak tiga puluh menit yang lalu pelayan muda satu ini tak membiarkannya sendirian. Pelayan terdiam dan menunduk. Tanpa dijawab pun Clara sudah tahu jika Vinn yang memberi perintah pada pelayan-pelayan dan juga penjaga di tempat ini. Memastikannya untuk tetap berdiam di dalam bangunan lantai dua bernuansa klasik itu. "Aku cuma ini makan siang di luar. Lagipula nanti jam satu aku sudah kembali." Clara masih bersikukuh. Wanita itu memeriksa jam tangannya. Sudah pukul 10.15 WIB.Pelayan memegang pergelangan tangan Clara, memberi pandangan memelas karena ini menyangkut posisinya. Ia tak ingin kehilangan pekerjaan yang baru dilakoni tiga bulan. Kesal, Clara akhirnya duduk di kursi teras. Rasanya sulit untuk pergi secara terang-terangan. Mungkin ia harus mencari cara lain. Clara pandangi pelay
Sepanjang perjalanan pulang, Vinn hanya bungkam. Clara sesekali menoleh, tapi amarah Vinn yang belum surut terpancar jelas di kedua netranya. Nyali Clara untuk memulai percakapan menjadi ciut. "Pelayan sudah menyiapkan segalanya. Aku akan menemanimu makan siang sebelum kembali ke kantor," tutur Vinn setelah membuka pintu mobil untuk Clara begitu kendaraan mewah nan mengkilap itu sampai di depan vila. Clara mengangguk, lalu mengekor pada Vinn yang telah berjalan lebih dulu ke dalam bangunan. Sikapnya mirip anak kucing yang takut kehilangan induk. Di ruang makan yang diterangi sinar mentari melalui jendela besar, hanya denting piring beradu dengan alat makan yang terdengar. Suasana seperti ini membuat Clara tidak nyaman. Ia ingin Vinn-nya yang sering tersenyum kembali. "Vinn, maaf tadi di mall ...," cicit Clara. "Tidak perlu minta maaf. Hakmu jika ingin bertemu Martin," respon Vinn. Pria itu meletakkan alat makan meski sajian di piringnya masih tersisa setengah. "Bukan begitu. Aku
Malamnya tanpa sepengetahuan sang kakek, Vinn menyetujui ajakan Zac untuk datang ke pertemuan Black Circle. Ia juga dengan sengaja menugaskan Daniel untuk membimbing JD. Dengan mudah pria itu keluar dari mansion selepas pukul tujuh. Ia bertemu Zac di sebuah halte tua di dekat bangunan pabrik tak terpakai lalu berkendara dengan mobil masing-masing menuju satu titik di pinggiran kota yang tak Zac ungkapkan dengan gamblang. "Lihat, di sana," tunjuk pria paruh baya itu ketika mereka turun di area sepi. Vinn mengikuti arah telunjuk Zac. Bangunan bergaya minimalis tiga lantai yang merupakan sebuah galeri seni. Beberapa mobil berjejer rapi di depannya. Sepertinya di dalam sedang diadakan pameran lukisan. "Tempat pertemuan di lantai tiga. Oh, hampir saja lupa. Kau bawa kartu keanggotaan milik Darren?" Zac menatap Vinn fokus. Vinn mengangguk, mengeluarkan kartu hitam bercorak silver dari saku jas semi formalnya. Ia tahu akan membutuhkan barang kecil itu untuk pertemuan malam ini. "Bagus.
'Kakek!'Hampir saja Vinn memanggil pria sepuh di depannya. Untunglah ia masih bisa mengendalikan diri dan hanya bersuara dalam hati. Pria itu memang sangat mirip dengan kakeknya, bahkan cara duduk pun tidak jauh berbeda. "Vincent, kau hanya ingin berdiri saja?" tanya Tuan Ronald. Sorot matanya saat ini menampilkan keteduhan, juga sama dengan milik Richard Alfredo. Dengan canggung, Vinn duduk di salah satu sofa. Tiga pria lain, saling pandang. Di situasi ini hanya Zac yang terlihat senang. "Maaf, Tuan Ronald. Saya harap Anda tidak keberatan dengan kehadiran Vincent di tengah-tengah kita," ungkap Zac seraya memandang Tuan Ronald. "Tidak, tentu saja tidak. Aku justru senang dia mau bergabung seperti mendiang ayahnya dulu." Tuan Ronald terkekeh ringan. Vinn lebih banyak mendengar dari pada berbicara malam itu. Namun sebenarnya ia cenderung memperhatikan sosok Ronald Hazard yang kini begitu dekat dengannya. Muncul pertanyaan dalam benak, jika mereka memang masih semirip ini kenapa ke