“Ini semua juga salahmu, La. Sudah tahu bukan uang kamu, mengapa kamu pakai juga?” ucap Glenn gemas.
Lala bangkit dari duduknya, wajahnya memerah menahan marah, tangannya mengepal erat. Dirinya merasa tidak terima selalu disalahkan terus.
“Kenapa aku terus terlibat? Aku ‘kan sudah menjelaskan di sini. Apa masih perlu juga terlibat masalah pribadi kalian lebih jauh? Apa kalian tidak bisa menyelesaikan urusan kalian sendiri. Ingat aku juga punya urusan sendiri?” protes Lala tanpa jeda, sepertinya kali ini stock sabarnya sudah habis untuk menghadapi mereka.
Shabila memegang pundak Lala kemudian menekan lembut, bibirnya mencetak senyum untuk meluluhkan hati Lala, di perlakukan seperti itu Lala kembali duduk di kursinya. Meskipun bibirnya masih mengerucut tapi Lala harus mengendalikan diri.
“Maaf, La. Jika ini nanti merepotkanmu. Tapi orang tuaku tidak semudah itu percaya. Kami masih butuh bantuan sekali lagi, jadi tolong ya La. Aku tahu kamu gadis yang baik. Pasti mau menolong kami, please.” ucap Sabila memohon.
“Tenanglah sayang, Sudah pasti Lala mau menolong kita, kamu jangan kawatir,” ucap Glen menenangkan.
"Laa..." ucap Glenn kemudian dengan mata fokus menatap Lala yang kebetulan tengah menatapnya juga.
Pandangan keduanya bertemu di satu titik, bahkan lutut Lala terasa lemas ditatap seintens itu.
"Mau kan menolong kami?" lanjut Glenn dengan tidak mengalihkan fokus. Duarr!! jantung Lala terasa mau copot ketika suara lembut itu terdengar bukan hanya menembus telinganya tapi membius kewarasannya.
“A ... e .... iya tentu saja,” jawab Lala gagap dan terpaksa mengalihkan pandangannya. Alam sadarnya menginterupsi untuk tidak terbawa suasana karena kembali menatap mata itu. Mata indah yang ia kagumi sejak pertama kali bertemu. “Tapi aku mohon ijin kan aku pulang ke kos malam ini. Jika kalian membutuhkanku tentu saja kalian bisa meneleponku.” pinta Lala sungguh-sungguh memohon.
Glenn dan Sabilla tersenyum lega mendengar pernyataan yang ditunggu-tunggu.
"Terima kasih ya La, setelah ini Glenn pasti mengantarmu pulang, bukan begitu Glenn?" tanya Sabilla.
"Tentu saja, Sayang," ucap Glenn sambil mengedipkan sebelah matanya.
Setelah kesepakatan itu, akhirnya Sabilla pulang karena sopir sudah menjemputnya. Sabilla tidak mau di marahi orang tuanya dan urusannya di persulit lagi.
Sementara Lala masih bersama Glenn, dan hatinya sungguh gembira, karena Glenn akan mengantarkannya pulang. Itu berarti penderitaannya akan sedikit berkurang.
Glenn memacu mobilnya dengan kecepatan sedang. Hatinya sungguh di penuhi taman bunga, sesekali bibirnya tersenyum mengingat pertemuannya dengan Sabilla.
Mimpinya sebentar lagi akan terwujud nyata, dan acara pertunangan itu pasti akan terjadi juga, setelah Sabilla lulus kuliah Glenn berniat melamarnya menjadi nyonya Glenn.
Sementara Lala sibuk dengan ponselnya, dari tadi dirinya mengirim pesan buat Adrian tapi sepertinya tidak berhasil, karena tanda itu tak pernah jadi cek lis biru. Apakah Adrian sudah tidak peduli pada Lala lagi.
Lala mencoba meneleponnya tapi semua itu percuma saja, bahkan terlihat Adrian terakhir online tiga jam yang lalu.
Glenn melirik Lala dalam tatapan meremehkan?
“Nggak diangkat? Paling juga pacarmu sudah sadar. Mana ada laki-laki waras mau pacaran sama gadis miskin macam kamu, La” ucapnya sinis dan sok tahu urusan orang.
Lala tidak menyahut terus saja mengirim pesan pada Adrian. Lala berniat meminta bantuan kakaknya untuk menyelesaikan urusannya dengan Glenn. Tapi yang jadi pertanyaan kenapa sulit sekali menghubunginya? Bukankah seharusnya dia online 24 jam, agar sifat playboynya tetap bersinar. Masa iya playboy slow respon? Atau karena yang menelepon hanya adiknya jadi sengaja di abaikan?
Lala memutuskan menyimpan ponselnya, “Nanti juga terkirim,” pikirnya dalam hati
“Sudahlah terima nasib saja, kamu nanti juga akan bertemu dengan jodoh sesuai levelmu,” ucap Glenn.
“Maksudmu apa, Glenn?” tanya Lala tidak terima.
“Bukankah jodoh cerminan diri. Makanya banyak-banyak ngaca biar sadar diri. Nggak ketinggian ngehalunya. Gadis miskin tentu berjodoh dengan sesamanya. Jangan mimpi punya pacar setajir aku.”
“Ralat omonganmu Glenn, jangan sombong hanya karena materi, bahkan dia tidak akan kau bawa ketika kau mati, jadi buat apa kau terus menyombongkan diri?”
“Haha... Itu hanya ucapan orang miskin karena mereka nggak mampu sombong, iya kan? Lihatlah Sabila, dia tentu berjodoh denganku karena kita setara. Dan yang paling penting dia cantik, pinter dandan, dan fashionable tidak seperti dirimu?”
Lala sontak memperhatikan dirinya kelihatan semiskin itukah dia? Memang Lala tidak bawa banyak baju dari rumah dan hanya beli beberapa baju saja di kota Violens karena alasan berhemat. Dirinya hanya memakai blouse oversize dan celana jeans hitam di padu dengan flat shoes, selain itu juga tidak berdandan.
Lala hanya menggunakan bedak bayi dan lipglos saja. Sudah.
Kalau hari ini harus di bandingkan Sabilla tentu saja jauh, bahkan ootd Sabila hari ini brand terkenal semua. Tasnya bahkan limited edition yang hanya dua biji di dunia ini dan jangan lupakan riasan wajahnya yang tampak glow up dan sempurna.
“Tunggu Glenn, bukannya harusnya belok kiri?” protes Lala mengingatkan Glenn.
“Sejak kapan apartemenku pindah?” jawab Glenn sekenanya.
“Astaga Glenn, antarkan aku pulang,” ucap Lala hampir menangis.
“Tidak semudah itu, selama masalah kami belum selesai, kamu adalah tawananku? Bagaimana jika kamu melarikan diri. Aku akan susah mencarimu lagi,” ucap Glenn.
“Tawanan? Jadi apa maksudmu Glenn? Kau mau menahanku? Apa itu tidak berlebihan? Apa kau tidak percaya? Aku tidak akan lari dari kalian, percayalah.” Sekali lagi Lala memohon pada Glenn kali ini bulir hampir memenuhi kelopak matanya, sekali berkedip maka bulir itu akan terjatuh.
“Tidak, Aku ingin masalah ini selesai baru kamu bisa pergi?”
“Hiks ... Jangan keterlaluan Glenn, bukannya aku berjanji akan menjelaskan pada orang tua Kak Billa, dan akan mencicil uangmu yang telah aku pakai.” Ucap Lala di antara isak tangisnya.
“Aku tidak percaya padamu begitu saja, bisa saja kamu kabur, bisa saja kamu curang. Nggak ada yang menjamin kamu jujur. Kita baru saja bertemu, aku belum mengenalmu dengan baik.” Sangkal Glenn.
“Tapi, Glenn. Aku juga punya kehidupan sendiri. Bukan hanya mengurusi ini saja.” Lala memyeka air matanya. Percuma menangis di depan lelaki yang tidak punya hati. Lala menarik nafas panjang dan membuangnya perlahan. Dadanya di penuhi sesaknya rasa sebal. Bagaimana tidak menyulitkan? Di awal pertemuan saja sudah kelihatan menyebalkan. Tapi Lala bisa berbuat apa selain menurut.
Mereka sudah sampai di apartemen ketika jarum pendek menunjukkan angka sebelas, belum pernah Lala selelah ini. Bahkan tenaga Lala sudah terkuras, jangankan untuk berdebat dengan Glenn, untuk bicara pun terasa malas.
Glenn menunjukkan di mana dirinya harus tidur, tanpa basa-basi Lala langsung masuk di kamar itu. Setelah bersih-bersih Lala segera merebahkan tubuhnya di kasur empuk itu, ahh Lala sudah tidak peduli lagi di mana dirinya berada, yang terpenting hanya ingin istirahat dan tidur.
Tok!! Tok!! Tok!!
Ketukan pintu berulang-ulang pun sudah tidak di hiraukan lagi, mengurusi Glenn tidak ada selesainya. Bahkan Lala menutup kupingnya dengan bantal dan memiringkan badannya memeluk guling erat-erat. Bukan berpura-pura tidur tapi Lala bahkan dalam sekejap sudah terlelap.
***
BERSAMBUNG
Lala tersenyum sumringah akhirnya bisa keluar juga dari penjara Glenn. Dirinya yang terbiasa bangun pagi cukup senang ketika mendapati kondisi apartemen Glenn yang belum menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan, spontan memunculkan ide untuk melarikan diri. Bahkan kamar Glenn masih tertutup rapat. Tentu saja Glenn belum bangun. Lala menempelkan kertas kecil di pintu kamar dan menulis larik kalimat. TIDAK USAH MENCARIKU SEMINGGU LAGI AKU KEMBALIKAN SEMUA UANGMU LALA Setelah menempuh perjalanan sekitar empat puluh tiga menit dengan bantuan ojek online akhirnya Lala sampai juga di kosnya. Hari ini Lala mempersiapkan diri untuk kuliah, dan tentu saja sudah tidak sabar untuk bisa bertemu Alan. Ya. Lala sudah punya pacar, namanya Allan. Cowok berambut gondrong itu yang beruntung merebut hati Lala. Kebetulan mereka satu kampus dan satu fakultas hanya saja beda jurusan saja. Jika Lala mengambil jurusan sastra, Alan mengambil jur
Apa yang ditakutkan Lala ternyata tidak menjadi kenyataan. Nyatanya orang tua Sabilla bahkan sangat ramah. Andika dan Gita paham dengan apa yang terjadi sebenarnya. Mereka mendengarkan penjelasan Lala dengan cukup baik, akhirnya kesalah pahaman calon menantu dan mertua itu pun usai. Namun sayang sekali pertemuan itu hanya sebentar, karena kesibukan terpaksa Andika dan Gita berpamitan terlebih dahulu. Mereka memang tipe orang yang tidak suka berbasa-basi. Mengingat kesibukan yang padat, dan pertemuan ini pun hanya demi anak semata wayangnya, Sabila. Akhirnya lampu hijau berhasil Glenn dapatkan, itu artinya pertunangannya tahun depan akan berjalan lancar. Sayang sekali Sabila tidak hadir dalam pertemuan itu karena masih ada kegiatan kampus. Ya. Seandainya Sabilla hadir pasti mereka akan merayakannya. “Aku sudah menjelaskannya Glenn, artinya urusanku sudah selesai,” ucap Lala setelah Andika dan Gita pergi. Lala cukup lega, dan berharap setelah ini dirinya pun bebas.
Tirai tipis itu mengizinkan sinar keemasan masuk ke dalam sebuah ruangan, membelai seorang gadis yang masih setia memeluk guling empuknya. Lama kelamaan gadis itu menggeliat, dan sesaat terbangun dalam keadaan bingung. Ya. Lala tidak pernah bangun sesiang itu. Lala mengucek matanya, dan mengumpulkan seluruh nyawanya. “Astaga sudah jam tujuh,” Lala bermonolog, tubuh kecil itu akhirnya meloncat turun dari kasur empuk yang telah memanjakannya semalaman. Lala segera mandi beruntungnya kamar itu terdapat fasilitas kamar mandi dalam, setelah membungkus dengan handuk Lala mengambil baju ganti asal dalam almari itu. Tidak di sangka banyak sekali baju di sana. Bahkan masih berlabel lengkap dengan hand tagnya. Benarkah Glenn membelikan semua itu untuknya? Lala terharu atas kejutan yang Glenn berikan untuknya. Ternyata dia tidak seburuk yang Lala kira. Hatinya menghangat, ada sisi baik dari Glenn yang baru saja Lala temukan. Pagi ini Lala harus ke kampus
“Sebentar Al, Tante sepertinya meneleponku,” dengan berat hati Lala menyambar ponsel dan menjauh dari Alan untuk mengangkatnya. Setidaknya Lala harus menjaga perasaan Alan agar tidak terjadi salah paham. Setelah dirasa cukup Lala berhenti dan menempelkan benda pipih itu di telinganya. “Hallo,” ucapnya pelan. “Cil, ke sini sebentar,” terdengar suara Glenn begitu menyebalkan. “Nggak bisa Glenn, ada Alan aku takut dia melihat kita....” tolak Lala masih dengan volume suara yang cukup kecil. “Ini penting,” ucap Glenn memaksa. “Lebih penting Alan, daripada sekedar mengurusimu.” Lala menutup pembicaraan itu sepihak. Kemudian berjalan menghampiri Alan. “Kenapa? Kelihatannya begitu kesal? Apa Tantemu marah-marah?” Tanya Alan menyelidik. Lala mengangguk lesu tak berniat membalas ucapan Alan. Dirinya fokus mengaduk mie cup yang di pesannya. Tetapi sayang sekali rasanya sudah tidak begitu enak karena sudah terlalu lembek mie
“Apa yang kalian lakukan di belakangku!!” teriak Sabila menggema.“Tidak, ini tidak mungkin!” Sabila menggeleng, di detik selanjutnya berteriak sejadi- jadinya, “Glenn apa kau tega mengkhianatiku setelah semua ini?!” ucap Sabila miris sambil menatap tajam Glen mengharap penjelasan. Glenn sedikit bingung, tidak menyangka reaksi Sabila seperti ini. Tiba-tiba hatinya terasa perih melihat bulir bening itu sudah menetes deras di kedua pipi Sabila. Tidak, Glenn tidak akan membiarkan kekasihnya salah paham dengan adanya Lala di apartemen bersamanya. “Sayang, a-aku bisa menjelaskannya, kita duduk dulu,” Glenn membimbing Sabila duduk, kemudian mengusap pipi basah itu dengan lembut. “Aku tidak pernah mengkhianatimu, sungguh,” ucap Glenn meyakinkan. Glenn meraih telapak tangan Sabila dan menggenggamnya erat. Kemudian menatap Sabila begitu dalam. “Jangan bohong Glenn. Kita baru saja berbaikan. Bahkan orang tuaku baru saja berdamai dengan hubungan ini atau kau memang senga
Lala sudah berada di kamarnya dan mulai mengerjakan tugas. Tidak lupa sebelum itu dirinya menutup pintu, takut suara mereka masih terdengar dari kamarnya. Mengingat kamar Lala dekat dengan ruang tamu. Sesungguhnya Lala sedih terjebak dalam situasi yang membingungkan ini, tapi ya sudahlah terlanjur kepalang basah, apa mau dikata. Hati Lala terlalu sensitif untuk menyaksikan orang di sekitarnya berbagi kasih. Dirinya merasa sepi di antara hiruk-pikuk kota. Sesungguhnya Lala rindu datangnya perhatian. Lala menggulung rindu itu menyimpan di sudut hati yang paling dalam dan menyandingkannya dengan resah, jika saatnya tiba akan memanennya bersama gembira. Ketika tiba saat di mana Lala sanggup memboyong piala kesuksesan di depan Harjito dan Iriani. Lala sangat menunggu saat itu, bagaimanapun Lala sangat merindukan mereka. Di sini Lala merasakan dinginnya sendiri, tatkala ponsel kakak tercinta pun sudah tidak bisa dihubungi lagi. Sebenarnya Lala masih
Bunyi alarm dari ponsel mengusik kedamaian pagi. Lala terperanjat dan hampir saja terjatuh, dirinya sangat menyesal dan jengkel mengingat mimpi di alam tidur sedang seru-serunya harus terhenti begitu saja. "Sepertinya baru tidur sebentar, eh sudah pagi saja," dengusnya sebal. Lala semalam tidur terlalu larut gara-gara-gara terganggu suara dua sejoli yang memadu kasih itu. Sialnya lagi Lala tidak punya bacaan apa pun yang membuat dirinya lebih sulit untuk terpejam. Tangan Lala merayap mencoba menjangkau ponsel yang masih berbunyi di atas nakas. Sesaat memeriksa layar tersebut dengan ekor matanya. Angka di sudut atas layar ponselnya menunjukkan angka 04.00, Lala mematikan begitu saja suara itu, melemparkan ponsel asal ke kasur dan kembali bergelung dalam selimut tebal yang masih menawarkan kehangatan. Semalam sebetulnya Lala sengaja memasang alarm agar bisa terjaga lebih awal mengingat dirinya harus menunaikan tugas sebagai seorang pembantu. Tapi sepertinya Lal
Part- 15 Dewi Terburu langkah Lala menuju kantin, cacing di perutnya sepertinya lincah menari-nari. Lala tidak boleh membiarkan keadaan ini. Bagaimanapun Lala harus bisa menjaga diri jangan sampai sakit. Siapa yang peduli jika dirinya sakit? Bahkan Lala merasa tidak punya siapa-siapa. Kali ini bukan mie cup yang ia pesan, kata Bi Narsih pagi-pagi harus susu dan nasi. Hmm Lala sudah memesan makanannya dan hendak menuju tempat favoritnya meja paling belakang pojokan dekat jendela besar itu. Tempat biasanya bersama Alan. Bola matanya seketika berbinar menemukan sahabat dan kekasihnya sudah berada di sana. Sungguh Lala merindukan mereka berdua dengan riang Lala menyusul mereka. “Hei, selamat pagi. Wah! Wah! Sudah duluan di sini saja,sih,” sapa Lala cukup ramah. Sontak keduanya kaget dengan kedatangan Lala yang tiba-tiba. “Boleh gabung nggak nih,” canda Lala. Dewi tiba-tiba tersadar akan kemunculan Lala. Bahkan kesusahan menelan makanannya saking kagetnya,