“Jadi kamu, cewek yang bernama Nyla?”
Seorang mahasiswa cantik duduk agak jauh di depan Nyla, setelah seseorang yang datang bersama Nyla sudah pergi. Mereka berdua berada di sudut salah satu gedung kampus. Gedung yang tidak pernah dijamah oleh Nyla. Rumput liar terlihat tinggi di sekitar gedung itu. Ada meja dan kursi permanen dari batu yang salah satunya baru saja diduduki. Bisa dilihat, satu kursi bebas dari debu sementara kursi lain terlihat kotor. Di sana juga terdapat sebuah tas yang bisa dipastikan milik mahasiswa itu.
Setelah mengamati Nyla dari ujung kepala hingga ujung kaki, mahasiswa itu berdiri dan berjalan lebih dekat ke arah Nyla. Gaya jalannya anggun namun menantang.
“Iya, aku Nyla. Maaf, aku dipaksa ke sini untuk apa ya?” jawab Nyla. Ia menyadari bahwa orang yang mengajaknya ke tempat itu hanyalah orang bayaran karena itu dia langsung pergi setelah menyelesaikan tugasnya. Ada perasaan tidak nyaman yang menjalari tubuh Nyla. Sorot mata mahasiswa
Parta menatap layar handphone-nya. Ada satu pesan masuk dari nomor tak dikenal. Biasanya, Parta akan mengabaikan pesan serupa, tapi kali ini dia tertarik untuk melihatnya. Bukan pesan teks, tetapi sebuah foto. Nyla sedang berada di belakang gedung teknik kimia. Ia sedang berhadapan dengan seorang mahasiswa yang lain. Dari punggung mahasiswa itu Parta bisa langsung menebak bahwa itu adalah Nadia. Mahasiswa yang pernah memiliki obsesi padanya. Menyusul pesan pertama. Parta kembali mendapat pesan gambar. Foto kedua ini memperlihatkan Nyla seorang diri sedang mengelap wajahnya menggunakan tisu. Parta mencoba memperbesar gambar itu dan dengan jelas melihat pipi Nyla yang memerah. Kronologi yang dialami Nyla dapat dibayangkan oleh Parta. Tanda merah di pipi Nyla itu tentu saja ulah dari tangan Nadia. Parta melempar tasnya ke jok bagian belakang mobilnya. Ia mengurungkan niat untuk pulang lebih awal. Ia harus menemui Nyla yang kemungkinan masih bera
Sesekali Parta memainkan kursi tinggi yang sedang didudukinya. Sesekali dia menelungkupkan wajahnya di atas meja. Beberapa kali dia menyugar rambutnya dengan kasar, juga wajahnya. Sudah dua gelas ia tenggak habis padahal pengunjung kelab masih sepi. Dia tak mungkin membiarkan dirinya mabuk. Bukan mabuk, lebih tepatnya merusak organ tubuh. Ia memainkan telunjuknya menelusuri bibir gelas. Lagi atau tidak, ia mempertimbangkan untuk kembali meminta dituangkan segelas. Ia mengamati jarum pada arloji mahal di pergelangan tangannya. Orang yang ditunggu belum juga memunculkan batang hidungnya meski waktu janji sudah lewat tiga puluh menit. Parta memutuskan tidak akan minum lagi. Ia turun dari kursi dan berjalan ke arah toilet. Air mengalir yang membasahi wajah pasti akan membuatnya lebih segar dan bisa berpikir lebih tenang. Benar saja, kekacauannya sedikit terurai, tapi bayangan gadis itu tetap saja jelas. Parta menatap wajahnya dari pantulan cermin. Ia berusaha men
Nyla masih memikirkan kata-kata Parta. Dia juga dipusingkan dengan ketakutannya mengenai biaya kuliah yang harus ditanggung jika beasiswanya dicabut. Bukan tidak mungkin Parta akan membocorkan rahasianya. Kini koran di depannya sudah penuh coretan, kolom lowongan pekerjaan paruh waktu. Hampir semuanya tak ada yang terlewatkan dari goresan tinta biru milik Nyla. Tangan kirinya menumpu kepala dan tangan kanannya memainkan bolpoin. Pikirannya menerawang masa depan yang akan dilaluinya. Pekerjaan paruh waktu tidak terlalu buruk, hanya perlu mengatur jadwal supaya masih ada waktu tersisa untuk sejenak beristirahat. Ia menukar bolpoin dengan handphone-nya mengetikkan sesuatu di sana. Selang beberapa saat wajahnya berubah gelisah. Lamaran yang dikirim via email beberapa menit sebelumnya sudah mendapat balasan, penolakan. “Lagi apa, Ny? Sepertinya gelisah sekali.” Kinan, salah satu teman sekelas Nyla datang menghampiri. “Ow, tidak kok. Lagi baca-baca
“Bel, aku ada tambahan nih buat kamu. Aku akan share nomor ke kamu, cari tahu siapa pemilik dan orang-orang di sekitarnya.” Parta menutup teleponnya. Pagi sudah lebih dulu merutukinya dengan berita tak sedap. Kini ia berdiri di kampusnya yang masih sepi. Berusaha mengalihkan suasana hati yang penat. Pagi yang membuatnya merasa bahwa tempat itu begitu punya arti. Lebih pagi, ternyata udara sejuk bisa dirasakan masuk ke paru-paru, memenuhi dan menyegarkan. Burung-burung yang tak pernah terlihat rupanya menguasai pagi dengan bertengger di setiap pohon yang rindang. Dari tempat parkir Parta berjalan ke gedung perkuliahan. Pintu-pintu kelas masih terkunci. Para petugas masih sibuk membersihkan lantai dan kaca-kaca jendela. Mereka menyapa dengan ramah meski wajahnya tak bisa berbohong, merasa aneh dengan mahasiswa yang datang terlalu pagi. Duduk di selasar depan pintu kelas sambil menunggu jam kuliah memang bukan hal memalukan, banyak yang melakuk
“Tugas kamu adalah selesaikan ini. Hari ini harus selesai.” Parta menyerahkan berkas untuk kepentingan pendaftaran pada Nyla. “Ini?” Nyla tertegun. Ia menerima berkas pendaftaran untuk namanya sendiri. Ia memastikan beberapa kali, berharap tidak ada kesalahan dari pandangan matanya. “Ya, hari ini harus selesai. Ingat itu.” Parta mempertegas perintahnya. Nyla mengangguk mantap. Ia mengambil berkas itu dengan semangat, juga laptop, dan keperluan lainnya. Semuanya ia masukkan ke dalam tas. Bilik baca di perpustakaan merupakan tempat yang tepat untuk menyelesaikan semua itu dan ke sanalah Nyla pergi dengan langkah yang riang. Membuat Nyla sibuk adalah tujuan Parta yang sesungguhnya. Untuk satu hal itu –menurut Parta— Nyla tidak hanya sibuk, tetapi juga tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Dengan begitu Parta bisa dengan tenang melakukan hal lain selagi Nyla menjalankan perintahnya. “Kamu yakin dengan ini?” Parta pergi ke sebuah resto
“Hmm. Apa?” Terdengar nada ancaman dari seberang telepon. Nyla mendudukkan tubuhnya tanpa sandaran dan membelalakkan matanya lebih lebar. Sebelah tangannya mencubit pipi. ‘Aww’ dia menjerit pelan merasakan sakit dari jarinya sendiri. “Hari Minggu yang payah!” Nyla membanting handphone-nya, ia mengumpat untuk dirinya sendiri. Menyesal, pasti, karena semalam ia lupa untuk mematikan handphone. Alhasil, pagi ini telepon berdering dan langsung membuat jiwa malasnya lenyap. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, harusnya dia masih punya satu jam untuk berkelana di dunia mimpi. Mau tidak mau sekarang dia harus beranjak dari kasur empuknya. “Ini lebih buruk dari punya kamu. Ganti!” Parta membalik layar laptop dan mendorongnya kembali ke depan Nyla. Nyla menatap tajam orang sombong yang duduk di depannya. Empat jam ia bekerja tanpa istirahat. Bahkan perutnya, yang hanya terisi sepotong roti saat sarapan, semaki
“Perlu berapa lama sampai di sana?” “Kurang lebih delapan jam. Jika saja tadi berangkat lebih awal kita bisa melewatkan kemacetan dan akan sampai dengan lebih cepat.” “Akan sangat melelahkan.” “Sudah kubilang, kita bisa menyuruh orang dan tinggal menunggu mereka menyampaikan laporannya, tapi kamu sendiri yang bersikeras.” “Aku harus memastikan sendiri.” “Ya, kalau sudah lelah aku bisa menggantikan.” Bela kembali memejamkan mata karena masih mengantuk sedangkan Parta mengikuti panduan dari GPS yang terus memberi informasi mengenai arah yang harus dituju. Kemajuan teknologi masa kini memang sangat bisa dirasakan. Berbagai kemudahan disajikan dalam waktu yang singkat dan lengkap. Seperti saat ini, Parta dan Bela sedang dalam perjalanan menuju daerah asal Nyla. Bukan daerah asal berdasarkan data yang diketahui Parta selama ini, tapi informasi terbaru yang didapat dari anak buah Bela. Dengan mudah mereka menelusuri jalan tanpa hambatan.
“Aku ke toilet dulu ya, Kak.” Nyla berpamitan pada Vika yang duduk di sebelahnya. Mereka sudah berbaikan, lebih tepatnya Vika sudah mau menyapa Nyla. “Sudah?” tanya Vika begitu Nyla kembali dari toilet. “Sudah, tapi masih nerveous.” Gadis itu mengambil berkas yang tadi ditinggal di kursi kemudian duduk memangkunya kembali. Kakinya tidak berhenti bergerak meski sudah disilangkan agar bisa lebih tenang. Begitu juga dengan jari-jarinya yang menari-nari di atas map. “Santai saja, tahap pertama tidak sesulit yang kamu bayangkan. Di sini semua sebagai pendengar.” “Kak Vika salah satu tim penilai, kan? Tidak apa-apa kakak duduk dekat aku?” “Tidak masalah, sekarang kan saatnya mendengarkan. Selain itu, porsi untuk nilai yang aku berikan tidak banyak pengaruhnya. Ngomong-omong Parta ke mana? Beberapa hari aku tidak melihat dia.” Pertanyaan yang membuat Nyla ingat akan salah satu rivalnya itu yang, seperti kata Vika, beb