Dahlia menyodorkan sesendok kepada Elvan, tepat saat matanya melirik Belle yang berada di luar.Tepat, aku mengambilnya! Dahlia pikir itu sudah cukup membuat Belle merasa bahwa Elvan menghianatinya.“Hentikan, aku tidak punya waktu! Cepat katakan, jika tidak aku akan pergi!” bentak Elvan.Menolak suapan Dahlia, karna ia masih menjaga hatinya untuk Belle.Menurut Elvan, sikap Dahlia sangat tak pantas mengingat dia adalah sahabat Belle.Namun, ia tak tahu jika semua ini merupakan jebakan.“Apa yang kau suka dari dia? Aku lebih punya segalanya dibanding dia!” tegurnya.Dahlia menunjukkan sosok aslinya yang baru, sontak Elvan menatapnya bingung.“Lalu, kenapa jika kau punya segalanya? Hanya dia yang bisa mengerti perasaanku, dan kau menjadi penjilat kekasih sahabatmu sendiri?” cecar Elvan.Beranjak pergi meninggalkan Dahlia, meskipun tangannya digenggam oleh Dahlia yang tak membiarkannya pergi, bahkan pada saat beberapa sorot mata memandang mereka. Ia malah menangis agar Elvan mau duduk
Kehancurkan keluarganya, tertulis di sana dengan sangat jelas. Bahkan kematian Ibunya lengkap dengan Ayahnya yang menikah lagi juga ada. Belle segera menghampiri seseorang yang seharusnya bertanggung jawab tentang semua ini.Satu-satunya orang yang jadi telinganya disaat dunia sedang mengacuhkannya. Pundak untuk bersendernya ketika sedang hancur. “Dahlia!” panggil Belle, “apa kau yang membuat ini?”Masih menahan amarahnya yang sejujurnya sudah memuncak. Ingin menampar Dahlia yang berani mengganggu privasinya.“Memangnya siapa lagi yang tahu?” jawab Dahlia.Menunjuk kepada Belle yang sudah menangis di depannya.Dengan tatapan sinisnya, ia memojokkan Belle.“Kau tahu itu, lalu apa ini? Kenapa kau mengumbar privasiku? Kau menginginkan Elvan, tapi tidak dengan membawa keluargaku!” bentak Belle tak terima dan muak dengan Dahlia kali ini. Bahkan Belle melempar brosur itu di hadapan Dahlia, menunjukkan kekecewaannya.Sayangnya, Dahlia sudah berbeda. “Ingat satu hal, aku tidak akan berhen
Sekarang ia hanya perlu menunggu masalah apa lagi yang akan datang menimpanya. Membuatnya terpuruk dan menangis.Dunia begitu kejam, bahkan untuk seorang gadis yang menginginkan kebahagiaan sederhana.Belle kembali ke rumah sakit, setidaknya ia bisa berguna di sana. Meskipun raut wajah kesal Ibu tirinya terpampang jelas. Belle masih tak melupakan segalanya, semuanya masih nyata di depan matanya.“Sebaiknya kau pulang, aku di sini menjaga Reval.” ucap Ibu tirinya.Tak berselang lama setelah Belle duduk di sebelahnya. Gadis itu hanya ingin akrab dengannya, mereka tak pernah punya waktu bahkan untuk duduk berdua seperti ini.“Baik, jika Ibu butuh apa-apa. Aku akan datang,” Belle mematuhi perintah Ibu tirinya.Sendirian di rumah lebih baik daripada berada dalam sebuah gedung penuh dengan teriakan kesakitan.Belle melewati ruang jenazah, terakhir kali ia mendapatkan momen yang menyeramkan. Sejenak, ia menatapnya sendu. Berharap saat itu Ibunya benar-benar berada di depannya.“Ibu ... apa
Eleird ingin duduk berdua mendengarkan keluh kesah Belle, menanyakan hal-hal kecil yang mungkin akan ia kenang selamanya. Eleird baru saja menyelesaikan pekerjaannya, saat ia akan pulang sebuah mobil menabraknya dengan kencang.Kejadian itu terjadi dalam kurun waktu yang cepat, Eleird tak bisa menghindarinya.“Kita akan bertemu,” Eleird menatap langit dihalangi oleh kaca mobil yang pecah.Seakan bisa melihat sesuatu di sana, hati menginginkan untuk bertemu cintanya.Livia bahagia setelah dokter memberitahu bahwa operasi Reval berjalan dengan lancar dan sekarang hanya butuh waktu untuk sadar dan menjalani pemulihan.Ia tak sabar memberitahukannya kepada Eleird, terus mengiriminya pesan meskipun tak ada jawaban.“Aku harap dia segera membalasnya,” batinnya.Memandang foto pernikahannya dengan Eleird. Livia masih ingat, Eleird tak pernah mencintainya. Akan tetapi, ia akan tetap berusaha untuk tetap ada di sisi Eleird.Mungkin ia akan sedikit mengubah sikapnya kepada Belle, memperbaiki d
Sama seperti kesedihan yang cepat datangnya, hari juga berlalu begitu saja.Meninggalkan kejadian pahit yang berubah menjadi sebuah kenangan indah dalam memori, masih tersimpan jelas di pandangannya. Belle menjalani hari-hari buruk anpa penyemangat yang akan mendorongnya ketika jatuh atau sekedar untuk mengatakan, “Teruslah berjalan, semua akan baik-baik saja. Ayah ada di sini, Belle tidak sendiri.”Tidak! Tidak ada yang baik-baik saja, kata-kata itu menjadi sebuah tamparan bagi Belle saat ini.“Nak, kau harus sembuh. Ibu sudah tidak punya siapa-siapa lagi.” bisik Livia yang sayangnya didengar jelas oleh Belle. Selama ini ia memang bukan apa-apa di mata wanita itu.“Ya ... aku memang tidak pernah berarti baginya!” bentak hatinya. Belle beranjak pergi, meninggalkan rumah sakit lengkap dengan segala umpatan mengiringinya. Niatnya untuk berpamitan malah mendapat sebuah kejutan yang tak menyenangkan dari sang Ibu tiri.“Benarkah? Disaat aku akan menganggapnya Ibuku?” Belle penuh dengan
Akan tetapi, Dahlia tak berhenti begitu saja meskipun guru memulai pelajaran ia tetap menjahili Belle. Dahlia membullynya sebagai lampiasan amarah.“Kemarin saat pergi ke makam kakek, aku melihat Belle di sana.” ucap Angel membeberkan apa yang dilihatnya di pemakaman. Tentu saja dia heran, setelah Belle pergi Angel menghampiri makam yang disinggahi Belle.“Tentu saja ke makam Ibunya.” jawab Khaira tak tertarik membahas orang mati. Karna cintanya? Entah masih hidup atau bahkan telah bersatu dengan tanah.“Bukan, itu makam Ayahnya.” ungkap Angel melihat ekspresi Khaira yang seketika berubah. Sama seperti ekspresi terkejutnya kala itu, kendati demikian ia tak bisa menyembunyikannya dari Khaira.“Tunggu, Ayahnya meninggal?” Khaira yang semula tak tertarik mulai menolehkan kepalanya mengarah pada Angel. Itu sebabnya Belle sangat diam membisu, masih berduka atas kepergian Eleird.“Iya, makamnya masih baru mungkin seminggu yang lalu.” terang Angel.Beruntung waktu itu ia ikut keluarganya u
Suasana malam penuh bintang-bintang dengan udara segar yang menyejukkan berhasil membuat Belle menjadi tenang, ia berada di rumah sendirian karna Ibu tirinya meminta agar ia tidur di rumah. Belle tak masalah, karna hatinya sangat kecewa terhadap wanita itu.“Jadi, kepada siapa aku harus mengeluh? Jika dunia saja terus menyakitiku, ke mana aku harus berteduh?” tanya Belle yang duduk di teras rumah memandangi langit yang indah. Pandangannya tertuju pada bulan yang sinar terangnya menjadi kegelapan dalam mata Belle. “Aku tidak punya siapa-siapa,” lanjutnya menyeka mata yang basah. “Belle,” sapa seseorang.Suara seorang gadis menarik manik Belle untuk meliriknya, seseorang yang tak asing di hidup Belle.“Aku tahu, aku tak pantas mengatakan ini. Tapi, jangan dengarkan apa yang mereka katakan.” pinta Dahlia berjalan mendekat ke arah Belle, ia tahu apa yang baru saja dilakukannya. Belle mungkin tak sudi menyambutnya, setelah apa yang ia perbuat saat di sekolah tadi.“Kau di pihaknya, kenap
Memanjatkan doa terbaiknya dan berharap semoga ia bisa ikhlas. Setelah selesai, Belle membeli makanan dan langsung pergi ke rumah sakit. Suasana taman rumah sakit penuh dengan beberapa pasien yang sedang berjemur, sepertinya kondisi mereka mulai membaik.Namun, saat sudah sampai di koridor ruanh rawat Reval, Belle melihat Ibu tirinya menangis sesenggukan di sana dengan tangan yang disatukan menutupi wajahnya.Belle segera menghampirinya dan duduk di sebelah Ibu tirinya. “Ibu, apa yang terjadi? Kenapa Ibu menangis?” Belle memperhatikan mata yang sudah merah itu.“Reval! Dia bangun tadi, tetapi tiba-tiba sesak nafas! Dokter masih memeriksanya.” ungkap Livia. Tak dapat menyembunyikan jiwa seorang Ibu yang seakan tercabik-cabik saat ini. “Tenanglah, Bu. Reval akan baik-baik saja.” Belle berusaha meyakinkan sembari memegang tangan Ibu tirinya. Sesaat setelahnya, dokter keluar dari ruangan Reval melepaskan masker yang menutupi wajahnya. Livia langsung menghalangi jalan dokter dengan p