Beranda / Pendekar / Pemilik Kitab Seribu Bayangan / 122: Hari Ketika Langit Tak Meneteskan Hujan

Share

122: Hari Ketika Langit Tak Meneteskan Hujan

Penulis: Bang JM
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-09 08:06:44

:

Langit masih mendung, namun tak setetes pun hujan turun.

Qian Mu berdiri di puncak batu karang yang menjulang di tengah Lembah Tertutup. Rambutnya yang kini separuh putih dan hitam berkibar tertiup angin. Di sekitarnya, aura yin dan yang mengalir seakan telah menjadi bagian dari alam itu sendiri. Tubuhnya masih terasa nyeri—bukan dari luka fisik, tapi dari proses penyatuan dua warisan darah yang selama ini bertarung di dalam dirinya.

Di bawah sana, para tetua dan pengawal sekte berdiri diam, menatapnya dengan campuran hormat, gentar, dan kebingungan.

Xian Rong melangkah pelan ke depan, membawa tongkat panjangnya yang kini tampak retak di bagian tengah. Satu langkah, dua langkah, lalu ia berhenti hanya beberapa tombak dari Qian Mu.

“Kau telah melampaui ujian yang bahkan para leluhur tidak pernah bayangkan,” katanya dengan suara serak. “Tapi setiap kekuatan baru… membawa beban baru.”

Qian Mu mengangguk pelan. Matanya menyap
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   125:Luka dari Dalam – Pengkhianatan yang Tersembunyi

    Hari telah berganti. Sekte Bayangan Timur sedang dalam suasana pemulihan. Murid-murid yang terluka dirawat di paviliun medis, formasi pelindung diperbaiki, dan para tetua sibuk menganalisis retakan spiritual yang sempat terbuka semalam.Namun, Qian Mu tidak bisa tenang. Kata-kata di gulungan itu terus menggema dalam pikirannya:“Dua akan datang dari dalam dirimu sendiri.”Ia duduk termenung di atas menara pengintai tertinggi. Pandangannya menyapu wilayah sekte, tapi pikirannya jauh lebih dalam dari itu—menyelami masa lalu, pertemanan, dan keputusan-keputusan yang pernah ia ambil.“Pengkhianatan…” gumamnya. “Apakah itu berarti… seseorang di dekatku?”Suara langkah ringan menyentaknya dari lamunan. Shen Ruya muncul, membawa dua cangkir teh herbal.“Kau belum istirahat,” tegurnya sambil menyodorkan satu cangkir. “Tubuhmu belum sepenuhnya pulih.”Qian Mu hanya menerima dan mengangguk. Namun matanya tetap menerawang.

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   124: Api dalam Bayangan Saudara

    : Malam turun seperti tirai kelam yang menelan seluruh lembah. Angin menderu pelan membawa aroma debu, batu hangus, dan sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih tua, lebih berbahaya. Di aula utama Sekte Bayangan Timur, lentera-lentera minyak menyala tenang, memancarkan cahaya jingga yang menari di dinding batu.Qian Mu duduk di kursi pusat, kursi yang dulu hanya boleh ditempati oleh kepala sekte. Di sisi kirinya duduk Xian Rong dan dua tetua lainnya. Di sisi kanan, tempat biasanya disediakan bagi para pewaris, kini kosong. Ia ingin menunjukkan bahwa malam ini, ia tak mewakili siapa pun. Ia adalah dirinya sendiri.Langkah kaki terdengar mendekat. Bai Xu memasuki aula bersama dua pengawal berwajah datar. Ia berjalan santai, namun ada tekanan yang menyertai tiap gerakannya—tekanan yang tidak berasal dari kekuatan semata, tapi dari keyakinan tak tergoyahkan. Ia tahu siapa dirinya, dan ia tahu siapa yang akan menjadi lawannya.“Tempat ini… menyimpan

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   123:Ujian Pertama – Benturan dari Langit

    : Suara gemuruh mengguncang langit dini hari itu. Petir menyambar tanpa henti, menyayat langit yang kelam seperti cakaran dewa murka. Qian Mu berdiri di atas tebing di balik perbukitan Sekte Bayangan Timur. Angin memukul wajahnya, membawa hawa dingin dan firasat buruk.Tak jauh di belakangnya, Shen Ruya dan beberapa tetua berdiri tegang. Mereka semua tahu: ujian pertama telah datang. Tapi tak satu pun dari mereka benar-benar mengerti bentuknya. Bai Xu hanya menyebut satu kata — benturan.“Langit tidak biasa,” gumam Ruya. “Ini bukan sekadar badai… ini seperti—”“—perang antar dimensi,” potong salah satu tetua. “Retakan spiritual telah muncul di langit selatan.”Qian Mu menajamkan matanya. Di cakrawala, awan gelap membentuk pusaran raksasa, seolah langit sedang menyedot sesuatu dari bumi. Dan dari tengah pusaran itu… muncul cahaya merah membara.Tiba-tiba, tanah bergetar. Seekor makhluk berwujud singa raksasa, namun memiliki

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   122: Hari Ketika Langit Tak Meneteskan Hujan

    : Langit masih mendung, namun tak setetes pun hujan turun.Qian Mu berdiri di puncak batu karang yang menjulang di tengah Lembah Tertutup. Rambutnya yang kini separuh putih dan hitam berkibar tertiup angin. Di sekitarnya, aura yin dan yang mengalir seakan telah menjadi bagian dari alam itu sendiri. Tubuhnya masih terasa nyeri—bukan dari luka fisik, tapi dari proses penyatuan dua warisan darah yang selama ini bertarung di dalam dirinya.Di bawah sana, para tetua dan pengawal sekte berdiri diam, menatapnya dengan campuran hormat, gentar, dan kebingungan.Xian Rong melangkah pelan ke depan, membawa tongkat panjangnya yang kini tampak retak di bagian tengah. Satu langkah, dua langkah, lalu ia berhenti hanya beberapa tombak dari Qian Mu.“Kau telah melampaui ujian yang bahkan para leluhur tidak pernah bayangkan,” katanya dengan suara serak. “Tapi setiap kekuatan baru… membawa beban baru.”Qian Mu mengangguk pelan. Matanya menyap

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   119Tubuh yang Menjadi Medan Perang

    : Kilatan petir melintasi langit yang bergolak. Di dunia nyata, tubuh Qian Mu menggantung di udara seperti wayang di tengah badai takdir. Matanya terbuka, putih dan hitam seperti yin dan yang saling berebut dominasi. Sekujur tubuhnya bersinar aneh—kadang terang menyilaukan, kadang gelap sepekat malam tanpa bulan.Di bawahnya, Xian Rong menahan formasi penyangga dengan kekuatan terakhirnya. Para tetua lain mulai goyah, beberapa sudah roboh dengan napas terengah. Aura dari dalam tubuh Qian Mu meluap, memancar seperti pusaran tak terkendali.“Ini… bukan hanya pertarungan di dalam jiwanya,” gumam Xian Rong. “Tapi tubuhnya juga mulai menjadi medan perang.”Dan itu benar.Di dimensi gelap tempat kesadaran Qian Mu melayang, ia berdiri di depan sosok raksasa yang telah sepenuhnya menampakkan diri. Sosok itu menjulang, tubuhnya terdiri dari puluhan wajah, ratusan mata, dan tangan-tangan menjulur keluar seperti akar pohon tua yang hidup.

  • Pemilik Kitab Seribu Bayangan   118Ketika Gerbang Terbuka Setengah

    : Cahaya dari dunia kesadaran masih membekas di tubuh Qian Mu saat ia mendarat di tengah formasi altar. Tanah bergetar, dan langit yang sebelumnya kelabu berubah menjadi lebih pekat—bergelombang, seakan-akan permukaan air sedang dilanggar oleh sesuatu yang hendak muncul dari dalam.Xian Rong berdiri beberapa langkah darinya, tubuhnya bersimbah keringat. Di belakangnya, para tetua dari klan gunung dan tiga biksu suci sudah duduk bersila, menjaga formasi segel yang mulai retak.“Kau kembali tepat waktu,” ujar Xian Rong dengan nafas berat. “Tapi… mereka juga.”Qian Mu menoleh. Di balik lembah, gelombang bayangan menyapu rerumputan, pohon-pohon tua tumbang tanpa suara, dan hawa kematian menyelimuti setiap sudut gunung. Di atas langit, burung-burung besi, roh-roh langit, dan bahkan awan mulai menjauh, seperti takut akan sesuatu yang mengancam keseimbangan dunia.“Makhluk dari dalam gerbang?” tanya Qian Mu.“Belum sepenuhnya,” ja

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status