LOGIN
Tubuh perempuan itu terhuyung setiap kali dorongan keras itu menghantamnya dari belakang. Tangannya mencengkeram meja, merasakan kenikmatan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Ahh… hahh…!”
Lenguhan terlontar dari bibirnya kala tangan kokoh pria itu menahan pinggangnya, menariknya lebih rapat, memaksa tubuhnya mengikuti irama yang kian liar.
“Lihat aku…Nora.” bisikan berat itu menyusup, rendah namun tegas.
Matanya refleks terarah pada pantulan samar di kaca jendela. Dirinya terguncang di sana, rambut berantakan, bibir ternganga, matanya basah oleh kenikmatan yang meluap.
Lalu, sosok pria itu terlihat jelas—otot-ototnya menegang di bawah kulit yang berkilau oleh keringat, wajahnya dipahat tajam, rahang mengeras, dan yang terpenting, sepasang mata hitam pekat yang menenggelamkan.
“Pelan, Pak Dirga….”
Pria itu seperti tak menggubris desahan dan masih mempercepat temponya. Mempermainkan yang baru saja mencapai puncak, membuatnya seakan kalah telak di hadapan penguasanya. Apalagi saat mendapati ekspresi memohon untuk menghentikan, ia justru semakin menghentakkan pinggulnya.
*
Nora tersentak, tubuhnya gemetar. Ia mendesah pelan, menyadari jari-jarinya kaku di atas keyboard. Itu hanya naskah. Imajinasi. Ia mengusap wajah sendiri, mencoba mengusir panas yang entah berasal dari tubuhnya atau dari cerita yang baru saja ia tuliskan.
Ia buru-buru menyadari dirinya masih di kantor. Namun, jauh sebelum jam menunjuk angka delapan, Nora sudah duduk di kursinya. Punggungnya tegak, wajahnya serius menatap layar laptop. Jari-jarinya bergerak cepat, seakan berpacu dengan sesuatu yang tak kasat mata.
"Lo masih nulis, Ra?"
Nora tersentak saat bisikan di telinganya berhasil membawa ia kembali ke dunia nyata. Menatap Luthya—teman satu tim yang duduk di sebelahnya, yang tengah melirik layar laptopnya sembari merapikan meja kerja.
Buru-buru Nora menutup laptopnya dengan pipi yang memanas, menggantinya dengan lembaran kerjaan yang sudah semestinya, "Oh, ini—lagi— lagi isi laporan." sahutnya cepat, berusaha menormalisasikan ekspresi.
Luthya mendengus kecil, menyender santai di kursinya, "Hati-hati, jangan sampai ke-gap supervisor. Apalagi CEO mau dateng hari ini."
Kata CEO langsung membuat jemari Nora berhenti di atas keyboard. Ada sesuatu yang menegang di dadanya meski ia cepat-cepat mengabaikan.
“Gue gak sabar ketemu dia,” ujar Luthya sambil merapikan rambutnya cepat-cepat.
Nora melirik. “Siapa?”
“Pak Dirga lah! Ya tuhan. Dia lagi cakep cakepnya tau, Ra! Lo tuh coba liat sekali-kali. Dia tuh definisi eh apa ini kok ganteng banget? Gantengnya bukan level wajar, tapi level—Pak, diem disitu. Saya yang kejar!”
Nora menautkan alis.
Luthya makin bersemangat, tangannya sampai ikut-ikut menari di udara. “Definisi apotek tutup.”
Perempuan itu masih menunggu kelanjutan temannya yang heboh sendiri. “Maksudnya?”
“Gak ada obat! Dia kelihatan kayak dosen killer yang bikin lo rela dihukum tiap hari. Tapi kalau kacamatanya dilepas? DAMN! Demi alek mau nangis.”
“Dan lo bayangin, dia pewaris tetap Ardawijaya, udah ganteng, tinggi, kalau senyum matanya tipiis banget. Terus juga, definisi GEDE!”
Lagi lagi, Nora tak mengerti bahasa milik temannya itu.
“Punggungnya yang gede!”
Ia mendesah panjang, lalu merapatkan telapak tangan di dada.“Terus ya divisi lain bilang, di pesta perpisahan kemarin, semua orang mabok kecuali dia! HELLO?! Green flag nggak ada obat, Ra. Fix sih Dia tuh kayak karakter utama di dunia ini. Singkat dan padat, PAPAH!”
Sementara Luthya lagi senang senangnya menggambarkan sosok ‘Dirga’, Nora hanya bisa mengangguk tipis. Mengayunkan kepalanya untuk tanda setuju.
Jam dinding menunjukan pukul delapan. Suasana kantor mulai padat, suara papan ketik, derit kursi, dan obrolan singkat mengisi ruangan. Nora mencoba mengatur napas, lalu benar-benar menekuni pekerjaannya.
Nora merupakan staf baru di divisi IP Development Ardawijaya Publisher, perusahaan penerbitan terbesar yang namanya sudah melegenda. Namun alih-alih sebagai staff lain, dirinya seringkali menulis novel miliknya di malam hari yang ia simpan rapat-rapat.
Pagi ini ia ditugaskan memeriksa kelengkapan kontrak sebuah novel fantasi. Ada banyak detail yang harus diperiksa seperti hak cipta, pembagian royalti, hingga catatan jika novel tersebut akhirnya diangkat ke layar lebar.
Matanya menyusuri lembar demi lembar, tetapi konsentrasinya pecah-pecah. Kalimat yang barusan ia tulis di naskah pribadinya masih terngiang di kepala. Dirga.. pria dengan bahu kokoh.. ia merutuk dalam hati, berharap wajahnya tak terlalu terlihat merah.
Suara langkah terdengar di luar ruangan. Awalnya samar, lalu semakin jelas, teratur, dan mantap. Seolah setiap ketukan sepatu itu membawa aura dingin sekaligus kharismatik.
Sejenak, ruangan yang ramai oleh suara ketikan keyboard mendadak senyap. Semua kepala menoleh hampir bersamaan.
Luthya menegakkan tubuh, matanya berbinar. "Damn, Here we go."
Nora ikut menoleh, meski dengan gerakan lambat. Jantungnya serasa mau loncat ke tenggorokan saat seorang pria tinggi memasuki ruangan. Jas hitam tersemat rapi di tubuhnya, dipadukan dengan kemeja putih tanpa cela.
Rambut hitamnya disisir ke belakang dengan elegan, memperlihatkan garis rahang tegas yang membuat setiap orang otomatis menahan napas.
Dirgantara Ardawijaya.
Nama itu bukan sekedar CEO. Di kalangan penerbitan, ia adalah legenda. Laki-laki dengan aura dominan, cerdas, dingin, dan bagi Nora terlalu sempurna untuk jadi nyata. Jas hitam yang membungkus tubuh tingginya tampak seperti dibuat khusus mengikuti lekuk bahunya.
Aura kehadirannya berbeda, seperti ada sesuatu yang membuat semua orang merasa kecil dihadapannya. Tegas, dingin dan tak terbantahkan.
Sosok itu berjalan menelusuri barisan meja, memberikan anggukan singkat pada beberapa staf senior. Tak ada yang berani bersuara keras, hanya sapaan lirih penuh hormat.
Nora menunduk, menatap berkas di laptopnya seakan sedang sibuk. Tapi matanya sempat melirik, sekilas.
Jelas, ia tahu betul siapa sosok itu. Sosok yang sudah diam-diam ia kagumi dari kejauhan, sosok yang selalu berada di kepalanya saat Nora tengah mengetikan dunia fiksinya.
Ini dia, batin Nora berdesir, hampir tanpa sadar tersenyum, karakter male lead-ku.
Rumah Dirgantara malam itu jauh berbeda dari masa-masa dulu, tidak lagi sunyi, tidak lagi dingin. Lampu-lampu hangat temaram, aroma lavender memenuhi udara, dan dari salah satu sudut ruangan terdengar suara lembut dan teratur… napas seorang bayi yang sedang tidur.Nora berdiri di samping boks kecil itu, jemarinya mengusap lembut pipi chubby yang memerah alami. Ada lingkaran gelap samar di bawah matanya, hasil begadang selama berbulan-bulan, namun matanya tetap jernih, penuh cinta, dan tidak sekali pun menunjukkan tanda penyesalan.“Aneh ya,” bisiknya lirih pada bayi mereka. “Dulu saya cuma nulis fantasi… sekarang saya hidup di dalamnya.”Pintu kamar bergeser pelan. Dirga masuk dengan langkah hati-hati seperti seseorang yang takut mengusik kedamaian yang rapuh. Ia masih menggunakan kemeja kerja, lengan sudah digulung, dasi sudah dilepas sejak lama. Tatapannya langsung jatuh pada dua makhluk paling berarti dalam hidupnya.“Nora,” panggilnya pelan.Gadis itu menoleh, tersenyum kecil. “Ud
"Saya juga. Tapi saya bersama kamu. Kita lakukan ini bersama. Tarik napas... lihat saya... jangan lepaskan tangan saya, janji?"Nora mengangguk lemah, air mata mulai menggenang di matanya.Dokter Darmaji, seorang pria paruh baya dengan wajah tenang dan berpengalaman, masuk ke ruangan. "Pembukaan sudah penuh. Kita siap mulai."Dirga mengangguk cepat tanpa melepaskan pandangannya dari Nora, bahkan tidak sedetik pun. Maka, dimulailah pertarungan paling sengit yang pernah Dirga ikuti, bukan di ruang rapat yang dingin, melainkan di ruangan ini yang dipenuhi teriakan, keringat, dan aroma cinta yang membara. Kontraksi datang seperti gelombang badai yang saling menindih, tanpa ampun."Dorong, Nyonya! Tarik napas dalam-dalam dan dorong!" perintah bidan kepala dengan suara yang tegas namun menenangkan."Sedikit lagi! Kepala bayinya sudah kelihatan!""Bagus! Begitu! Lagi!""AAAHHHH!!!" Nora memekik, tubuhnya menegang kaku, tangannya hampir menghancurkan jari-jari Dirga. Ia menarik rambut suaminy
Gedung Ardawijaya Group menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk kota, sebuah monumen modern dari baja dan kaca yang mencerminkan ambisi tunggal pemiliknya. Namun, siang itu, getaran yang terasa bukan berasal dari lalu lintas di bawah atau angin yang menerjang puncaknya. Getaran itu lahir dari satu sumber amarah murni yang memancar dari lantai eksekutif Dirgantara Ardawijaya.Di dalam ruang rapat utama yang luas, dengan dinding kaca yang memandang ke langit-langit kota, udara terasa dingin dan pekat. Meja mahoni yang mengkilap seolah mengecil di bawah tekanan energi negatif. Para direktur, pria dan wanita yang biasanya percaya diri dan mengendalikan pasar, kini terlihat seperti anak sekolah yang dimarahi. Rapat berjalan kacau bukan karena grafik merah di layar atau laporan keuangan yang mengecewakan, tapi karena sang raja di kerajaannya sedang naik pitam."Bagaimana bisa kontrak sebesar itu nyaris terlepas?!" suara Dirga menghentak meja. Bunyi dentuman yang keras membuat cangkir kopi
Begitu jet pribadi mulai menurunkan ketinggian, lampu kabin berganti menjadi mode pendaratan. Di luar jendela, Dubai bersinar seperti hamparan emas, gedung-gedung tinggi memantulkan cahaya lampu kota, gurun malam membentang sunyi dengan garis-garis jalan yang berpendar.Nora memandangi pemandangan itu sambil memegang perutnya, sedikit tak percaya bahwa perjalanan impulsif ini benar-benar terjadi. Semua demi satu kalimat iseng dari bibirnya: ingin makan cokelat Dubai langsung dari Dubai.Sementara itu, Dirga duduk di sebelahnya, tubuhnya sedikit condong untuk memastikan Nora nyaman. Tangan besar lelaki itu terus bertengger di pinggang Nora, tidak bergerak terlalu jauh, tidak pernah benar-benar melepaskan.“Begitu kita turun, kamu tetap di dekat saya,” ujar Dirga perlahan, suaranya mantap dan mengandung aba-aba. “Bandara di sini cukup ramai bahkan untuk jalur private. Saya tidak ingin kamu terpisah sedikit pun.”Nora tersenyum kecil. “Mas, saya kan nggak mau kabur.”“Saya tidak peduli,”
Keputusan itu langsung mengubah seluruh suasana rumah. Dalam waktu kurang dari lima belas menit, rumah besar Dirgantara seakan berubah menjadi markas operasi militer yang sedang menghadapi krisis internasional.Lorong-lorong yang biasanya sunyi mendadak penuh suara langkah cepat, suara walkie-talkie, dan instruksi yang bersahut-sahutan. Para pengawal bergerak bak prajurit terlatih, sebagian menghubungi tim bandara untuk memastikan semua izin terbang darurat diproses seketika, sebagian lagi memeriksa keamanan rute dari rumah ke hanggar pribadi.Matthew sudah berlari ke garasi bawah tanah, mengecek kondisi jet pribadi yang memang selalu standby, tetapi hari ini harus siap sekarang juga. Ia memastikan bahan bakar penuh, pilot dan co-pilot sudah dipanggil, lalu mengirim laporan singkat ke ponsel Dirga.Asisten rumah tangga muncul dari berbagai penjuru membawa koper, pakaian longgar Nora, jaket, syal, dan bahkan bantal favorit perempuan itu. Mereka memasukkannya ke koper dengan efisiensi t
Tidak pernah terbayang oleh siapa pun terutama oleh Dirgantara Ardawijaya, pria yang selama ini memegang kendali atas segalanya, bahwa bentengnya yang paling pribadi, rumah megahnya yang selama ini dikenal dingin, sunyi, dan membosankan, akan berubah menjadi… sebuah museum warna-warni yang kacau dan penuh kehidupan.Rumah itu dulu adalah cerminan dirinya. Sebuah kubus marmer abu-abu yang berdiri kokoh di tengah taman yang terawis rapi. Di dalamnya, lantai marmer hitam mengkilap yang begitu dingin hingga menyentuh telapak kaki, memantulkan bayangan sosok-sosok yang bergerak tanpa suara. Patung-patung menyeramkan dari batu obsidian, karya seni abstrak yang terasa lebih seperti ancaman daripada hiasan, berdiri di setiap sudut seperti penjaga bisu. Vas-vas minimalis tergeletak kosong, tanpa bunga, karena menurut Dirga, bunga adalah representasi sesuatu yang akan layu dan mati. Pencahayaan redup, tersembunyi di balik balik-balik langit-langit, menciptakan suasana seperti hotel bisnis prem







