Hingga larut malam, Vira masih terjaga disisi Ningrum. Vira benar-benar tidak bisa memejamkan matanya, ditambah lagi dia masih terus memikirkan dimana dia harus mencari uang untuk biaya operasi ibunya.
Panji yang tertidur di sofa, dia terbangun dan mendapati kakaknya yang masih terjaga."Kak?" ujar Panji memanggil. Panji kemudian bangkit lalu menghampiri Vira."Ada apa, dek? Kenapa kamu bangun? Tidurlah, ini sudah malam," ucap Vira."Sebaiknya sekarang kakak saja yang tidur, biar aku yang menjaga ibu. Aku lihat sepertinya kakak sangat kelelahan," ucap Panji."Tidak apa-apa, dek. Kakak tidak mengantuk, kalau kamu mau tidur ya tidur saja!" sahut Vira sambil tersenyum."Bukankah besok kamu harus sekolah?" tanya Vira."Kak, besok itu hari minggu. Apa kakak lupa?" tanya Panji.Vira pun menertawakan kebodohannya, bahkan dia tidak tahu besok itu hari apa."Benarkah? Ternyata bodoh sekali aku ini," Vira merutuki dirinya sendiri."Ya sudah sana, kakak tidur gih!" titah Panji lagi.Akhirnya Vira pun mengiyakan ucapan Panji karena adiknya itu bersikeras memaksanya."Ya sudah, kalau gitu kakak istirahat dulu ya," ucap Vira.Vira bangkit dari tempat duduknya dan ia berjalan menuju sofa tempat dimana sebelumnya Panji tertidur.Vira merebahkan tubuhnya disana dan mencoba memejamkan matanya. Namun, pikirannya melayang entah kemana hingga akhirnya ia pun tertidur.Keesokan paginya..."Mbak Vira?" ucap seorang perawat memanggil Vira."Iya sus, ada apa ya?" tanya Vira."Mari ikut saya sebentar, Dokter Sandi ingin bertemu dengan anda, Mbak." ucap dokter itu."Baik sus," sahut Vira. Kemudian dia mengikuti langkah perawat itu menuju ruangan dokter."Permisi dok," ucap Vira saat melangkah masuk."Saudara Vira? Silahkan duduk!" titah Dokter Sandi."A-ada apa ya, dok?" tanya Vira dengan tatapan cemas."Jadi begini Vira, mengenai operasi Ibu Ningrum saya sudah menjadwalkan kapan operasi itu akan dilakukan," jawab Dokter Sandi."Jadi kapan itu, dok?""Operasinya paling lambat akan dilaksanakan satu minggu lagi," jawab dokter itu lagi."Satu Minggu lagi?" tanya Vira tercengang.Tujuh hari lagi? Namun, Vira masih belum mendapatkan uangnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang?"Jadi sebaiknya anda segera melunasi biaya administrasinya agar pasien bisa secepatnya menjalani operasi transplantasi jantung, karena semakin cepat dilakukan maka akan semakin baik," ucap Dokter Sandi lagi."Begini dok, sebenarnya saya belum memiliki uang untuk membayar biaya operasinya. Jadi apa tidak bisa saya membayarnya setelah ibu saya selesai dioperasi?" tanya Vira."Maaf Mbak Vira, itu tidak bisa. Prosedur rumah sakit ini memang sudah seperti itu dan untuk hal itu bukan menjadi kewenangan saya, kewajiban saya hanya mengobati pasien di rumah sakit ini, Mbak." sahut Dokter Sandi."Baiklah dok, sebisa mungkin saya akan mencari uangnya dan segera melunasi biaya administrasinya," ucap Vira terdengar putus asa."Baik, sekali lagi saya minta maaf karena saya tidak bisa membantu dalam hal itu.""Iya tidak apa-apa, dokter.""Kalau begitu saya permisi dulu," ucap Vira, kemudian segera pergi dari ruangan tersebut."Dimana aku harus mencari uang sebanyak itu dalam waktu dekat?" Vira bertanya didalam hatinya."Apa aku harus meminta bantuannya?" gumam Vira."Iya, aku tidak punya pilihan lain. Aku akan meminta bantuannya saja," Vira merogoh ponselnya dan mencoba menghubungi Andi yang merupakan kekasihnya itu.Namun, Vira tidak mendapatkan jawaban. Kekasihnya itu tidak menjawab panggilan dari Vira meskipun ia sudah mencoba meneleponnya berulang kali."Kemana dia?" tanya Vira bergumam. Akhirnya Vira memutuskan untuk pergi ke apartemen milik kekasihnya saja.Sebelum pergi menemui Andi, Vira kembali masuk ke dalam ruang perawatan ibunya untuk melihat kondisinya."Apa ibu masih belum sadar juga?" tanya Vira pada Panji.Panji hanya menggelengkan kepalanya dengan putus asa."Belum Kak. Kenapa ibu belum juga sadar? Aku takut terjadi apa-apa pada ibu, kak." ucap Panji terlihat gelisah."Panji, sabar ya! Kakak yakin ibu akan baik-baik saja. Sebaiknya kita banyak berdoa saja untuk kesembuhan ibu," ucap Vira."Oh iya kak, tadi apa kata dokter?" tanya Panji."Ah, itu..." ucap Vira terdengar ragu. Namun, dia tidak bisa menyembunyikannya dari Panji."Kata dokter... Kakak harus secepatnya melunasi biaya administrasi supaya ibu bisa segera dioperasi, Jawab Vira."Terus?""Ya, mau tidak mau kakak harus segera mendapatkan uang itu bagaimana pun caranya, dek." jawab Vira."Tapi kemana kakak akan mencari uang sebanyak itu?" tanya Panji lagi."Kakak akan coba untuk menemui Kak Andi.""Kakak serius?" tanya Panji, dan Vira pun mengangguk."Tapi kak..." Bahkan Panji sendiri merasa ragu dengan keputusan yang ambil oleh kakaknya itu."Tidak apa-apa dek, kakak bukan meminta uang kepadanya tapi kakak hanya ingin meminjamnya saja.""Tapi tetap saja Kak, kakak baru beberapa bulan menjalin hubungan dengannya, aku takut kalau keluarga Kak Andi akan memandang rendah keluarga kita," ucap Panji."Tidak apa dek, bahkan kakak rela kehilangan harga diri kakak demi kesembuhan ibu," ucap Vira."Baiklah, jika itu keputusan kakak, aku hanya bisa mendukungnya. Hati-hati di jalan ya, kak!" ujar Panji."Iya, dek."Vira sedang dalam perjalanan menuju apartemen Andi. Didalam perjalanan Vira kembali mencoba menghubungi kekasihnya itu namun masih tetap tidak mendapatkan jawaban."Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi!" Hanya suara operator yang terdengar."Kemana kamu, Ndi?" gumam Vira. Tumben-tumbenan Andi sulit sekali dihubungi."Makasih ya, pak." ucap Vira setelah ia turun dari taxi. Ia pun kemudian segera berjalan menuju unit apartemen milik kekasihnya itu.Vira kini sudah berdiri tepat didepan pintu apartemen Andi. Vira menarik nafasnya dalam-dalam, dia mengangkat tangannya hendak menekan bel pintu. Namun, tanpa sengaja Vira melihat pintu itu sudah terbuka sedikit."Loh, kok nggak dikunci? Tumben," gumam Vira.Kemudian Vira meraih gagang pintu itu dan memberanikan diri untuk masuk ke dalam."Andi?" ucap Vira sambil membuka pintu tersebut dan berjalan masuk ke dalam.Tidak ada jawaban, Vira meneruskan langkahnya memasuki apartemen milik Andi."Andi kemana ya? Apa dia tidak ada?" gumam Vira bertanya pada dirinya sendiri.Karena merasa tidak ada orang, Vira memutuskan untuk kembali saja. Namun saat ia berbalik, tiba-tiba ia mendengar suara bising yang terdengar aneh di telinga Vira. Suara itu berasal dari sebuah ruangan yang berada tidak jauh dari tempat Vira berdiri.Vira menghentikan pergerakannya kemudian ia berjalan mendekat ke arah pintu ruangan itu dengan perasaan yang berdebar-debar. Detak jantungnya bertalu-talu saat ia mendengar suara tersebut semakin menusuk indera pendengaran Vira.Tubuh Vira bergetar, kedua tangannya bergetar saat meraih gagang pintu ruangan itu.Ceklek!Dengan sangat amat pelan, Vira berhasil membuka pintu itu. Vira menghirup udara sebanyak-banyaknya sebelum kemudian ia mengintip dari celah pintu tersebut."Andi?" gumam Vira dengan suara bergetar.Vira membekap mulutnya . Vira tercengang, matanya membulat sempurna. Bagaikan tersambar petir di siang bolong, Vira benar-benar syok saat ia mendapati Andi, kekasihnya itu sedang bergumul dengan begitu panas tanpa sehelai benang pun di atas ranjang bersama dengan seorang wanita.--"Vira, aku tahu kau di dalam! Berhentilah main-main!" Teriak Nathan dari luar. Sementara itu di dalam bilik sempit itu, situasi mencekam. Andi terus memaksa mendekat, membuat Vira tak henti berusaha menghindar. Ia bergerak memutar, menyamping, bahkan menabrak wastafel demi menjaga jarak dengan pria itu. Ruangan yang sempit membuat gerakannya terbatas. Rambutnya mulai kusut, dan bajunya tampak berantakan akibat usahanya melawan. Nafasnya memburu, matanya terus mencari celah untuk melarikan diri. "Andi, hentikan! Kau sudah kelewatan!" pekik Vira dengan suara bergetar namun penuh penolakan. "Sampai kapan kau ingin terus bermain kucing-kucingan denganku, Vira?" tanya Andi, nadanya datar namun penuh tekanan. Tanpa aba-aba, ia meraih pinggang Vira dengan satu tangan, menarik tubuh gadis itu mendekat. Tangan lainnya terangkat, menyibakkan rambut Vira yang berantakan ke belakang telinganya. "Vira, kau tidak bisa ke mana-mana sekarang," desis Andi seraya mendekat. "Jadi diamlah… dan
Andi menunduk, wajahnya seperti kehilangan warna. Ia tak menyangka rahasianya terbongkar."Vira… aku bisa jelaskan," ucap Andi ingin menjelaskan. "Sudah cukup!" potong Vira cepat. "Penjelasanmu sudah kedaluwarsa sejak malam itu!""Vira, kamu salah paham! Kamu tahu kan kalau aku sangat mencintaimu?" tanya Andi, masih menggenggam pergelangan tangan Vira.Vira mendengus sinis."Cih! Salah paham?" matanya menatap tajam. "Bagaimana bisa kamu sebut itu salah paham, sementara aku lihat sendiri pengkhianatan yang kamu lakukan... dengan mata kepalaku sendiri!""Aku datang malam itu, Andi! Aku berdiri di depan pintu kamarmu dan melihat kalian berdua bermesraan, berpelukan, seolah tak pernah ada aku dihidupmu!" lanjutnya, suaranya mulai bergetar menahan emosi.Andi tercekat. Ia belum sempat bicara saat Vira kembali bersuara, lebih tegas."Sekarang, lepaskan tanganku!" Vira berusaha menarik pergelangannya, namun Andi tak bergeming."Lepaskan, Andi!" Suara Vira datar, tapi tajam."Kau bukan bagia
"Bagaimana kalau kita makan dulu? Aku yakin kau pasti lapar, kan?" tanya Nathan, suaranya lebih tenang kali ini, membuyarkan keheningan yang sejak tadi menggantung di antara mereka."Iya, Pak. Aku rasa itu ide yang sangat bagus," sahut Vira, mencoba tersenyum.Sebenarnya, Vira memang sudah lapar sejak tadi. Bagaimana tidak? Terakhir kali ia makan adalah semalam, sesaat setelah ia tiba di apartemen Nathan.Setelah itu tenaganya habis terkuras oleh pria itu semalam, dan pagi harinya ia bahkan tak sempat sarapan. Dari pagi hingga menjelang siang, ia masih harus terus menjadi pelampiasan hasrat Nathan. Tak heran tubuhnya kini terasa begitu lemas. "Heh, apa kau sangat kelaparan?" tanya Nathan dengan nada menggoda, sudut bibirnya terangkat samar.Vira mendengus pelan. "Hem, Anda masih sempat bertanya? Padahal Anda sendiri pasti sudah tahu jawabannya," balas Vira sambil mencibir kecil."Hahaha... baiklah, maafkan aku!" Nathan terkekeh. "Sebagai gantinya, nanti kau boleh pesan makanan apa p
Tanpa memberi waktu bagi Vira untuk bertanya, ia mendekat dan mengecup bibir Vira dengan lembut, tak tergesa namun cukup dalam untuk menyampaikan semua yang tak bisa ia ucapkan. Kejutan itu membuat Vira terpaku, tubuhnya melemah dalam pelukan pria itu. Nathan mulai membuka satu persatu kancing baju Vira. Vira refleks menarik diri, napasnya tersengal. "Nathan, kita bisa terlambat..." ucapnya dengan suara bergetar, mencoba tetap berpikir jernih di tengah gejolak yang menghentak.Namun Nathan hanya tersenyum miring."Waktu seolah berhenti saat aku bersamamu,Vira," gumamnya sambil mendekat lagi. Ia membelai pipi Vira, lalu tanpa tergesa menarik tubuhnya hingga bersandar di meja rias.Vira mengalihkan pandangan, berusaha mengatur debar di dadanya yang tak karuan."Tapi, kita harus berangkat sekarang, Pak. Kalau tidak, pasti klien sudah menunggu," kata Vira pelan. Nathan menarik napas dalam, lalu akhirnya mengangguk pelan."Baiklah... Ayo kita pergi, sebelum aku berubah pikiran!"Namun,
Nathan kembali menyentuh wajah Vira, kali ini lebih lama, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sentuhan itu membuat Vira terusik, kelopak matanya perlahan terbuka.Begitu matanya terbuka sepenuhnya, Vira terperanjat mendapati Nathan duduk begitu dekat, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan."M-maaf, Pak… eh, maksudku, Nathan. Aku tidak tahu kalau kau sudah bangun," ujar Vira gugup. "Tak masalah," jawab Nathan singkat, suaranya terdengar tenang.Vira menunduk sejenak sebelum melanjutkan, "Dan maaf… aku tertidur di sebelahmu. Semalam kau terus menggenggam tanganku sambil mengigau jadi, aku… tidak bisa pergi.""Apa kamu bermimpi buruk? Kamu sempat mengigau sampai ingin menangis," tanya Vira pelan, menatap wajah Nathan penuh empati. "Aku lihat ada luka yang dalam di balik raut wajahmu."Nathan terdiam sejenak. Tatapannya kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu, lalu ia menggeleng perlahan. "Tidak, aku tidak bermimpi. Mungkin hanya karena terlalu kelelahan,
Flashback — 17 tahun yang lalu...Di sebuah taman bermain kecil yang dikelilingi pagar kayu warna-warni, tampak seorang anak perempuan berusia enam tahun duduk di ayunan, matanya terus menatap ke arah gerbang taman.Setiap sore, ia akan datang ke tempat itu—duduk menanti sosok yang selalu ia rindukan: seorang bocah laki-laki berseragam SD yang baru saja pulang sekolah.Dan seperti biasa, bocah itu datang dengan langkah cepat—seolah takut membuat gadis kecil itu menunggu terlalu lama. Nafasnya sedikit terengah, tapi senyumnya tetap terjaga. Ada semangat yang tak bisa dijelaskan tiap kali matanya menemukan sosok kecil yang duduk menunggunya di sana."Kak Adit!" seru anak perempuan itu, suaranya lantang dan penuh semangat, seperti nyanyian kecil yang menggema di antara gemericik tawa anak-anak di taman sore itu.Adit, bocah laki-laki yang baru saja naik ke kelas 2 SD, menoleh dan tersenyum lebar. Seragamnya sedikit kusut, tasnya menggantung miring di pundak, dan keringat masih membasahi