LOGINBagaikan teriris dengan sembilu, dada Vira benar-benar perih saat ia menyaksikan pemandangan yang begitu menyakitkan hatinya. Vira bisa melihat bagaimana Andi yang begitu menikmati permainan yang dia lakukan dengan wanita itu.
Tes! Tes! Tanpa Vira sadari air matanya mulai jatuh membasahi pipinya yang putih dan mulus. Merasa tidak tahan dengan apa yang ia lihat, Vira pun langsung pergi meninggalkan apartemen itu."Hiks! Hiks! Hiks!"Vira tidak kuasa menahan tangisnya. Vira duduk disebuah kursi panjang di taman sambil memegangi dadanya yang terasa sesak. Vira tidak pernah menyangka bahwa Andi, lelaki yang ia cintai tega mengkhianati dan memberinya luka sesakit ini."Kamu jahat, Andi! Aku tidak percaya, ternyata kamu sama saja dengan para lelaki di luaran sana!" ucap Vira dalam isak tangisnya."Aku benci kamu, Andi! Hiks, hiks." Vira kembali menangis. Kini perasaannya hancur sehancur-hancurnya.Disaat yang bersamaan, ponsel Vira berdering. Vira mengusap air matanya lalu ia menjawab panggilan dari Panji."Iya dek, ada apa?" tanya Vira."Kak, ibu..." ucap Panji menggantung."Ibu kenapa, dek?" tanya Vira panik."Ibu... ibu kritis, kak.""A-apa? Kritis?" tanya Vira dengan nada suara bergetar."Iya kak, kata dokter ibu harus dioperasi malam ini juga kak. Kakak dimana sekarang?" tanya Panji."Malam ini?""Iya kak.""Ya Allah, dimana aku harus mencari uang?" bathin Vira."Kak?" panggil Panji lagi karena Vira hanya diam."I-iya dek, kakak akan segera kesana," ucap Vira lalu memutus sambungan teleponnya.Vira benar-benar bingung, dan dia benar-benar sudah kehabisan tempat. Dia tidak tahu lagi harus mencari uang itu kemana lagi, sedangkan ibunya harus dioperasi malam ini juga.Rasa frustasi menghinggapi Vira ketika ia teringat dengan tawaran yang beberapa hari yang lalu ia tolak mentah-mentah.Hanya ada satu tempat lagi, iya benar! Meski Vira tampak ragu, namun mau tidak mau Vira harus kesana."Pak Nathan," gumam Vira."Iya aku harus menemuinya, dia adalah harapanku satu-satunya," ucap Vira.Ada rasa sesal dalam hatinya, mengapa ia harus berada dalam situasi yang sangat berat seperti ini? Jika ia menerima tawaran Nathan, kemungkinan Ningrum untuk sembuh sangat besar. Tetapi ia harus melakukan sebuah pengorbanan yang besar pula, Vira harus merelakan keperawannya untuk Nathan serta menjadi teman tidur lelaki itu selama tiga bulan penuh.Hembusan nafas pelan lolos dari bibir mungilnya, benaknya membayangkan kondisi Ningrum yang kemungkinan akan semakin bertambah parah lagi jika seandainya tidak segera mendapatkan penanganan.Tidak! Vira tidak bisa kehilangan ibu."Ibu... Vira akan melakukan apa saja demi ibu," gumamnya lirih.Dengan berat hati, Vira memutuskan untuk menerima tawaran Nathan yang sebelumnya sangat ia tolak mentah-mentah.***Kini Vira sudah berdiri sambil menatap gedung pencakar yang ada ada dihadapannya. Gedung yang tidak lain adalah tempatnya bekerja beberapa hari yang lalu.Vira menghela nafasnya, dia tidak percaya bahwa dia yang akan kembali kesana atas kemauannya sendiri setelah Vira dengan begitu berani menampar seorang CEO perusahaan tersebut.Tetapi demi ibunya, Vira akan mengesampingkan harga dirinya. Persetan dengan hal itu, bahkan Vira sendiri tidak tahu apakah dia masih punya harga diri atau tidak.Vira mulai melangkah masuk ke dalam sana dan langsung menuju ke ruangan Nathan. Beberapa karyawan menatap nyalang ke arah Vira yang masih dengan begitu berani menampakkan diri di perusahaan itu setelah sikapnya yang begitu kurang ajar terhadap atasannya."Lihat! Apa yang dia lakukan disini?" bisik seorang karyawan."Aku tidak tahu, apa dia tidak punya malu?" sahut karyawan disebelahnya.Namun sekali lagi, Vira tidak peduli. Vira tidak ada urusan dengan orang-orang itu.Ceklek! Vira langsung membuka pintu ruangan Nathan."Permisi, Pak Nathan," ucap Vira kepada pria yang saat ini sedang duduk di kursi kebesarannya.Nathan langsung menatap Vira sambil tersenyum miring, seolah dia sudah tahu dengan maksud dan tujuan Vira datang menemuinya."Apa yang kau inginkan?" tanya Nathan terdengar ketus, bahkan tanpa melihat ke arah Vira. Nathan terlihat sibuk menandatangani beberapa berkas di meja kerjanya."B-begini pak, apa tawaran anda waktu itu masih berlaku?" tanya Vira sedikit gugup."Tawaran? Tawaran apa? Aku tidak ingat bahwa aku pernah memberikanmu sebuah penawaran?" tanya Nathan berpura-pura bodoh. Sejatinya dia sengaja ingin mempermainkan Vira.Nathan bersikap seakan dirinya tidak tahu apa maksud dari kedatangan Vira menemuinya, padahal Nathan tahu betul maksud dan tujuan Vira. Apalagi jika bukan soal uang?Vira terdiam, dia mendadak kikuk karena sesungguhnya dia sendiri masih merasa ragu dengan keputusan yang akan dia ambil.Nathan kembali mengangkat wajahnya karena tidak mendapatkan jawaban apapun dari mulut Vira."Jawab Vira! Memangnya aku pernah memberikan penawaran apa padamu?"Vira menelan ludahnya berat. Ia sadar, Nathan hanya ingin membuatnya semakin merasa malu dan terhina."Jika kau datang menemuiku hanya untuk diam, lebih baik kau pergi saja! Aku memiliki banyak pekerjaan dan aku tidak memiliki waktu untuk menunggumu berbicara," ucap Nathan dengan nada penuh penekanan."Jadi kau mau bicara atau mau pergi?" imbuh Nathan lagi.Helaan nafas pelan lolos dari mulut Vira. Meski ia ragu, akan tetapi jika dia mengingat kondisi ibunya yang sudah semakin parah dan harus segera di operasi, Vira pun mengesampingkan segala harga dirinya."Tawaran anda yang mengatakan akan membiayai seluruh biaya pengobatan ibuku sampai sembuh, dan aku harus membayarnya dengan menjadi teman tidurmu selama tiga bulan."Tanpa Vira sadari, Nathan mengangkat salah satu sudut bibirnya. Hatinya bersorak sorai penuh kemenangan, kini Nathan sudah benar-benar mendapatkan apa yang dia inginkan."Aku tidak ingat kalau aku pernah memberikanmu penawaran seperti itu?" ucap Nathan lagi.Vira tertegun."Masa dia tidak ingat? Yang benar saja. Ini tidak mungkin!" batin Vira merasa tidak percaya.Vira tidak bodoh, dia yakin bahwa ingatan atasannya itu masih sangat baik untuk mengingat kejadian yang terjadi beberapa hari yang lalu."Pak Nathan, apa anda sungguh tidak ingat?" tanya Vira. Sementara Nathan hanya menjawab dengan mengendikkan bahunya saja."Pak Nathan, saya mohon tolong saya! Saya tahu kalau anda masih mengingat hal itu dengan baik, anda tidak mungkin lupa," ucap Vira dan hanya dibalas dengan sebuah senyum miring yang tercetak di bibir atasannya itu."Ya, kamu benar, Vira! Aku masih mengingatnya dengan jelas, bagaimana kamu yang dengan begitu arogan menolak tawaranku, dan bahkan kamu berani menampar wajahku," sahut Nathan."Bukankah saat itu kau yang mengatakan dengan penuh rasa percaya diri bahwa harga dirimu itu tidak bisa ditukar dengan sejumlah uang?""Lalu, apa ini? Apa yang terjadi, sehingga kamu datang kemari secara sukarela menemuiku? Apa semuanya sudah berubah? Kemana wanita arogan yang berani itu?" tanya Nathan lagi.Vira memejamkan kedua matanya untuk mengontrol emosinya."Pak Nathan, saya benar-benar minta maaf. Untuk saat ini saya sangat membutuhkan uang, jadi saya mohon tolong bantu saya, pak!" ucap Vira dengan wajah memelas."Saya bersedia melakukan apa saja jika anda mau membantu saya," ucap Vira terdengar pasrah.Mendengar ucapan Vira, Nathan langsung bangkit dari tempat duduknya. Dia berjalan menghampiri Vira yang masih berdiri sambil menundukkan wajahnya.--Pria paruh baya itu melangkah mantap ke tengah ruangan, sorot matanya tajam menyapu setiap sudut hingga membuat suasana terasa kian menegangkan. Para pegawai sontak terdiam, tak ada yang berani bersuara. Vira yang berdiri paling ujung hanya bisa menatap penuh tanya, siapa sebenarnya orang ini hingga semua orang begitu menghormatinya?Vira menelan ludah, ia tak tahan lagi untuk berbisik pada Ana, "Siapa dia, Na?"Ana meliriknya sekilas, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Vira. "Itu… Ayahnya Pak Nathan, namanya Pak Bramantyo!"Dengan suara berat namun penuh wibawa, pria paruh baya itu akhirnya membuka mulutnya, "Apa Nathan ada di ruangannya?" tanyanya. Ana yang berdiri di samping Vira buru-buru menyikut pelan lengannya, memberi isyarat agar ia segera maju. Bagaimanapun juga, Vira adalah asisten pribadi Nathan jadi sudah sepatutnya dialah yang harus berurusan langsung dengan pria penting itu.Mau tak mau, Vira melangkah mendekat, menundukkan sedikit tubuhnya sebagai bentuk hormat. "S
Makan malam akhirnya usai, menyisakan meja yang dipenuhi piring dan gelas kotor. Namun, alih-alih beranjak, Nathan masih bersandar santai di kursinya, matanya tak lepas dari sosok Vira di seberangnya. "Vira," suaranya dalam, membuat wanita itu menoleh dengan bingung. "Ada sesuatu di sudut bibirmu!" ucap Nathan sambil menunjuk dengan telunjuknya. Refleks Vira menyeka dengan punggung tangannya. "Sudah belum?" tanyanya polos.Nathan menggeleng, sudut bibirnya terangkat tipis. "Bukan di situ… di sebelah kanan!"Dengan kikuk, Vira mencoba lagi, menggunakan ujung jarinya. "Sekarang?" tanyanya, semakin salah arah.Nathan mendesah pendek, matanya menyipit antara kesal dan geli. "Bukan di situ. Kau justru membuatnya semakin berantakan!" Wajah Vira memanas, ia kembali menyeka dengan buru-buru. "Dimana sebenarnya? Ini tidak ada kok!" ucapnya sedikit jengkel.Nathan hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya bangkit dari kursinya. "Sudahlah…" gumamnya pelan.Tanpa banyak kata, ia melangkah
Nathan menarik napas dalam, membiarkan jarak di antara mereka terasa lebih intim. Matanya menatap Vira, seolah ingin menembus setiap perasaan yang tersembunyi di balik tatapannya.Vira masih meringkuk di sudut sofa, jantungnya berdegup kencang, campuran rasa gugup dan hangat yang tiba-tiba membanjiri dadanya. Ia tak tahu harus berbuat apa, hanya bisa menatap Nathan dengan mata yang sedikit membelalak.Vira menunduk, bibirnya bergetar sedikit. "Nathan…" ucapnya dengan suara lirih, nyaris tersedak. "A-apa… kau tidak lapar?" Lanjutnya terbata. Nathan tersenyum tipis, matanya berkilat nakal. "Tentu saja aku sangat lapar… sampai aku ingin memakanmu sekarang juga!" jawabnya sambil menyeringai, nada bercandanya berhasil membuat wajah Vira memerah hebat. Vira terdiam sejenak, menelan ludah dan menundukkan wajahnya. Jantungnya berdetak lebih kencang, antara kesal dan malu. "Bu-bukan itu maksudku… hmmpptthh…" ucapnya terbata, wajahnya memerah hebat.Namun sebelum kata-katanya tuntas, Natha
Kini hidangan yang ia olah dengan sepenuh hati, tersusun rapi di atas meja makan. Vira duduk di kursinya, menyendok nasi lalu menambahkan lauk ke piringnya. Perutnya pun mulai keroncongan, membuatnya benar-benar ingin segera menyuapkan makanan itu ke mulutnya. Namun saat sendok nyaris menyentuh mulutnya, sebuah kalimat Nathan kembali terlintas di kepalanya, "Aku tidak suka makan sendirian." Vira terdiam. Tangannya yang memegang sendok refleks terhenti di udara. Pandangannya jatuh pada kursi kosong di seberangnya, kursi yang semestinya terisi oleh Nathan. Seketika rasa lapar itu sirna, digantikan dengan perasaan hampa. Entah mengapa, ia merasa tidak tega menghabiskan makanan itu sendirian. Seolah Nathan benar-benar hadir di antara ingatannya, menahannya untuk tidak menikmati makan malam itu tanpa dirinya. Dengan helaan napas panjang, Vira meletakkan kembali sendoknya di atas piringnya. Ia hanya duduk memandangi meja, membiarkan makanan tetap utuh, sembari berharap pintu apartemen i
Keheningan di antara mereka tak berlangsung lama. Nathan menarik napas dalam, seolah tengah menimbang sesuatu yang berat. Dia tidak mengerti kenapa dirinya harus semarah itu. Namun jujur saja, Nathan merasa tidak terima jika ada pria lain yang menyentuh Vira.Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan gejolak yang mendesak keluar."Sekarang aku ingin kau... memberikan identitas orang itu padaku!" ucapnya penuh penekanan. "Untuk apa, Pak?" tanya Vira lirih. "Vira! Jangan membantah. Lakukan saja apa yang kukatakan. Sekarang, berikan identitas pria itu padaku!" suara Nathan meninggi, tegas dan penuh tekanan."B-baik, Pak…" ucap Vira terbata. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya. Air matanya masih mengalir, membasahi pipinya saat ia menggulir layar, mencari nama yang paling ingin ia hapus dari hidupnya. Beberapa detik kemudian, data itu terkirim."Aku… sudah mengirimkannya, Pak!" ucapnya pelan, seolah melepaskan beban berat dari dadanya.Nathan segera menunduk pada layar ponselnya.
Langkah Nathan dan Vira langsung terhenti. Nathan menoleh perlahan, rahangnya mengeras saat melihat Andi masih berdiri di tempat yang sama. "Kau masih belum tahu diri rupanya," ucap Nathan pelan, namun penuh penekanan. Andi maju selangkah, sorot matanya liar. "Kau tidak bisa membawanya pergi begitu saja!" seru Andi."Aku belum selesai berurusan dengannya!"Nathan mendorong Vira perlahan ke belakang tubuhnya, seolah menjadi tameng. Tatapannya tajam menantang."Kau sudah selesai sejak kau memilih mengkhianatinya!"Andi mendengus."Dia milikku!""Dia bukan milikmu lagi! Sekarang, dia bersamaku. Kau tak punya hak sedikit pun untuk menahannya," ucap Nathan tegas. "Pak, tenang saja. Aku hanya ingin meminjamnya sebentar. Setelah itu, akan ku kembalikan lagi padamu," ucap Andi dengan nada seenaknya."Lagi pula... wanita seperti dia, bukankah kita bisa berbagi?"Deg!Mata Vira membelalak. Berbagi?Apa dia pikir dirinya itu barang? Yang bisa dipinjam dan dikembalikan sesuka hati? Hatinya be







