“Astaga, Nada. Lihat apa yang terjadi sama payudara kamu!” Nek Siti membelalak dengan suara tercekat. Wanita tua itu menatap pada payudara cucunya dengan raut wajah terkejut.
“A … ada apa, Nek?” Gadis berwajah cantik alami bernama Nada itu terlihat sangat terkejut mendengar pertanyaan dari neneknya.
"Nada, susu kamu keluar lagi?" tanya Nek Siti lagi, saat ia melihat Nada yang tengah bersiap untuk pergi ke sekolah.
Nada merasakan debaran hatinya meningkat. Wajahnya tertunduk, matanya tertuju pada seragam sekolah yang telah basah oleh rembesan air susu. Sebuah kondisi hormonal yang tidak biasa yang telah menimpa dirinya di usia remaja, meskipun ia belum pernah menikah atau memiliki anak.
“Astaga! Iya, Nek. Aduh, bagaimana ini?" kepanikannya makin menjadi, sambil memandang jam dinding yang menunjukkan waktu sudah sangat siang, sedangkan dia tak ada baju ganti lain.
Dengan tenang, Nek Siti mendekat dan merangkul bahunya.
“Sabar, Nak. Coba sekarang kamu ganti seragamnya, pakai kain tebal di payudara . Semoga itu bisa menahan susu kamu," sarannya dengan lembut.
Nada menggeleng cepat, kebingungan masih terlukis jelas di wajahnya, berat menerima kenyataan yang dihadapinya. Gadis itu menghela nafas berat, matanya nanar menatap seragam sekolah yang sudah basah karena rembesan susu.
“Ini seragam terakhir yang aku punya, Nek," suaranya pelan, hampir tak terdengar.
Rasa cemas bercampur kepasrahan tergambar jelas di wajah tanpa riasan itu. Di sudut rumah yang sederhana tersebut, Nek Siti menggumam keras, mencoba mengumpulkan solusi.
"Coba kamu kenakan seragam SMP-mu, Nak. Itu lebih baik daripada kamu tidak sekolah sama sekali. Para guru pasti akan mencarimu, dan kamu tidak ingin kehilangan beasiswa hanya karena sering absen kan?"
Meskipun tawaran itu keluar dari mulutnya, dalam hati, Nek Siti sendiri terasa hampa, sama kesulitan menemukan jalan keluar bagi cucu tercintanya yang hanya bermodalkan keuletan dan tekad kuat demi masa depan yang lebih baik.
"Nenek benar. Lebih baik aku pakai seragam SMP saja, daripada aku nggak masuk sekolah."
"Cepatlah, Nak!"
Setelah mendapat saran dari Nek Siti, Nada cepat-cepat masuk ke kamar untuk berganti seragam. Baju seragam SMP nya sudah polos dan tak ada atribut apapun, sehingga Nada bisa mengenakannya untuk pergi ke SMA.
Beberapa saat, gadis berwajah cantik dan imut itu sudah keluar dari kamarnya. Baju SMP di tubuhnya terlihat sangat pas, dan bahkan terkesan kekecilan sehingga memperlihatkan dada Nada yang menonjol sangat bes4r. Wajar saja, karena di usianya yang baru 16 tahun, ia sudah memiliki dada besar dengan ukuran 38.
Pinggangnya ramping, leher dan kakinya jenjang dalam balutan kulit putih mulus. Pinggulnya juga besar, membuat bentuk tubuh Nada sangat sempurna bak gitar spanyol paling mahal.
"Kamu sudah siap, Nada?" tanya Nek Siti dengan lembut.
"Sudah, Nek. Mana sumpalannya?" jawab Nada dengan antusias.
"Biarkan Nenek yang memasangkannya," ujar Nek Siti sambil menyumpal kedua dada Nada dengan kain tebal, membuat penampilannya terlihat lebih penuh.
Kancing baju di bagian dada Nada bahkan tak muat untuk dikancingkan, namun hal itu tak mengurangi semangat Nada untuk pergi ke sekolah. Meskipun kini tubuhnya terlihat semakin seksi dan menantang.
"Sudah siap, sekarang kamu bisa berangkat ke sekolah," kata Nek Siti sambil merapikan penampilan Nada.
"Iya, Nek. Aku berangkat dulu. Hati-hati di rumah," balas Nada sambil berlalu menuju sekolah.
Setelah berpamitan kepada neneknya, Nada cepat-cepat berangkat ke sekolahnya dengan berjalan kaki. Karena kebetulan jarak sekolahnya juga tak terlalu jauh.
***
"Astaga! Kenapa rasanya nggak nyaman banget? Apa susu ku merembes lagi?" Nada berjalan cepat melalui koridor sekolah dengan perasaan cemas, karena ia merasa bahwa baju seragamnya mulai basah lagi.
Nada berjalan cepat, melalui beberapa cowok yang kini sedang mematung menatapnya. Tatapan mereka sangat liar dan tak bisa berkedip saat melihat keindahan tubuh Nada dalam balutan seragamnya yang kekecilan.
"Wow, Nada," ujar salah seorang cowok yang tiba-tiba langsung menghadang langkahnya.
Nada tersentak kaget. Namun, ia berpura-pura tidak ketakutan dan justru tersenyum menatap pada cowok itu.
"Hey, Kak Aldo. Apa aku bisa lewat? Maaf, tapi kamu menghalangi jalanku," tegur Nada dengan sopan.
Tatapan Nada terlihat risih saat berhadapan dengan Aldo, karena ia tahu bahwa Aldo adalah cowok yang terkenal paling nakal di SMA nya. Di SMA favorit seperti ini, tentu cowok sekelas Aldo bisa saja diterima karena dia adalah anak orang kaya.
"Oh mau lewat ya?" Aldo menyeringai dengan senyum liciknya.
"Iya."
"Boleh saja, asalkan ...." Aldo mengusap bibir bawahnya dengan ibu jarinya.
Matanya tak hentinya memandang dada Nada yang membusung sangat besar dan kencang.
"Asalkan apa?" Firasat Nada mulai tak enak.
"Asalkan aku boleh menyentuh milikmu yang sangat menggoda itu," tunjuk Aldo yang bersiap mengarahkan telapak tangannya ke payudara Nada yang super jumbo itu.
Nada terkejut dengan perlakuan Aldo. Refleks ia langsung mengangkat tangannya tepat di wajah cowok tampan itu.
Plakk!
"Jangan kurang ajar, Kak!" sentak Nada marah.
"Ah, sialan kamu, Nada!" pekik Aldo marah, karena Nada baru saja menamparnya.
Nada gemetar ketakutan dan segera berlari meninggalkan Aldo beserta kawan-kawannya.
"Bos Aldo, lo baik-baik saja?" tanya seorang temannya.
"Gue baik-baik saja, tapi awas aja tuh cewek. Gue pasti akan beli harga dirinya," geram Aldo marah.
"Iya, Bos. Cewek kayak gitu emang harus dikasih pelajaran," kata yang lain menimpali.
Aldo terus menatap ke arah Nada yang sedang berlari menjauh. Sejurus kemudian, sebuah seringai aneh tercipta di bibirnya.
"Aku pasti akan dapetin kamu, Nada," desis Aldo licik.
Setelah hampir mendapatkan pelecehan dari Aldo, seharian ini Nada memilih untuk tidak istirahat keluar kelas. Dia takut jika sampai bertemu dengan Aldo di luar kelas, dan cowok itu akan kembali melakukan perbuatannya yang tertunda.
Nada memilih untuk tetap berada di kelasnya walaupun jam istirahat. Ia yang masih kelas 2 SMA itu, tentu takut pada Aldo yang merupakan kakak kelasnya karena sudah kelas 3.
Akhirnya tak terasa jam pulang pun tiba. Semua siswa berhamburan pulang, dan begitu juga dengan Nada. Ia pulang berjalan kaki bersama sahabatnya yang bernama Ayu.
"Ayu, kenapa kamu nggak minta dijemput saja sama sopirnya papa kamu?" tanya Nada saat berjalan berdua di bawah terik matahari bersama Ayu.
Nada merasa tak enak, karena sebenarnya Ayu adalah anak orang kaya. Tapi ia malah memilih menemani Nada berjalan kaki dan panas-panasan seperti ini.
"Nggak apa-apa kok, Nada. Nanti setelah sampai di depan rumah kamu, aku juga bakalan dijemput kok. Lagian aku kasihan karena kamu jalan kaki sendirian." Aruna tersenyum.
"Terima kasih banyak ya, Ayu. Kamu sangat baik."
"Sama-sama, Nada."
Sambil terus ngobrol, tanpa terasa kedua gadis itu pun sudah tiba di gang dekat rumah Nada. Benar saja!
Tak lama, datanglah sebuah mobil yang menjemput Ayu. Nada melambaikan tangan pada sahabatnya itu dan bergegas hendak memasuki gang ke rumahnya.
Namun, baru saja Nada melangkah, tiba-tiba ia merasakan sepasang tangan yang membekap mulutnya dengan sesuatu hingga membuat Nada merasa pusing. Gadis itu pun berontak dan meronta-ronta, tapi tubuhnya mulai terasa lemas.
"Lepas!" teriak Nada tertahan, dan setelah itu ia tak tahu lagi apa yang terjadi padanya.
“Nah, karena nenek kamu sudah setuju, maka kita bisa pergi ke rumahku malam ini, Nada. Kalian nggak perlu menyiapkan apapun, karena di rumahku semuanya sudah tersedia.” Daffa berkata dengan sangat antusias.“Ta … tapi kami nggak bisa meninggalkan rumah kami. Rumah ini sudah ….”“Setiap weekend aku bakalan mengantar kalian untuk mengunjungi rumah ini. Lagipula aku akan meminta anak buahku untuk merenovasi rumah ini supaya terlihat lebih bagus,” lanjut Daffa yang seolah tak memberi kesempatan pada Nada untuk berbicara.Nek Siti tampak sangat terkejut dan tak menyangka dengan jawaban Daffa. Ia bahkan terlihat antusias dan merasa bahagia.“Tuan Daffa, benarkah itu? Rumah kami akan direnovasi?”“Benar, Nek. Karena itu lebih baik sekarang kita pergi ke rumahku agar para anak buahku bisa segera merenovasi rumah ini.”“Baiklah kalau begitu, tuan. Saya nurut saja dengan Nada,” angguk Nek Siti sembari melirik pada cucunya itu.“Ya sudah, ayo kalau begitu.” Daffa te
“Apa yang kamu lakukan, Tuan Muda?” seru Nada dengan wajah pucat, tetapi Daffa sama sekali tak menghiraukan teriakannya itu.“Tenanglah, Nada. Aku hanya ingin mengajak kamu bersenang-senang saja aja kok,” jawab pria itu santai.“Jangan lakukan ini, Tuan Muda!” teriak Nada sambil berusaha mendorong tubuh Daffa supaya menjauh darinya.Kakinya menendang dan meronta-ronta, tetapi itu sama sekali tak menyurutkan niat Daffa sedikit pun. Entah kenapa rasanya Nada terlihat semakin seksi dan menantang di hadapannya di kala sedang memberontak seperti itu.“Kamu tenang aja, Nada. Aku nggak akan menyakiti kamu kok. Aku hanya ingin minta sedikit saja dari tubuhmu, dan ini tetap nggak akan mengurangi kecantikanmu. Seksimu juga nggak akan berkurang, tapi kamu malah akan semakin seksi. Aku bisa membuat dada mu semakin bertambah besar dan menggoda dengan remasanku. Jadi kamu tenang saja,” bisik Daffa sambil mencengkram kedua pergelangan tangan Nada, lalu menyatukannya di atas kepala gadis itu.“Enggak
“Hah?”Kedua mata Nada membelalak lebar bahkan mungkin nyaris melompat keluar dari tempatnya. Ia sangat terkejut mendengar perkataan Daffa.“Apa maksud Tuan Muda? Aku harus ganti baju di depanmu, begitu?” tanya Nada, jantungnya terasa berdegup sangat kencang.“Iya. Memangnya kenapa? Apa kamu nggak mau? Toh aku juga udah lihat dada mu kan?” Daffa berkata dengan santainya sambil bersedekap dada.“Ta … tapi ….”“Cepatlah! Aku nggak menerima penolakan,” desak Daffa yang terus menatap tajam pada Nada.“Aku hitung sampai tiga. Kalau kamu nggak mau ganti baju juga, maka aku yang akan melepas bajumu dengan paksa. Aku yang akan mengganti bajumu. Satu …!” Daffa mengangkat jari telunjuknya ke udara.Nada semakin gemetar mendengar perkataan Daffa. Ia ragu, apakah harus melepaskan pakaiannya di hadapan Daffa atau tidak?“Dua!”“Sebentar, Tuan!” Nada memekik karena masih ragu.Walaupun Daffa sudah melihat dada nya dan bahkan sudah meny*su darinya, tapi tetap saja Nada malu jika bagian sensitifnya h
Terdengar suara pintu terbuka dari luar, bersamaan dengan suara seorang pria yang berseru cukup keras memanggil nama Daffa dan Nada. Sontak suara itu membuat keduanya terkejut dan cepat-cepat menoleh ke sumber suara."Papa," lirih Daffa terbelalak, saat melihat keberadaan Tuan Hendra yang sudah berdiri di ambang pintu.“Tu ... Tuan," ucap Nada pula.Gadis itu pun cepat-cepat menarik dada nya dari mulut Daffa begitu saja lalu memasukkan kembali dada nya yang besar itu ke balik dress berbelahan rendah yang sedang ia kenakan. Wajah Nada pucat pasi, karena ia khawatir jika Tuan Hendra sampai melihat apa yang ia lakukan terhadap Daffa tadi.Daffa mencoba bangkit perlahan dari pangkuan Nada dengan dibantu oleh gadis itu. Setelah itu, Nada dan Daffa duduk berdampingan dan masih bersimpuh di lantai. Sedangkan Tuan Hendra segera berjalan menghampiri mereka berdua, kali ini tanpa didampingi oleh Ira ataupun kedua bodyguard nya."Kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik," kata Tuan Hendra sambil
Nada menatap Daffa dengan mata terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."A … Apa?” suaranya bergetar, menggema di antara mereka.Wajah Daffa terlihat penuh penderitaan, tubuhnya meronta seolah menahan rasa sakit yang sudah tak tertahankan lagi."Argh!" erangan Daffa menggema, membuat Nada gemetar di tempatnya berdiri.Dia tak bisa berpikir jernih, rasa takut dan panik bergemuruh dalam dirinya. Tubuhnya terasa lemas, bingung, dan tak tahu harus berbuat apa. Dadanya sesak, dan pikirannya buntu. Memberikan air susunya pada Daffa?Itu tidak mungkin!Selama ini bahkan tidak pernah ada seorang pun laki-laki yang berani menyentuhnya, apalagi sampai sejauh itu.“Apa … Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya dengan suara gemetar, hampir tak terdengar.Mata Daffa semakin sayu, wajahnya semakin pucat seperti hilang dalam kegelapan yang menyesakkan.“Aku butuh air susumu …” suaranya terdengar hiba, hampir putus asa.Nada memegang dada nya, merasakan detak jantungnya yang sem
Duarr!Bagaikan tersambar petir di siang bolong telinga Nada, ketika mendengar apa yang baru saja ditangkap oleh telinganya itu."Apa?" Nada membelalak kaget mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Tuan Hendra."Ya. Saya sudah tau dari para anak buah saya, kalau kamu sudah bisa menghasilkan asi. Karena itu saya membawa kamu kesini untuk menolong Daffa. Saya pasti akan memberikan banyak uang untukmu dan nenekmu itu, asalkan anak saya bisa sembuh," kata Tuan Hendra dengan suara dingin."Ta ... Tapi, Tuan, saya nggak bisa. Saya masih sekolah dan saya ….""Saya tidak menerima penolakan, dan saya bisa saja menghancurkan hidup kamu, kalau kamu berani membantah perintah saya!" Tuan Hendra menatap tajam pada Nada dengan sangat dingin.Tanpa menunggu jawaban dari gadis muda itu, Tuan Hendra segera keluar dari kamar dengan diikuti oleh kedua anak buahnya. Sedangkan Nada masih terdiam, bersama dengan Ira yang masih berdiri di sampingnya. Ia terpaku menatap hampa pada Daffa yang terbaring lem