“Astaga, Nada. Kamu rembes lagi!? Lihat, bajumu basah!” Nek Siti membelalak dengan suara tercekat. Wanita tua itu menatap pada bagian depan tubuh cucunya yang baru saja akan berangkat dengan raut wajah terkejut. “Memangnya kamu tidak sadar air susumu keluar lagi?”
Deg.
Nada merasakan debaran hatinya meningkat. Wajahnya tertunduk, matanya tertuju pada baju kuliah yang telah basah oleh rembesan air susu. Sebuah kondisi hormonal yang tidak biasa yang telah menimpa dirinya di usia muda, meskipun ia belum pernah menikah atau memiliki anak.
“Astaga! Iya, Nek. Aduh, bagaimana ini?" Kepanikannya makin menjadi, sambil memandang jam dinding yang menunjukkan waktu sudah sangat siang,, ia bisa terlambat.
Dengan tenang, Nek Siti mendekat dan merangkul bahunya.
“Sabar, Nak. Coba sekarang kamu ganti bajunya, pakai kain tebal di dada. Semoga itu bisa menahannya," saran sang nenek dengan lembut.
Nada menggeleng cepat, kebingungan masih terlukis jelas di wajahnya, berat menerima kenyataan yang dihadapinya. Gadis itu menghela nafas berat, matanya nanar menatap bajunya yang sudah basah karena rembesan air susu.
“Ini baju formal terakhir yang aku punya, Nek," suaranya pelan, hampir tak terdengar.
Rasa cemas bercampur kepasrahan tergambar jelas di wajah tanpa riasan itu. Sementara di sudut rumah yang sederhana tersebut, Nek Siti menggumam keras, mencoba mengumpulkan solusi.
"Coba kamu kenakan kemeja lama-mu, Nak. Itu lebih baik daripada kamu tidak berangkat sama sekali. Kamu tidak ingin kehilangan beasiswa hanya karena sering absen kan?"
Meskipun tawaran itu keluar dari mulutnya, dalam hati, Nek Siti sendiri terasa hampa, sama kesulitan menemukan jalan keluar bagi cucu tercintanya yang hanya bermodalkan keuletan dan tekad kuat demi masa depan yang lebih baik.
"Nenek benar. Lebih baik aku pakai baju lama saja, daripada aku nggak masuk."
"Cepatlah, Nak!"
Nada mengangguk. Setelah mendapat saran dari Nek Siti, Nada cepat-cepat masuk ke kamar untuk berganti baju. Beberapa saat, gadis berwajah cantik dan imut itu sudah keluar dari kamarnya.
Baju di tubuhnya tersebut terlihat sangat pas, dan bahkan terkesan kekecilan sehingga memperlihatkan tonjolan yang sangat besar di bagian depan tubuh Nada. Pinggangnya ramping, pinggulnya juga besar, membuat bentuk tubuh Nada sangat sempurna bak gitar spanyol paling mahal. Tampak menarik, apalagi dengan kulit putih mulusnya yang tidak ditutupi kain.
"Kamu sudah siap, Nada?" tanya Nek Siti dengan lembut.
"Sudah, Nek. Mana sumpalannya?" jawab Nada dengan antusias.
Kain yang dia gunakan untuk menahan air susu agar tidak rembes mengotori baju cukup tebal. Akibatnya, benda itu membuat bagian depannya tampak lebih besar. Kancing baju di bagian depan Nada bahkan tak muat untuk dikancingkan. Tubuhnya kini tampak menggoda, sekaligus menantang.
Meski begitu, Nada tetap bersemangat menyongsong hari.
***
"Astaga! Kenapa rasanya nggak nyaman banget? Apa rembes lagi?" Nada bergumam sembari berjalan cepat melalui koridor gedung dengan perasaan cemas, karena ia merasa bahwa bajunya mulai basah lagi.
Nada berjalan cepat, melalui beberapa cowok yang kini sedang mematung menatapnya. Tatapan mereka sangat liar dan tak bisa berkedip saat melihat keindahan tubuh Nada dalam balutan bajunya yang kekecilan.
"Wow, Nada," ujar salah seorang cowok yang tiba-tiba langsung menghadang langkahnya.
Nada tersentak kaget. Namun, ia berpura-pura tidak ketakutan dan justru tersenyum menatap pada cowok itu.
"Hey, Kak Aldo. Apa aku bisa lewat? Maaf, tapi kamu menghalangi jalanku," tegur Nada dengan sopan.
Tatapan Nada terlihat risih saat berhadapan dengan Aldo, karena ia tahu bahwa Aldo adalah cowok yang terkenal paling nakal di lingkungannya.
"Oh mau lewat ya?" Aldo menyeringai dengan senyum liciknya.
"Iya."
"Boleh saja, asalkan ...." Aldo mengusap bibir bawahnya dengan ibu jarinya.
Matanya tak hentinya memandang bagian depan tubuh Nada yang membusung sangat besar dan kencang.
"Asalkan apa?" Firasat Nada mulai tak enak.
"Asalkan aku boleh menyentuh milikmu yang sangat menggoda itu," tunjuk Aldo yang bersiap mengarahkan telapak tangannya ke arah Nada.
Nada terkejut dengan perlakuan Aldo. Refleks ia langsung mengangkat tangannya tepat di wajah cowok tampan itu.
Plakk!
"Jangan kurang ajar, Kak!" sentak Nada marah.
"Ah, sia lan kamu, Nada!"
Nada gemetar ketakutan dan segera berlari meninggalkan Aldo beserta kawan-kawannya.
"Bos Aldo, lo baik-baik saja?" tanya seorang temannya.
"Gue baik-baik saja, tapi awas aja tuh cewek. Gue pasti akan beli harga dirinya," geram Aldo marah.
"Iya, Bos. Cewek kayak gitu emang harus dikasih pelajaran," kata yang lain menimpali.
Aldo terus menatap ke arah Nada yang sedang berlari menjauh. Sejurus kemudian, sebuah seringai aneh tercipta di bibirnya.
"Aku pasti akan dapetin kamu, Nada," desis Aldo licik.
Setelah hampir mendapatkan pelecehan dari Aldo, seharian ini Nada memilih diam di pojok, takut jika sampai bertemu dengan Aldo di luar kelas, dan cowok itu akan kembali melakukan perbuatannya yang tertunda.
Akhirnya tak terasa kelas pun selesai. Semua mahasiswa berhamburan pulang, dan begitu juga dengan Nada. Ia pulang berjalan kaki bersama sahabatnya yang bernama Ayu.
"Ayu, kenapa kamu nggak minta dijemput saja sama sopirnya papa kamu?" tanya Nada saat berjalan berdua di bawah terik matahari bersama Ayu.
Nada merasa tak enak, karena sebenarnya Ayu adalah anak orang kaya. Tapi ia malah memilih menemani Nada berjalan kaki dan panas-panasan seperti ini.
"Nggak apa-apa kok, Nada. Nanti setelah sampai di depan rumah kamu, aku juga bakalan dijemput kok. Lagian aku kasihan karena kamu jalan kaki sendirian." Aruna tersenyum.
"Terima kasih banyak ya, Ayu. Kamu sangat baik."
"Sama-sama, Nada."
Sambil terus ngobrol, tanpa terasa kedua gadis itu pun sudah tiba di gang dekat rumah Nada. Benar saja!
Tak lama, datanglah sebuah mobil yang menjemput Ayu. Nada melambaikan tangan pada sahabatnya itu dan bergegas hendak memasuki gang ke rumahnya.
Namun, baru saja Nada melangkah, tiba-tiba ia merasakan sepasang tangan yang membekap mulutnya dengan sesuatu hingga membuat Nada merasa pusing. Gadis itu pun berontak dan meronta-ronta, tapi tubuhnya mulai terasa lemas.
"Lepas!" teriak Nada tertahan, dan setelah itu ia tak tahu lagi apa yang terjadi padanya.