Saat Nada membuka mata, gadis itu tampak bingung. Kepalanya terasa berat, dan pandangannya masih kabur. Ia tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu.
"Aku di mana?" gumamnya lemah, seraya mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengerti situasi yang tengah dia hadapi.
Saat matanya terbuka sepenuhnya, dia mendapati dirinya berada di sebuah kamar yang asing. Cahaya redup dari jendela yang tertutup tirai tebal membuat ruangan terasa suram. Di hadapannya berdiri seorang wanita paruh baya dengan wajah dingin.
"Kamu ada di rumah Tuan Hendra," jawab wanita itu ketus, tanpa memperkenalkan diri atau memberikan penjelasan lebih lanjut.
"Siapa kamu?" tanya Nada dengan mata membelalak, terkejut.
"Tidak penting siapa aku, yang jelas aku ada di sini untuk mengurusmu," sahut wanita itu lagi.
Nada mengerutkan kening, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Dia tak tahu bagaimana dia bisa sampai di sini. Tapi yang dia ingat hanyalah bahwa tubuhnya ditarik paksa oleh beberapa orang, lalu semuanya menjadi gelap.
"Siapa Tuan Hendra?" tanya Nada akhirnya.
Namun, wanita itu hanya memandangnya dengan tatapan dingin, tanpa berniat menjawab.
Tatapan wanita itu beralih ke baju yang dikenakan Nada, yang basah di bagian depannya.
"Cepat ganti pakaianmu!" perintah wanita itu sambil melemparkan sehelai pakaian tepat ke wajah Nada.
Nada terkejut, tubuhnya gemetar. Refleks ia langsung menyingkirkan sehelai pakaian yang mendarat di wajahnya sambil menatap pada wanita paruh baya itu.
"Kenapa aku harus mengganti pakaian? Aku nggak mau," jawabnya, berusaha menolak dengan suara lirih.
Ada rasa takut yang begitu mendalam di hatinya. Siapa wanita ini? Dan siapa Tuan Hendra?
"Jangan membantah!" sergah wanita itu dengan Nada tinggi. "Sebentar lagi Tuan Hendra akan segera datang. Kamu harus siap!"
Nada ancaman dalam suara wanita itu membuat Nada terpaksa menyerah. Dia tahu dia tidak punya pilihan. Dengan tangan gemetar, dia pun mengambil pakaian yang diberikan, lalu menuju ke kamar mandi yang ditunjukkan oleh wanita tersebut.
Sambil menggigil, Nada mencoba menenangkan dirinya, berharap bisa mencari jalan keluar dari situasi mengerikan ini.
"Pakaian apa ini?" Nada terkejut saat ia menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi.
Bagaimana tidak?
Pakaian yang diberikan wanita paruh baya itu kepadanya adalah sebuah mini dress dengan belahan rendah. Mini dress tanpa lengan itu hanya punya panjang sampai setengah paha Nada. Belahannya juga sangat rendah, hingga menonjolkan belahan bukit kembar Nada yang besar dan padat, sekaligus melekat di tubuhnya dengan sangat ketat, benar-benar menampilkan keseksian tubuh Nada.
Pakaian itu benar-benar membuat Nada risih dan merasa tak nyaman. Namun, ia bimbang karena sudah tak punya pakaian lain lagi. Bahkan ia juga tak diberikan bra oleh wanita paruh baya tadi. Hanya diberikan mini dress itu dan sebuah g string. Untuk memakai baju lamanya dan bra yang tadi rasanya sangat tidak mungkin. Karena semua pakaian Nada sudah basah oleh air susunya.
"Aduh, bagaimana ini? Nggak mungkin aku keluar dengan pakaian setengah jadi seperti ini kan?" Nada gusar.
Tok! Tok! Tok!
Nada tercengang, karena sebelum ia berhasil mengambil keputusan, tiba-tiba sudah terdengar suara ketukan keras di pintu kamar mandi tersebut.
"Cepat keluar! Tuan Hendra sudah datang dan dia tidak punya waktu untuk menunggumu berlama-lama di kamar mandi," kata wanita di luar sana dengan nada suara yang ketus dan sinis seperti tadi.
Nada kebingungan, tapi ia juga tak punya pilihan lain selain menuruti apa yang dikatakan oleh wanita. Dengan jari-jarinya, Nada menyisir rambutnya yang tampak berantakan. Setelah itu, barulah ia membuka pintu kamar mandi dengan tangan gemetar.
Ceklek!
Begitu pintu terbuka, tanpa berkata apa-apa lagi, wanita paruh baya itu langsung menarik tangan Nada dengan kasar.
"Aw, ini sakit, Nyonya," keluh Nada meringis kesakitan saat pergelangan tangannya dicengkeram dengan erat oleh wanita itu.
"Kita tidak punya banyak waktu, karena kamu sudah terlalu lama berada di kamar mandi. Sekarang ayo cepat ikut aku. Tuan Hendra Sudah menunggu!"
"Akh!" Nada meringis tertahan, dan akhirnya hanya menurut saja saat ia ditarik paksa masuk kembali ke dalam kamar.
Setibanya di kamar, Nada tercengang karena di hadapannya sedang berdiri seorang pria paruh baya berusia sekitar 60 tahun yang didampingi oleh dua orang bodyguard berbadan kekar.
"Si ... Siapa kalian?" jerit Nada panik, dan cepat-cepat menutup tonjolan besarnya itu serta paha dengan menggunakan tangannya.
Rasanya saat ini dia benar-benar risih, karena berpenampilan seperti gadis malam di hadapan tiga pria tak dikenal itu.
"Sstt! Jangan banyak bicara! Saya tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaan kamu," kata pria itu pada Nada.
"Ira," panggil pria tua itu pada si wanita paruh baya tadi.
"Iya, Tuan Hendra," angguk Ira dengan patuh.
"Bawa gadis ini ke kamar Daffa. Kita bicarakan semuanya di sana!" perintah pria tua yang ternyata adalah Tuan Hendra itu.
"Baik, Tuan."
Tuan Hendra dan kedua bodyguard nya itu segera keluar dari kamar. Sedangkan Ira cepat-cepat menarik tangan Nada untuk mengikuti mereka.
Mereka berjalan melalui beberapa koridor di rumah mewah itu, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah lift. Nada heran, karena ada lift di sebuah rumah.
Tanpa membuang waktu, Ira segera menuntun Nada masuk ke lift bersama Tuan Hendra dan yang lain. Tak butuh waktu lama, akhirnya lift pun berhenti di lantai yang menuju ke sebuah kamar. Dan hanya satu-satunya kamar di lantai itu, lantai paling atas rumah mewah tersebut.
Nada dan yang lainnya mengikuti langkah Tuan Hendra, yang masuk ke dalam kamar tersebut. Begitu ia membuka pintu, tampaklah seorang pria berusia sekitar 25 tahun yang sedang terbaring dengan wajah yang tampak lemah.
Di tangannya terpasang tak hanya satu infus. Wajahnya sangat tampan dan berkulit putih, tapi terlihat sangat pucat.
"Dia putraku satu-satunya, namanya Daffa," ujar Tuan Hendra tiba-tiba sambil menunjuk ke arah pria tersebut.
"Daffa mengidap penyakit langka selama satu tahun terakhir. Separuh tubuhnya lumpuh dan dia sering sesak nafas secara tiba-tiba karena gangguan di paru-parunya. Tapi penyakitnya ini tidak bisa diobati dengan peralatan medis. Saya sudah berusaha membawa Daffa berobat kemana saja, bahkan ke luar negeri, ke rumah sakit terbaik sekali pun. Tapi hasilnya tetap saja nihil."
Nada hanya diam dan tak berani menyahut sedikit pun. Ia bahkan terus menunduk dan tak berani menatap Daffa maupun tuan Hendra.
"Nada," panggil Tuan Hendra, yang seketika membuat Nada mengangkat wajahnya karena kaget, sebab Tuan Hendra mengetahui namanya.
"Iya, Tuan." Nada mengangguk pelan.
"Saya ingin kamu menolong putra saya. Nanti saya akan berikan imbalan besar untuk kamu."
"Menolong? Apa yang harus saya lakukan?" tanya Nada kebingungan.
Tuan Hendra menghela nafas dalam-dalam, lalu menatap pada Ira dan juga kedua bodyguard nya secara bergantian.
"Tolong Daffa, karena selama ini dia hanya bisa ditolong dengan air susu seorang gadis.”