Share

-3-

Penulis: Tias Yuliana
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-05 19:52:30

Kereta membelok ke kediaman bupati, bukan ke landraad yang sekaligus menjadi kediaman Residen Bojonegoro. Endaru dan Suro terperangah saat melihat kerumunan orang-orang di sana.

Para pria berudeng itu hampir tak ada yang mengenakan kemeja hanya bercawat sarung yang dibebatkan ke tubuh bagian bawah. Para perempuannya berkemben dan berkain jarik dengan selendang menudungi kepala. Sedangkan anak-anak yang turut serta, lebih banyak yang telanjang daripada yang berpakaian. Mereka semua duduk dan berjongkok di tanah berumput rendah dari jalan depan hingga ke halaman rumah sang bupati.

Para perempuan dan laki-laki itu—dari yang tua hingga muda—begitu terkagum-kagum pada sosok Endaru yang mereka kenal sebagai pemuda yang tak bisa dimiliki karena tak sedikit para gadis yang dibuat patah hati. Setiap musim panen tiba Endaru bersama-sama dengan rombongannya akan berkeliling dari dusun ke dusun untuk melakukan pertunjukan reog gebyog. Kepiawaiannya memainkan dadak merak dengan segera menyedot perhatian warga. Tak sedikit juga yang meyakini pemuda itu memiliki kesaktian dan kebal. Oleh karena itu, mereka sengaja datang ke persidangan untuk menyaksikan dan membuktikan rumor tersebut.

Endaru sendiri tak pernah menduga, jika kabar berita pembunuhan sang kontrolir segera menyebar hingga ke penjuru Karesidenan Bojonegoro yang meliputi sejumlah wilayah kabupaten seperti Tuban, Lamongan, Blora, dan Bojonegoro sendiri.

“Kita akan dikenang sampai ke anak cucu mereka sebagai pemberontak yang membunuh totok,” kata Suro sambil tertawa berderak-derak seakan menggenapi pedalaman benak Endaru yang tak terkatakan.

“Ya, seorang picak[1] dan pria tua bangka yang kebal senjata!” Endaru mencebik dan benar-benar merasa jika ini adalah hari terakhirnya menghirup dan menghela udara di dunia.

“Kau mengolok-olokku, Anak Muda?”

Endaru hanya mengendik, “Setidaknya olokan itu diyakini oleh banyak mata yang hadir di sini. Kau akan membuat bangga Rukmini.”

Tatapan Suro meredup. Endaru merasa bersalah karena telah menyebut-nyebut nama Rukmini—putri semata wayang Suro—yang mungkin akan menjadi yatim.

Kereta berhenti diringi suara ringkikan kuda akibat tali kekang yang menegang. Salah satu opas yang mengiringi mereka segera membuka pintu kerangkeng. Endaru dan Suro enggan turun dengan iringan puluhan pasang mata yang memenuhi halaman rumah bupati.

Opas yang pada pinggangnya terselit parang itu naik ke atas kereta dan menarik paksa kemeja Endaru yang tak berkancing. Otot-otot perut pemuda itu menegang. Kemarahannya menggelegak. Dia melesakkan siku ke ulu hati sang opas.

“Aku iso mudun dewe, Jongos Londo!”[2] Dia benci jika tubunya disentuh oleh orang lain.

Tak! Ujung tongkat opas yang lain seketika mendarat di punggung Endaru, membuatnya melenting dan terhuyung.

Kerumunan warga yang menunggu kedatangan Endaru seketika bangkit dan mendekati kereta ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Para opas menghalau mereka dengan ancaman bedil dan parang. Endaru turun dan dipaksa berjongkok di tanah oleh salah satu opas menggunakan ujung tongkatnya.

Di dalam kereta sang opas yang disikut oleh Endaru meringkuk di pojok sambil menahan ulu hati yang berdenyut-denyut. Suro berbisik pada opas kesakitan itu sebelum dipaksa turun dari kereta, “Jangan pernah jamahkan tangan kotormu pada pemuda itu!”

Mereka berdua ditarik dan didorong di bawah ancaman tongkat sepanjang setengah meter hingga berhenti di depan undakan pendopo. Seluruh tatapan yang hadir di sana tertuju pada mereka—pada tatapan dingin Endaru dan pada dada telanjang Suro yang dipenuhi dengan bekas luka akibat sabetan senjata tajam. Rambut sebahu Endaru terikat ke belakang dengan anak-anak rambut yang saling berjatuhan, sedangkan rambut ikal Suro terlihat awut-awutan sehingga menambah kesan liar di wajah mereka.

Bisik-bisik menggelombang.

“Pria sakti dari Ponorogo!”

“Warok yang kebal senjata!”

Ora iso mati!”[3]

Salah satu opas mendorong bahu Endaru agar segera berlutut dan berjalan sambil jongkok menuju ke hadapan sang Bupati dan Residen Bojonegoro. Suro mengikuti selangkah di belakang Endaru. Kedua tangan mereka terbelenggu besi dan masih harus mengapurancang. Tatapan mereka harus tertunduk ke lantai.

Sejumlah polisi dengan parang dan bedil turut berjajar rapi di depan pendopo menghalau kerumunan warga yang penuh dengan rasa ingin tahu. Di tengah-tengah pendopo para pejabat tinggi Karesidenan Bojonegoro duduk melingkari meja. Di bagian tengah ada Residen Bojonegoro—Bram van der Stok—yang bertindak sebagai hakim karena peristiwa ini terjadi di wilayah administrasinya. Kepala kepolisian sekaligus Jaksa adalah seorang indo dengan wajah hampir sepenuhnya pribumi—kecuali hidung dan warna matanya yang kelabu—mengambil tempat duduk di samping Residen. Pada sisi meja sebelah kiri duduk seorang Qadi dengan sorban putih besar dari kain mori yang dililitkan di kepala menyerupai mahkota Sultan Turki. Di sampingnya duduk seorang totok yang bertugas sebagai penerjemah. Pada sisi meja sebelah kanan ada Bupati Bojonegoro didampingi seorang Demang yang juga turut hadir menyaksikan jalannya persidangan.

Jaksa mulai membacakan tuduhan kepada Endaru dan Suro dalam bahasa Belanda tanpa cela. "Jij martelde Meneer Barend Crusoe op vrijdag 7 september 1898, een controleur bij het Bojonegoro kertogdom, tot de dood."

Residen bertanya pada Endaru dan Suro dalam bahasa Melayu, “Apa kowe tahu dan jelas itu semua tuduhan?”

Suro dengan lantang tanpa berpikir panjang menjawab dalam bahasa Belanda, “Niet duidelijk, Meneer!”[4]

Palu diketuk oleh Residen. “Pribumi dilarang gunakan bahasa Belanda! Gunakan bahasa kowe sendiri!”

Residen memberikan perintah pada penerjemah yang masih duduk tenang di samping Qadi untuk melaksanakan tugasnya.

Kowe pada hari Jumat Legi tanggal 07 September 1898 melakukan penganiayaan pada Meneer Barend Crussoe, seorang kontrolir di kadipaten Bojonegoro yang sekaligus menjadi tuan tanah dan majikan kalian hingga meninggal dunia,” ucap sang penerjemah dalam bahasa Melayu dengan suara sengau hampir berdahak di pangkal tenggorokan.

Residen kembali membacakan tuduhan yang langsung diterjemahkan oleh pria berambut cokelat kemerahan itu dari tempatnya duduk. “Hasil pemeriksaan oleh dokter menyatakan, Meneer Barend Crussoe meninggal karena luka sayatan pada lehernya.”

“Ya, saya yang telah membunuh pria biadab itu!” pekik Endaru yang diikuti oleh sorak sorai di sepanjang halaman untuk memberikan dukungan.

Residen mengetuk palu agar mereka kembali tenang. Sejumlah opas yang bertugas segera mengacungkan parang untuk meredakan kegaduhan warga.

Suro begitu geram dengan kelancangan Endaru. “Bukan dia, Tuan Besar! Saya yang menggorok Londo itu sampai mati menggunakan celurit! Tuan opas sendiri yang menangkap saya bersama dengan celurit berdarah itu di rumah Crussoe.”

Sorak sorai kembali membahana dengan lebih semarak. Mereka begitu terkejut dan tidak menyangka, jika dua orang tersangka pelaku pembunuhan itu saling berebut mengakui kejahatannya. Bisik-bisik pun menggelombang.

“Kena gantung mereka!”

“Hukuman rodi seumur hidup itu pasti ....”

Di antara kerumunan orang-orang dusun dan warga yang sengaja datang dari luar kadipaten terdapat sepasang mata yang tak pernah lepas dari punggung tegak Endaru.

“Tenang semua!” Residen yang menjadi hakim berulang kali harus mengetukkan palu. Dia periksa kembali catatan yang dibuat oleh petugas kepolisian dengan teliti. “Endaru, berdasarkan catatan ini kowe bukan anak dari Suromenggolo. Kowe adalah pendatang gelap di rumah Crussoe!”

Bisik-bisik kembali membuncah.

“Bagaimana kowe bisa sampai berada di rumah keluarga Crussoe dan membunuhnya? Katakan yang sebenar-benarnya jika kowe menginginkan keadilan dan kesempatan untuk membela diri!”

“Tuan Besar,” Suro menyembah sambil merangkak lebih maju. “Anak ini tidak bersalah, dia hanya kebetulan berada di sana. Sahaya ... Sahaya yang telah membunuh Meneer Crussoe. Tuan Besar bisa menghadirkan Mevrow Crussoe sebagai saksi.”

“Suromenggolo, kowe diam dulu!” Dagu sang Residen menunjuk pada pemuda berusia 22 tahun yang masih menatapi lantai itu. “Endaru alias Enes, katakan pembelaanmu sekarang juga!”

Mendengar nama kecilnya disebut, tubuh Endaru menggigil seketika. Tatapannya terangkat dari lantai. Dia pandangi para petinggi di hadapannya dengan tatapan mengabur. Barut luka di bawah mata kanannya tiba-tiba berdenyut serasa baru saja ditorehkan di sana.

“Katakan dari mana kowe berasal dan apa tujuan kowe menyelinap ke rumah Crussoe?” bentak sang Residen.

Semua orang seketika senyap. Telinga kanan Endaru bergerak samar hampir-hampir tak ada yang melihat, kecuali Suro yang mulai gelisah melihat tanda-tanda itu.

Mereka telah membangunkan macan tidur.

[1] Buta

[2] “Aku bisa turun sendiri, Budak Belanda!”

[3] “Tidak bisa mati!”

[4] “Tidak jelas, Tuan Besar!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
alfira ananda
aku wong Tuban ouyy...tata bahasanya bagus,layak di baca.keren thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -43- End

    Dada telanjang Endaru bersimbah darah Sastro. Hanya dengan memakai sarung batik dia melompati regol, mencuri salah satu kuda dari istal, dan memacunya kembali ke rumah pertanian Cornellis.Saat tiba di depan pagar sebuah peluru melesak menghentikan laju kudanya. Kuda itu meringkik ketakutan hingga membuatnya jatuh terpental ke tanah. “Rose, ini aku!” teriak Endaru ke arah lantai dua rumah itu sambil berusaha bangkit dari tanah.“Endaru?” Rose melempar senapannya ke tempat tidur dan segera berlari ke halaman, “Apa aku melukaimu?”Pemuda itu berjalan limbung menuju rumah. Rose menghambur ke arah Endaru tetapi pemuda itu menolaknya, “Tubuhku kotor!”Kilat dan guruh memecah langit pekat. Rose membeliak saat menyadari tubuh Endaru berlumuran darah. Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar.Pyaar! Suara petir menggelegar di udara yang dingin. Hujan deras berjatuhan dari langit meng

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -42-

    Endaru meraba-raba dalam kegalapan. Dia melepas bebatan pada matanya yang sudah tak lagi mengeluarkan darah tetapi yang terjadi malah penglihatannya menjadi semakin buram.“Dasi? Di mana kau?” bisik Endaru putus asa.“Kau masih menginginkan gadis itu, Enes?” suara serak Sastro terdengar bagaikan gong yang dipukul.Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut Endaru berusaha bangkit dan mencoba keluar dari bilik Sastro. Dia seperti terkurung di dalam ruangan yang sempit dan pengap. Endaru merasai gigilan di tubuhnya semakin dahsyat. Baru dia sadari bahwa pakaian tak lagi melekat di raganya.Dalam remang cahaya sintir yang kekuningan Endaru mulai bisa melihat Sastro tengah bersila di tengah ruangan hanya mengenakan kain jarik. Matanya terpejam dengan bibir yang terus merapal mantra.Endaru berusaha bangkit dari dipan dengan tubuh sempoyongan. Kepalanya berdentam-dentam dengan sensasi tusukan-tusukan yang menyakitkan pada mata. Sa

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -41-

    Rombongan bupati tiba di Somoroto ketika bola api sudah tenggelam di langit barat. Di sana sudah ramai oleh para pendekar dan warok dari berbagai penjuru Panaragan. Semenjak Padepokan Wengker dikalahkan oleh padepokan milik Sastro para warok mulai berkiblat dan mempertimbangkan posisi Padepokan Bantarangin sebagai padepokan terkuat. Oleh karena itu sedapat mungkin mereka menjalin hubungan baik dengan Sastro untuk mencegah perselisihan sekaligus untuk memperoleh pos-pos jabatan penting di Panaragan.Upacara penentuan pimpinan Padepokan Bantarngin dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari padepokan lain. Upacara penyambutan begitu meriah dengan adanya hiburan reog itu sendiri, atraksi pencak silat, dan jamuan beraneka ragam makanan.Warok Sastro yang kini menjabat sebagai bupati datang dalam iring-iringan yang meriah menuju kediaman lamanya di Somoroto. Sastro dalam pakaian kebesaran seorang warok duduk di pendopo yang sudah dihias sedemikian rupa. Para warok lain yang turu

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -40-

    “Tinggallah di sini bersamaku memimpin Padepokan Bantarangin dan satukan seluruh warok di bumi Panaragan ini di bawah kekuasaanku! Lima tahun aku bertarung dengan para warok lain untuk bisa menduduki takhta Bupati Panaragan. Jadi sudah sepatutnya jika aku menuntut pengakuan dari mereka, bukan?” Sastro menyulut kembali tembakau di dalam pipanya.Tanpa diduga Endaru bangkit dan berdiri tegak. Dengan perasaan berat dia mengucapan kalimat yang mungkin akan disesali seumur hidupnya, “Kau pikir aku akan menerima tawaranmu hanya karena menawan ibuku? Dia bahkan sudah memutuskan hubungan denganku!”Endaru mulai berjalan meninggalkan Sastro tetapi sekali lagi para opas itu menahan langkahnya. Salah satu dari mereka menunjukkan topeng bujang ganong yang semalam dikenakan Endaru saat menyelinap ke kediaman Sastro di Somoroto. “Anda tidak bisa pergi, Raden Mas. Anda harus ditahan sampai persidangan digelar karena kami menemukan bukti bahwa Anda terlib

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -39-

    Endaru sudah menguak pintu selebar mungkin dengan senyum semringah saat Rose mencegahnya. Pemuda itu berharap Dasi berdiri di sana dengan kebaya dan sanggul gantung seperti dalam imajinya selama tujuh tahun terakhir. Akan tetapi, pemuda itu membeliak saat mendapati orang yang berbeda berdiri di balik pintu. Terdengar pekik tertahan dari Rose yang baru sampai di tengah-tengah anak tangga.“Berlutut!” teriak orang yang berdiri di depan pintu.“Polisi?” Endaru berbisik lemah dengan kedua lutut melemas.Tiga orang opas dalam seragam serba hitam mengadang Endaru dengan dua moncong senapan tertuju ke arahnya. Seorang opas lagi yang bersenjatakan tongkat memukul bahu Endaru agar segera berjongkok. Dengan cepat mereka membelenggu kedua tangan dan kaki pemuda itu menggunakan gelang besi yang terhubung dengan rantai.Rose menerjang dan memasang badan untuk mencegah ketiga opas itu membawa Endaru pergi. Sesaat setelah Endaru berlari ke lantai

  • Pendekar Dalam Selubung Mantra   -38-

    Dasi memutar ebor berisi pakaian basah ke depan untuk melindungi perut yang terbuka. “Kau bodoh karena kembali ke sini, Enes!”Endaru menerjang dasi dan merengkuhnya dalam dekapan. Ebor di tangan perempuan itu terlepas. Pakaian berhamburan ke tanah. Endaru mendekapnya lebih dalam seakan ingin menyatukan raga mereka dan melebur menjadi satu.Ragu-ragu tangan dasi terangkat dan dengan keras mendrorong Endaru hingga terlepas. Perempuan itu membungkuk berusaha memunguti pakaian yang terjatuh.Endaru tak menyerah. Dia tarik lengan Dasi dan kembali meraihnya dalam dekapan. Ingin dia ulangi kejadian tujuh tahun lalu—bibirnya melumat bibir Dasi yang merah tanpa gincu. Akan tetapi Endaru mundur dan melepas gadis itu. Mereka terengah dengan napas memburu—kecewa karena gelegak rindu yang urung tersalur.Dasi mendorong Endaru lebih kuat. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Endaru, “Kau tak suka pada perempuan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status