Dalam keadaan terluka berbahaya seperti itu, seandainya Dara Cupanggeni alias Perawan Tanpa Tanding itu lepaskan jurus 'Bias Dewa'-nya, pasti Baraka tak akan dapat menangkisnya lagi. Sinar merah itu akan menghantam leher Pendekar Kera Sakti, dan nasib si tampan akan berakhir sampai di situ saja. Itulah pertimbangan seorang tokoh yang menyambar Baraka.
Sampai di suatu tempat, Baraka dibaringkan di bawah pohon. Ternyata keadaannya sudah semakin parah. Kulitnya mulai keluarkan bintik-bintik merah menyerupai ujung darah. Pandangan matanya kian buram, sehingga tak bisa melihat jelas siapa orang yang telah menyambarnya sampai ke situ. Kemudian Baraka dapat merasakan sesuatu yang hangat menyelimuti dirinya.
Rupanya kepergian tokoh yang menyambar Baraka itu segera diikuti oleh si Bongkok Sepuh. Sampai di tempat itu, Bongkok Sepuh pandangi tokoh penolong Baraka yang mengenakan pakaian ketat ungu muda model angkin sebatas dada berhias benang emas di tepiannya. Tokoh itu adalah s
Pemuda itu bercelana hitam, mengenakan rompi merah dan berkalung ketapel. Ditaksir oleh Baraka, usianya sekitar delapan belas tahun. Masih sangat muda, tapi mempunyai wajah yang tampan. Bulu matanya lentik dan lebat untuk ukuran seorang pemuda. Hidungnya bangir, kulitnya coklat sawo matang. Rambutnya ikal bergelombang, agak panjang, diikat dengan kain putih. Ikat kepala itu hampir saja ikut terbawa hanyut. Untung masih sempat tersangkut di bawah telinga."Apakah dia selamat?" tegur sebuah suara yang mengejutkan Baraka, sebab suara itu datang dari belakangnya. Ketika Baraka palingkan wajah, ternyata kakek serba putih ituiah yang menegurnya.Baraka yang heran itu segera membatin, "Cepat sekali ia tiba di belakangku? Padahal jarak jembatan dengan tempat ini cukup jauh. Apakah dia terbang melintasi permukaan air sungai? Hmmm... tak salah dugaanku, dia pasti orang berilmu tinggi."Kemudian Baraka menjawab sapaan tadi, "Dia selamat, Kek. Cuma, napasnya masih terengah-
GEMURUH yang terdengar adalah suara curahan air sungai yang mengalir deras. Banjir datang dari kulon. Tiga hari lamanya hujan turun di wilayah barat tanpa henti, sehingga mendatangkan banjir yang melanda beberapa perkampungan penduduk. Ada pun air sungai dibagian utara yang berlimpah-limpah itu adalah banjir kiriman dari barat.Banjir bukan hanya mengirimkan air saja, tapi juga mengirimkan bangkai ternak yang hanyut disapu sang banjir. Selain bangkai ternak juga ada mayat manusia yang tak sempat tertolong oleh ganasnya sang banjir. Atap rumah juga terapung-apung ikut hanyut bersama meja, bangku, almari, bakul nasi, centongnya tidak kelihatan, lalu... tempayan juga Ikut hanyut ke muara. Tikar yang hanyut dalam keadaan robek sana-sini, ada juga keranjang tempat rumput, dipan tanpa kasur, celengan dan masih banyak barang-barang lain yang dihanyut-kan oieh sang banjir.Beberapa penduduk di perkampungan dekat muara menyambut meriah acara banjir itu, karena mereka dapat meng
Dewi Pedang segera berbisik dalam geram, "Biarkan aku melawannya!"“Jangan!” bisik Setan Bodong yang didengar oleh Dewi Pedang dan Sumbaruni. "Dia bukan Baraka. Tak ada tanda merah di dahinya."Dewi Pedang dan Sumbaruni segera berpaling menatap Setan Bodong. Tapi yang ditatap tak mau balas memandang melainkan menatap ke arah panggung.Terdengar suara sang Nyai, "Terpaksa hukuman ini kulaksanakan karena keras kepala dari guru-gurunya...! Pemancung...! Penggai dia!"“Aaaa...!" suara jerit bersahutan ketika kepala tawanan itu dipenggal putus oleh algojo bertubuh besar. Tangis meratap dan jerit kematian membaur membuat gaduh suasana setempat. Para gadis yang simpati dan menaruh hati diam-diam kepada Baraka tak mampu menahan tangis. Bahkan Embun Salju jatuh pingsan, entah karena memendam cinta atau karena kasihan, tak jelas artinya. Kirana jatuh tersimpuh bagai kehilangan tenaga. Delima Gusti terpelanting membentur pohon karena tubuhnya juga
Mata si Tudung Hitam masih menatap ke sana-sini tanpa menghiraukan panasnya matahari yang membuat tubuhnya berkeringat ditutup jubah hitam yang rapat sampai leher itu. Ia masih menyebutkan nama-nama para undangan."Kirana...? Oh, Kirana juga datang bersama Jongos Daki?! Lalu di sana juga ada Ki Darma Paksi dan Arum Kafan, Ki Jangkar Langit, Sumping Rengganis yang dulu dikutuk jadi serigaia itu, juga... Tabib Awan Putih, Ki Medang Wengi, Roro Manis, oh... rombongan Ratu Pekat juga datang? Ya, ampuuun... dia bersama Badai Kelabu, Tengkorak Terbang dan, ah... si Singo Bodong dan Hantu Laut ikut juga. Waaah... seru juga kalau semuanya menyerang Peri Sendang Keramat. Hmmm... dia Batuk Maragam akhirnya datang juga bersama Camar Sembilu dan... Oh, mereka bertemu Bwana Sekarat dan Angin Betina. Apa yang mereka rembuk disana itu? Dan... hai, Dayang Selatan datang juga dan... oh, itu sepertinya Selendang Maut. Ya, Selendang Maut datang juga mendampingi Nyai Betari, ah... tak enak aku j
Bukit Rongga Bumi merupakan anak dari gunung Tonggak Jagat. Ada gugusan tanah membentuk tebing dilereng Gunung Tonggak Jagat. Dari tebing itu terlihat kesibukan orang-orang di Bukit Rongga Bumi. Ditepi tebing itulah berdiri sesosok tubuh berjubah hitam lengan panjang. Kain jubahnya sampai menyentuh tanah. Sosok aneh itu berdiri dengan tudung hitam yang lebar menutupi sebagian wajahnya. Sosok itu diam tak bergerak bagaikan patung.Sementara itu, dikaki bukit Rongga Bumi terjadi pertarungan secara berkelompok, sekitar delapan kelompok pertarungan menghadirkan jerit dan denting dari mulut mereka yang tewas dan senjata mereka yang saling beradu. Pertarungan itu terjadi antara pihak anak buah Nyai Peri Sendang Keramat dengan pihak lain yang menentang hukuman gantung terhadap diri Baraka.Seorang perempuan cantik berjubah kuning emas muncul dari dalam pesanggrahan. Perempuan cantik berjubah kuning emas itu mempunyai rambut panjang meriap, dengan sanggul kecil di tengah kepal
“Kulumpuhkan ilmumu sekarang Pendekar Kera Sakti! Heaaah...!"Nyai Gandrik baru saja mau lepaskan jurus maut dari kesepuluh jari-jarinya yang sudah diarahkan kepada Baraka. Tapi tiba-tiba sesosok bayangan menerjangnya dari belakang.Braaasss...!"Aaahg...!" Nyal Gandrik mengerang sambil tersungkur jatuh mencium tanah.Sesosok bayangan yang menerjang itu segera berdiri didepan Nyai Gandrik dalam jarak tiga langkah. Ketika Nyai Gandrik berusaha bangkit sambil menyentakkan tangannya untuk sebuah pukulan bersinar hijau. Orang tersebut lebih dulu melepaskan selarik sinar merah dari pangkal pergelangan tangan.Claaap...!Jlaaab...! Sinar itu menghantam leher Nyai Gandrik. Leher itu bolong seketika. Akibatnya Nyai Gandrik hanya bisa mengerang seperti ayam disembelih, kejap berikutnya tak mampu bernapas lagi. Nyawa pun segera pergi tinggalkan raganya yang mengeras kaku tak bisa ditekuk lagi.Baraka bangkit pandangi tokoh berpakaian mera