Share

71. Markas Musuh

Penulis: PengkhayalMalam
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-19 21:00:39

Sinar senja mulai memudar di balik barisan pepohonan rimbun yang melindungi perkemahan mereka. Udara terasa dingin, namun bukan hawa malam yang membuat Kael merasa berat. Ia duduk bersandar pada batang pohon tua, memandang jauh ke arah cakrawala yang mulai dilahap kegelapan.

"Kita udah kumpulin cukup info. Tapi tetap aja… tempat itu bisa jadi jebakan," ucap Kael pelan, matanya tetap menatap lurus seolah sedang mencoba membaca isi kegelapan malam. Dalam pikirannya, peta kuil dan informasi samar tentang pergerakan kelompok Bayangan Hitam terus berputar.

Arsel berdiri di dekat api unggun kecil, tangannya sibuk mengasah ujung tombak cadangan. Ia tak langsung menjawab, tapi ketika suaranya terdengar, itu penuh tekad.

"Aku tahu. Tapi kalau kita nunggu lebih lama, mereka bisa pindah lagi. Kita harus ambil risiko."

Kael menoleh, menatap Arsel dengan sedikit kelelahan.

"Kau selalu bicara soal risiko, tapi kadang aku bingung, Kael… kau sebenarnya punya rencana matang, atau kau hanya mengandal
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Pendekar Pedang Naga   95. Pengkhianatan

    Mulanya, tak ada yang menyadari. Hanya tatapan yang mulai dingin, obrolan yang terhenti saat Kael lewat, dan bisik-bisik di antara regu saat Arsel memberi perintah.Farel tidak menyerang dari depan. Ia membidik hati para prajurit—keraguan mereka, kelelahan mereka, bahkan luka lama mereka yang belum sembuh.“Kael melatih kalian menjadi tameng,” katanya pada sekelompok perwira muda yang diundang diam-diam ke barak istana. “Tapi aku bisa menjadikan kalian pedang. Bukan alat pelindung… tapi alat penguasa.”Beberapa mulai berpaling. Tak banyak. Tapi cukup untuk meretakkan fondasi yang selama ini kokoh.Kael merasakan ketegangan dalam barisan. Ketika ia menyuruh regu barat untuk latihan formasi, mereka bergerak lambat. Saat ia menegur, tak satu pun menjawab. Mereka hanya menatap lurus… atau sesekali melirik ke arah barak istana, tempat Farel kini tinggal.Arsel mencoba mengumpulkan para pemimpin regu. Di ruang pertemuan, ia berbicara dengan nada tegas.“Jika kalian merasa direndahkan, katak

  • Pendekar Pedang Naga   94. Intrik Istana

    Tiga hari setelah laporan resmi kemenangan pasukan pelatihan tiba di istana, aula utama dipenuhi suara berbisik. Di balik pilar-pilar emas dan karpet merah yang panjang, para bangsawan berkumpul bukan untuk merayakan—melainkan untuk merundingkan cara menghadapi dua nama yang mulai menggeser pengaruh mereka: Arsel dan Kael.Di balik senyum-senyum diplomatis, perasaan waswas menyelimuti para petinggi militer. Pasukan pelatihan telah membuktikan efektivitasnya—cepat, terorganisir, tidak bergantung pada sistem feodal. Dan yang paling berbahaya: mereka loyal pada pelatihnya, bukan pada istana.“Aku mencium benih pemberontakan,” ujar Jenderal Prakas, salah satu tangan kanan Kaisar, dalam pertemuan tertutup. “Mereka bukan hanya kuat. Mereka memiliki hati rakyat.”Kaisar sendiri belum bersikap. Ia terlalu bijak untuk bergerak terburu-buru, namun terlalu picik untuk membiarkan kekuatan tumbuh di luar genggamannya.Sebagai langkah awal, ia mengutus seseorang—seorang penasihat istana muda bernam

  • Pendekar Pedang Naga   93. Pelatihan Mendalam

    Setelah para prajurit menguasai ketepatan serangan, Arsel tidak memberi mereka waktu beristirahat lama. Keesokan paginya, ia sudah menanti di lapangan pelatihan yang diubah menjadi miniatur medan perang—dipenuhi rintangan, menara pengintai, dan tempat berlindung dari serangan.“Musuh yang cerdas tidak akan menantang kalian satu lawan satu,” ucapnya tanpa basa-basi. “Mereka akan bersembunyi, menyerang dalam gelap, atau memancing kalian masuk ke dalam perangkap. Maka, kalian akan belajar menjadi satu tubuh, satu pikiran.”Arsel membagi pasukan menjadi regu-regu kecil, masing-masing terdiri dari empat hingga enam orang. Tiap regu diberikan peran: pengintai, penjaga, penyerang utama, dan pengalih. Mereka diharuskan menyusup ke wilayah “musuh”, mengambil bendera, dan kembali tanpa kehilangan satu pun anggota.Latihannya kejam. Tiap kegagalan berarti mengulang dari awal. Tiap pelanggaran strategi berarti dikeluarkan dari putaran itu. Tapi para prajurit mulai memahami: mereka bukan lagi peju

  • Pendekar Pedang Naga   92. Pertahanan Diri

    Tiga hari setelah ujian Takdir, Kael membawa tujuh anggota baru ke tempat yang tak disebutkan dalam peta mana pun: Kawah Ruhar—bekas sarang naga tua yang kini mati dan kosong, namun menyimpan energi purba yang masih membara di dalam tanahnya.“Tempat ini akan melawan kalian setiap hari,” ujar Kael, berdiri di tepi kawah. “Jika kalian bisa bertahan, maka tubuh kalian akan mulai menyesuaikan diri dengan getaran naga. Itu syarat pertama untuk masuk ke Kuil Ketujuh.”Latihan dimulai saat matahari belum muncul—dan berakhir hanya jika tubuh mereka ambruk.Hari Pertama – Penghancuran Ritme LamaKael memisahkan mereka. Tidak ada latihan berkelompok. Setiap peserta menghadapi elemen yang berlawanan dengan kekuatan mereka.Zidan harus menahan racun kabut tanpa bantuan pil. Liora dilempar ke sumber air panas bercampur belerang, agar mengontrol suhu tubuh tanpa sihir.Darren dihadapkan pada batu-batu pemukul naga yang jatuh dari langit, memaksanya bergerak dan bertahan tanpa perisai.Anara dilepa

  • Pendekar Pedang Naga   91. Pilihan Takdir

    Kael dan Arsel berdiri diam di atas batu hitam besar, jauh dari kerumunan. Dari tempat itu, mereka bisa melihat ke bawah—ke lembah Ronvara, tempat Pertandingan Antar Akademi berlangsung.Cahaya dari arena masih menyala samar, meski sebagian telah padam usai babak kedua. Kabut ilusi perlahan surut. Suara sorak telah lama hilang. Yang tersisa hanyalah bekas pertempuran… dan aroma sihir yang belum padam.Arsel menyilangkan tangan, menatap langit. “Kita tak ikut… tapi dunia tetap bergerak. Anak-anak itu bertarung seperti hidup mereka yang jadi taruhannya.”Kael tak menjawab. Tatapannya terkunci pada satu titik—seorang pemuda bertubuh kurus dengan jubah alkemis, tengah membantu temannya berdiri di tengah lapangan puing ilusi.“Zidan,” gumam Kael. “Dia tumbuh cepat. Lebih cepat dari yang kupikir.”Arsel melirik Kael sejenak. “Kau bangga?”Kael menarik napas dalam. “Bukan soal bangga. Aku takut.” Ia menoleh, matanya tajam. “Kalau anak seperti dia harus menanggung beban seberat ini… berapa la

  • Pendekar Pedang Naga   90. Lonceng Kuno

    Kabut terakhir dari kuil keenam belum sepenuhnya menghilang ketika tanah bergetar pelan. Arsel mendongak, menggenggam gagang pedangnya erat. Aura naga di dalam tubuhnya bereaksi—bukan karena musuh, tapi karena sesuatu yang sangat akrab.Dari ujung jalan berbatu yang terbuka perlahan, sosok hitam dengan jubah terbakar di ujungnya muncul, berjalan perlahan namun penuh kepastian. Kael.Tapi bukan Kael yang Arsel kenal dulu.Kini tubuhnya dikelilingi semacam pusaran energi gelap yang tidak liar, tapi teratur. Tatapannya dalam, tapi tidak dingin. Dan di punggungnya—terpahat simbol naga purba dalam cahaya ungu samar.Arsel tak berkata apa pun, hanya menatapnya. Tapi dalam hatinya, ada ribuan kata yang mendesak keluar.Kael berhenti hanya beberapa langkah dari sahabatnya. Ia menatap Arsel dengan senyum kecil—langka, tapi tulus."Aku kembali," katanya pelan. "Dan aku tidak datang untuk mati di kuil ketujuh."Arsel mendengus ringan, nyaris lega. “Kau lambat. Aku hampir mengira kau memutuskan t

  • Pendekar Pedang Naga   89. Kuil Naga

    Mengetahui bahwa kuil keenam akan menguji mereka dengan kehilangan dan pengorbanan, Kael dan Arsel tidak langsung melanjutkan perjalanan. Di sebuah lembah tersembunyi, dikelilingi batu-batu naga yang memancarkan energi purba, mereka memutuskan untuk berlatih—bukan hanya untuk mempertajam teknik, tapi juga untuk menyatukan ritme jiwa dan kekuatan naga masing-masing.Matahari terbit menjadi saksi latihan yang bukan lagi seperti duel biasa. Setiap tebasan Kael membawa nafas kegelapan yang telah ia jinakkan dari kuil kelima. Aura naga hitam menyelimuti pedangnya, namun kini tak lagi liar—melainkan tajam, fokus, dan presisi.Sementara itu, Arsel mulai membangkitkan sisi terdalam dari naga emas dalam dirinya. Ia belajar mengendalikan Cahaya Pemutus Ilusi, teknik rahasia yang muncul saat ia berdamai dengan kemungkinan kehilangan Kael. Cahaya itu bisa menembus tipu daya dan bayangan—sesuatu yang sangat penting menghadapi kuil yang konon menyesatkan hati.Mereka berlatih siang dan malam. Gerak

  • Pendekar Pedang Naga   88. Kekuatan Besar

    Fajar mulai menyentuh pucuk pepohonan ketika Kael dan Arsel duduk bersebelahan di tepian danau. Air tenang memantulkan cahaya lembut, dan embun pagi membuat dunia terasa sejenak damai. Untuk pertama kalinya sejak pertempuran itu, mereka tak merasa diburu.Arsel memandang telapak tangannya, yang masih sedikit bergetar. “Aku… hampir membunuhmu di dalam kuil itu.”Kael menghela napas pelan, matanya menatap air. “Bukan kau yang menyerang. Itu segel Vermarath.”“Tetap saja,” suara Arsel berat. “Kalau aku tak bisa melawan kendali itu, bagaimana nanti kalau ia kembali menguasai?”Kael menoleh, menatap sahabatnya. “Kau melawan pada akhirnya. Kau melindungiku, bahkan saat kau sendiri hampir hilang kendali. Itu cukup bagiku.”Hening sejenak. Hanya suara burung pagi dan riak air.Arsel menyeringai kecil, getir. “Kau selalu percaya pada hal-hal yang bahkan aku ragukan dalam diriku sendiri.”Kael menepuk pundaknya. “Karena kalau kita berhenti percaya satu sama lain, maka Vermarath sudah menang—bah

  • Pendekar Pedang Naga   87. Naga Yang Terpilih

    Begitu tubuh mereka terhempas ke dalam kuil, lantai batu di bawah mereka memancarkan cahaya merah darah. Dinding-dinding yang sebelumnya tampak seperti reruntuhan mulai berdenyut, seolah kuil itu hidup dan menyadari kehadiran mereka.Kael terbatuk, berdiri tertatih. Arsel masih mengacungkan pedang, tapi tubuhnya gemetar—segel di lehernya semakin bersinar, dan dari bayang-bayang altar utama, muncul sosok yang selama ini tersegel: Naga Purba Vermarath, penguasa kehendak dan ilusi.“Dua wadah sempurna,” suara Vermarath menggetarkan udara. “Satu dirasuki amarah, satu diselimuti keraguan. Kalian akan memberiku bentuk baru.”Tiba-tiba, tanah di bawah kaki mereka pecah. Pilar-pilar energi muncul, membentuk lingkaran sihir yang berusaha menjerat mereka. Arsel berteriak, tubuhnya melayang dan diserap ke dalam pusaran cahaya—kekuatan naga emas di dalam dirinya sedang dilahap perlahan.Kael melompat, menebas satu pilar energi dengan pedang naga hitamnya. Tapi untuk setiap pilar yang ia hancurkan

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status