Share

Nyawa Yang Direnggut

Ia tidak menyangka bisa bertemu dengan sosok iblis di sebuah gua yang akan memberikannya semua hal. Namun, bayaran yang berat harus disanggupi oleh Arya Santanu. Sekali saja ia melanggar, maka nyawanya menjadi taruhan. Pikirannya berputar, ia mengambil semua kemungkinan yang terjadi bila dirinya harus membuat perjanjian dengan Asura. Namun kebutuhan yang ia miliki begitu mendesak. Arya Santanu bisa menjadi kaya raya hanya dalam waktu semalam. Ia tidak perlu berjuang untuk bertani jagung dan sayuran, atau pun mengambil beberapa tanaman obat dan jamur yang kemudian dijual dipasar. Adiknya, Raka Caraka pun bisa menempuh pendidikan yang ia inginkan di ibukota kerajaan.

"Apa yang kau minta dari perjanjian itu? Jelaskan semuanya kepadaku." Arya Santanu mengambil pilihannya. Ia memilih untuk mendengarkan dahulu semua isi perjanjian itu.

"Aku adalah iblis yang setingkat dengan jenderal dari neraka. Suatu hari, aku dikhianati oleh para saudaraku. Mereka memilih untuk tinggal bersama para manusia dan menolong mereka semua mencapai tujuannya. Sayangnya, para manusia itu, bodoh. Perang yang berkecamuk 100 tahun yang lalu adalah imbas dari ikut sertanya para saudaraku yang berjumlah tiga belas iblis. Kami berhasil membungkam kerajaan musuh dan memerdekakan satu wilayah luas yang semula berupa lima kerajaan kecil. Yah … kau benar. Kerajaan tempatmu berdiri saat ini terbentuk dari sumbangsih kami yang ikut berperang di era dahulu." Asura menjelaskannya lebih lanjut.

Perang 100 tahun yang lalu akhirnya dimenangkan oleh seorang raja yang berteman dengan salah satu iblis bernama Maghanada Indrajit. Ia adalah pemimpin dari tiga belas jenderal iblis yang berasal dari neraka. Bersama dengan dua belas saudaranya, ia memberikan kemenangan mutlak kepada raja dari Nuswapala, Aji Kala Karna. Namun, kerajaan musuh yang berada di Swarnadwipa tidaklah tidur. Saat ini, kekuatan tempur kerajaan besar Swarnapala setingkat dengan Nuswapala. Tidak ada yang tahu, tapi kemungkinan, perang besar akan terjadi lagi di masa depan bila Swarnapala meminta bantuan para Dewata.

"Lalu apa yang kau inginkan. Jangan bertele-tele." Arya Santanu sadar bila ia akan menerima akibatnya dari perjanjian dirinya dengan iblis Asura.

"Bantu aku untuk membunuh ketiga belas saudaraku. Bila kau membantuku, aku akan memberikan apa pun yang kau mau. Tapi … kau hanya boleh meminta satu permintaan saja. Jadi, pikirkan baik-baik." Asura telah menyebutkan mahar dari perjanjian tersebut.

Harga yang bisa dibilang begitu susah untuk dicapai. Arya Santanu sendiri tidaklah memiliki dasar sebagai seorang pendekar, bagaimana caranya ia bisa menang melawan raja Nuswapala dan tiga belas iblis itu?

"Apa kau gila?! Bagaimana mungkin aku bisa membunuh mereka semua? Aku hanya petani jagung yang miskin, aku tidak memiliki kekuatan untuk memburu, melawan atau bahkan membunuh mereka semua." Arya Santanu merasa lemah.

"Jangan rendah diri dahulu. Aku akan bersatu dengan jiwamu. Dengan begitu, kau bisa menggunakan kekuatanku untuk melawan mereka semua. Ingatlah … aku sangatlah kuat." Asura tersenyum.

"Bila kau bisa membunuh mereka, kenapa membutuhkanku?" Arya Santanu bertanya.

"Karena aku tidak memiliki wujud di dunia ini. Kami para iblis telah dibatasi untuk hidup di dunia ini. Dengan begitu, aku atau pun para saudaraku akan menggunakan wadah manusia untuk bisa berjalan di atas muka bumi. Artinya, saat ini mereka sedang menyamar menjadi manusia, mengambil raga manusia atau membuat perjanjian seperti yang aku lakukan sekarang untuk tetap bisa hidup di dunia." Asura melihat ketidakpercayaan Arya Santanu. Pemuda itu masih merasa ragu untuk membuat perjanjian dengan Asura.

"Bila kau ikut membantu, artinya tugasku tidaklah terlalu berat. Baiklah … aku setuju. Permintaanku adalah-," tiba-tiba ucapan Arya Santanu dipotong.

"Cukup sampai disitu. Aku akan memberikan waktu kepadamu untuk berpikir tentang permintaanmu. Tapi untuk sekarang, aku hanya ingin membuat sumpah yang tidak bisa dilanggar denganmu. Sumpah itu akan menjadi bukti bahwa kita berdua telah terikat satu sama lain dalam perjanjian ini, bagaimana? Apa kau siap?" Asura meringis.

Pikiran Arya Santanu mulai saling tumpang tindih. Dua kubu di pikirannya antara menolak dan setuju seakan saling berperang. Ia tidak bisa menjawab cepat pertanyaan dari Asura. Namun tiba-tiba, Arya Santanu merasa bingung kenapa Asura mendekatkan telinganya ke dinding gua. Ia meringis dan tersenyum, seakan ada yang ia dengar. Bahkan Asura melotot dan menatap dinding itu.

"Apa yang kau dengar? Kau sedang melihat apa?" Arya Santanu merasa penasaran.

"Ini menarik … apa kau tahu, ada sebuah desa yang tidak jauh dari gua ini sedang diserang oleh kelompok bandit. Aku mengenal bendera itu. Ia menggunakan salah satu dari saudaraku." Asura begitu bersemangat saat mengetahui ada para bandit yang memuja salah satu saudaranya.

"Apa?!" Arya Santanu terkejut.

Tidak ada desa yang begitu dekat dengan gua tempat ia berada saat ini, kecuali desanya sendiri. Tanpa memikirkan keberadaan Asura, ia lekas berlari begitu kencang hingga terjatuh. Di pikiran Arya Santanu saat itu hanyalah adiknya, Raka Caraka. Ia menerjang semak-semak tinggi tanpa obor yang menerangi. Pikirannya seakan mengingat seluk beluk hutan itu. Ia berjalan tanpa mengandalkan peta atau pun petunjuk arah.

"I-ini tidak mungkin …."

Arya Santanu berdiri dalam keterkejutan. Dari kejauhan, ia melihat kepulan asap hitam membumbung tinggi. Lebih dari sepuluh titik asap hitam terlihat oleh kedua netra matanya. Teriakan, jeritan dan suara tawa yang memecah malam terdengar nyaring di telinga Arya Santanu. Tanpa berpikir panjang, ia langsung berlari menuju ke desanya.

Sebuah tombak mengarah ke dirinya. Arya Santanu yang sadar akan datangnya tombak langsung menghindar, namun goresan lumayan lebar tercipta di lengan kanannya. Ia terus lari dan menerjang beberapa bandit yang mengayunkan pedangnya ke arah dirinya.

BUUUK!!

Sedikit tinju asal-asalan menghantam wajah dari salah satu bandit itu. Arya Santanu benar-benar kehilangan kesabaran. Ia memasuki rumah berukuran sedang peninggalan orang tuanya. Kedua matanya melirik ke setiap ruangan. Ia mencari keberadaan adik kecilnya yang masih berusia 12 tahun.

BRAAAK!!

Pintu rumah Arya Santanu di dobrak paksa oleh beberapa bandit. Ia menarik paksa Arya Santanu keluar. Tubuhnya ditendang dan didorong hingga terjatuh ke tanah. Diantara para bandit yang berdiri di depannya, seseorang mendatanginya sambil membawa seorang bocah laki-laki. Ia menarik rambut atas bocah itu. Arya Santanu mendengar jelas tangisan dan permintaan ampun dari bocah itu.

"Raka?!"

"Raka!"

Arya Santanu berteriak keras setelah melihat adiknya diperlakukan seperti binatang. Ia begitu kesal saat Raka Caraka didorong hingga terjatuh ke tanah. Dadanya diinjak oleh kaki kanan salah satu bandit. Raka Caraka mencoba menahan tekanan kaki dari bandit itu, namun ia mulai mengalami sesak napas.

"Hentikan … tolong hentikan! Ia hanya anak kecil!" Arya Santanu berusaha bangkit, namun ia dipukul oleh gagang tombak dan terjatuh kembali. Ia kembali bersuara, namun suaranya yang lantang belum cukup memberi peringatan kepada para bandit itu.

"Menyedihkan! Kau sungguh menyedihkan!" Bandit yang menginjak kaki Raka Caraka sempat tertawa meski sebentar. Lalu ia melanjutkan menginjak dada anak laki-laki itu berulang kali.

Raka Caraka sampai mengalami sesak dan batuk.

"Ka-kak …."

Panggilan lirih terdengar dari mulut bocah 12 tahun itu. Ia menoleh ke arah kakaknya. Air mata mengalir di pipi dan jatuh hingga menyentuh tanah. Arya Santanu terbelalak saat sebuah tombak panjang menghantam dada adiknya.

JLEEEB!!

Seketika suara Raka Caraka berhenti. Mulutnya terbuka seperti ingin menyampaikan sesuatu, namun Arya Santanu tidak mendengar apa-apa. Tidak lama kemudian, darah segar mengalir dari mulut Raka Caraka. Suara tawa bergema keras ditelinga Arya Santanu. Para bandit bersorak dan bergembira atas pembunuhan yang baru saja mereka lakukan. Di bawah bendera iblis yang mereka kibarkan, Raka Caraka tewas dengan keji.

"Kau …."

"Aku … pasti akan membunuhmu …."

"Jangan harap … kau bisa lari dan bersembunyi."

"Asura … aku sudah tahu ingin meminta apa atas perjanjianku denganmu."

Asura hadir di belakang Arya Santanu. Ia menampakkan dirinya dengan wujud api merah yang membentuk wujud sebuah pria kekar bertaring dan bertanduk dua. Di belakang punggungnya terdapat empat tangan raksasa yang terbuka. Dan di keempat telapak tangannya terdapat masing-masing satu mata yang menatap para bandit itu.

"Apa permintaanmu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status