Selesai berberes kemarin, Dzurriya langsung ketiduran tanpa mandi atau berganti pakaian. Ia juga melewatkan makan malam ataupun minum setetes air pun. Alhasil, ia benar-benar kelaparan sekarang.
Ia baru bangun keesokan pagi ketika jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Tenggorokannya yang kering, membuatnya berniat ingin mengambil air minum di dapur.
Namun, karena masih canggung dan belum hafal seluk-beluk rumah besar ini, ia hampir saja tersesat. Ia bertemu beberapa pelayan di perjalanan, dan bertanya kepada mereka.
Namun, setelah bertanya, bukannya mendapat senyuman ramah, Dzurriya malah mendengar sayup-sayup bisikan mereka yang mengejek Dzurriya.
“Kasihan, ya….” ucap salah satu pelayan.
“Kok, Tuan bisa ya, bawa wanita dekil itu ke sini. Mana dijadiin madu Bu Alexa lagi,” sahut yang lainnya.
Dzurriya langsung bisa menebak apa yang dibicarakan pelayan-pelayan itu di belakang sana. Ditiliknya baju yang dipakainya bersih-bersih kemarin dan belum sempat diganti. Berdebu dan bernoda di beberapa tempat, serta berbau keringat tentunya.
“Apa yang kalian lakukan? Cepat selesaikan pekerjaan kalian, Dasar Lamban!” hardik seorang lelaki tua.
Lantas, Dzurriya pun menoleh. Ia melihat seorang lelaki tua berkemeja putih rapi yang baru masuk ke dapur. Sepertinya dia sangat di segani di tempat itu. Lihatlah, semua pelayan langsung berbalik ke posisinya masing-masing, dan kembali bekerja.
Sekarang, lelaki tua itu menoleh ke arah Dzurriya, dan sontak membuatnya menegang. Walaupun tidak seseram Eshan, entah kenapa Dzurriya bisa melihat ketegasan lelaki itu. Dzurriya hanya diam di tempat sambil menggenggam gelas berisi air putihnya.
“Selamat siang, Nyonya,” sapa lelaki itu, terdengar sopan, tapi juga dingin. “Perkenalkan saya Tikno, kepala pelayan di rumah ini.”
“Nyonya Alexa meminta saya memberikan gaun ini untuk Nyonya. Beliau juga meminta Nyonya bersiap-siap, satu jam lagi ada jadwal cek ke dokter.”
Walaupun tidak paham apa yang dimaksud Tikno, Dzurriya tetap mengangguk. Ia pun menerima totebag yang diserahkan lelaki itu.
“Baik, Pak, terima kasih.”
Lalu, hanya dengan sapaan singkat, lelaki itu pun meninggalkan Dzurriya di dapur.
Dzurriya melongok isi totebag tersebut. Terlihat ada sepotong gamis biru dongker dan kerudung putih di dalamnya. ‘Baju? Cek dokter? Apa yang mereka rencanakan?’
Semakin dipikirkan, Dzurriya semakin tidak mengerti. Kehidupannya berjalan bagai komedi putar sekarang, ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Padahal baru kemarin tiba-tiba menikah dengan lelaki beristri.
Tatapan para pelayan mulai kembali mengarah kepadanya setelah Tikno pergi. Dzurriya yang tidak nyaman, akhirnya berbalik kembali ke kamarnya.
Kali ini, ia hanya bisa pasrah dan berserah diri. Ia yakin, jika bersabar, maka Allah akan memberikan balasan yang lebih indah.
‘Ya Allah… hamba hanya bisa berserah diri kepada-Mu.’
*****
Baru kemarin ia meninggalkan tempat itu, sekarang ia sudah berada di sana lagi. Ya, rumah sakit. Bau khasnya masih membuat Dzurriya merinding sampai sekarang.
Ia memandang sekitar dan merasa ngeri. Bayangan penyiksaan itu masih terlihat nyata. Apalagi itu adalah lorong tempatnya dipanggul paksa karena ketahuan kabur. Seketika, ia menunduk dan memejamkan mata.
Dzurriya diminta untuk menunggu di kursi dulu karena Eshan dan Alexa belum datang. Mereka memang berangkat terpisah. Tentu saja, mana mungkin pasangan itu sudi satu mobil dengan Dzurriya yang dibenci mereka.
Hampir setengah jam menunggu, Dzurriya akhirnya mendengar suara hentakkan heels yang menggema di lorong. Ia menoleh, dan mendapati Alexa datang didampingi Eshan dan beberapa pengawal.
Sungguh berbeda dengan Dzurriya tadi. Ia memang datang bersama pengawal, tapi mereka lebih pantas disebut algojo karena terus menyeret Dzurriya tanpa belas kasihan. Tidak ada perlakuan hormat dan segan, malah mereka terang-terangan menatap Dzurriya dengan jijik.
“Lihatlah wanita ini!” ucapan sinis Alexa menyapanya, wanita itu melipat tangannya di dada. “Kau pasti sangat senang karena bisa memakai pakaian bekas pelayanku, kan?”
Dada Dzurriya serasa diremas. Tadinya ia berpikir Alexa sedikit menunjukkan belas kasihan dengan memberikannya pakaian ganti. Namun ternyata, ini hanyalah pakaian bekas pelayan.
‘Inikah perlakuan yang pantas untuk pendosa sepertiku?’ air mata Dzurriya hampir saja menetes lagi.
“Ayo! Kenapa masih bengong?! Cepat masuk!” perintah Alexa lagi ketika sudah berada di depan ruangan di sebelah kursi Dzurriya.
Dzurriya segera berdiri dengan wajah tegang. Alexa masuk lebih dulu, tapi tidak dengan Eshan. Lelaki itu masih berdiri di samping pintu sambil menatap tajam Dzurriya. Ia seolah menunggunya untuk masuk.
Dzurriya berjalan sambil menundukkan kepala. Begitu melewati Eshan, aroma musk itu kembali menyapa ujung hidungnya. Seketika tubuhnya kembali menegang, tapi sekuat mungkin ia tetap fokus berjalan.
“Kudengar, kau tidak makan dari semalam,” suara berat itu menyapa Dzurriya tepat sebelum masuk ke ruangan.
Sontak, Dzurriya menoleh. “Ya?”
Eshan meliriknya. “Aku tidak akan membiarkanmu mati dengan mudah,” ucap lelaki itu, lalu melewati Dzurriya dan masuk lebih dulu. “Jadi, makanlah apa pun yang disediakan pelayan.”
Bahu Eshan sedikit menyenggolnya, membuat Dzurriya sedikit terhuyung.
“Kami belum berani melakukan prosedur HSG untuk melihat kondisi rahim Ibu Dzurriya, karena beliau lupa kapan terakhir menstruasi. Bulan depan, dua atau sampai tujuh hari pasca beliau menstruasi, kembalilah kesini untuk melakukan pemeriksaan.” Itu adalah yang diucapkan dokter kandungan setelah sesi konsultasi berakhir. Untuk melihat kondisi rahim Dzurriya, Alexa meminta pemeriksaan dengan menggunakan sinar Rontgen atau HSG. Namun, karena Dzurriya amnesia, ia tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan dokter dengan baik. Suasana ruangan itu pun mendadak jadi dingin. Dzurriya juga melihat alis Alexa yang menyatu karena marah, berbeda dengan Eshan yang hanya diam dengan tatapan tajam. Tatapan Alexa yang tadinya tertuju kepada sang dokter, langsung mendelik ke arah Dzurriya “Kamu sengaja, kan?!” Napas wanita itu terdengar terengah-engah. Matanya memerah, dan otot-otot mukanya tertarik. Dzurriya hanya menunduk, menghindari tatapan menusuk Alexa itu. Tak ada kata yang berani ia ucapkan, ata
“Argh!” Seketika mata Dzurriya terpejam, suaranya melengking histeris. Namun yang mengherankan, kenapa ia tidak merasakan sakit atau semacamnya? Dibukanya matanya perlahan. Eshan masih berdiri dengan tatapan yang sama, auranya begitu mengerikan. Ditambah bau asap pistol yang melontar tanpa peluru. “Seumur hidup, aku tidak pernah melihat Alexa begitu kesakitan,” Ehsan berucap sambil menurunkan ujung pistol itu. “Dan, aku juga tidak akan pernah membuatnya kesakitan.” Ketika Dzurriya merasa kalau Eshan sudah lebih tenang dan ia bisa kabur, tangan pria itu kembali bergerak untuk mengokang pistolnya kembali. Mata Dzurriya membulat. Dengan panik, ia beringsut mundur dalam posisi duduk. “A-Ampun, ampun, m-maafkan aku!” pekik Dzurriya, masih menyeret tubuhnya yang lemas. Namun nahas, saat ia mencoba berdiri, baju gamisnya yang panjang justru terinjak kakinya sendiri. Baju itu robek sampai bagian betisnya terlihat. Melihat peluangnya terbatas, Dzurriya segera meraih kaki suaminya terse
Ia bisa merasakan aroma musk itu semakin pekat menusuk hidungnya, desah napasnya pun menyemilir di atas permukaan kulit pipinya. Seketika, bulu kuduk di sekujur tubuhnya bergetar. Apalagi sekarang jemari tangan kekar itu tengah terulur perlahan di bawah bahunya, sambil menjumput untaian kerudungnya dan menyilangkannya di pundak dengan lembut. Tak sampai disitu, ia merasakan tangan tersebut membelai kepalanya turun dan menyanggah punggungnya. Kemudian, pipi lelaki itu beberapa saat bergesekan dengan pipinya. Bahkan, ia bisa merasakan degup jantungnya yang beradu dengan detak jantung sang suami. “Bukankah sudah kubilang?” suara rendah lelaki itu menyapu lembut telinga Dzurriya. Sontak wanita itu pun bertambah merinding.“A-apa?” cicit Dzurriya.“Kalau butuh sesuatu, panggil pelayan.” Tangan Eshan yang terulur di belakang punggung Dzurriya itupun memencet sebuah tombol di samping kulkas dua kali, sampai terdengar seperti suara bel.“Aku tidak mau melihat mayat di rumah ini,” lanjut lel
“Aku mencintaimu, Sayang….” suara serak Eshan bagai tamparan untuk Dzurriya. Itu bukan ungkapan cinta untuknya, melainkan untuk Alexa, sang istri pertama. Dzurriya mematung di tempatnya kala melihat pergumulan Eshan dan Alexa di sofa. Posisi Eshan duduk membelakangi pintu, jadi tidak menyadari kehadiran Dzurriya. Namun berbeda dengan Alexa, yang duduk di pangkuan lelaki itu sambil mencumbunya. Tatapan Dzurriya yang bergetar, bertemu dengan Alexa. Dzurriya bisa melihat senyum tipis wanita itu, sebelum mencium Eshan lebih dalam dari sebelumnya. Tangannya terulur di belakang leher lelaki itu, sambil badannya digerakkan dengan sensual. Dzurriya memalingkan wajah. ‘Ya Allah… kenapa ujianmu semakin hari, semakin berat….’ Ia baru merasakan kebahagiaan semalam, setelah Eshan menyebutnya sebagai ‘istri’. Namun, ia kembali ditampar kenyataan bahwa status itu tidak lebih dari perjanjian di atas kertas. Dzurriya hanya istri kedua dalam status kontrak. Ia tidak berhak atas cinta dan kebahagi
Pada waktu yang sama, di ruang kerja Eshan. “Ah! Brengsek! Kenapa aku gak bisa fokus?!” gerutu Eshan sambil menutup laptopnya dengan keras. Ia pun melempar tubuhnya ke sandaran kursi sambil mendesah panjang. Dadanya terasa berdenyut-denyut tak karuan tanpa sebab. Bola matanya yang sedari tadi menatap langit-langit ruangan pun terpejam, memikirkan apa sebenarnya yang sedang dirasakan dan dipikirkannya. ‘Apa ini? Kenapa aku kepikiran wanita sialan itu?’ Sejak meninggalkan kamarnya, pikiran Eshan jadi tidak tenang. Ia kepikiran, apa yang Alexa lakukan kepada wanita itu. Apakah Alexa kembali tantrum seperti waktu itu– “Gak! Aku gak mengkhawatirkan dia! Aku hanya takut barangku dicuri saja. Apalagi dia sekarang sendirian di kamarku.” Eshan memijat pelipisnya beberapa saat, tapi kepalanya tidak berhenti berdenyut. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk beranjak dari kursinya. Ia harus memastikan dengan matanya sendiri kalau wanita itu tidak berulah. Sampai di depan kamarnya, suasana terasa
‘Seingatku, tadi aku masih memandikan Snow di kamar mandi? Kenapa aku bisa di kasur? ‘Apa dia yang menggendongku?’ gumam Dzurriya dalam hati. “Apa kau baik-baik saja?” tanya Dokter Ryan mengalihkan perhatiannya. Dzurriya hanya mengejapkan matanya sebentar, mulutnya masih terasa begitu kering. “I-itu….” “Apa kau mau minum?” Ryan menyodorkan segelas air kepada Dzurriya. Dzurriya mengulurkan tangannya untuk mengambil. Pada saat itulah ia melihat punggung tangannya yang kemerahan. Lantas, ia pun memeriksa tangannya yang lain, juga wajah dan lehernya yang tertutup kerudung. Pantas saja dia merasa gatal dan panas sedari tadi. Dzurriya akhirnya minum segelas air yang diserahkan Ryan, sambil melirik dua lelaki di depannya. Lalu, saat matanya kembali bertemu dengan Eshan, ia buru-buru mengalihkan pandangan. Ia takut kena marah lagi. ‘Apa Eshan akan mengancamku lagi karena pingsan?’ “Awasi dia, jangan sampai dia melakukan hal bodoh lagi,” ujar Eshan sambil beranjak dari tempatnya. Dzur
Eshan terus berjalan masuk ke rumah dengan perasaan tak karuan yang berusaha dia abaikan. Aura dinginnya menyebar ke seluruh rumah. Para pelayan pun telah mengerti, mereka hanya harus menunduk sebentar di depannya kemudian berlalu setelah dia melewati mereka. Dia memasuki ruang kerjanya yang berada di lantai dua, memandang dari sebuah jendela klasik menghadap kebun. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri di sana, menatap Dzurriya yang sedang memakai jaket hitam miliknya. Mata sayu wanita itu tampak memandang ke langit, dan kadang-kadang tangannya mengusap bagian bawah matanya. Mungkin air mata baru saja menetes ke pipinya. ‘Bodoh!’*****Tiga minggu berlalu. Perlakuan yang didapat Dzurriya perlahan berbeda dari sebelumnya. Tikno menyiapkan segalanya untuknya, dari mulai makanan, pakaian sampai menjadi teman bicara. Namun, perubahan yang paling besar justru ketidakhadiran Eshan. Aroma musk yang biasa membuatnya kaget dan terkesiap, tak lagi diciumnya, meski hanya sekilas lalu. Juga
Selesai dari pemeriksaan itu, mereka pun kembali ke kediaman mewah Eshan. Dzurriya memperhatikan dua orang yang berjalan di depannya. Alexa tampak tak hentinya menggandeng tangan Eshan di depannya, dari mulai berangkat ke rumah sakit sampai pulang. Begitu juga Eshan, yang tak sedikit pun meliriknya.Ketika Alexa dan Eshan naik ke kamarnya, Dzurriya malah berbelok menuju taman belakang. Akhir-akhir ini, tempat itu seperti persinggahan saat hatinya gundah. Walaupun sedang tidak memakai jaket Eshan kemarin, hidung Dzurriya seolah masih bisa merasakan aromanya di kursi taman itu. Ia merasakan aroma bunga bercampur dengan aroma musk yang diterbangkan oleh angin sore ini. Seakan membawanya ke dalam kenangan di mana ia bisa duduk berdampingan dengan suaminya.Hah!Ia menghembus napas panjang, lalu mendongak, melihat ke arah jendela-jendela kaca jauh di depannya. Entah apakah suaminya ada di balik salah satu jendela tersebut dengan kesibukannya, atau ia sedang berada di lantai atas bersama