Share

BAB 5

Selesai berberes  kemarin, Dzurriya langsung ketiduran tanpa mandi atau berganti pakaian. Ia juga melewatkan makan malam ataupun minum setetes air pun. Alhasil, ia benar-benar kelaparan sekarang.

Ia baru bangun keesokan pagi ketika jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Tenggorokannya yang kering, membuatnya berniat ingin mengambil air minum di dapur. 

Namun, karena masih canggung dan belum hafal seluk-beluk rumah besar ini, ia hampir saja tersesat. Ia bertemu beberapa pelayan di perjalanan, dan bertanya kepada mereka.

Namun, setelah bertanya, bukannya mendapat senyuman ramah, Dzurriya malah mendengar sayup-sayup bisikan mereka yang mengejek Dzurriya.

“Kasihan, ya….” ucap salah satu pelayan.

“Kok, Tuan bisa ya, bawa wanita dekil itu ke sini. Mana dijadiin madu Bu Alexa lagi,” sahut yang lainnya.

Dzurriya langsung bisa menebak apa yang dibicarakan pelayan-pelayan itu di belakang sana. Ditiliknya baju yang dipakainya bersih-bersih kemarin dan belum sempat diganti. Berdebu dan bernoda di beberapa tempat, serta berbau keringat tentunya.

“Apa yang kalian lakukan? Cepat selesaikan pekerjaan kalian, Dasar Lamban!” hardik seorang lelaki tua.

Lantas, Dzurriya pun menoleh. Ia melihat seorang lelaki tua berkemeja putih rapi yang baru masuk ke dapur. Sepertinya dia sangat di segani di tempat itu. Lihatlah, semua pelayan langsung berbalik ke posisinya masing-masing, dan kembali bekerja.

Sekarang, lelaki tua itu menoleh ke arah Dzurriya, dan sontak membuatnya menegang. Walaupun tidak seseram Eshan, entah kenapa Dzurriya bisa melihat ketegasan lelaki itu. Dzurriya hanya diam di tempat sambil menggenggam gelas berisi air putihnya.

“Selamat siang, Nyonya,” sapa lelaki itu, terdengar sopan, tapi juga dingin. “Perkenalkan saya Tikno, kepala pelayan di rumah ini.”

“Nyonya Alexa meminta saya memberikan gaun ini untuk Nyonya. Beliau juga meminta Nyonya bersiap-siap, satu jam lagi ada jadwal cek ke dokter.”

Walaupun tidak paham apa yang dimaksud Tikno, Dzurriya tetap mengangguk. Ia pun menerima totebag yang diserahkan lelaki itu. 

“Baik, Pak, terima kasih.”

Lalu, hanya dengan sapaan singkat, lelaki itu pun meninggalkan Dzurriya di dapur.

Dzurriya melongok isi totebag tersebut. Terlihat ada sepotong gamis biru dongker dan kerudung putih di dalamnya. ‘Baju? Cek dokter? Apa yang mereka rencanakan?’

Semakin dipikirkan, Dzurriya semakin tidak mengerti. Kehidupannya berjalan bagai komedi putar sekarang, ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Padahal baru kemarin tiba-tiba menikah dengan lelaki beristri.

Tatapan para pelayan mulai kembali mengarah kepadanya setelah Tikno pergi. Dzurriya yang tidak nyaman, akhirnya berbalik kembali ke kamarnya. 

Kali ini, ia hanya bisa pasrah dan berserah diri. Ia yakin, jika bersabar, maka Allah akan memberikan balasan yang lebih indah.

‘Ya Allah… hamba hanya bisa berserah diri kepada-Mu.’

*****

Baru kemarin ia meninggalkan tempat itu, sekarang ia sudah berada di sana lagi. Ya, rumah sakit. Bau khasnya masih membuat Dzurriya merinding sampai sekarang.

Ia memandang sekitar dan merasa ngeri. Bayangan penyiksaan itu masih terlihat nyata. Apalagi itu adalah lorong tempatnya dipanggul paksa karena ketahuan kabur. Seketika, ia menunduk dan memejamkan mata.

Dzurriya diminta untuk menunggu di kursi dulu karena Eshan dan Alexa belum datang. Mereka memang berangkat terpisah. Tentu saja, mana mungkin pasangan itu sudi satu mobil dengan Dzurriya yang dibenci mereka.

Hampir setengah jam menunggu, Dzurriya akhirnya mendengar suara hentakkan heels yang menggema di lorong. Ia menoleh, dan mendapati Alexa datang didampingi Eshan dan beberapa pengawal.

Sungguh berbeda dengan Dzurriya tadi. Ia memang datang bersama pengawal, tapi mereka lebih pantas disebut algojo karena terus menyeret Dzurriya tanpa belas kasihan. Tidak ada perlakuan hormat dan segan, malah mereka terang-terangan menatap Dzurriya dengan jijik.

“Lihatlah wanita ini!” ucapan sinis Alexa menyapanya, wanita itu melipat tangannya di dada. “Kau pasti sangat senang karena bisa memakai pakaian bekas pelayanku, kan?”

Dada Dzurriya serasa diremas. Tadinya ia berpikir Alexa sedikit menunjukkan belas kasihan dengan memberikannya pakaian ganti. Namun ternyata, ini hanyalah pakaian bekas pelayan.

‘Inikah perlakuan yang pantas untuk pendosa sepertiku?’ air mata Dzurriya hampir saja menetes lagi.

“Ayo! Kenapa masih bengong?! Cepat masuk!” perintah Alexa lagi ketika sudah berada di depan ruangan di sebelah kursi Dzurriya.

Dzurriya segera berdiri dengan wajah tegang. Alexa masuk lebih dulu, tapi tidak dengan Eshan. Lelaki itu masih berdiri di samping pintu sambil menatap tajam Dzurriya. Ia seolah menunggunya untuk masuk.

Dzurriya berjalan sambil menundukkan kepala. Begitu melewati Eshan, aroma musk itu kembali menyapa ujung hidungnya. Seketika tubuhnya kembali menegang, tapi sekuat mungkin ia tetap fokus berjalan.

“Kudengar, kau tidak makan dari semalam,” suara berat itu menyapa Dzurriya tepat sebelum masuk ke ruangan.

Sontak, Dzurriya menoleh. “Ya?”

Eshan meliriknya. “Aku tidak akan membiarkanmu mati dengan mudah,” ucap lelaki itu, lalu melewati Dzurriya dan masuk lebih dulu. “Jadi, makanlah apa pun yang disediakan pelayan.”

Bahu Eshan sedikit menyenggolnya, membuat Dzurriya sedikit terhuyung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status